• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.2. Kajian Teori

2.2.4 Gaya Bahasa

Gaya bahasa merupakan suatu kekayaan bahasa yang digunakan untuk memperoleh efek-efek tertentu untuk memperindah dan memperkaya penggunaan bahasa tersebut. Menurut (Keraf, 1987:113) “Akhirnya style atau gaya bahasa dapat dibatasi sebagai cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (pemakai bahasa)”. Sedangkan Abrams dalam (Nurgiyantoro, 2013:369) menyatakan bahwa gaya atau stile adalah cara pengucapan bahasa dalam prosa, atau cara seorang pengarang mengungkapkan sesuatu yang akan dikemukakan dalam sebuah cerita. Dalam penelitian ini gaya bahasa dianggap sebagai unsur penting dari penelitian karena didalamnya terkandung teori dasar mengenai keragaman jenis dan bentuk dari suatu bahasa yang digunakan masyarakat luas.

Setiap pemakai bahasa memiliki perbedaan pandangan mengenai gaya bahasa. Ada yang memandang derajat seseorang dapat dinilai dari gaya bahasa yang digunakan, namun ada juga yang berpendapat mengenai gaya bahasa setiap individu yang berbeda dapat dirubah dengan dipelajari. Gaya bahasa dari segi non bahasa diklasifikasikan berdasarkan beberapa faktor diantaranya; berdasarkan pengarang, berdasarkan masa, berdasarkan medium, berdasarkan subyek, berdasarkan tempat, berdasarkan hadirin, dan berdasarkan tujuan. Gaya bahasa adalah cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis atau pemakai bahasa (Tarigan, 2013:5). Dengan adanya gaya bahasa yang mampu dimanfaatkan dalam berbagai unsur ragam bahasa ragam lisan dan ragam tulis, karena gaya bahasa merupakan sebuah alat penggunaan bahasa dalam konteks tertentu oleh orang yang menghasilkan karya untuk tujuan tertentu. Secara khusus gaya bahasa sangat terkait dalam bidang penggunaan bahasa. Umumnya dalam sebuah penelitian yang berkaitan dengan karya sastra, jenis gaya bahasa yang digunakan tidak memperhatikan panjang pendeknya kalimat, tingkatan bahasa tinggi rendah, kata-kata serapan, dan sebagainya.

Gaya bahasa merupakan bahasa khas karena bahasanya telah direkayasa dan dipoles sedemikian rupa. Akibat proses pemolesan itu kemudian muncul gaya bahasa yang indah (Endraswara, 2008). Oleh karena itu, pemakaian gaya bahasa harus sangat disadari oleh seorang pengarang. Penggunaan gaya bahasa pada sebuah karya sastra jangan sampai hanya digunakan sebagai formalitas bagi popularitas karyanya. Jika pengarang memiliki pengetahuan akan gaya bahasa yang luas, dan mahir dalam menggunakan mengaplikasikanya pada karyanya maka akan menghasilkan karya sastra yang menarik dari dalam hatinya. Dengan adanya gaya bahasa menjadi sebuah patokan dalam menilai kekhasan dari seorang pengarang yang sudah menghasilkan karya tulis dan sudah dipublikasikan. Kebanyakan pengarang karya sastra yang hendak memunculkan efek keindahan pada karyanya akan menggunakan bahasa yang unik dari bahasa sehari-hari yang biasanya digunakan untuk komunikasi.

Bahasa retorik dan bahasa kias merupakan penyimpangan dari bahasa.

Penyimpangan yang dimaksud adalah dari pandangan bahasa yang digunakan sehari-hari, penyimpangan bahasa baku atau standar, penyimpangan makna, dan penyimpangan susunan kata supaya memperoleh makna khusus (Sardani, 2018:56).

Sejalan dengan pendapat dari Hasanuddin dalam (Hasanuddin, 2003:133) bahasa bermajas adalah bahasa yang menggunakan kata-kata yang susunan dan artinya sengaja dibuat menyimpang dari susunan dan arti biasa. Penggunaan gaya bahasa pada karya sastra meskipun sama-sama menggunakan bahasa yang indah namun memiliki perbedaan antara yang satu dengan yang lainya. Gaya bahasa pada karya sastra dapat diketahui dengan memperhatikan unsur struktur kalimat, diksi , jenis bahasa kiasan, dan berbagai ciri semantik yang terkandung didalam karya sastra tersebut.

Dalam mengekspresikan kalimat pada karya sastra pengarang seringkali menggunakan gaya bahasa yang tidak lazim digunakan seperti bahasa sehari-hari dalam berbagai aktivitas. Gaya bahasa yang digunakan pada karya sastra ini dikenal dengan istilah gaya bahasa sastra. Menurut Ratna dalam (Ratna, 2013) gaya bahasa sastra merupakan sebuah ragam khsusus yang digunakan oleh pengarang untuk

memperindah teks. Memperindah dalam artian memberikan kesan yang lebih menarik kepada pembaca. Pada karya sastra pembaca akan lebih tertarik dengan adanya bahasa yang jarang mereka lihat dan akan muncul keinginan untuk mengetahui makna dari kata-kata yang unik tersebut. Berdasarkan pernyataan beberapa ahli di atas peneliti dapat mengambil kesimpulan bahwa gaya bahasa merupakan sebuah alat yang digunakan oleh pengarang dalam memberikan nuansa keindahan pada sebuah karya sastra dengan ciri khas dan, kebiasaan, dan pandangan dari pengarang itu sendiri. Ciri dari gaya bahasa yang digunakan oleh pengarang biasanya berupa bahasa yang unik dan tidak lazim digunakan dalam konteks komunikasi sehari-harinya. Dengan adanya gaya bahasa maka mampu menambah keindahan dan keunikan dari sebuah karya sastra.

2.2.4.1 Gaya Bahasa Dalam Majas Perbandingan

Majas perbandingan adalah majas yang digunakan untuk membandingkan suatu objek dengan objek lainya melalui proses tertentu. Menurut Hendra Kasmi dalam (Kasmi, 2020:221) majas perbandingan adalah majas yang membandingkan suatu benda atau perilaku makhluk manusia yang satu dengan yang lain melalui proses menyetarakan, menggantikan, dan melebihkan. Nafinuddin menambahkan dalam jurnal (Nafinuddin, 2020:8) bahwa majas perbandingan adalah majas yang cara melukiskan keadaan apapun dengan menggunakan perbandingan antara satu hal dengan hal yang lain. Sesuai dengan nama majas perbandingan menggunakan unsur pembanding sebagai aspek utama dalam mengungkapkan sesuatu.

Pada penelitian berjudul Analisis Gaya Bahasa dalam Majas Perbandingan yang digunakan Andrea Hirata pada Novel berjudul Edensor: Kajian Semantik ini berpatok pada penggunaan gaya bahasa dalam majas perbandingan Andrea Hirata pada novel Edensor. Majas perbandingan yang akan diteliti mengacu pada tiga teori milik Tarigan, Ratna, dan Nafinuddin, ketiga ahli yang menjadi pataokan ini telah mengkaji adanya peranan majas perbandingan dalam kebahasaan khususnya sastra.

Tarigan dalam (Tarigan, 2013:9) mengklasifikasikan majas perbandingan menjadi 10 jenis gaya bahasa, yaitu: gaya bahasa perumpamaan, metafora, personifikasi,

depersonifikasi, alegori, antitesis, pleonasme, perifrasis, antisipasi, dan koreksi atau koreksio. Sedangkan Ratna (Ratna, 2013:444) membagi majas perbandingan dalam 21 jenis gaya bahasa, yaitu: gaya bahasa alegori, alusio, antonomasia, disfemisme, epitet, eponim, eufemisme, hipalase, hiperbola, litotes, metafora, metonimia, onomatope, paronomasia, perifrasis, personifikasi, simbolik, simile, sinekdoke, sinestesia, dan tropen. Nafinuddin memiliki kemiripan dengan pendapat Ratna dengan membagi majas perbandingan kedalam 20 jenis gaya bahasa dalam (Nafinuddin, 2020:8) yaitu: simile, metafora, personifikasi, depersonifikasi, alegori, alusio, antitesis, pleonasme, tautologi, perifrasis, antisipasi, koreksio, antropomorfisme, sintesia, antonomasia, aptronim, metonimia, asosiasi, hipokorisme, tropen.

1. Perumpamaan atau Simile

Perumpamaan atau nama lainya simile adalah gaya bahasa yang membandingkan dua hal yang berlawanan namun namun sengaja dianggap sama.

Maka dari itu gaya bahasa ini bisa juga disebut sebagai sebuah “persamaan”.

Menurut (Rizki & Mulyani, 2017:203) simile adalah majas peerbandingan yang membandingkan secara langsung dengan menggunakan kata-kata pembanding.

Sejalan dengan pendapat Ratna dalam (Ratna, 2013:446) Simile (menggunakan kata-kata pembanding: seperti, laksana, umpama). Kata pembanding yang dimaksud juga dijabarkan oleh Tarigan dalam (Tarigan, 2013:9) terdiri dari kata seperti, bagaikan, umpama, ibarat, laksana, sebagai, umpama, serupa, penaka.

Adanya kata pembanding memperkuat posisi kalimat ini sebagai majas perumpamaan atau simile, sesuai dengan pendapat Nafinuddin dalam (Nafinuddin, 2020:8) bahwa simile adalah bahasa kiasan berupa pernyataan suatu hal dengan hal lain dengan menggunakan kata-kata pembanding. Contoh dari gaya bahasa ini sebagai berikut:

a. Seperti air dan api.

b. Seperti air dan minyak.

c. Bagaikan bumi dan langit.

d. Bak rumah tak bertuan.

e. Laksana badai ditengah laut.

2. Metafora

Metafora adalah bagian dari majas perbandingan yang membuat perbandingan antara dua hal yang berbeda namun dianggap sama untuk menciptakan suatu kesan. Penggunaan majas ini tidak dapat memerlukan kata penghubung seperti perumpamaan. Sesuai dengan pendapat Rizki dan Mulyani dalam (Rizki & Mulyani, 2017:203) bahwa metafora merupakan majas perbandingan yang membandingkan dua hal secara langsung. Maksud dari secara langsung ini adalah tanpa adanya kata penghubung apapun pada unsur majas tersebut. Gaya bahasa ini mampu memberikan bantuan kepada seseorang dalam mengungkapkan suatu gambaran yang jelas melalui komparasi secara langsung.

Menurut (Tarigan, 2013:15) metafora merupakan gaya bahasa perbandingan yang paling singkat, padat dan tersusun rapi. Sesuai dengan pendapat dari Nafinuddin dalam (Nafinuddin, 2020:9) yang menyatakan bahwa dibandingkan dengan majas lainya, metafora merupakan majas yang paling singkat, padat, dan jelas. Contoh dari gaya bahasa ini sebagai berikut:

a. Dia memang anak emas.

b. Dia memang kutu buku.

3. Personifikasi

Personifikasi menurut Nurgiyantoro dalam (Payuyasa, 2019:75) merupakan jenis majas yang meletakan sifat-sifat insani kepada benda yang tidak bernyawa dan ide yang abstrak. Sejalan dengan pendapat Tarigan dalam (Tarigan, 2013:17) yang menyatakan bahwa personifikasi adalah majas yang melekatkan sifat-sifat makhluk hidup kedalam benda mati seakan-akan benda yang tidak bernyawa tersebut hidup. Sifat yang melekat pada majas ini adalah menyamakan benda dengan kebiasaan manusia yang hidup. Gaya bahasa personifikasi dikenal dengan nama lain “penginsanan” karena sesuai dengan ciri nya yang melekatkan sifat insani kepada benda mati atau unsur yang tidak hidup. Ratna mendefinisikan personifikasi dengan lebih ringkas dalam (Ratna, 2013:446) yaitu benda mati dianggap benda hidup. Contoh dari gaya bahasa ini sebagai berikut:

a. Nyiur melambai ditepi pantai.

b. Ombak yang berdesis.

c. Belaian hembusan angin.

d. Mentari menggores kulitku.

4. Depersonifikasi

Depersonifikasi adalah majas yang melekatkan sifat benda mati kepada manusia. Dengan kata lain depersonifikasi merupakan kebalikan dari personifikasi.

Biasanya gaya bahasa depersonifikasi ini terdapat dalam kalimat pengandaian yang secara eksplisit memanfaatkan kata kalau dan sejenisnya sebagai penjelas gagasan atau harapan (Tarigan, 2013:21). Menurut pendapat Nafinuddin dalam (Nafinuddin, 2020:9) depersonifikasi adalah gaya bahasa yang melekatkan sifat-sifat suatu benda tak bernyawa pada manusia atau insan. Dengan kata lain depersonifikasi melekatkan unsur makhluk hidup kepada benda, objek atau suatu hal. Contoh dari gaya bahasa ini sebagai berikut:

a. Hatiku sudah membeku.

b. Langkah kakinya surut.

c. Jika kamu bunga, aku lebahnya.

d. Andai kamu langit, maka aku adalah bintang.

5. Alegori

Alegori adalah gaya bahasa yang menyatakan sesuatu dengan sesuatu yang lain dengan menggunakan kiasan. Menurut Tarigan (Tarigan, 2013:24) alegori adalah cerita yang dikisahkan dalam lambang-lamban, merupakan metafora yang diperluas dan berkesinambungan, tempat atau wadah objek-objek atau gagasan-gagasan yang diperlambangkan. Ciri lain dari gaya bahasa alegori adalah kandungan sifat-sifat moral atau spiritual manusia, dikuatkan dengan pendapat dari Nafinuddin dalam (Nafinuddin, 2020:10) bahwa alegori sering mengandung sifat-sifat moral spiritual. Sifat moral yang dimaksud adalah nilai moral atau suatu hal yang bisa diambil dari suatu kejadian dalam kehidupan sehari-hari. Ratna dalam (Ratna, 2013:444) mendefinisikan alegori sebagai perbandingan dengan alam secara utuh. Contoh dari gaya bahasa ini sebagai berikut:

a. Bayi yang baru lahir bagaikan kertas putih kosong, belum bernoda.

b. Ayah adalah nahkoda dalam mengarungi bahtera rumah tangga.

c. Hidup itu bagaikan roda, kadang kita dibawah, kadang kita di atas.

7. Antitesis

Antitesis adalah majas yang terdiri dari perbandingan antara dua hal yang berbeda dalam bentuk maupun makna. Dengan kata lain majas antitesis terdiri dari sesuatu yang berlawanan (Antonim) sejalan dengan pendapat Nafinuddin dalam (Nafinuddin, 2020:11) berpendapat bahwa antitesis merupakan gaya bahasa yang mengandung gagasan-gagasan yang bertentangan. Menurut Poerwadarminta dalam (Tarigan, 2013:26) secara alamiah antitesis berarti “lawan yang tepat” atau

“pertentangan yang benar-benar. Dapat dikatakan sebagai lawan yang tepat karena kedua unsur yang diperbandingkan saling berlawanan satu sama lain. Contoh dari gaya bahasa ini sebagai berikut:

a. Naik turunya harga kopi.

b. Kita hanya bisa mempertimbangkan baik buruknya.

c. Kecantikanya yang akan mencelakakanya.

6. Pleonasme

Pleonasme muncul ketika adanya kata yang memiliki makna yang berlebihan dan sebenarnya tidak diperlukan pada sebuah kalimat. Penggunaan kata yang berlebihan atau mubazir ini jika dihilangkan tidak akan merubah makna dari kalimat tersebut, sesuai dengan pendapat Tarigan dalam (Tarigan, 2013:28).

Berdasarkan pendapat Nafinuddin dalam (Nafinuddin, 2020:11) pleonasme merupakan majas yang dipergunakan dengan cara menambahkan keteangan pada pernyataan yang sudah jelas atau menambahkan keterangan yang sebenarnya tidak diperlukan. Kalimat yang tidak diperlukan ini jika dihilangkan tidak akan merubah makna apapun pada kalimat tersebut, sesuai dengan pendapat Keraf dalam (Arta dkk, 2018:34) apabila kata yang berlebihan tersebut dihilangkan, tidak akan mengubah makna atau arti. Contoh dari gaya bahasa ini sebagai berikut:

a. Buah kelapa itu jatuh kebawah.

b. Dia naik ke atas meja.

c. Kegembiraanku menyenangkan hatiku.

d. Roda yang bundar itu sedang dipompa.

8. Perifrasis

Berdasarkan pendapat Tarigan dalam (Tarigan, 2013:31) Perifrasis mengungkapkan sesuatu menggunakan kata yang banyak namun sebenarnya bisa dipersingkat untuk mendapatkan makna yang sama dengan sebuah kata saja.

Pendapat dari Tarigan ini diperkuat oleh pendapat dari Nafinuddin (Nafinuddin, 2020:12) perifrasis adalah gaya bahasa yang dalam pernyataanya sengaja menggunakan frasa yang sebenarnya dapat diganti dengan sebuah kata saja. Peneliti menandai kata sengaja pada pendapat nafinuddin ini dan berkesimpulan bahwa penulis novel secara sengaja memperumit sebuah kata dengan kalimat dengan tujuan memberikan keindahan pada kalimat tersebut sesuai dengan fungsi dari majas untuk memperindah. Ciri dari majas ini adalah kalimat dapat digantikan dengan sebuah kata yang memiliki makna yang sama. Sejalan dengan pengertian ahli lainya Ratna mempersingkat definisi perifrasis dalam (Ratna, 2013:446) perifrasis (suatu kata diperluas dengan ungkapan). Contoh dari gaya bahasa ini sebagai berikut:

a. Sebagai perempuan jangan selalu melihat laki-laki dari hartanya (Kalimat ini dapat diganti dengan kata materialistis).

b. Lelaki pemberani itu berhasil mengungkapkan segala isi hatinya kepada gadis yang dia cintai (Kalimat ini dapat diganti dengan menyatakan cinta).

c. Anak perempuan tetangga sebelah telah menyelesaikan masa kuliahnya di Universitas Pertanian (Kalimat ini dapat digantikan dengan kata lulus).

9. Antisipasi

Antitipasi atau prolepsi adalah penggunaan kata sebelum peristiwa atau kejadian yang sebenarnya terjadi. Nafinuddin mendefinisikan antisipasi sebagai gaya bahasa yang pernyataanya menggunakan frasa pendahuluan yang isinya sebenarnya masih akan dikerjakan atau akan terjadi (Nafinuddin, 2020:12).

Seringkali seseorang mengungkapkan suatu hal yang sebenarnya belum terjadi dan mungkin akan terjadi kemudian, penyampaian sesuatu yang belum terjadi ini bisa disebut sebagai gaya bahasa antisipasi. Tarigan berpendapat dalam (Tarigan, 2013:33) dalam berbicara atau menulis, ada saatnya kita mempergnakan terlebih dahulu satu atau beberapa kata sebelum gagasan. Sementara Aruna Laila

berpendapat dalam (Laila, 2015:150) gaya bahasa antisipasi adalah kata yang mendahului tentang sesuatu yang masih akan dikerjakan atau terjadi. Pendapat dari Aruna Laila ini dapat digarisbawahi bagian sesuatu yang masih akan dikerjakan atau terjadi artinya belum terjadi secara langsung berdasarkan konteks kalimat dan pihak yang terlibat. Contoh dari gaya bahasa ini sebagai berikut:

a. Orang itu berbincang bersama calon majikanya.

b. Menteri itu akan menjadi presiden yang bermartabat.

c. Kakak sangat gembira, minggu depan dia akan menjadi seorang sarjana muda.

d. Ayah akan menjadi orang yang sangat kaya kalau tanahnya dijual.

10. koreksio

Koreksio adalah gaya bahasa yang menegaskan sesuatu kemudian dilakukan perbaikan atau dengan kata lain dikoreksi kembali. Ketika seorang penulis mengungkapkan sesuatu pada tulisanya namun masih mengalami keraguan, maka akan dilakukan perbaikan dari kalimat. Menurut Nafinuddin dalam (Nafinuddin, 2020:12) koreksio adalah gaya bahasa yang dalam pernyataanya mula-mula ingin menegaskan sesuatu kemudian memeriksa dan memperbaiki yang mana yang salah. Sejalan dengan pendapat Milandari dalam (Milandari, 2017:381) koreksio yaitu gaya bahasa yang mula-mula menegaskan sesuatu, tetapi kemudian memperbaikinya. Perbaikan dari kata yang salah pada gaya bahasa ini ditandai dengan adanya unsur pendukung seperti kata eh, ah, maaf, tidak yang menunjukan adanya perbaikan atau koreksi dari kalimat sebelumnya sesuai dengan pendapat Tarigan dalam (Tarigan, 2013:34). Contoh dari gaya bahasa ini sebagai berikut:

a. Alamat itu terletak tidak jauh dari sini, eh tapi kalau jalan kaki cukup jauh.

b. Saya sudah makan tadi siang, eh tadi pagi maksudnya.

c. Anda boleh mengganti uangnya minggu depan, ah maksud saya bulan depan.

11. Alusio

Alusio adalah adalah gaya bahasa yang menggunakan sesuatu untuk menyatakan sesuatu yang lain melalui kesamaan antar manusia, peristiwa, atau tempat yang sudah diketahui orang banyak, biasanya dalam legenda, pribahasa, atau sampiran yang sudah lazim diketahui dan digunakan masyarakat. Menurut Nafinuddin dalam (Nafinuddin, 2020:11) Alusio adalah gaya bahasa yang menampilkan adanya persamaan dari sesuatu yang dilukiskan sebagai referen yang sudah dikenal pembaca. Referen yang dimaksud pada pendapat ahli ini ditambahkan oleh Ratna dalam (Ratna, 2013:444) Alusio (majas dengan ungkapan, peribahasa, atau sampiran pantun). Contoh dari gaya bahasa ini sebagai berikut:

a. Yogyakarta dikenal sebagai kota pelajar. (Kota pelajar sebagai referen dari kota Yogyakarta dan sudah diketahui oleh bannyak orang)

b. Kisah hidup Sinta seperti kisah bawang merah dan bawang putih.

(Kehidupan seseorang direferenkan dengan cerita terkenal)

c. Kelakuan Tomi bagaikan Malin Kundang (Tingkah laku tokoh direferenkan dengan legenda Malin Kundang yang tidak asing bagi kebanyakan orang)

12. Tautologi

Tautologi adalah gaya bahasa yang menggunakan kata atau frasa yang searti dengan kata yang telah disebutkan. Menurut Nafinuddin dalam (Nafinuddin, 2020:12) Tautologi adalah sarana retorika yang menyatakan sesuatu secara berulang dengan kata-kata yang maknanya sama supaya diperoleh pengertian yang lebih mendalam. Dengan kata lain gaya bahasa tautologi melakukan perulangan terhadap sebuah kata atau frasa dengan tujuan untuk mempertegas. Ratna menambahkan dalam (Ratna, 2013:444) perulangan kata, kelompok kata, atau sinonimnya, yang kadang-kadang tidak perlu. Adanya perulangan ini memang mempertegas tetapi terkadang tidak diperlukan karena makna yang tersampaikan tidak akan berubah. Contoh dari gaya bahasa ini sebagai berikut:

a. Tak ada petir maupun kilat, tiba-tiba listrik padam. (listrik merupakan sinonim kilat)

b. Rasa sayang dan cintaku padamu sangatlah besar (sayang dan cinta merupakan sinonim)

c. Hanya karena hal itu dia marah dan murka (marah dan murka merupakan sinonim)

13. Disfemisme

Disfemisme adalah gaya bahasa pada majas perbandingan yang menggunakan kata-kata yang tadinya terdengar atau terkesan halus / sopan menjadi terdengar lebih kasar atau bermakna buruk. Menurut Ratna dalam (Ratna, 2013:444) disfemisme adalah gaya bahasa yang menonjolkan kekurangan tokoh.

Contoh dari gaya bahasa ini sebagai berikut:

a. Karena hutang kehidupanya sekarang begitu melarat (melarat = miskin) b. Orang itu telah lama mati (mati = meinggal)

c. Dia adalah bekas pegawai kantor ini (bekas = mantan)

d. Orang itu bertubuh jangkung seperti pensil (jangkung = kurus) 14. Sinestesia

Sinestesia adalah gaya bahasa yang mengungkapkan rasa dari suatu indra yang diungkapkan lewat indra lainnya. Nafinuddin menambahkan dalam (Nafinuddin, 2020:13) dalam sinestesis, perbandingan dilakukan dengan cara membandingkannya dengan sesuatu yang dapat dirasakan oleh panca indera.

Adanya perbandingan yang bisa dirasakan oleh panca indra lainya menjadi ciri utama dari gaya bahasa ini. Ratna menambahkan secara singkat dalam (Ratna, 2013:446) sinestesia adalah penggunaan beberapa indra. Contoh dari gaya bahasa ini sebagai berikut:

a. Suaranya yang merdu dan menyejukan hingga penonton terpukau.

b. Senyuman indahnya merekah dan hangat, membuat orang nyaman.

15. Antonomasia

Antonomasia adalah gaya bahasa yang menggunakan sifat sebagai nama diri atau nama diri lain sebagai jenis. Menurut Ratna dalam (Ratna, 2013:444) Antonomasia adalah sebutan untuk mengganti nama orang. Nafinuddin menambahkan dalam (Nafinuddin, 2020:13) Majas perbandingan yang menyebutkan sesuatu bukan dengan nama asli dari benda tersebut, melainkan dari salah satu sifat benda tersebut. Contoh dari gaya bahasa ini sebagai berikut:

a. Keputusan sidang sudah diambil oleh Yang Mulia. (Yang Mulia merupakan sebutan untuk hakim yang melakukan putusan sidang) b. Lihatlah si pemalas itu masih belum bangun juga. (Si pemalas merupakan

pengganti dari nama sesunggunhya berdasarkan sifat yang melekat) 16. Eponim

Eponim adalah gaya bahasa yang memberikan istilah berdasarkan ciri khusus yang melekat pada benda atau orang tersebut. Ratna dalam (Ratna, 2013:445) Eponim adalah nama yang menunjukan ciri-ciri tertentu. Contoh dari gaya bahasa ini sebagai berikut:

a. Ketampananya sangat terlihat bagaikan Aliando Syarief.

b. Kemampuan mengurus organisasinya sangat tangkas bagaikan pemimpin negara ini.

17. Metonimia

Metonimia adalah gaya bahasa yang menyatakan suatu hal dengan dengan memakai kata lain yang punya keterkaitan dengan sesuatu yang dikenal oleh banyak orang (misalnya sebuah merek dagang). Menurut Nafinuddin dalam (Nafinuddin, 2020:14) metonimia merupakan pengungkapan berupa penggunaan nama untuk benda lain yang menjadi merek, ciri khas, atau atribut. Sedangkan Ratna dalam (Ratna, 2013:445) metonimia adalah gaya bahasa yang menggunakan suatu nama tetapi yang dimaksud benda lain. Contoh dari gaya bahasa ini sebagai berikut:

a. Toni adalah pelanggan utama yang selalu memesan nasi ayam dan Aqua.

(Aqua merupakan merek air mineral)

b. Sinta berangkat ke kota Jakarta naik Garuda. (Garuda adalah perusahaan pesawat terbang)

18. Asosiasi

Asosiasi adalah gaya bahasa yang muncul ketika ada perbandingan dua hal yang berbeda, namun dinyatakan sama. Nafinuddin berpendapat dalam (Nafinuddin, 2020:14) gaya bahasa ini memberikan perbandingan terhadap sesuatu benda yang sudah disebutkan. Dapat diartikan bahwa dengan adanya perbandingan itu menimbulkan asosiasi terhadap benda sehingga gambaran tentang benda atau hal yang disebutkan tersebut menjadi lebih jelas. Contoh dari gaya bahasa ini sebagai berikut:

a. Suaranya merdu bagai terompet pesta.

b. Badanya lemas bagaikan benang dicelup air.

c. Telingaku sakit mendengar suaramu yang seperti kaset kusut.

19. Hipokorisme

Hipokorisme adalah penggunaan nama timangan atau kata yang dipakai untuk menunjukkan hubungan karib. Menurut Nafinuddin dalam (Nafinuddin, 2020:14) Hipokorisme adalah penggunaan nama timangan atau kata yang dipakai untuk menunjukkan hubungan karib. Contoh dari gaya bahasa ini sebagai berikut:

Hipokorisme adalah penggunaan nama timangan atau kata yang dipakai untuk menunjukkan hubungan karib. Menurut Nafinuddin dalam (Nafinuddin, 2020:14) Hipokorisme adalah penggunaan nama timangan atau kata yang dipakai untuk menunjukkan hubungan karib. Contoh dari gaya bahasa ini sebagai berikut:

Dokumen terkait