• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian berjudul Analisis Gaya Bahasa dalam Majas Perbandingan yang digunakan Andrea Hirata pada Novel Edensor: Kajian Semantik. Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan macam gaya bahasa dalam majas perbandingan yang digunakan Andrea Hirata pada novel Edensor. Dalam pelaksanaan penelitian ini, peneliti menggunakan teori semantik, gaya bahasa dan majas sebagai dasar dalam seluruh aktivitas penelitian. Sumber data dari penelitian ini diperoleh dari novel Edensor karya Andrea Hirata.

Penelitian ini tidak terlepas dari hasil penelitian terdahulu yang memiliki relevansi dan sudah tercantum pada bagian penelitian yang relevan di bab II.

Persamaan yang dominan antara penelitian peneliti dengan penelitian yang relevan adalah teori yang digunakan dalam menganalisis yaitu semantik dan pembahasan utama mengenai gaya bahasa dalam majas perbandingan, meskipun terdapat perbedaan terkait temuan dan pendapat ahli yang digunakan untuk penelitian.

Peneliti menemukan dan mendeskripsikan gaya bahasa dalam majas perbandingan yang digunakan oleh Andrea Hirata pada novelnya yang berjudul Edensor.

Peneliti banyak menggunakan teori Tarigan dalam bukunya (Tarigan, 2013) sebagai teori utama sementara pendapat dari Ratna dalam (Ratna, 2013) dan Nafinuddin dalam jurnalnya (Nafinuddin, 2020) peneliti gunakan juga sebagai pendukung dari penelitian ini. Pembahasan yang akan dilakukan oleh peneliti berdasarkan rumusan masalah yang telah disusun pada bagian rumusan masalah yaitu:

1. Jenis gaya bahasa dalam majas perbandingan apa sajakah yang digunakan oleh Andrea Hirata pada novel berjudul Edensor?

2. Makna apa saja yang terdapat pada setiap jenis gaya bahasa dalam majas perbandingan yang digunakan oleh Andrea Hirata pada novel berjudul Edensor?

4.3.1. Jenis Gaya Bahasa Dalam Majas Perbandingan

Majas merupakan sebuah unsur kebahasaan yang mengandung kalimat dengan makna yang bisa berbeda dari kalimat tersebut. Maka diketahui dalam sastra bentuk kias yang dari majas digunakan untuk memberikan efek keindahan pada kalimat atau dengan kata lain memperindah kalimat tersebut sesuai dengan pendapat Endah Prihastuti dalam (Endah Prihastuti, 2017:2) majas berfungsi membantu pembaca untuk menemukan jalan yang tepat untuk mengikuti jalan cerita pada tulisan dengan harapan pembaca dapat memahami makna keseluruhan yang ada pada tulisan tersebut.

Sejalan dengan pendapat dari Prihastuti, Ratna dalam (Ratna, 2013) menyatakan bahwa gaya bahasa sastra merupakan sebuah ragam khusus yang digunakan oleh pengarang untuk memperindah teks. Meskipun memiliki fungsi untuk memperindah bahasa, sebenarnya bahasa kias merupakan penyimpangan bahasa. Menurut Sardani dalam (Sardani, 2018:56) bahasa retorik dan bahasa kias merupakan penyimpangan dari bahasa. Penyimpangan yang dimaksud adalah dari pandangan bahasa yang digunakan sehari-hari, penyimpangan bahasa baku atau standar, penyimpangan makna, dan penyimpangan susunan kata supaya memperoleh makna khusus. Sejalan dengan pendapat dari Hasanuddin dalam

(Hasanuddin, 2003:133) bahasa bermajas adalah bahasa yang menggunakan kata-kata yang susunan dan artinya sengaja dibuat menyimpang dari susunan dan arti biasa. Terlepas dari penyimpangan ini gaya bahasa atau bahasa kias lebih dapat dirasakan manfaatnya dari keindahanya bagi penulis dan pembaca khususnya dalam karya sastra.

Bahasa yang terkandung dalam karya sastra dapat disebut sebagai gaya bahasa sastra. Karya sastra novel khususnya memiliki bentuk dan jenis bahasa kias yang berbeda berdasarkan kebiasaan dan ciri khas pengarang karena setiap novel dibuat berdasarkan hasil pemikiran pengarang, kreativitas pengarang, pengalaman pengarang dan tuntutan konsumen karya sastra tersebut. Pengarang berperan penting dalam merangkai seluruh konsep cerita dalam novel berdasarkan pandanganya, sesuai dengan pendapat Nurhayati dalam (Nurhayati, 2012:12) yang menyatakan novel merupakan pengungkapan dari fragmen kehidupan manusia.

Kehidupan manusia yang dimaksud adalah bersudut pandang dari penulis tentunya, misalkan penulis yang besar dalam masa penjajahan akan menyelipkan kisah perjuangan dalam karyanya, sedangkan penulis yang lahir dalam keadaan yang sejahtera akan memiliki sudut pandang yang lain dalam menuangkan keindahan dalam karyanya.

Majas memiliki beberapa jenis dan setiap jenis memiliki berbagai unsur gaya bahasa yang berbeda-beda. Tarigan dalam (Tarigan, 2013:6) mengklasifikasikan menjadi empat kelompok yaitu; gaya bahasa perbandingan, gaya bahasa pertentangan, gaya bahasa pertautan, dan gaya bahasa perulangan.

Tarigan masih melakukan penyebutan gaya bahasa untuk majas dalam bukunya.

Berdasarkan pendapat Ratna dalam (Ratna, 2009) Majas merupakan unsur-unsur penunjang gaya bahasa. Selanjutnya dilengkapi oleh pendapat Sri Mujiyanti dalam (Mujiyati dkk, 2016:1) Majas sering dianggap sebagai sinonim dari gaya bahasa, namun sebenarnya majas termasuk dalam gaya bahasa. Sedangkan. Berdasarkan pendapat kedua ahli ini mengenai kedudukan majas dan gaya bahasa yang berbeda, maka peneliti dapat mengambil kesimpulan bahwa majas itu berbeda dari gaya bahasa namun keduanya memiliki keterikatan yang tidak bisa dipisahkan.

Pendapat dengan jumlah yang sama namun berbeda dalam jenis dari pendapat Tarigan disampaikan oleh Ratna dalam (Ratna, 2009:164) yang membagi majas kedalam empat jenis dengan perbedaan dalam jenis yaitu majas penegasan, majas perbandingan, majas pertentangan, dan majas sindiran. Memiliki pendapat yang sama dengan Ratna, Anggraini dkk dalam (Anggraini dkk, 2018:4) membagi majas dalam empat bagian yaitu majas perbandingan, majas pertentangan, majas penegasan, dan majas sindiran. Dapat peneliti simpulkan bahwa majas terbagi kedalam empat jenis yang masing-masing jenis memiliki bentuk dan ciri khas masing-masing. Sementara Nafinuddin dalam (Nafinuddin, 2020:4) meggolongkan majas kedalam empat bagian yaitu: majas perbandingan, majas penegasan, majas pertentangan, dan majas sindiran.

Penelitian berjudul Analisis Gaya Bahasa dalam Majas Perbandingan yang digunakan Andrea Hirata pada Novel berjudul Edensor: Kajian Semantik ini yang menjadi pokok pembahasan adalah penggunaan gaya bahasa dalam majas perbandingan oleh Andrea Hirata dalam novelnya yang berjudul Edensor. Menurut Nafinuddin dalam (Nafinuddin, 2020:8) Majas perbandingan adalah majas yang secara melukiskan keadaan apapun dengan menggunakan perbandingan antara satu hal dengan hal yang lain. Perbandingan menjadi kata kunci dari majas ini. Majas perbandingan menurut Tarigan dalam (Tarigan, 2013) dijabarkan menjadi beberapa jenis antara lain: gaya bahasa perumpamaan, gaya bahasa metafora, gaya bahasa personifikasi, gaya bahasa depersonifikasi, gaya bahasa alegori, gaya bahasa antitesis, gaya bahasa pleonasme, gaya bahasa perifrasis, dan gaya bahasa antisipasi, gaya bahasa koreksio. Pembagian yang peneliti anggap pembagian yang paling kompleks karena jenis gaya bahasa yang ada dalam pembagian ini paling mencerminkan definisi dari majas perbandingan meskipun dengan jumlah yang paling minimalis, sesuai dengan definisi dari Hendra Kasmi dalam (Kasmi, 2020:221) majas perbandingan adalah majas yang membandingkan suatu benda atau perilaku makhluk manusia yang satu dengan yang lain melalui proses menyetarakan, menggantikan, dan melebihkan.

Ratna dalam (Ratna, 2013:444) membagi majas perbandingan dalam 21 jenis gaya bahasa, yaitu: gaya bahasa alegori, alusio, antonomasia, disfemisme, epitet, eponim, eufemisme, hipalase, hiperbola, litotes, metafora, metonimia, onomatope, paronomasia, perifrasis, personifikasi, simbolik, simile, sinekdoke, sinestesia, dan tropen. Sedangkan Nafinuddin dalam (Nafinuddin, 2020:8) mengklasifikasikan majas perbandigan dalam 20 jenis gaya bahasa, yaitu: simile, metafora, personifikasi, depersonifikasi, alegori, alusio, antitesis, pleonasme, tautologi, perifrasis, antisipasi, koreksio, antropomorfisme, sintesia, antonomasia, aptronim, metonimia, asosiasi, hipokorisme, tropen.

Analisis data dari sumber yang berupa novel berjudul Edensor karya Andrea Hirata dapat diketahui bahwa peneliti menemukan beberapa jenis gaya bahasa dalam majas perbandingan dari keseluruhan jenis gaya bahasa dalam majas perbandingan yang dipaparkan oleh ahli yang menjadi sumber teori peneliti.

Berdasarkan jumlah data dalam bentuk kata atau frasa yang mengandung gaya bahasa dalam majas perbandingan pada novel Edensor karya Andrea Hirata ditemukan banyak kalimat yang mengandung gaya bahasa dalam majas perbandingan. Banyaknya data yang ditemukan berdasarkan penelitian ini mengindikasikan kegemaran Andrea Hirata sebagai penulis dalam memunculkan keindahan kalimat dengan menggunakan gaya bahasa dalam majas perbandingan.

Namun jika diperhatikan kembali berdasarkan konteks utama penelitian ini tentang penggunaan gaya bahasa dalam majas perbandingan oleh Andrea Hirata dalam novel Edensor hanya ditemukan 8 jenis gaya bahasa. Kedelapan jenis gaya bahasa berdasarkan teori majas perbandingan dari beberapa ahli yang digabungkan menjadi satu kemudian dijabarkan satu persatu sebagai berikut:

Mengingat jenis penelitian ini merupakan penelitian kualitatif maka peneliti tidak perlu menekankan penjabaran pada jumlah temuan data melainkan akan dibahas melalui konsep makna semantik. Pada bagian pembahasan ini jumlah temuan setiap gaya bahasa akan dicantuman pada bagian akhir sebagai faktor tambahan saja tanpa mempengaruhi rumusan masalah sebagai pokok pembahasan utama.

1. Gaya Bahasa Perumpamaan

Berdasarkan teori Tarigan dalam (Tarigan, 2013:9) Gaya bahasa perumpamaan adalah perbandingan dua hal yang pada hakikatnya berlainan dan dengan sengaja dianggap sama dengan menggunakan kata penghubung diantaranya; seperti, bagaikan, umpama, ibarat, laksana, dan lain-lain.

Perbandingan dua hal menjadi kata kunci dari gaya bahasa ini, karena seluruh data yang ditemukan mengandung perbandingan dari dua unsur dengan memanfaatkan kata penghubung sebagai penegas adanya perbandingan. Sesuai dengan pernyataan dari Nafinuddin dalam (Nafinuddin, 2020:8) yang menyatakan bahwa simile merupakan pengungkapan dengan perbandingan eksplisit yang dinyatakan dengan kata depan dan pengubung: seperti layaknya, bagaikan, dan lain-lain. Pada penelitian ini perumpamaan merupakan gaya bahasa yang paling sering ditemukan setelah metafora dan personifikasi. Pada novel Edensor karya Andrea Hirata ini ditemukan sejumlah 17 data yang mengandung gaya bahasa perumpamaan dalam majas perbandingan. Wujud gaya bahasa perumpamaan yang digunakan Andrea Hirata dalam novel Edensor tercermin dalam kalimat berikut:

“Menara Eiffel laksana nyonya besar.” (Hal.79) (S.5)

Contoh kalimat ini terdapat perbandingan dua hal yakni “Menara Eiffel”

dan “nyonya besar”. Kedua unsur ini sangat berbeda dari segi bentuk, namun dianggap memiliki kesamaan oleh pengarang sebagai sesuatu yang megah, menarik, dan memikat hati orang yang melihat. Gaya bahasa perumpamaan pada kalimat ini juga bisa dikenali dengan adanya kata penghubung “laksana” diantara kedua unsur untuk mempertegas perbandingan. Kata “laksana” membandingkan kemegahan bangunan dengan keindahan orang yang menarik dan dominan dibandingkan orang lain. Sesuai dengan pendapat dari Ratna (Ratna, 2013:446) bahwa simile (menggunakan kata-kata pembanding: seperti, laksana, umpama).

2. Gaya Bahasa Metafora

Menurut Ahli Poerwadarminta dalam (Tarigan, 2013:15) Metafora adalah pemakaian kata-kata bukan arti yang sebenarnya, melainkan sebagai lukisan yang berdasarkan persamaan atau berbandingan. Selanjutnya Tarigan menambahkan bahwa metafora merupakan gaya bahasa perbandingan yang paling singkat, padat dan tersusun rapi. Metafora adalah gaya bahasa yang tidak memerlukan adanya kata penghubung seperti seperti, bagaikan, bak, laksana, dan lain-lain, sejalan dengan pendapat Nafinuddin dalam (Nafinuddin, 2020:9) yang menyatakan bahwa dibandingkan dengan majas lainya, metafora merupakan majas yang paling singkat, padat, dan jelas. Setelah pelaksanaan penelitian dapat diketahui bahwa memang metafora merupakan gaya bahasa pada majas perbandingan yang paling jelas dan singkat, karena sifatnya yang mudah untuk diaplikasikan pada kalimat. Unsur yang singkat, ringkas, dan jelas mengakibatkan jenis gaya bahasa ini ditemukan dalam jumlah yang paling banyak. Unsur nya yang singkat dan mudah dipahami terdiri dari dua unsur utama yaitu unsur kenyataan, objek, pemikiran dan unsur pembanding terhadap kenyataan, objek, dan pemikiran itu sendiri, sesuai dengan pendapat Tarigan (Tarigan, 2013:15). Wujud gaya bahasa perumpamaan yang digunakan Andrea Hirata dalam novel Edensor tercermin dalam kalimat berikut:

“Ia telah menulis puluhan puisi untuk belahan hatinya itu, telah menyanyikan lagu dibawah jendela kamarnya, berhujan-hujanan mengejarnya, dan bersepeda puluhan kilometer hanya untuk menemui nya lima menit.” (Hal. 46) (M.8)

Frasa “belahan hati” pada kalimat tersebut menjadi unsur yang menunjukan adanya penggunaan gaya bahasa metafora pada kalimat ini. Belahan hati dapat dibandingkan dengan “kekasih” yang memiliki makna yang sama karena berdasarkan konteks kalimat sebelumnya frasa “belahan hati” mengarah pada tokoh lain yaitu Zakiah Nurmala yang merupakan orang yang dikagumi oleh tokoh Arai namun cintanya bertepuk sebelah tangan. Andrea Hirata menggunakan metafora untuk menggambarkan sosok penting bagi tokoh dalam novel.

3. Gaya Bahasa Personifikasi

Tarigan dalam (Tarigan, 2013:17) menyatakan bahwa personifikasi adalah majas yang melekatkan sifat-sifat makhluk hidup kedalam benda mati seakan-akan benda yang tidak bernyawa tersebut hidup. Dengan kata lain personifikasi adalah salah satu bagian dari majas perbandingan yang memiliki makna sebagai gaya bahasa yang melekatkan sifat-sifat makhluk hidup kepada benda yang tidak memiliki nyawa atau sesuatu yang abstrak. Ratna menyimpulkan dalam (Ratna, 2013:446) personifikasi muncul ketika benda mati dianggap benda hidup. Gaya bahasa personifikasi cukup mudah ditemukan pada novel Edensor karya Andrea Hirata, terbukti dengan banyaknya jumlah data yang ditemukan dalam kalimat mengandung gaya bahasa personifikasi. Penggambaran cerita sering menggunakan perbandingan antara benda, bangunan, tempat, dan suasana yang dituliskan kembali dengan sifat insani. Wujud gaya bahasa perumpamaan yang digunakan Andrea Hirata dalam novel Edensor tercermin dalam kalimat berikut:

“Dalam bingkai itu, aku menggambar gerbang desa Edensor berukir ayam jantan yang berputar seirama belaian angin.” (Hal. 274) (PE.5)

Kata yang mengindikasikan adanya gaya bahasa personifikasi adalah

“belaian” yang disematkan pada “amgin”. Kalimat ini jika dilihat sepintas memberikan gambaran desa Edensor dengan dihiasi ukiran ayam jantan yang berputar searah dengan “belaian” angin. Berdasarkan konteks kalimat dan kalimat sebelumnya dapat diketahui Andrea Hirata bermaksud untuk memberikan makna kata “belaian” yang merupakan tiupan karena angin adalah unsur benda mati yang tidak dapat membelai dengan maksud yang sama dengan membelai yang dilakukan oleh manusia sebagai makhluk hidup.

4. Gaya Bahasa Depersonifikasi

Nafinuddin dalam (Nafinuddin, 2020:9) depersonifikasi adalah gaya bahasa yang melekatkan sifat-sifat suatu benda tak bernyawa pada manusia atau insan.

Depersonifikasi merupakan gaya bahasa yang berkebalikan dengan personifikasi, Depersonifikasi memiliki nama lain pembendaan berdasarkan pendapat Tarigan dalam (Tarigan, 2013:21). Dengan kata lain gaya bahasa depersonifikasi adalah gaya bahasa yang melekatkan sifat benda mati kepada manusia. gaya bahasa depersonifikasi ini terdapat dalam kalimat pengandaian yang secara eksplisit memanfaatkan kata kalau, jika, jikalau, bila, sekiranya, misalkan, umpama, dan andaikan sebagai penjelas gagasan atau harapan (Tarigan, 2013:21). Pada penelitian ini dengan mempertimbangkan definisi dari gaya bahasa depersonifikasi yang menekankan pada pelekatan sifat benda tak bernyawa kepada manusia, peneliti berpendapat bahwa selain kata kalau, jika, jikalau, bila, sekiranya, misalkan, umpama, dan andaikan yang disampaikan oleh Tarigan terdapat kata lain yang sama melambangkan harapan yaitu seperti. Dengan 12 jumlah data yang mengandung gaya bahasa depersonifikasi menunjukan efektifitas penggunaan majas pada novel Edensor karya Andrea Hirata karrena memudahkan penulis dalam menggambarkan kejadian dengan menggunakan sifat benda mati untuk menegaskan konflik maupun penyelesaian masalah pada novel. Wujud gaya bahasa perumpamaan yang digunakan Andrea Hirata dalam novel Edensor tercermin dalam kalimat berikut:

“Aku melangkah seperti rangka kayu yang reot.” (Hal.35) (DE.5)

Depersonifikasi ditandai dengan adanya kata “seperti” diantara dua unsur yaitu “aku” sebagai perlambangan dari makhluk hidup dan “rangka kayu” yang merupakan benda mati dan “reyot” sebagai sifat dari benda mati. Melalui kalimat ini Andrea Hirata menggambarkan tokoh Aku yang diberikan sifat benda mati jika dalam artian yang sesungguhnya.

5. Gaya Bahasa Antitesis

Menurut Poerwadarminta dalam (Tarigan, 2013:26) secara alamiah antitesis berarti “lawan yang tepat” atau “pertentangan yang benar-benar. Dalam data yang ditemukan seluruhnya merupakan kalimat yang mengandung frasa atau kata dalam makna yang berkebalikan. Adanya perbandingan dua unsur yang merupakan lawan kata dengan kandungan unsur semantik yang bertentangan atau bisa dikatakan sebagai sebuah antonim. Sejalan dengan pendapat (Nafinuddin, 2020:11) bahwa antitesis terdiri dari sesuatu yang berlawanan (Antonim). Antitesis pada novel Edensor karya Andrea Hirata ini cukup sulit untuk ditemukan, namun dengan adanya 2 data yang mengandung gaya bahasa antitesis sudah cukup untuk membuktikan bahwa penulis tetap menggunakan konsep pertentangan kata yang benar-benar memiliki makna. Contoh dari antitesis yang ditemukan menyelipkan dua hal yang berbeda secara bentuk dan makna atau bisa dikatakan berlawanan secara semantik pada sebuah kalimat untuk memunculkan efek keindahan bagi pembaca. Dengan memberikan kiasan yang saling berlawanan satu sama lain mengajak pembaca untuk menelaah kembali makna sesungghunya yang ingin disampaikan oleh penulis. Wujud gaya bahasa perumpamaan yang digunakan Andrea Hirata dalam novel Edensor tercermin dalam kalimat berikut:

“Napasnya naik turun menahan rasa.” (Hal.93) (AN.1)

Perbandingan dua hal yang dibandingkan secara lansgung dalam sebuah kalimat yaitu “naik” dan “turun”. Kata naik menurut KBBI bermakna bergerak ke atas atau ke tempat yang lebih tinggi, sedangkan kata “turun” berarti bergerak ke arah bawah, bergerak ke tempat yang lebih rendah. Ketika kedua kata ini digunakan bersamaan pada sebuah kalimat maka akan memunculkan gaya bahasa antitesis.

6. Gaya Bahasa Perifrasis

Tarigan berpendapat dalam (Tarigan, 2013:31) Perifrasis adalah gaya bahasa yang mengungkapkan sesuatu menggunakan kata yang banyak namun sebenarnya bisa dipersingkat untuk mendapatkan makna yang sama dengan sebuah kata saja. Kalimat dapat digantikan dengan sebuah kata yang memiliki makna yang sama merupakan ciri utama dari gaya bahasa perifrasis. Sejalan dengan pendapat (Nafinuddin, 2020:12) perifrasis adalah gaya bahasa yang dalam pernyataanya sengaja menggunakan frasa yang sebenarnya dapat diganti dengan sebuah kata saja.

Kesengajaan ini menandakan bahwa gaya bahasa perifrasis secara tidak langsung mengajarkan pemborosan kalimat. Sesuai dengan pendapat (Ratna, 2013:446) perifrasis (suatu kata diperluas dengan ungkapan). Cukup sulit menemukan data yang mengandung gaya bahasa perifrasis dalam novel Edensor karya Andrea Hirata ini. Peneliti berupaya menjabarkan satu-satunya temuan data pada bagian analisis data dengan berlandaskan teori dasar berbagai ahli bahasa dan contoh perifrasis yang terkandung dalam penelitian lainya. Gaya bahasa perifrasis sebenarnya bisa sering digunakan dalam karya tulis namun pendapat dari peneliti sendiri melakukan pemborosan kata dengan penjelasan yang banyak bisa dilakukan dengan syarat tidak berlebihan maka dapat menambah daya tarik dari novel tersebut. Wujud gaya bahasa perumpamaan yang digunakan Andrea Hirata dalam novel Edensor tercermin dalam kalimat berikut:

“Naluriku berbisik, ayah akan mengambil tindakan ekstrem untuk mengganjarku”. (Hal.23) (PR.1)

Ciri utama dari perifrasis yaitu adanya kata-kata yang banyak dan dianggap berlebihan yang kemudian bisa digantikan dengan satu kata saja untuk menggambarkan keseluruhan kalimat. Seluruh kalimat ini dapat digantikan dengan kata “menghukumku” tanpa merubah makna dari kalimat.

7. Gaya Bahasa Antisipasi

Antisipasi adalah gaya bahasa yang menggunakan kata atau istilah sebelum peristiwa atau kejadian yang sebenarnya terjadi. Gaya bahasa ini dicirikan dengan adanya kata yang menggambarkan keadaan yang belum terjadi namun bisa saja terjadi di masa depan maupun tidak terjadi. Definisi ini dilengkapi oleh (Tarigan, 2013:33) dalam berbicara atau menulis, ada saatnya kita mempergunakan terlebih dahulu satu atau beberapa kata sebelum gagasan. Sejalan dengan pernyataan (Nafinuddin, 2020:12) Seringkali seseorang mengungkapkan suatu hal yang sebenarnya belum terjadi dan mungkin akan terjadi kemudian, penyampaian sesuatu yang belum terjadi ini bisa disebut sebagai gaya bahasa antisipasi.

Berdasarkan definisi dan ciri dari gaya bahasa antisipasi peneliti menemukan sebuah kalimat yang paling sesuai dengan ciri dari gaya bahasa ini. Antisipasi bisa digambarkan juga sebagai ungkapan harapan di masa depan. Contoh data yang ditemukan pada novel ini menggambarkan harapan dari orang tua pada tokoh utama agar kehidupanya dilakukan dengan membawa dampak positif bagi semua orang disekitarnya. Peneliti beranggapan antisipasi dapat disebut juga sebagai pengandaian karena sifanya yang mengungkapkan sesuatu yang belum terjadi dan diandaikan akan terjadi kedepanya. Wujud gaya bahasa perumpamaan yang digunakan Andrea Hirata dalam novel Edensor tercermin dalam kalimat berikut:

“Dengan nama ini, kau pasti jadi santri teladan, Ikal.”. (Hal.21) (PR.1) Bagian yang menandakan adanya antisipasi pada kalimat contoh adalah

“kau pasti jadi santri teladan, Ikal”. Kalimat ini merupakan tuturan dari tokoh Ayah dari Ikal yang berharap dengan merubah nama anaknya kali ini dapat membuat anaknya menjadi santri teladan yang rajin berdoa, menghormati orang tua, dan tidak membawa masalah bagi orang disekitarnya.

8. Gaya Bahasa Koreksio

Koreksio adalah gaya bahasa yang menegaskan atau menjelaskan sesuatu kemudian dilakukan perbaikan atau dengan kata lain dikoreksi kembali oleh penutur itu sendiri. Sesuai dengan denfinisi dari Nafinduddin dalam (Nafinuddin, 2020:12) koreksio adalah gaya bahasa yang dalam pernyataanya mula-mula ingin menegaskan sesuatu kemudian memeriksa dan memperbaiki yang mana yang salah.

Dengan gaya bahasa koreksio pada awalnya suatu hal ditegaskan oleh tokoh, namun kemudian diperiksa kembali dan melakukan perbaikan dari penegasan tersebut.

Adanya perbaikan dari suatu penegasan dilakukan karena tokoh merasa bimbang dan ragu dengan apa yang sebelumnya ditegaskan kemudian lansung diperbaiki sebelum timbul perbantahan maupun pertentangan dari orang lain yang mendengar.

Tarigan menambahkan ciri dari gaya bahasa koreksio dalam (Tarigan, 2013:34) perbaikan dari kata yang salah pada gaya bahasa ini ditandai dengan adanya unsur pendukung seperti kata eh, ah, maaf, tidak yang menunjukan adanya perbaikan atau koreksi dari kalimat sebelumnya. Gaya bahasa koreksio menjadi salah satu yang paling sulit untuk ditemukan pada novel ini, terbukti dengan hanya ditemukan satu data. Minimnya jumlah koreksio pada novel Edensor karya Andrea Hirata ini

Tarigan menambahkan ciri dari gaya bahasa koreksio dalam (Tarigan, 2013:34) perbaikan dari kata yang salah pada gaya bahasa ini ditandai dengan adanya unsur pendukung seperti kata eh, ah, maaf, tidak yang menunjukan adanya perbaikan atau koreksi dari kalimat sebelumnya. Gaya bahasa koreksio menjadi salah satu yang paling sulit untuk ditemukan pada novel ini, terbukti dengan hanya ditemukan satu data. Minimnya jumlah koreksio pada novel Edensor karya Andrea Hirata ini

Dokumen terkait