• Tidak ada hasil yang ditemukan

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

VII. ANALISIS FUNGSI PRODUKSI DAN EFISIENSI UBI JALAR

1.1. Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi. Menurut hasil Sensus Penduduk 2010 (SP2010), jumlah penduduk Indonesia sebesar 237,6 juta orang terdiri dari 119,6 juta orang laki-laki dan perempuan sebanyak 118,0 juta orang. Dibandingkan dengan hasil Sensus Penduduk 2000, telah terjadi penambahan jumlah penduduk sebanyak 32,5 juta orang atau meningkat dengan laju pertumbuhan sebesar 1,49 persen per tahun (BPS 2012). Hal tersebut secara langsung menyebabkan terjadinya peningkatan pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat.

Dalam UU No. 7 tahun 1996 pasal 1, pangan merupakan segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman. Untuk itu, kondisi ketahanan pangan khususnya yang berkaitan dengan penyediaan pangan bagi manusia sangat penting untuk diperhatikan sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 68 tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan. Menurut Peraturan Pemerintah No. 68 tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan pasal 1 ayat 9 dijabarkan sebagai upaya peningkatan konsumsi aneka ragam pangan dengan prinsip gizi seimbang. Ketahanan pangan sebagai suatu kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau telah diamanatkan dalam UU No. 7 tahun 1996. Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Tanaman Pangan 2011 juga telah menargetkan pada tahun 2010-2014 terjadi peningkatan ketahanan pangan sejalan dengan peningkatan produksi per tahun yang rata-rata padi 5,22 persen, jagung 10,02 persen, kedelai 20,05 persen, kacang tanah 10,20 persen, kacang hijau 4,55 persen, ubi kayu 5,54 persen, dan ubi jalar 6,78 persen.

Salah satu solusi dalam upaya mewujudkan ketahanan pangan adalah diversifikasi pangan. Diversifikasi pangan merupakan penganekaragaman produk makanan, namun tidak hanya berfokus pada hal itu saja, melainkan juga harus mengubah ketergantungan masyarakat terhadap salah satu jenis makanan pokok

2 saja seperti beras (BKP 2010). Suyastiri (2008) menyatakan bahwa diversifikasi pangan merupakan hal yang sangat penting karena (1) dalam lingkup skala nasional pengurangan konsumsi beras akan memberikan dampak positif terhadap ketergantungan impor beras, (2) dapat mengubah lokasi sumberdaya ke arah yang efisien, fleksibel, dan stabil jika didukung dengan pemanfaatan potensi lokal, dan (3) diversifikasi konsumsi pangan penting dilihat dari segi nutrisi untuk dapat mewujudkan Pola Pangan Harapan.

Cara yang dapat dilakukan dalam mencapai diversifikasi pangan salah satunya dengan memanfaatkan pangan lokal yang ada seperti umbi-umbian. Hal ini sesuai dengan Permentan No. 43 tahun 2009 tentang Gerakan Percepatan Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal dan Peraturan Presiden No. 22 tahun 2009 tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal. Kedua kebijakan tersebut ditujukan untuk mendorong terwujudnya penyediaan aneka ragam pangan dan peningkatan pangan berbasis potensi sumber daya lokal.

Saat ini masyarakat sayangnya belum memahami benar penganekaragaman pangan berbasis potensi lokal. Masyarakat saat ini sering kali beranggapan bahwa mengkonsumsi makanan pokok selain beras diidentikkan sebagai masyarakat golongan rendah1. Hal ini mengakibatkan ketergantungan terhadap beras tetap tinggi. Bahkan, masyarakat di wilayah Timur Indonesia yang semula tidak mengkonsumsi beras sebagai pangan pokoknya sudah beralih mengkonsumsi beras.

Skor Pola Pangan Harapan (PPH) pada Lampiran 1 menunjukkan bahwa konsumsi beras lebih tinggi daripada bahan pangan sumber karbohidrat alternatif, seperti umbi-umbian, pangan hewani, minyak dan lemak, buah/biji berminyak, kacang-kacangan, gula, sayur dan buah, dan lain-lain. Konsumsi pangan ideal untuk padi-padian adalah 275 gram per kapita per hari, namun pada tahun 2008, konsumsi padi-padian melebihi ideal sebesar 326 gram dan pada tahun 2009 pun masih melebihi keadaan idealnya walaupun sudah menurun dibanding tahun 2009 yakni sebesar 314,4 gram. Bahkan skor PPH tahun 2009 menurun jumlahnya

1

Roadmap Penganekaragaman Pangan:Memadukan Sumber Daya Pemerintah, Swasta, Perguruan Tinggi dan Swasta [http://www.journal.uii.ac.id/index.php/JEP/article/view/50/148]

3 dibandingkan skor PPH tahun 2008. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat penganekaragaman pangan masyarakat masih rendah dilihat dari skor PPH masih dibawah 100. Ini disebabkan karena pola pikir yang berkembang di masyarakat bahwa dikatakan belum makan jika belum mengkonsumsi nasi. Diketahui pula bahwa terjadi penurunan terhadap konsumsi beras, namun secara bersamaan konsumsi bahan pangan lainnya juga ikut menurun seperti umbi-umbian. Jumlah konsumsi pangan umbi-umbian idealnya yaitu 100 gram per kapita per hari, namun pada tahun 2008 hanya 51,7 gram dan pada tahun 2009 hanya 40,2 gram (BPS diolah BKP 2010).

Direktorat Jenderal Tanaman Pangan dalam Renstra tahun 2010-2014 menetapkan tujuh komoditas yang menjadi unggulan nasional, yaitu: padi, jagung, kedelai, kacang tanah, kacang hijau, ubi kayu, dan ubi jalar. Berdasarkan Lampiran 2, produksi tanaman pangan selama periode 2005-2010 mengalami pertumbuhan yang positif untuk lima komoditas unggulan nasional. Selain itu, sub-sektor tanaman pangan juga menyerap tenaga kerja paling besar dibandingkan dengan sub-sektor pertanian lainnya seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1 berikut.

Tabel 1. Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Pertanian tahun 2005-2008 Sub-

sektor

Tahun Rata-rata Laju

Pertumbuh an (%) 2005 2006 2007 2008 Tan. Pangan 22,961,255 22,765,897 22,311,310 23,382,721 22,547,778 2,44 Hortikultu -ra 2,728,861 2,686,072 2,637,874 2,574,835 2,666,165 -1,20 Perkebun- an 10,412,037 10,309,700 10,116,582 9,281,711 10,229,909 -4,18 Total Pertanian 41,561,987 41,229,716 41,907,617 42,689,635 41,599,395 1,27

Sumber: Renstra Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Tahun 2010-2014

Sub-sektor tanaman pangan rata-rata menyerap 22,5 juta orang atau 54,19 persen dari angkatan kerja di sektor petanian dengan laju pertumbuhan terbesar yaitu 2,44 persen per tahun. Lampiran 3 juga menunjukkan bahwa tanaman pangan merupakan sumber penghasilan utama sebagian besar rumah tangga pertanian di Indonesia yaitu sebesar 32,24 persen.

Salah satu komoditas tanaman pangan yang mengalami pertumbuhan adalah ubi jalar. Ubi jalar (Ipomea batatas L.) merupakan salah satu dari dua puluh jenis

4 pangan yang berfungsi sebagai sumber karbohidrat. Ubi jalar berpotensi dikembangkan untuk mendukung program penganekaragaman konsumsi pangan berbasis sumberdaya lokal, karena: (1) sebagai salah satu sumber karbohidrat, (2) produktivitasnya tinggi, (3) potensi diversifikasi produk beragam, (4) zat gizi beragam, dan (5) potensi permintaan pasar lokal, regional, dan ekspor yang terus meningkat (BPPP 2011). Selain itu, ubi jalar pun memiliki beberapa keunggulan dibanding tanaman pangan lain yaitu risiko kegagalan relatif kecil, biaya produksi relatif rendah, pemasaran mudah, daya adaptasi luas, dan hasil olahannya sangat beragam2.

Sentra produksi ubi jalar di Indonesia dengan luas areal di atas 10.000 ha berturut-turut adalah Jawa Barat, Papua, NTT, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Sumatera Utara (Zuraida 2009). Tingkat produksi ubi jalar paling tinggi di Indonesia adalah Jawa Barat yaitu sebesar 422.3 ton. Begitu pun dengan luas panen ubi jalar di provinsi Jawa Barat menempati peringkat kedua sebesar 28 Ha (Lampiran 4). Namun, produktivitasnya menempati peringkat lebih rendah dari peringkat luas panen dan produksi yaitu 150,6 kw/ha (BPS 2012). Karakteristik sistem produksi ubi jalar di Indonesia saat ini dicirikan oleh skala usaha dan penggunaan modal kecil, penerapan teknologi usahatani belum optimal, masih ditempatkan sebagai tanaman samping, kurang tersedianya bibit bermutu menurut agroekosistem, dan belum adanya sistem pewilayahan produksi komoditas ubi jalar3.

Pertumbuhan produksi dan produktivitas ubi jalar di Indonesia pada tahun 2011 terhadap 2010 bernilai positif jika dibandingkan dengan beberapa komoditi lainnya. Dapat dilihat pada Tabel 2 bahwa pertumbuhan 2011 terhadap 2010 produksi ubi jalar sebesar 5.92 persen yaitu dari 2.051 ton menjadi 2.172 ton. Produktivitas ubi jalar pun tumbuh sebesar 7.99 persen dari 113.27 ton pada tahun 2010 menjadi 122.32 persen (Direktorat Jenderal Tanaman Pangan 2011).

2

http://cybex.deptan.go.id [06 Februari 2012] 3

Dr. Handewi P. S. Rachman 2010. Kajian Keterkaitan Produksi, Perdagangan, dan Konsumsi Ubi jalar.[http://km.ristek.go.id/assets/css/reset.css" rel="stylesheet" type="text/css"]

5 Tabel 2. Produksi, Luas Panen, dan Produktivitas Padi dan Palawija di

Indonesia

No. Jenis Komoditi

Tahun Pertumbuhan 2011 terhadap 2010 (%) 2010 2011 ARAM-III 1. Padi Produksi (000 Ton) Luas Panen (000 Ha) Produktivitas (Kw/Ha) 66,469 13,253 50,15 65,385 13,224 49,44 -1,63 -0,22 -1,42 2. Jagung Produksi (000 Ton) Luas Panen (000 Ha) Produktivitas (Kw/Ha) 18,328 4,132 44,36 17,230 3,870 44,52 -5,99 -6,34 0,36 3. Ubi Jalar Produksi (000 Ton) Luas Panen (000 Ha) Produktivitas (Kw/Ha) 2,051 181 113,27 2,172 178 122,32 5,92 -1,92 7,99 Keterangan: ARAM-III = Angka Ramalan-III

Sumber: Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Kementrian Pertanian, 2011

Di provinsi Jawa Barat pun dapat dilihat baik dari sisi produksi dan produktivitas ubi jalar dari tahun 2007-2011 memiliki trend yang terus meningkat seperti yang ditunjukkan pada Lampiran 5. Produktivitas ubi jalar pada tahun 2007 sebesar 133,73 Kw/Ha meningkat menjadi 150.62 Kw/Ha pada tahun 2011. Begitu pun dengan produksi ubi jalar meningkat dari 375.714 ton tahun 2007 menjadi 422.228 ton tahun 2011.

Di beberapa negara, ubi jalar sudah merupakan produk komersial yang cukup diminati. Negara-negara maju telah lama memanfaatkan ubi jalar sebagai produk olahan bernilai gizi tinggi dan secara ekonomis memiliki peluang pasar yang besar (Hasyim 2008). Beberapa varietas unggul seperti Cilembu, Sari, Cangkuan memiliki produktivitas antara 15-30 ton/hektar (Destialisma 2009).

Namun, disaat produksi ubi jalar sangat melimpah yakni saat musim panen raya, nilai jual komoditas ini akan menurun. Hal tersebut sesuai dengan hukum ekonomi yaitu ketika supply meningkat maka harga jualnya akan turun. Untuk itu, perlu dilakukan terobosan agar nilai jual komoditas ini tetap stabil sepanjang tahun. Salah satunya dengan memanfaatkan perkembangan ilmu dan teknologi serta metode pengolahan hasil atau pasca panen yang lebih baik.

Banyak hal telah dilakukan dalam pengolahan pasca panen ubi jalar seperti membuat tepung ubi jalar dan pemanfaatannya dalam pembuatan beberapa produk (Destialisma 2009). Selain itu, tepung ubi jalar juga telah dikembangkan menjadi

6 bahan baku pangan seperti mencoba pemanfaatan tepung ubi jalar dalam pembuatan produk-produk roti, cookies dan biskuit dengan hasil yang cukup memuaskan. Berdasarkan hal tersebut, dapat dilihat bahwa bahan baku berupa ubi jalar diperlukan oleh industri sehingga perlu adanya kesinambungan bahan baku. Namun, budidaya yang selama ini dilakukan oleh petani ubi jalar diindikasikan masih belum efisien. Hal tersebut dilihat dari penggunaan sumber daya yang tidak sesuai anjuran, tingkat pendapatan petani yang rendah, dan produksi ubi jalar masih di bawah potensi produksi (Khotimah 2010).

Dari kedua sudut pandang tersebut, baik dari segi produksi maupun pengolahannya, ubi jalar memiliki prospek yang baik dan sesuai dengan konsep diversifikasi yang telah disebutkan sebelumnya. Oleh karena itu, diperlukan berbagai upaya untuk meningkatkan produksi baik dalam hal kualitas maupun kuantitas.