• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Empiris Efisiensi dan Inefisiensi Teknis

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

VII. ANALISIS FUNGSI PRODUKSI DAN EFISIENSI UBI JALAR

2.3. Tinjauan Empiris Efisiensi dan Inefisiensi Teknis

Efisiensi merupakan hal penting dalam pengukuran keberhasilan pelaksanaan proses produksi. Efisiensi teknik yang tinggi berperan penting dalam upaya peningkatan keuntungan suatu usahatani. Farrell (1957) diacu dalam Tasman (2010), mengajukan pengukuran efisiensi yang terdiri dari dua komponen yaitu efisiensi teknis dan efisiensi alokatif. Efisiensi teknis merupakan kemampuan perusahaan untuk mendapat output maksimum dari satu set input yang tersedia sedangkan efisiensi alokatif merupakan kemampuan dari perusahaan menggunakan input dalam proporsi yang optimal sesuai dengan harga masing- masingnya. Kedua ukuran efisiensi ini kemudian dikombinasikan akan menyediakan ukuran total efisiensi ekonomi.

Salah satu komponen dari pengukuran efisiensi ekonomi adalah efisiensi teknis. Suatu usahatani baru dapat dikatakan efisiensi ekonomi jika sudah mencapai efisiensi teknis (Sukiyono 2005). Hal tersebut menunjukkan bahwa usahatani tersebut sudah menggunakan input produksi yang dimiliki secara optimal. Haryani (2009) melakukan penelitian mengenai efisiensi usahatani padi sawah pada program pengelolaan tanaman dan sumberdaya terpadu di Kabupaten Serang menunjukkan bahwa penyebab usahatani padi sawah efisien secara teknis adalah karena penggunaan input sudah optimal. Tujuan pengoptimalan penggunaan input tersebut adalah untuk memperoleh keuntungan maksimal.

Namun, pada usahatani yang telah efisien secara teknis, belum tentu secara alokatif efisien. Penggunaan input meskipun efisien secara teknis tetapi tidak secara alokatif dapat dilihat dari nilai produk marjinalnya yang lebih rendah dibandingkan harga input (Hutauruk 2008). Menurut Bakhsoodeh dan Thomson diacu dalam Hutauruk (2008), petani yang efisien secara teknis adalah petani yang menggunakan lebih sedikit input untuk memproduksi sejumlah output pada

6

Jasmina dan Goeltom dalam Analisis Efisiensi Perbankan Indonesia : Metode Pengukuran Fungsi Biaya Frontir. 2010

19 tingkat tertentu atau petani yang dapat menghasilkan output yang lebih besar dari petani lainnya dengan menggunakan sejumlah input tertentu.

Identifikasi efisiensi penggunaan sumberdaya merupakan isu penting berbagai peluang dan kontribusinya terhadap pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan rumah tangga tani (Weersink, Turvey & Godah 1990 diacu dalam Adiyoga 1999). Untuk melihat efisiensi penggunaan faktor produksi dapat dilihat dari rasio Nilai Produk Marjinal (NPM) dan Biaya Korbanan Marjinal (BKM) yang harus sama dengan satu (Dumaria 2003).

Penelitian tentang efisiensi teknis usahatani yang telah dilakukan sebelumnya umumnya terdapat multikolineritas atau korelasi antar variabel, terutama lahan sehingga mereka merestriksi modelnya dengan mengelompokkan variabel yang ada menjadi variabel bebas dan variabel terikat. Seperti dalam Rachmina dan Maryono (2008) bahwa variabel luas lahan menimbulkan multikolinearitas pada model sehingga variabel luas lahan dijadikan pebobot pada variabel dependen maupun independen. Setelah model direstriksi, terbentuklah model baru, kemudian jika pada model tersebut masih terdapat multikolinier maka diretriksi kembali hingga didapatkan nilai R2 yang besar dan VIF lebih kecil dari 10 (Astuti 2003; Aisah 2003; Hutauruk 2008).

Variabel faktor produksi yang berpengaruh signifikan terhadap efisiensi teknis adalah luas lahan, tenaga kerja, pupuk, dan insektisida (Astuti 2003, Aisah 2003, Brahmana 2005, Hutauruk 2008). Hal lain yang dapat mengindikasikan faktor-faktor produksi yang mempengaruhi efisiensi teknis usahatani adalah dengan melihat faktor inefisiensi teknis usahatani. Beberapa penelitian mengenai efisiensi teknis menggunakan metode efek inefisiensi teknis. Metode efek inefisiensi teknis yang digunakan mengacu pada model efek inefisiensi teknis yang dikembangkan oleh Battese dan Coelli (1998) (Hutauruk 2008; Maryono 2008; Khotimah 2010). Dalam model tersebut terdapat variabel µi yang berfungsi

untuk menghitung efek inefisiensi.

Faktor yang diperkirakan mempengaruhi tingkat inefisiensi teknis beberapa komoditi dalam usahatani adalah pengalaman berusahatani, pendidikan, pendapatan di luar usahatani, dan kepemilikan lahan (Sukiyono 2005; Hutauruk 2008; Maryono 2008; Haryani 2009; Khotimah 2010). Hutauruk (2008) dan

20 Maryono (2008) menambahkan variabel umur bibit sedangkan Khotimah (2010); Haryani (2009); Sukiyono (2005) menambahkan umur petani sebagai variabel tingkat inefisiensi teknis. Selain itu, Khotimah (2010) juga menggunakan variabel pekerjaan petani di luar usahatani dan penyuluhan dalam analisa efisiensi teknis usahatani ubi jalar dan Maryono (2008) menambahkan rasio urea dan TSP, bahan organik, dan legowo.

Hasil dari beberapa penelitian sebelumnya mengenai faktor yang diperkirakan mempengaruhi tingkat inefisiensi teknis beberapa komoditi dalam usahatani antara lain ditunjukkan pada Tabel 4.

Tabel 4. Faktor yang Diperkirakan Mempengaruhi Tingkat Inefisiensi Teknis Beberapa Komoditi dalam Usahatani

Peneliti Komoditas Variabel Produksi Pengaruhnya terhadap Inefisiensi Sukiyono (2005) Cabai merah

pendidikan formal umur pengalaman (+); nyata (-); tidak nyata (-); tidak nyata

Hutauruk (2008) Padi Benih Bersubsidi

umur bibit

pengalaman berusahatani pendidikan

status kepemilikan lahan pendapatan di luar usahatani jarak tanam (-); tidak nyata (-); nyata (-); tidak nyata (-); nyata (-); tidak nyata (-); tidak nyata Maryono (2008) Padi program benih bersertifikat pengalaman petani pendidikan formal petani umur bibit rasio urea-TSP bahan organik legowo (+); nyata (-); nyata (+); tidak nyata (+); nyata (+); nyata (+); tidak nyata Khotimah,H (2010) Ubi Jalar umur petani

pengalaman berusahatani pendidikan

pekerjaan petani di luar usahatani pendapatan di luar usahatani kepemilikan lahan penyuluhan (-); nyata (+); nyata (-); nyata (+); nyata (-); nyata (+); nyata (-); tidak nyata Prayoga (2010) Padi Organik lahan sawah

jumlah anggota keluarga usia produktif

frekuensi mengikuti penyuluhan

(-); nyata (-); nyata

21 Suatu variabel dikatakan memiliki pengaruh positif (+) terhadap inefisiensi diartikan bahwa setiap peningkatan penggunaan variabel tersebut dalam usahatani menyebabkan tingkat inefisiensi semakin meningkat. Sebaliknya, suatu variabel dikatakan memiliki pengaruh negatif (-) terhadap inefisiensi diartikan bahwa setiap peningkatan penggunaan variabel tersebut dalam usahatani menyebabkan penurunan terhadap tingkat inefisiensi.

Suatu variabel dikatakan berpengaruh nyata terhadap inefisiensi diartikan setiap perubahan yang terjadi pada variabel tersebut baik berupa peningkatan atau penurunan akan berpengaruh pada peningkatan atau penurunan ketidakefisienan teknis suatu usahatani. Sebaliknya, jika suatu variabel dikatakan berpengaruh tidak nyata terhadap inefisiensi diartikan setiap perubahan yang terjadi pada variabel tersebut tidak akan berpengaruh pada peningkatan atau penurunan ketidakefisienan teknis suatu usahatani. Hal tersebut bisa terjadi karena penggunaan variabel tersebut dalam suatu usahatani sudah berlebihan sehingga peningkatan atau penurunan jumlahnya tidak mempengaruhi inefisiensi teknis usahatani.

22

III. KERANGKA PEMIKIRAN

3.1. Kerangka Pemikiran Konseptual 3.1.1. Konsep Usahatani

Usahatani dapat diartikan sebagai kegiatan onfarm dari sistem agribisnis. Mosher (1966) diacu dalam Soeharjo (1973) menggambarkan istilah farm sebagai bagian dari permukaan bumi dimana seorang petani, suatu keluarga tani atau badan tertentu lainnya bercocok tanam atau memelihara ternak. Sejalan dengan hal tersebut, Rifai (1960) diacu dalam Soeharjo (1973) mendefinisikan ilmu usahatani sebagai ilmu yang mempelajari kesatuan organisasi dari alam, tenaga kerja, modal, dan pengelolaan yang ditujukan untuk mendapatkan produksi di lapangan pertanian.

Ilmu usahatani menurut Hernanto (1989) adalah ilmu yang mempelajari dengan lebih terperinci tentang masalah-masalah yang relatif sempit. Sedangkan menurut Daniel (2001), usahatani merupakan kegiatan mengorganisasi (mengelola) aset dan cara dalam pertanian. Diartikan pula sebagai suatu kegiatan yang mengorganisasi sarana produksi pertanian dan teknologi dalam suatu usaha yang menyangkut bidang pertanian. Ilmu usahatani merupakan ilmu yang mempelajari cara-cara petani menentukan, mengorganisasikan, dan mengkoordinasikan penggunaan faktor-faktor produksi seefektif dan seefisien mungkin sehingga usaha tersebut memberikan pendapatan semaksimal mungkin (Suratiyah 2009).

Usahatani terbagi menjadi dua, yakni usahatani subsisten dan usahatani komersial. Usahatani subsisten hanya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Sedangkan usahatani komersial sudah berorientasi pada pemenuhan kebutuhan masyarakat banyak. Secara umum, sebagian besar petani masih menerapkan pola subsisten yakni usahatani dilakukan untuk memenuhi kebutuhan keluarga atau belum sepenuhnya ditujukan untuk dijual ke pasar (pola komersial). Soekartawi (1986) mengatakan pola subsisten ini biasanya dilakukan oleh petani kecil. Usahatani tersebut memiliki keterbatasan dalam hal sumberdaya seperti kekurangan modal, pendapatan yang rendah, namun cara kerjanya tidak sama.

23 Tujuan petani kecil melakukan usahatani adalah menggunakan seefisien mungkin sumberdaya yang dimiliki.

Soeharjo (1973) membuat klasifikasi usahatani menjadi empat hal yaitu: (1) menurut bentuknya yaitu berdasarkan cara penguasaan unsur-unsur produksi dan pengelolaannya, dibedakan atas penguasaan faktor-faktor produksi oleh petani seperti usahatani perorangan, kolektif, dan koperatif. Usahatani perorangan merupakan usahatani yang penyusunan unsur-unsur produksi dan pengelolaannya dilakukan oleh seseorang. Usahatani kolektif merupakan suatu bentuk usahatani yang unur-unsur produksinya dimiliki organisasi secara kolektif baik dengan cara membeli, menyewa, menyatukan milik perseorangan, atau berasal dari pemberian pemerintah. Usahatani kooperatif merupakan bentuk peralihan antara usahatani perorangan dengan kolektif. Pada usahatani koperatif, tidak semua unsur-unsur produksi dikuasai bersama seperti lahan yang masih milik perseorangan.

(2) menurut coraknya yaitu berdasarkan tujuan ingin mencapai sesuatu dari hasil kegiatan usahanya, seperti usahatani yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan keluarga (subsisten) dan untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya (komersil).

(3) menurut polanya yaitu pola usahatani ditentukan menurut banyaknya cabang usahatani yang diusahakan. Berdasarkan hal tersebut, maka usahatani dapat dibedakan menjadi usahatani khusus yaitu apabila usahatani hanya mempunyai satu cabang usaha, usahatani tidak khusus saat petani mengusahakan beragam cabang usahatani, dan usahatani campuran yaitu suatu bentuk usahatani yang diusahakan secara bercampur baik sesama tanaman maupun tanaman dengan ternak. Usahatani campuran dikenal pula dengan istilah tumpang sari.

(4) menurut tipenya yaitu usahatani yang digolongkan dalam beberapa tipe jenis tanaman atau hewan yang diusahakan. Setiap daerah mempunyai kondisi yang berbeda satu sama lain baik perbedaan fisik, ekonomi, maupun perbedaan yang tidak termasuk pada keduanya.

Ilmu usahatani pada dasarnya memerhatikan cara-cara petani memperoleh dan memadukan sumberdaya atau faktor produksi yang terbatas untuk mencapai tujuannya. Menurut Daniel (2001) faktor produksi merupakan persyaratan yang harus dipenuhi agar proses produksi dapat berjalan. Faktor produksi dalam usaha

24 pertanian mencakup tanah, modal, tenaga kerja, dan manajemen. Masing-masing faktor mempunyai fungsi yang berbeda dan saling terkait satu sama lain. Jika salah satu faktor produksi tidak tersedia, maka proses produksi tidak dapat berjalan. Hernanto (1989) menyatakan empat unsur pokok atau faktor-faktor produksi dalam usahatani :

1) Tanah

Tanah menjadi faktor kunci dalam usaha pertanian. Tanah diartikan bukan hanya terbatas pada wujud nyata tanah saja, namun juga diartikan sebagai tempat dimana usahatani dijalankan. Lahan usahatani dapat berupa tanah pekarangan, tegalan, sawah, kandang, kolam, dan sebagainya. Dengan mengetahui keadaan mengenai tanah, usahatani dapat dilakukan dengan baik. Faktor produksi tanah terdiri dari beberapa faktor alam lainnya seperti air, udara, temperatur, sinar matahari, dan lainnya. Keberadaan faktor produksi ini tidak hanya dilihat dari segi luas atau sempitnya, namun juga dari segi jenis tanah, jenis pengunaan lahan, topografi, kepemilikan/penguasaan lahan, fragmentasi lahan, dan konsolidasi lahan.

2) Tenaga kerja

Dalam ilmu ekonomi, kerja diartikan sebagai daya manusia untuk melakukan usaha atau ikhtiar yang dijalankan untuk memproduksi benda-benda (Soeharjo 1973). Tenaga kerja merupakan pelaku dalam usahatani untuk menyelesaikan beragam kegiatan produksi. Tenaga kerja dianggap sebagai faktor mutlak karena keberadaan dan fungsinya. Tenaga kerja adalah alat kekuatan dan otak manusia yang tidak dapat dipisahkan dari manusia dan ditujukan pada usaha produksi. Soeharjo (1973) membagi tenaga kerja dalam usahatani berdasarkan sumbernya menjadi dua yaitu tenaga kerja dalam keluarga (TKDK) dan tenaga kerja luar keluarga (TKLK). TKDK merupakan tenaga kerja dalam terdiri dari kepala keluarga, istri dan anak sedangkan TKLK merupakan tenaga kerja luar keluarga yang dibayar.

3) Modal

Modal menjadi faktor produksi yang mutlak diperlukan dalam usahatani. Modal merupakan aset berupa uang atau alat tukar yang akan digunakan untuk pengadaan sarana produksi. Modal dapat dibagi dua, yaitu modal tetap dan modal

25 bergerak. Modal tetap adalah barang-barang yang digunakan dalam proses produksi yang dapat digunakan beberapa kali seperti mesin, pabrik, dan gedung. Modal bergerak adalah barang-barang yang digunakan untuk sekali pakai atau barang-barang yang habis digunakan dalam proses produksi seperti bahan mentah, pupuk, dan bahan bakar. Sumber modal dapat diperoleh dari milik sendiri, pinjaman atau kredit (kredit bank, kerabat, dan lain-lain), warisan, usaha lain atau kontrak sewa. Keberadaan modal sangat menentukan tingkat atau jenis teknologi yang akan digunakan serta dapat berakibat positif dan negatif bagi usahatani. Penggunaan modal berfungsi membantu meningkatkan produktivitas dan menciptakan kekayaan serta pendapatan usahatani.

4) Pengelolaan atau Manajemen

Manajemen/pengelolaan usahatani adalah kemampuan petani bertindak sebagai pengelola atau manajer dengan menentukan, mengorganisir, dan mengkoordinasikan faktor-faktor produksi dari usahanya. Faktor manajemen berfungsi untuk mengelola faktor produksi lain seperti tanah, tenaga kerja, dan modal. Pengelolaan faktor produksi yang dimaksud adalah memaksimalkan produk dengan mengombinasikan faktor produksi yang tersedia atau meminimal- kan faktor produksi tersebut dengan jumlah produk tertentu.

3.1.2. Konsep Pendapatan Usahatani

Analisis pendapatan mempunyai kegunaan bagi petani. Soeharjo (1973) menyebutkan terdapat dua tujuan utama dari analisis pendapatan, yaitu menggambarkan keadaan sekarang dari suatu kegiatan usaha dan menggambarkan keadaan yang akan datang dari perencanaan atau tindakan. Bagi seorang petani, analisis pendapatan memberikan bantuan untuk mengukur apakah kegiatan usahanya pada saat ini berhasil atau tidak. Soekartawi et al. (1986) mendefinisikan beberapa ukuran arus uang tunai, diantaranya sebagai berikut: 1. Penerimaan tunai usahatani merupakan nilai uang yang diterima dari penjualan

produk usahatani. Nilai produk usahatani yang dikonsumsi tidak dihitung sebagai penerimaan tunai usahatani.

2. Pengeluaran tunai usahatani didefinisikan sebagai jumlah uang yang dibayarkan untuk pembelian barang dan jasa bagi usahatani. Nilai kerja yang dibayarkan dengan benda tidak dihitung sebagai pengeluaran tunai usahatani.

26 3. Selisih antara penerimaan tunai usahatani dengan pengeluaran tunai usahatani

disebut pendapatan tunai usahatani.

Penerimaan usahatani merupakan hasil kali antara harga jual yang diterima petani per satuan dengan jumlah produksi yang dihasilkan. Penerimaan usahatani meliputi dua hal yaitu penerimaan tunai dan tidak tunai. Penerimaan tunai didapatkan dari hasil yang dijual sedangkan penerimaan tidak tunai adalah hasil yang dikonsumsi sendiri oleh petani. Penerimaan tunai usahatani merupakan ukuran kemampuan usahatani untuk menghasilkan uang tunai.

Soeharjo (1973) menjelaskan penerimaan usahatani berwujud tiga hal, yaitu hasil penjualan tanaman, ternak, ikan, atau produk yang akan dijual, produk yang dikonsumsi pengusaha dan keluarganya selama melakukan kegiatan, dan kenaikan nilai inventaris.

Istilah lainnya dalam penerimaan usahatani adalah pendapatan kotor usahatani. Pendapatan kotor usahatani merupakan nilai produk total usahatani dalam jangka waktu tertentu, baik yang dijual maupun tidak dijual, mencakup semua produk yang dijual, dikonsumsi rumah tangga petani, digunakan dalam usahatani untuk bibit ataupun makanan ternak, digunakan untuk pembayaran, dan disimpan atau ada di gudang pada akhir tahun (Soekartawi et al. 1986).

Pengeluaran atau biaya dalam usahatani terdiri atas dua hal yaitu biaya tunai dan biaya diperhitungkan atau tidak tunai (Soekartawi et al. 1986). Biaya tunai merupakan pengeluaran uang tunai yang dikeluarkan secara langsung oleh petani. Biaya yang diperhitungkan merupakan pengeluaran petani berupa faktor produksi tanpa mengeluarkan uang tunai. Soekartawi et al. (1986) juga menyatakan bahwa apabila dalam usahatani itu digunakan mesin-mesin pertanian, maka harus dihitung penyusutannya dan dianggap sebagai pengeluaran.

Penyusutan merupakan penurunan nilai inventaris yang disebabkan karena hilang, rusak, dan pengaruh umur atau karena digunakan (Soeharjo 1973). Untuk menghitung penyusutan didasarkan pada harga perolehan (cost) sampai dengan modal tersebut dapat memberikan manfaat (Suratiyah 2009). Soeharjo (1973) menyebutkan terdapat empat cara untuk menghitung penyusutan, yaitu (1) menghitung selisih antara nilai penjualan pada awal tahun dengan nilai penjualan pada akhir tahun, (2) menggunakan sistem garis lurus dimana penyusutan

27 dianggap sama besarnya untuk setiap saat. Besarnya penyusutan sama dengan harga pembelian dikurangi harga tidak terpakai dibagi dengan lamanya pemakaian, (3) menggunakan sistem penyusutan yang menurun, yaitu dengan menentukan persentase tertentu terhadap nilai pembelian yang telah dipotong penyusutan tahun sebelumnya, (4) menggunakan sistem sebanding dengan jumlah angka-angka tahun.

Menurut Soekartawi et al. (1986), pengeluaran total usahatani didefinisikan sebagai nilai semua masukan yang habis terpakai atau dikeluarkan di dalam produksi, tetapi tidak termasuk tenaga kerja dalam keluarga. Pengeluaran total usahatani dipisahkan menjadi pengeluaran tetap dan pengeluaran tidak tetap. Pengeluaran tetap merupakan pengeluaran usahatani yang besarnya tidak bergantung kepada besarnya produksi. Pengeluaran tidak tetap atau variabel merupakan pengeluaran yang digunakan untuk tanaman atau ternak dan jumlahnya berubah sebanding dengan besarnya produksi tanaman atau ternak tersebut.

Soekartawi et al. (1986) menyatakan selisih antara pendapatan kotor usahatani dengan pengeluaran total usahatani disebut pendapatan bersih usahatani. Pendapatan bersih usahatani mengukur imbalan yang diperoleh keluarga petani dari penggunaan faktor-faktor produksi kerja, pengelolaan, dan modal milik sendiri atau modal pinjaman yang diinvestasikan ke dalam usahatani. Pendapatan bersih usahatani mengukur keuntungan usahatani yang dapat dipakai untuk membandingkan penampilan beberapa usahatani. Soekartawi et al. (1986) mendefinisikan pendapatan usahatani sebagai kelebihan uang tunai usahatani ditambah dengan penerimaan tunai rumah tangga seperti upah kerja yang diperoleh dari luar usahatani.

Pendapatan bersih usahatani juga dapat diketahui melalui analisis R/C rasio. R/C rasio menunjukkan penerimaan usahatani yang akan diperoleh petani untuk setiap rupiah biaya yang dikeluarkan dalam usahatani. Semakin besar nilai R/C menunjukkan bahwa semakin besar pula penerimaan usahatani yang diperoleh untuk setiap rupiah biaya yang dikeluarkan. Hal tersebut menyimpulkan bahwa kegiatan usahatani tersebut menguntungkan untuk dilaksanakan.

28 Kegiatan usahatani dikatakan layak jika nilai R/C rasio menunjukkan angka lebih dari satu, artinya setiap penambahan biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan tambahan penerimaan yang lebih besar daripada tambahan biayanya. Sebaliknya jika nilai R/C rasio lebih kecil dari satu menunjukkan bahwa tambahan biaya setiap rupiahnya menghasilkan tambahan penerimaan yang lebih kecil sehingga kegiatan usahatani dikatakan tidak menguntungkan. Jika nilai R/C rasio sama dengan satu artinya usahatani memperoleh keuntungan normal.

3.1.3. Konsep Fungsi Produksi

Fungsi produksi merupakan hubungan fisik atau hubungan teknik antara macam dan jumlah korbanan yang digunakan dengan jumlah produk yang dihasilkan (Soeharjo 1973). Menurut Daniel (2001), fungsi produksi merupakan suatu fungsi yang menunjukkan hubungan hasil fisik (output) dengan input. Tindakan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produksi adalah dengan cara menambahkan jumlah salah satu atau lebih dari input yang digunakan. Soekartawi (2002) menjelaskan bahwa fungsi produksi adalah hubungan fisik antara produksi/variabel yang dijelaskan (Y) dengan masukan/variabel yang menjelaskan (Xi). Variabel yang dijelaskan (Y) berupa produksi dan (Xi) berupa input produksi i, sehingga besar kecilnya Y bergantung dari besar kecilnya X1, X2, X3,..,

Xm yang digunakan. Pengertian lain dari fungsi produksi adalah menunjukkan

berapa output yang dapat diperoleh dengan menggunakan sejumlah variabel input yang berbeda. Secara aljabar hubungan Y dan X ditulis sebagai berikut :

Y = f {X1, X2,...,Xn}

dimana : Y = produksi X1 = input X1

X2 = input X2

Xn = input X yang ke-n

Masukan X1, X2, X3,...,Xm dikelompokkan menjadi dua yaitu input yang

dapat dikuasai seperti luas tanah, jumlah pupuk, tenaga kerja, dan lainnya serta input yang tidak dapat dikuasai seperti iklim. Input yang digunakan dalam suatu fungsi produksi belum tentu digunakan pula pada fungsi produksi lainnya. Hal ini tergantung dari penting tidaknya pengaruh input tersebut terhadap produksi.

29 Dalam memilih bentuk fungsi produksi sebaiknya secara teoritis model tersebut dapat dipertanggungjawabkan, dapat diduga dengan baik dan mudah serta analisisnya memiliki implikasi ekonomi (Soekartawi 2002). Kurva produksi juga dapat dilihat pada Gambar 1 di bawah ini.

B

Sumbu X menunjukkan besaran faktor produksi dan sumbu Y mengukur produksi total yang dihasilkan. Pada saat kurva PT (produksi total) berubah ke titik B maka saat itu kurva PM mencapai titik maksimum. Pada saat itu, law of diminishing returns mulai berlaku. Titik M menunjukkan titik dimana kurva PT mencapai maksimum. Pada saat bersamaan, kurva PM memotong sumbu X yaitu pada saat PM menjadi negatif. Produk marginal (PM) adalah tambahan satu satuan produksi atau hasil yang diperoleh akibat penambahan satu satuan input. Produk marginal dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Gambar 1. Hubungan antara produk total, produk rata-rata, dan produk marginal dalam proses produksi.

Sumber: (Coelli, et. al. 1998)

PTI [y=f(x1| x2=x20] Y X1 0 0 X1 AP, MP AP1 MP1 M

30 Produk marginal =

Namun, penambahan input tidak selamanya menghasilkan penambahan output. Apabila sudah jenuh (melewati titik maksimum) maka pertambahan hasil akan semakin kecil (law of diminishing returns). Artinya setiap penambahan satu unit masukan akan mengakibatkan proporsi unit tambahan produksi yang semakin kecil dibanding unit tambahan masukan tersebut. Kemudian produk total (PT) adalah jumlah produk atau hasil yang diperoleh dalam proses produksi. Sedangkan produk rata-rata (PR) adalah perbandingan antara produk total dengan input produksi.

3.1.4. Konsep Efisiensi

Efisiensi merupakan faktor penting dalam menentukan produksi. Menurut Soekartiwi (2002), efisiensi diartikan sebagai upaya penggunaan input yang sekecil-kecilnya untuk mendapatkan produksi yang sebesar-besarnya. Suatu hal dikatakan efisien jika dapat menghasilkan output lebih tinggi dengan penggunaan sejumlah input yang sama atau penggunaan input lebih rendah untuk menghasilkan sejumlah output tertentu.

Soekartawi (2002) menjelaskan bahwa terdapat tiga konsep efisiensi yaitu efisiensi teknis (technical efficiency), efisiensi harga (price/allocative efficiency), dan efisiensi ekonomis (economic efficiency). Efisiensi teknis tercapai saat sejumlah faktor produksi yang ada menghasilkan output yang tinggi, sedangkan efisiensi harga terjadi saat keuntungan tinggi yang diperoleh dari suatu usahatani disebabkan oleh pengaruh harga. Kemudian, efisiensi ekonomis merupakan perbandingan antara hasil yang diperoleh dengan biaya yang dikeluarkan. Efisiensi ekonomis terjadi jika peningkatan hasil dari usahatani diperoleh dengan menekan harga faktor produksi dan menjual hasil tersebut dengan harga yang tinggi.

Pengukuran efisiensi yang diajukan oleh Farrell (1957) diacu dalam Coelli

et al. (1998) terdiri dari dua komponen: efisiensi teknis yang merefleksikan kemampuan perusahaan untuk mendapat output maksimum dari satu set input yang tersedia, dan alokatif efisiensi yang merefleksikan kemampuan dari