• Tidak ada hasil yang ditemukan

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

VII. ANALISIS FUNGSI PRODUKSI DAN EFISIENSI UBI JALAR

2.1. Tinjauan Empiris Ubi Jalar

Ubi jalar memiliki peranan yang cukup besar dalam pembangunan pertanian. Prospek ubi jalar pun sangat cerah jika dikelola baik dengan sistem agribisnis yang terintegrasi dari subsistem hulu hingga hilir. Ubi jalar mudah dibudidayakan di seluruh wilayah Indonesia menunjukkan bahwa komoditas ini dikenal dan diterima masyarakat sebagai bahan pangan atau digunakan untuk substitusi pangan pokok. Pengolahan ubi jalar juga sangat potensial untuk dikembangkan sebagai bahan diversifikasi pangan.

Ubi jalar mempunyai potensi dan peluang besar untuk dimanfaatkan dalam agroindustri sekaligus diversifikasi pangan (Harwono et.al. 1994 diacu dalam Zuraida 2009). Dengan produktivitas 35 ton/ha umbi, ubi jalar mampu menghasilkan 48 x 106 kalori/ha/hari sedangkan padi menghasilkan 33 x 106 kalori/ha/hari atau dengan kata lain ubi jalar menghasilkan kalori 45 persen lebih tinggi dari padi (De Vries et al. 1976 diacu dalam Zuraida 2009).

Potensi ubi jalar yang beragam memungkinkan ubi jalar menjadi salah satu komoditi ekspor Indonesia seperti ke Singapura, Belanda, Amerika Serikat, Jepang dan Malaysia. Ubi jalar dapat digunakan sebagai bahan pangan, pakan, dan bahan baku bagi industri seperti yang telah dilakukan di negara-negara maju. Selain itu, bercocok tanam ubi jalar pun dapat mengisi potensi lahan kering di Indonesia dan pemenuhan kebutuhan pangan pada masa datang seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk Indonesia.

Adapun petunjuk teknologi budidaya ubi jalar menurut Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat 2012 sebagai berikut:

1) Syarat Tumbuh

Daerah yang paling ideal untuk budidaya ubi jalar adalah daerah yang bersuhu 21-27oC dan mendapat sinar matahari 11-12 jam/hari. Pertumbuhan dan produksi yang optimal untuk usahatani ubi jalar tercapai pada musim kering (kemarau). Di tanah yang kering (tegalan) waktu tanam yang baik untuk tanaman ubi jalar yaitu pada waktu musim hujan, sedang pada tanah sawah waktu tanam yang baik yaitu sesudah tanaman padi dipanen. Tanaman ubi jalar dapat ditanam

11 di daerah dengan curah hujan optimal antara 750-1500 mm/tahun dan berada pada ketinggian 0-1.500 m dpl.

2) Penyiapan Bibit

Teknik perbanyakan tanaman ubi jalar yang sering dilakukan petani adalah dengan stek batang atau pucuk. Bibit yang berupa stek harus memenuhi syarat: tanaman telah berumur 2 bulan atau lebih, panjang stek antara 20-30 cm, disimpan ditempat teduh selama 1–7 hari. Jumlah bibit yang dibutuhkan untuk areal penanaman 1 hektar tergantung pada jarak tanam. Untuk jarak tanam 75x30 cm maka kebutuhan bibitnya sekitar 32.000 stek.

3) Penyiapan Lahan

Penyiapan lahan sebaiknya dilakukan pada saat tanah tidak terlalu basah atau tidak terlalu kering, lengket atau keras. Cara penyiapan lahan dimulai dengan mengolah tanah terlebih dahulu hingga gembur, kemudian dibiarkan selama satu minggu, selanjutnya dibuat guludan-guludan, tanah diolah langsung bersamaan dengan pembuatan guludan, lebar guludan bawah 60 cm, tinggi 30–40 cm, lebar atas 40 cm, dan jarak antar guludan 80–100 cm.

4) Penanaman

Penanaman ubi jalar di lahan kering (tegalan) biasanya dilakukan pada awal musim hujan (Oktober) atau akhir musim hujan (Maret). Di lahan sawah, waktu tanam yang paling tepat adalah setelah padi rendengan atau padi gadu, yakni pada awal musim kemarau. Stek ditanam miring dengan kedalaman tanam 10-15 cm (4-6 ruas) dengan jarak tanam 10-15 cm.

5) Pemeliharaan tanaman

Pemeliharaan tanaman terdiri atas lima bagian yaitu penyulaman, pengairan, penyiangan dan pembumbunan, pemupukan, serta pengendalian hama dan penyakit.

a) Penyulaman

Penyulaman merupakan suatu kondisi dimana terdapat bibit yang mati atau tumbuh abnormal sehingga harus segera disulam (ditanam kembali) dan dilakukan sesegera mungkin.

12 b) Pengairan

Pemberian air dilakukan selama 15–30 menit hingga tanah (guludan) cukup basah, kemudian airnya dialirkan ke saluran pembuangan. Pengairan berikutnya masih diperlukan secara rutin hingga tanaman berumur 1-2 bulan. Pengairan dihentikan pada umur 2 – 3 minggu sebelum panen.

c) Penyiangan dan Pembumbunan

Penyiangan dilakukan secara manual dengan menggunakan kored/cangkul pada umur 2,5 dan 8 MST (Minggu Setelah Tanam). Setiap satu bulan sekali dilakukan pembalikan tanaman untuk menghindari menjalarnya tanaman ke segala arah. Pembumbunan dapat dilakukan pada umur 2–3 minggu setelah tanam.

d) Pemupukan

Pemupukan ubi jalar dilakukan dua kali, pemupukan pertama saat tanam dengan 1/3 dosis pupuk nitrogen, 1/3 dosis kalium ditambah seluruh dosis fosfor. Pemupukan kedua, pada saat tanaman berumur 45 hari setelah tanam, dipupuk dengan 2/3 dosis nitrogen dan 2/3 dosis kalium. Dosis pupuk yang dianjurkan dalam usahatani ubi jalar adalah 45-90 kg N/Ha (100-200 kg urea/Ha) ditambah 25 kg P2O5/Ha (50 kg TSP/Ha), dan 50 kg K2O/Ha (100 kg KCl/Ha).

e) Pengendalian Hama dan Penyakit

Perlindungan tanaman dari OPT (Organisme Pengganggu Tanaman) dilakukan secara terpadu seperti berikut:

- Secara kultur teknis, diantaranya mengatur waktu tanam yang tepat, rotasi tanaman, sanitasi kebun, dan penggunaan varietas yang tahan hama dan penyakit. - Secara fisik dan mekanis, yaitu dengan memotong atau memangkas atau mencabut tanaman yang sakit atau terserang hama dan penyakit cukup berat, dikumpulkan dan dimusnahkan.

- Secara kimiawi yaitu dengan menggunakan pestisida secara selektif dan bijaksana.

6) Panen

Ubi jalar berumur pendek (genjah) dapat dipanen pada umur 3-3,5 bulan, sedangkan varietas berumur panjang (dalam) dipanen pada umur 4,5–5 bulan. Tahap-tahap panen ubi jalar adalah dengan memotong (pangkas) batang ubi jalar

13 dengan sabit atau parang, kemudian disingkirkan dan dilanjutkan menggali guludan dengan cangkul hingga terkuak ubinya, ubi tersebut diambil dan dikumpulkan ke tempat pengumpulannya, selanjutnya ubi dibersihkan dari tanah atau kotoran dan akar yang masih menempel, dan terakhir dilakukan seleksi dan sortasi.

Berdasarkan pada beberapa penelitian sebelumnya, pemilihan lokasi penelitian mengenai ubi jalar dilakukan secara purposive karena lokasi tersebut merupakan sentra produksi ubi jalar (Khotimah 2010; Herdiman 2010; Defri 2011). Dikatakan sebagai sentra produksi ubi jalar karena baik dari segi luas areal, produksi, dan produktivitasnya tinggi.

Masyarakat di daerah penelitian membudidayakan ubi jalar karena faktor budaya dimana bercocok tanam ubi jalar sudah dilakukan sejak zaman nenek moyang mereka. Selain itu, kesesuaian agroklimat di daerah penelitian pun menjadikan ubi jalar banyak ditanam. Input yang digunakan dalam usahatani ubi jalar antara lain bibit, pupuk, obat-obatan, lahan, tenaga kerja, dan modal. Ubi jalar termasuk salah satu tanaman pangan yang mudah dibudidayakan bahkan di lahan kering masam. Usahatani ubi jalar di lahan kering masam mempunyai tingkat keuntungan, efisiensi ekonomi, dan daya kompetitif yang tinggi daripada usahatani kacang hijau, kacang tanah dan kedelai tetapi lebih rendah dari jagung (Krisdiana dan Heriyanto 2011).

Indikator yang penting untuk diperhatikan dalam budidaya ubi jalar adalah penggunaan sarana produksi, teknik budidaya, dan pemasaran (Herdiman 2010). Namun, selama ini budidaya ubi jalar masih dilakukan secara tradisional dan belum menerapkan teknik budidaya yang sesuai dengan teori dan anjuran penyuluh serta pola tanam yang dilakukan dalam usahatani ubi jalar adalah sistem monokultur (Khotimah 2010; Defri 2011). Budidaya yang dilakukan hanya berdasarkan pengalaman usahatani pada masing-masing petani. Budidaya ubi jalar dapat dilakukan secara organik ataupun konvensional seperti pada umumnya. Kelebihan budidaya ubi jalar secara organik adalah umbi lebih keras sehingga lebih cocok jika disalurkan ke pabrik keripik dan masa panennya pun dapat ditunda sampai usia tujuh bulan tanpa kebusukan pada umbi. Sedangkan budidaya ubi jalar secara konvesional dengan menggunakan pupuk kimia kelebihannya

14 adalah umbi cepat besar dan masa panen lebih cepat namun umbi cepat membusuk jika tidak segera dipanen (Herdiman 2010).

Bibit yang digunakan dalam usahatani ubi jalar dapat berasal dari hasil produksi sebelumnya, produksi petani lain, dan hasil pembibitan sendiri. Penentuan varietas tertentu yang ditanam di daerah penelitian karena varietas tersebut memiliki rasa yang manis, produktivitas tinggi, tahan terhadap hama penyakit, harga jual tinggi, dan permintaannya di pasar selalu ada sepanjang tahun (Khotimah 2010; Defri 2011).

Ubi jalar dapat dipanen saat umur tanaman 4,5-6 bulan. Umur panen ubi jalar dipengaruhi oleh kebutuhan petani, harga jual, dan orientasi usahatani. Di Kabupaten Kuningan yang merupakan sentra ubi jalar terbesar di Jawa Barat, rata- rata produksi total ubi jalar sebesar 20.117,23 kg/ha (Khotimah 2010).

Hasil panen petani berupa ubi jalar segar langsung dijual kepada pedagang pengumpul, industri yang membutuhkan bahan baku ubi jalar atau dipasarkan langsung ke pasar induk setempat (Khotimah 2010; Defri 2011) dan juga kepada tengkulak seperti di Desa Gunung Malang (Defri 2011). Hal ini dikarenakan produk turunan dari ubi jalar belum banyak dilakukan oleh petani. Sistem penjualan ubi jalar terdiri atas dua jenis yaitu sistem borongan dan sistem bukti (Herdiman 2010; Defri 2011). Sistem borongan merupakan sistem penjualan per luas lahan, seperti yang dilakukan di Desa Purwasari sedangkan sistem bukti meupakan sistem penjualan dimana pembeli yang melakukan pemanenan seperti di Desa Gunung Malang.

Biaya terbesar yang dikeluarkan dalam usahatani ubi jalar adalah biaya tenaga kerja luar keluarga (TKLK) seperti usahatani di Kecamatan Cilimus sebesar 49,40 persen dari biaya total (Khotimah 2010) dan sebesar 54,65 persen di Desa Purwasari (Defri 2011). Jumlah HOK yang digunakan dalam usahatani ubi jalar terdiri dari 54,75 HOK Tenaga Kerja Dalam Keluarga (TKDK) dan 235,02 HOK Tenaga Kerja Luar Keluarga (TKLK) (Khotimah 2010).

Dilihat dari daya saingnya, budidaya ubi jalar menguntungkan baik secara finansial maupun ekonomi (Nurmala 2011; Khotimah 2010). Berbeda halnya dengan jenis umbian lain seperti talas misalnya. Penerimaan usahatani talas di Kecamatan Bogor Barat yaitu Rp. 18.250.592 per hektar dengan harga jual di

15 petani Rp. 1.448/umbi. Hal tersebut menyebabkan produksi talas mulai menurun karena kecilnya penerimaan yang diterima dan harga jual yang rendah. Pendapatan usahatani talas secara monokultur atas biaya total di Kecamatan Bogor Barat tidak menguntungkan atau rugi sebesar Rp 4.163.962 (Sari 2012). Hal ini disebabkan jumlah biaya yang diperhitungkan lebih besar dari jumlah biaya tunai. Jumlah biaya diperhitungkan yang besar dikarenakan penggunaan TKDK yang besar. Nilai R/C rasio atas biaya tunai usahatani talas sebesar 3,73 namun R/C rasio atas biaya total sebesar 0,81 artinya usahatani talas tidak menguntungkan untuk diusahakan.

Hasil analisis pendapatan usahatani ubi jalar di Kecamatan Cilimus menunjukkan bahwa pendapatan usahatani atas biaya tunai maupun biaya total lebih besar dari nol. Selain itu, nilai rasio R/C atas biaya tunai sebesar 1,67 dan rasio R/C atas biaya total 1,24 (Khotimah 2010). Hal tersebut menunjukkan bahwa usahatani ubi jalar di lokasi penelitian menguntungkan. Hal yang sama juga ditunjukkan pada pendapatan usahatani ubi jalar di Desa Purwasari Kecamatan Dramaga dan di Desa Gunung Malang yang menguntungkan dilihat dari nilai rasio R/C atas biaya tunai ataupun biaya total lebih dari satu (Herdiman 2010; Defri 2011).

Berdasarkan peramalan yang telah dilakukan pada penelitian terdahulu, diketahui bahwa produksi kuartalan ubi jalar nasional tiap musim dan tahun mengalami fluktuasi mengikuti fluktuasi produksi padi yang berkorelasi negatif, sama halnya juga dengan konsumsi ubi jalar. Artinya disaat produksi padi menunjukkan trend yang meningkat justru produksi ubi menunjukkan hasil sebaliknya yakni trend yang cenderung menurun. Sama halnya dengan konsumsi tahunan ubi jalar nasional yang mempunyai pola dengan trend cenderung menurun. Diramalkan produksi dan konsumsi ubi jalar sampai tahun 2016 belum bisa memenuhi target yang diharapkan (Aji 2008). Dari segi permintaan, petani dan konsumen pada umumnya lebih menyukai ubi jalar dengan varietas yang mempunyai tekstur kering, namun hingga saat ini belum dapat dipenuhi dikarenakan produktivitas yang masih rendah5.

5

Agusman. Prospek dan Potensi Ubi Jalar. http ://258-prospek-dan-potensi-ubi-jalar.htm. [Maret 2011].

16 2.2. Tinjauan Empiris Fungsi Produksi Stochastic Frontier

Pendekatan stochastic frontier merupakan salah satu metode yang digunakan untuk melihat efisiensi dari suatu usahatani. Fungsi produksi stochastic frontier menggambarkan hubungan antara input yang tersedia dan output maksimum yang dapat dicapai dengan memperhatikan faktor-faktor yang berpengaruh dalam usahatani.

Pendekatan Stochastic Production Frontier telah digunakan oleh Aisah (2003) usahatani tomat di Desa Karawang Kecamatan Sukabumi; Astuti (2003) usahatani kentang di Desa Margamulya Kecamatan Pangalengan; Brahmana (2005) usahatani padi lahan kering di Desa Tanggeung Cianjur; Maryono (2008) usahatani padi program benih bersertifikat di Karawang; Hutauruk (2008) untuk usahatani padi benih bersubsidi di Karawang; Khotimah (2010) usahatani ubi jalar di Kuningan; Defri (2011) usahatani ubi jalar di Desa Purwasari Kabupaten Dramaga.

Pendekatan ini dipilih karena sederhana dan dapat dibuat dalam bentuk linier (Maryono 2008; Hutauruk 2008; Khotimah 2010). Fungsi produksi

stochastic frontier dapat digunakan untuk mengidentifikasi faktor produksi yang mempengaruhi efisiensi teknis, dapat melihat efisiensi teknis usahatani dari sisi input, dan efek inefisiensi yang berkaitan (Maryono 2008; Hutauruk 2008). Dengan menggunakan fungsi produksi stochastic frontier peneliti dapat mengetahui faktor produksi apa saja yang mempengaruhi efisiensi teknis usahatani serta bagaimana pengaruhnya terhadap usahatani.

Model yang digunakan adalah model fungsi Stochastic Production Frontier

Cobb-Douglas menggunakan parameter pendugaan Maximum Likelihood Estimated (MLE) (Haryani 2009; Khotimah 2010; Prayoga 2010). Salah satu keuntungan menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas adalah jumlah elastisitas dari masing-masing faktor produksi yang diduga merupakan pendugaan skala usaha (return to scale) (Maryono 2008). Parameter MLE digunakan untuk menggambarkan hubungan antara produksi maksimum yang dapat dicapai dengan menggunakan faktor-faktor produksi yang ada. Faktor-faktor produksi yang dimaksud antara lain lahan, modal, tenaga kerja, dan manajemen atau

17 pengelolaan. Selain itu, fungsi produksi yang diestimasi menggunakan parameter pendugaan Maximum Likelihood Estimation (MLE) dapat mengidentifikasi faktor produksi juga dapat melihat efisiensi teknis petani dan efek inefisiensi yang berkaitan (Sukiyono 2005; Hutauruk 2008; Haryani 2009).

Untuk menduga output produksi suatu usahatani, diperlukan variabel- variabel faktor produksi tertentu. Beberapa variabel yang digunakan pada penelitian-penelitian sebelumnya antara lain luas lahan, jumlah benih/bibit, jumlah pupuk urea, jumlah tenaga kerja dalam keluarga, jumlah tenaga kerja luar keluarga, pestisida (Sukiyono 2005; Hutauruk 2008; Maryono 2008; Haryani 2009; Nurmala 2011), pupuk daun, pupuk kandang (Sukiyono 2005; Khotimah 2010), dan nilai pengeluaran untuk irigasi pompa (Haryani 2009).

Menurut Hutauruk (2008); Maryono (2008); dan Haryani (2009), variabel yang berpengaruh nyata terhadap fungsi produksi usahatani padi antara lain luas lahan, jumlah benih, jumlah pupuk urea, jumlah pupuk KCl, jumlah tenaga kerja luar dan dalam keluarga. Untuk obat hama penyakit menunjukkan hasil berbeda. Hasil penelitian Maryono (2008) menunjukkan obat hama penyakit berpengaruh nyata namun pada penelitian Hutauruk (2008) jumlah obat cair tidak berpengaruh nyata terhadap produksi padi.

Pada usahatani cabai merah oleh Sukiyono (2005), faktor penduga fungsi produksi frontier Cobb-douglas yang berpengaruh positif nyata adalah lahan, urea, KCL, dan pupuk kandang, sedangkan pupuk TSP dan tenaga kerja berpengaruh negatif nyata, serta pestisida dan benih tidak berpengaruh nyata. Faktor produksi yang berpengaruh nyata terhadap produksi ubi jalar adalah pupuk kandang, tenaga kerja, dan penggunaan pupuk KCL. Sedangkan yang tidak berpengaruh nyata adalah bibit, pupuk urea, dan TSP ( Nurmala 2011).

Penggunaan model stochastic frontier dimungkinkan untuk menduga ketidakefisienan suatu proses produksi tanpa mengabaikan galat dari modelnya (Sukiyono 2005). Dengan menggunakan model stochastic frontier, tidak diperlukan pembagian sampel. Pengukuran inefisiensi teknis dilakukan regresi secara terpisah. Dalam interpretasi hasil pengukuran dengan model stochastic

18

frontier, nilai tingkat inefisiensi merupakan nilai inefisiensi relatif yang diasumsikan paling efisien6.