• Tidak ada hasil yang ditemukan

Latar Belakang Centre for Dialogue and Cooperation amongs Civilisation (CDCC) Membangun Dialog

BAB II KAJIAN TEORI

PENGUATAN RUANG PUBLIK YANG BEBAS

A. Latar Belakang Centre for Dialogue and Cooperation amongs Civilisation (CDCC) Membangun Dialog

Sebagai bagian dari civil society, Centre for Dialogue and Cooperations among Civilisations (selanjutnya CDCC) berupaya melakukan peran nya di Masyarakat dengan membuka ruang publik yang bebas terhadap warga dengan memfasilitasi warga untuk melakukan diskusi dan dialog untuk membahas masalah yang dianggap relevan. Pada awal nya, diskusi- diskusi yang diadakan oleh beranjak dari tesisnya Samuel Huntington tentang benturan peradaban (clash of civilisation).44

Apabila kita melihat Sejarah dunia, semenjak awal 1990-an dunia memasuki fase baru yang ditandai dengan munculnya berbagai megatrend, antara lain berakhirnya perang dingin, hancurnya komunisme, bangkitnya kapitalisme baru di tiga kawasan (Amerika Utara, seleruh benua Eropa, dan kawasan Asia Pasifik sekitar Jepang dan Cina), serta menguatnya dampak globalisasi dalam dimensi kehidupan manusia. Munculnya sejumlah fenomena dunia pasca perang dingin memerlukan sebuah paradigma berpikir yang berbeda dengan paradigma berpikir selama ini kita pegang dalam menjelaskan fenomena perang dingin.

Sebagaimana diketahui dalam 40 tahun perang dingin (1950-1991) digambarkan terpolarisasi dalam dua blok. Pertama, kelompok masyarakat relatif kaya, sangat demokratis, dan dipimpin oleh Amerika Serikat. Kedua, kelompok masyaarakat realtif miskin, komunis, dan dipimpin oleh Uni Soviet. Adanya polarisasi dunia dalam dua blok itu memicu konflik yang bersifat ideologis, politis, ekonomis, dan bahkan militer di antara dua kekuatan dunia tersebut.

Pola poltik yang mempertentangkan secara ideologis antara blok negara kapitalis dengan blok negara komunis membawa pengaruh bagi negara-negara berkembang. Banyak negara berkembang menjadi negera satelit bagi negara adikuasa. Bahkan sejarah mencatat bahwa sebagian konflik itu terjadi di dunia ketiga yang biasanya penduduknya miskin, tidak memiliki stabilitas politik, baru memperoleh kemerdekaan, dan mengaku sebagai negara non-blok.45

Berakhirnya perang dingin telah membawa perubahan dalam cara berfikir kita mengenai hubungan antar negara. Situasi dan kondisi yang berbeda paska perang dingin memerlukan peta berpikir baru untuk menerapkannya. Akhir perang dingin pun ditandai dengan runtuhnya Uni Soviet pada 1991 setelah Moskow mengadopsi kebijkan politik luar negeri yang pro-Barat dengan dimodifikasi sesuai dengan tekanan kelompok nasionalis pada pertengahan 1990-an.46

Paradigma yang berpikir tepat dalam menjelaskan fenomena dunia pasca perang dingin itu dikenal sebagai paradigma benturan peradaban (The Clash of

45 Samuel P. Huntington,

Jika Peradaban Apa? Paradigma Dunia Paska Perang Dingin,Aslinya If Not Civilization, What? Penerj. Saiful Umam, (Jakarta: LSAF dan ICMI, No.2 Vol.V. Thn. 1994) h.56.

46

Brian Hocking dan Michael Smith, Politik, An Introduction to Internasional Relations,(London: Prentice Hall, 1995, cet,II) h. 230

Civilisation). Dalam perspektif ini, dunia secara sederhana terbagi dalam dua kelompok. Pertama, negara-negara kaya (North) atau dikenal dengan negara demokratis. Kedua, negara-negara miskin (south) atau negara non-demokratis.

Paradigma benturan peradaban ini telah memperlihatkan pergeseran pada level makro maupun mikro. Pada level makro, politik dunia tampaknya terlibat banyak konflik dan sedang mengubah perimbangan kekuatan sejumlah negara menurut berbagai peradaban yang berbeda. Sementara itu, pada level mikro, konflik-konflik yang paling kasar, berkepanjangan dan berbahaya (karena kemungkinan adanya peningkatan) tampaknya akan terjadi diantara negara-negara dan kelompok-kelompok dari peradaban yang berbeda.47

Jika peranan agama dan kutur di masa lalu diabaikan, sekarang keduanya dianggap penting. Bahkan sebagian orang meyakini akan terjadinya benturan di masa mendatang dalam konteks kepentingan internasional. Benturan peradaban ini akan mendominasi politik global pasca perang dingin. Bagi Huntington, benturan peradaban terjadi ketika politik internasional meninggalkan fase baratnya. Benturan peradaban berjalan dalam bentuk interaksi peradaban Barat dan peradaban non- Barat serta terjadi di kalangan peradaban non-Barat saat peradaban non-Barat tak lagi menjadi objek sejarah atau sasaran kolonialisme Barat, namun bersama-sama dengan Barat Menjadi penggerak dan pembentuk sejarah.48

Peradaban dalam kerangka Huntington dipahami bahwa peradaban adalah entitas kultural atau pengelompokan kultural tertinggi, yang unsur-unsur

47

Samuel P. Huntington, Jika Bukan Peradaban, Apa? h. 53

48

Jhon L. Esposito, Ancaman Islam : Mitos atau Ancaman, Penerj. Alwiyah Abdurahaman, (Bandung: Mizan, 1995, cet.II) h. 205

objektifnya memiliki kesamaan seperti bahasa, sejarah, agama, adat, dan subjektifitas identitas diri masyarakat. Suatu peradaban bisa saja mencakup beberapa beberapa negara bangsa atau satu negara saja. Diantara peradaban besar itu adalah peradaban Barat, Islam, Amerika Latin, Cina dan Jepang.

Kini sikap meremehkan agama dan kultur dalam politik global dan masalah internasional masa lalu digantikan dengan sikap menekan kekuatan persamaan kultural sebagai fondasi kekuatan ekonomi, politik, dan kemampuan untuk membuat persatuan trans-nasional dalam melahirkan aktor-aktor ekonomi dan politik yang efektif adalah orang-orang Cina, Hongkong, Singapura dan Malaysia. Pendek kata, agama dan etnisitas dalam kontek peradaban selalu menjadi sumber identifikasi primer bagi banyak orang khususnya bagi elite non moderen.

Paradigma benturan peradaban yang dikembangkan Huntington dinilai oleh Jhon L. Esposito sebagai kecenderungan berfikir yang melebih-lebihkan perbedaan kultural. Paradigma seperti ini terdistorsi lantaran terlalu menekankan jurang pemisah atau garis batas yang membagi peradaban. Bahkan, lebih jauh Esposito mengatakan bahwa paradigma benturan peradaban mirip dengan ketakutan yang berbau rasisme kultural yang menjadi sumber sentmen anti-semitisme maupun anti-Asia. Berangkat dari perspektif ini, tegas Esposito membuat Huntington berkesimpulan bahwa garis pembatas antar peradaban menggantikan batas-batas politik dan ideologi yang selama perang dingin menjadi titik nyata bagi krisis dan pertumpahan darah.49

49 Jhon L.Esposito,

Dalam pandangan Esposito, meskipun identifikasi berdasarkan atas agama dan etnisitas ikut membentuk pandangan “kita” dan “meraka” terhadap orang lain adalah benar, namun berbagai identifikasi atau batas batas seperti ini menjadi kecenderungan umum yang melekat pada manusia ketika mereka dalam proses pendefinisian diri, hubungan sosial, dan menjalin hubungan internasional. Identifikasi dengan pernyataan bahwa saya dari keluarga ini atau dusun ini versus keluarga itu atau dusun itu, saya ini sekuler versus dia religius, orang beriman versus orang kafir, kapitalis versus komunis, dunia pertama versus dunia ketiga, Amerika versus Eropa adalah perbedaan, bukan penyebab ataupun alasan untuk berkonfrontasi dan konflik.

Apabila mengamati hal di atas, maka benturan antar peradaban (clash of civilisation) hanya akan membawa malapetaka bagi dunia, Oleh karena itu dibutuhkan adanya aliansi peradaban (alliance of civilisation). Aliansi peradaban-peradaban (alliance of civilisations) Inilah yang diperlukan umat manusia kini dan di masa depan. Jika kita berharap adanya kehidupan yang lebih berdasarkan saling pengertian dan saling menghargai, yang pada gilirannya dapat menciptakan dunia yang lebih harmonis, aman, dan damai, maka upaya penggalangan dan pemberdayaan aliansi peradaban tidak bisa di tawar-tawar lagi demi menciptakan perdamaian dunia.

Aliansi peradaban (alliance of civilisation) mulai menemukan momentumnya sejak Perdana Menteri Spanyol, Jose Luis Rodriguez Zapatero, mengajukan proposal bagi Aliansi Peradaban-peradaban pada September 2004. Hasilnya, atas sponsor Pemerintah Spanyol dan Turki, Sekretaris Jenderal PBB,

Kofi Annan, memaklumkan Alliance of Civilisation pada September 2005. Sejak itu, berbagai pertemuan, konferensi, dan lokakarya aliansi peradaban baik pada tingkat internasional maupun regional, telah diselenggarakan berbagai negara dan pihak yang memiliki kepedulian khusus terhadap masalah ini. Terakhir adalah Simposium Tingkat Tinggi Aliansi Peradaban-peradaban yang berlangsung pada 23-24 Mei di Auckland, Selandia Baru, dengan sponsor Pemerintah Selandia Baru dan Norwegia. PM Selandia Baru, Helen Clark, yang memimpin langsung High Level Meeting Alliance of Civilisation menyatakan penolakannya atas self-fulfilling prophecy tentang benturan peradaban. Bagi dia, pengalaman bangsa Selandia Baru yang multikultural memberikan pelajaran, bahwa sangat mungkin pada tingkat internasional untuk membangun dunia yang menghargai dan mengakomodasi perbedaan. Ketegangan, konflik, dan bahkan perang yang muncul dari ketidaktahuan dan ketidakpedulian; dan kurangnya pengertian dapat diatasi melalui dialog, pendidikan, dan kesediaan untuk belajar satu sama lain, dan sedia menerima dan toleran terhadap orang dan masyarakat lain yang berbeda.50

Menurut Ali Alatas, mantan menteri Luar Negeri RI, yang juga anggota High Level Group Aliance of Civilisation, menyatakan baahwa Aliansi Peradaban-peradaban menegaskan kembali bahwa seluruh bangsa dan masyarakat saling interdependen dan bahkan terkait satu sama lain dalam pembangunan, keamanan, dan kesejahteraan. Alliance of Civilisation berusaha membangun saling menghargai dan menempa kemauan politik, serta langkah terencana dan

terpadu pada tingkat pemerintah, institusional, dan masyarakat madani untuk mengatasi prasangka, mispersepsi, dan ketidakpercayaan.

Dengan cara begitu, Alliance of Civilisation diharapkan dapat memberikan kontribusi penting kepada gerakan terbesar masyarakat manusia untuk menolak ekstremisme yang ada dalam setiap masyarakat; dan sebaliknya menghargai keragaman kultural dan keagamaan. Dengan kerangka seperti itu,

Alliance of Civilisation merumuskan empat bidang pokok aksi: pendidikan, kepemudaan, migrasi, dan media. Pengembangan program yang terencana dalam keempat bidang ini krusial dan dapat memainkan peran kritis untuk mengurangi ketegangan antarbudaya dan peradaban, dan membangun jembatan diantara masyarakat yang berbeda.

Indonesia juga merupakan bagian dari peradaban dunia yang cukup kaya dan maju sejak beberapa abad lalu, sejak Majapahit, Sriwijaya dan Mataram. Sekarang sebagai negara bangsa yang besar dan kaya dengan sumber daya alam dan modal budaya yang relevan dengan kemajuan. Indonesia sangat potensial untuk bangkit sebagai sub peradaban yang maju. Oleh karena itu, kata Din Syamsudin, peradaban-peradaban dunia lain, seperti Barat, Cina,dan Rusia dapat menjadikan Indonesia sebagai mitra strategis dalam membangun peradaban dunia baru yang maju dan beradab.51

Berdasaarkan kerangka pijak di atas maka pada tanggal 12 July 2007, di Kantor Sekretariat CDCC, menyelenggarakan diskusi mengenai aliansi peradaban. Pada diskusi ini CDCC tokoh-tokoh nasional dan internasional turut menghadiri

51

CDCC News, artikel ini diakses pada tanggal 8 Januari 2011 dari http://www.cdccfoundation.org.

dan berpartisipasi, antara lain Ali Alatas, kedutaan Besar Thailand, Belanda, Selendia Baru, dan Palestina. Sedangkan sebagai pembicara adalah Selcan Sanli selaku Sekretaris Utama Deputy Head of Mission Kedutaan Besar Turki di Jakarta, Luis Meteos Paramio Deputy Head Mission Kedutaan besar di Spayol di Jakarta. Diskusi ini diprakasai antara lain oleh Pemerintah Selendia Baru, Pemerintah Turki, Pemerintah Norwegia dan Spayol. Diskusi ini diselenggarakan dalam rangka menyikapi isu global tentang perselisihan peradaban yang didengung-dengungkan oleh Samuel Huntington.

Pada diskusi ini Din Samsudin menjelaskan aliansi peradaban memerlukan inisiatif dan partisipasi aktif dari masyarakat sipil. CDCC sebagai bagian masyarakat sipil harus ikut andil mengambil bagian untuk menjembatani celah antar peradaban. Sejalan dengan pendapat Ali Alatas untuk mewujudkan aliansi peradaban, diperlukan diskusi-diskusi dan seminar yang mempertemukan berbagai organisasi internasional dan lembaga dari berbagai bangsa. Bukan saja diskusi dan seminar akan tetapi untuk pencapaian aliansi peradaban diperlukan aksi yang bersifat cepat dan tanggap. Untuk mencapai aliansi peradaban, tentu bukan hanya diperlukan forum-forum diskusi saja, meskipun dari forum-forum diskusi kita mendapatkan pemikiran-pemikiran kritis, namun pada itu juga kita harus menunjukan aksi cepat tanggap.52

Sebagaimana disebutkan di atas, maka untuk mengatisipasi atau meminimalisir terjadinya benturan kebudayaan yang akan menimbulkan konflik dan pertupahan darah, maka diperlukan subuah dialog antar peradaban.

52

CDCC News, artikel ini diakses pada tanggal 8 Januari 2011 dari http://www.cdccfoundation.org.

Dialog antar peradaban adalah proses komunikasi dua arah dari dua atau lebih peradaban yang berbeda yang dilakukan oleh aktor dalam berbagai lapisan pemerintah dan civil society dengan tujuan utama timbulnya saling pengertian dan kerjasama. Dialog dipahami sebagai conversation of culture, yang berlangsung dalam ruang masyarakat internasional yang memiliki kesamaan komitmen dan berdasarkan penghargaan yang lain sebagai sejajar. Percakapan ini menurut perenungan dan empati. Perbedaan peradaban mengharuskan, meminjam Habermas, suatu aksi komunikatif (communicative action) dalam ruang publik.53

Dialog peradaban dibangun di atas sebuah kesadaran adanya perbedaan, atau kesadaran bahwa potensi-potensi konflik diantara peradaban dirasakan tidak ada gunanya jika terus dipelihara. Sebaliknya, ia perlu digantikan dengan sikap saling memahami, saling menjaga, saling menyapa, saling berbagi menuju terjalinnya sebuah kerjasama dalam mengatasi problem kemanusiaan. Dialog menjadi penting karena dunia berkarakter plural.

Bibit munculnya ide dialog antar peradaban tidak bisa dipisahkan dari ketidaksenangan sebagian cendikiawan terhadap cara Amerika dan sekutunya yang lebih suka menggunakan perang dalam melawan terorisme. Melalui dialog antar peradaban, para pemikir dan pengambil keputusan di mana pun berada dapat lebih mengerti homogenitaas dan heterogenitas sekelilingnya. Tujuan maksimal dialog antar peradaban adalah kerja sama konkret dalam membangun peradaban global yang menguntungkan semua pihak.

53

F. Budi Hardiman, Menuju Masyarakat Komunikatif; Ilmu, Masyaraakat, Politik dan Postmodernisme Menurut Jurgen Habermas, (Yogyakarta: Kanisius,2009)

Berangkat dari pemaparan di atas bahwa benturan kebudayaan sangat berbahaya yang akan dapat menimbulkan konflik dan pertumpahan darah, maka CDCC berupaya menjadi bagian dari dunia yang peduli dengan isu-isu tersebut. Oleh karena itu CDCC melakukan upaya kegiatan baik dalam lingkup nasional (Indonesia) atau Internasional.

Dalam mewujudkan hal tersebut maka CDCC melakukan kegiatan-kegiatan-kegiatan diantaranya, dialog tentang keagamaan, kebudayaan, politik dan ekonomi. Dalam melakukan dialog CDCC melakukan kerjasama baik dalam negri ataupun luar negeri.

B. Implementasi Dialog Centre for Dialogue and Cooperation amongs