• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORI

PENGUATAN RUANG PUBLIK YANG BEBAS

B. Implementasi Dialog Centre for Dialogue and Cooperation amongs Civilisation (CDCC) Dalam Rangka Penguatan Ruang Publik Yang

1. Membangun Dialog Antar Umat Beragama

Sikap toleran dan pluralis merupakan bagian dari karakteristik dari civil society.59 LSM merupakan salah satu dari pilar penegak civil society, oleh karena itu CDCC sebagai salah satu pilar penegak (LSM) maka berupaya membangun dialog antar umat beragama, dalam dialog ini CDCC berusaha mengupayakan terbentuk karakteristik dari civil society dengan berusaha menciptakan umat beragama yang rukun dan mempunyai sikap-sikap toleran dan pluralis antar sesama pemeluk agama. Untuk mewujudkan hal tersebut, maka CDCC berupaya mempertemukan tokoh-tokoh agama guna menghilangkan rasa saling curiga diantara sesama.60

Seperti yang diutarakan oleh Theophilus Bela salah satu peserta aktif dalam tiap-tiap diskusi yang diadakan oleh CDCC, beliau mengutarakan,

“Dialog yang diadakan CDCC bisa menumbuhkan sikap toleran, karena di CDCC merupakan tempat bertukar pikiran tentang agama-agama, seperti contoh CDCC pernah mengundang tokoh Yahudi internasional ini sebagai bukti CDCC ingin menciptakan masyarakat yang toleran. Dialog yang diadakan CDCC membuat orang saling mendengar dengan saling mendengar pasti akan salng mengenal, dengan saling mengenal pasti akan hilang rasa saling curiga yang bisa menumbuhkan sikap toleran”.61

59

Dede Rosyada, dkk, hlm.247.

60

Wawancara pribadi dengan Abdul Mu’ti, Jakarta 8 September 2010

Untuk dapat mewujudkan hal di atas, maka CDCC membuat forum-forum dialog tentang agama dan perdamaian seperti yang pernah diadakan oleh Organisasi Masyarakat (ormas) berbasis agama, diantaranya Summit of World Muslim Leader yang digelar di Jakarta pada tahun 2001 dengan 180 peserta dari 50 Negara. Konferensi tersebut menghasilkan Deklarasi Jakarta 2001 yang mengandung pesan bahwa Islam adalah agama moderat dan cinta damai, anti kekerasan, dan tidak anti kemajuan. Berikutnya adalah The Jakarta Internasional Islamic Cenference (JIIC), dilaksanakan atas kerja sama Nahdhotul Ulama (NU) dan Muhammadiyah pada tahun 2003. Pada konferensi ini ingin mempertegas peran Islam moderat Asia Tenggara yang sejauh ini direpresentasikan oleh NU, Muhammadiyah dan ormas-ormas Islam lainnya.

CDCC juga mengadakan kegiatan forum yang serupa, yaitu forum perdamaian dunia (World Peace Forum), yang diselenggarakan berkat kerjasama antara Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan Cheng Ho Multi Culture Trust pada tanggal 24 s/d 26 Juni 2008, di Hotel Sultan. Acara ini mempunyai tema

Addressing Facets of Violence: What Can be Done?. Pada forum ini dihadiri oleh 250 tokoh dari 36 negara, yang terdiri dari berbagai kalangan seperti agamawan dan politik, pembisnis, cendikiawan, aktivis LSM dan jurnalistik.62

Pada World Peace Forum (selanjutnya WPF) mempunyai tujuan berupaya menyuarakan agama untuk membangun perdamaian dan ingin menjadi wadah bagi warga dunia yang peduli untuk berbagai pemikiran dan kebijakan, mendiskusikan cara-cara praktis untuk meningkatkan kerjasama dan mengurangi

62

CDCC News, artikel ini diakses pada tanggal 8 Januari 2011 dari http://www.cdccfoundation.org.

prasangka, dan membangun kesepahaman di berbagai peradaban, sehingga bisa mengintensifkan dialog antara peradaban.

Pernyataan Hans Kung cukup relevan untuk diangkat di sini. Hans Kung dalam bukunya A Global Ethics for Global Politic and Economics menyerukan pentingnya melibatkan nilai-nilai agama dalam membangun perdamaian global. Seruan Hans Kung ini sebenarnya telah menjadi rumusan dari deklarasi parlemen agama-agama sedunia di Chicago pada tahun 1992, yang selanjutnya dikenal dengan etika global. Deklarasi etika global itu bukan bermaksud membentuk agama baru, melainkan mengambil nilai-nilai etika dari agama-agama untuk memperjuangkan perdamaian global.63

Tidak bisa dipungkiri bahwa semua agama memiliki ajaran perdamaian. Namun meskipun fakta itu terlihat jelas, sebagian besar pemeluk agama lebih menitikberatkan “klaim keselamatan dan kebenaran”. Sehingga alih-alih menyuarakan perdamaian, agama lebih sering dilibatkan dalam pertikaian.

Melibatkan agama dalam meredam kekerasan bisa jadi terkesan tradisional. Sebab agama merupakan warisan masa lalu. Maka forum perdamaian dunia yang dilaksanakan tokoh-tokoh agama ini adalah suatu alternatif yang melengkapi pendekatan yang sudah ada. Semoga perdamaian global menjadi semakin dekat untuk dicapai.

Pada acara Forum Perdamaian Dunia (WPF), isu-isu tentang kekerasan pada tingkat global (Global Violence) mendapat sorotan yang tajam dari para tokoh masyarakat dan pemimpin agama yang menghadiri forum perdamaian dunia

63

Najiyah Martiam, ed., Jalan Dialog Hans Kung dan Perspektif Muslim (Yogyakarta: CRCS, t.t), h. 20

ini. Pada perdebatan soal kekerasan global, para aktor negara-negara besar dicermati sedemikian rupa. Masih adakah kredibilitas moral negara-negara yang menjadi kekuatan utama dunia?.

Pada Forum Perdamaian dunia Krisis moral dari pemimpin global ini diperdebatan sangat serius. Pasalnya, realitas menunjukan negara-negara besar terutama yang tergabung dalam Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) lebih banyak menentukan tatanan politik dan keamanan global.

Menurut Wakil Direktur Eksekutif Centre for Strategic and Internasional Studies (CSIS) Rizal Sukma, salah satu peserta dari Forum Perdamaian Dunia ini mengatakan bahwa mereka yang tergabung dalam DK PBB dinilai berperan dalam menginvestasikan kekerasan, khususnya terkait produksi dan penjualan senjata.64 Karena itu, mereka perlu bertanggung jawab untuk merespon kasus-kasus kekerasan pada level global, mulai dari Darfur, Palestina, dan tempat-tempat yang lain.

Globalisasi mengakibatkan proses marjinalisasi, baik di dalam konteks sebuah negara maupun hubungan antar negara yang melahirkan ketidakadilan atau kesenjangan global. Ketidakadilan mendorong banyak kelompok menggunakan kekerasan sebagai jalan pintas untuk merespon dampak-dampak globalisasi. Sejumlah pengalaman memperlihatkan ketidak adilan akibat globalisasi ikut memunculkan rasa keterasingan dan keterpinggirkan yang melahirkan kekerasan dalam bentuk konflik etnis, agama, pemberontakan dan sebagainya.

64

CDCC News, artikel ini diakses pada tanggal 8 Januari 2011 dari http:// www.cdccfoundation.org.

Menurut Sekjen Global Assembely for Proximity of Islamic Schools of Thought yang berbasis di Iran, Ayatullah Muhammad Ali Tashkiri sebagai salah satu peserta, mencermati bahwa aspek primordial justru sering dimanfaatkan. Konflik Irak misalnya bukan dipicu pertikaian agama atau aliran. Apa yang terjadi justru sebaliknya, perang Irak dipicu oleh kepentingan atau interes Amerika.

Sunni dan Syiah yang selama ini dituding sebagai penyebab konflik, sebetulnya sudah hidup berdampingan selama lebih dari seribu tahun. Intervensi Amerika Serikat justru memecah belah Sunni dan Syiah. Latar belakang politik dalam konflik-konflik yang sepintas bernuansa agama justru terjadi di Palestina dan Afghanistan.

Dipihak laian, ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU) Hasyim Muzadi memperkirakan konflik yang nyata pertikaian agama hanya 30 persen saja. Sedangkan 70 persennya lebih bernuansa politik dan ekonomi, yang sengaja diagamakan atau melibatkan umat beragama sehingga seakan-akan konflik agama.

Kehadiran agama itu sendiri bukanlah penyebab utama kekerasan. Jika disalahgunakan dan diinterpretasikan menyimpang, agama dapat digunakan untuk menciptakan kerusakan dan perpecahan. Patut disadari pula di dalam agama itu sendiri termaktub solusi untuk mengatasi kekerasan, sejauh mana para penganut agama memahami dan memanfaatkan nilai-nilai di dalamnya.

Dunia yang damai sulit diwujudkan bila kita tidak mengelimanisi ketidak adilan dan ketidaksetaraan, eksploitasi, ekstemisme, intoleransi, diskriminasi, penistaan dan segala bentuk kekerasan, termasuk peristiwa konflik bersenjata baik

dalam maupun antaragama, genosida, represi serta berbagai bentuk lain pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), terorisme, agresi, maupun tindakan-tindakan lain yang mendegradasi martabat manusia.

Dalam Forum Perdamian Dunia yang diselenggarakan oleh CDCC, menyepakati bahwa agama bukan akar kekerasan seperti yang diungkapkan para peserta dan pembicara dalam forum ini. Tercipta konsensus bersama bahwa agama bukanlah akar tindak kekerasan, tetapi memang kerap kali ajaran agama disalahgunakan dan digunakan sebagai alasan untuk aksi kekerasan, seperti yang dikatakan Sekjen Religion for Peace sebuah LSM yang bermarkas di New York, Amerika Serikat, Dr William F Vandley. Menurut William, forum perdamaian yang di hadiri oleh ratusan peserta dari segala agama dan kepercayaan juga bersepakat untuk mendesak semua pihak untuk melindungi kaum minoritas. Perlindungan terhadap minoritas disepakati sebagai hal yang tidak bisa lagi diabaikan bila dunia hendak menciptakan perdamaian dan toleransi.65

Dari hasil pertemuan forum perdamaian yang diadakan oleh CDCC menyepakati Penghormatan terhadap agama merupakan kunci atasi kekerasan. Kekerasan yang dilandasi oleh perbedaan agama dan ras tidak akan bisa diselesaikan tanpa adanya penghormatan terhadap keberagamaan. Kekerasan yang melibatkan penyalahgunaan sentimen agama dan etnis sangat membahayakan dan dapat mengancam kemanusiaan, oleh karena itu dialog perlu dikedepankan untuk memperkuat saling pemahaman antar agama dan etnis untuk menghindari terjadinya konflik kekerasan yang mengancam peradaban.

65

CDCC News, artikel diakses pada tanggal 10 Januari 2011dari http:// www.cdccfoundation.org

Dialog yang diadakan oleh CDCC bukan hanya Forum Perdamaian Dunia (world peace forum) akan tetapi dialog-dialog yang lain juga diadakan demi terwujudnya toleransi antar umat beragama.

Setelah melakukan dialog dalam takaran wacana dan merespon isu-isu tentang keagamaan, CDCC melakukan dialog dalam dialog kerja sosial. Dialog kerja sosial merupakan kelanjutan dari dialog kehidupan dan telah mengarah pada bentuk-bentuk kerjasama yang dimotivasi oleh kesadaran keagamaan.66 Dasar sosiologis nya adalah pengakuan akan pluralisme sehingga tercipta suatu masyarakat yang saling percaya. Dalam konteks ini, pluralisme sebenarnya lebih sekedar pengakuan akan kenyataan bahwa kita majemuk, melainkan juga terlibat aktif dalam kemajemukan itu.

Dalam dialog ini CDCC menamakannya dengan Interfaith in Action

dengan tema “ Dialog Lintas Agama Untuk Pengentasan Kemiskinan dan Ketidakadilan”. Pada diaog ini CDCC bekerja sama Persatuan Gereja Indonesia (PGI), Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI), Muhammadiyah, Fathayat NU dan World Vision Indonesia yang memberikan dana bagi kegiatan tersebut.

Dalam dialog ini, CDCC melakukan dialog dalam kerja-kerja sosial. Dalam melakukan kegiatan ini CDCC memusatkan pada empat titik lokasi, yaitu wilayah barat Indonesia di Pontianak, wilayah timur Indonesia di Palu, dan wilayah Jawa di Yogyakarta, dan Surabaya, seperti yang diutarakan oleh Ilham Munzir dalam kutipan wawancara di bawah ini,

66

Mun’im A Sirry, Fiqih Lintas Agama, Membangun Masyarakat Inklusif-pluralis,

“Dalam upaya menciptakan masyarakat toleransi dalam beragama CDCC melakukan kegiatan yang dinamakan Interfaith in Action “ dialog lintas agama untuk pengentasan kemiskinan dan ketidak adilan” dalam kegiatan ini CDCC dibantu oleh World Vision Indonesia. Sasaran kegiatan ini dibagi menjadi 4 wilayah, yaitu Pontianak berkaitan dengan fogging dan petani lele, Palu berkaitan dengan perdamaian antar agama, Yogyakarta berkaitan dengan pemberdayaan ekonomi kecil dan Surabaya berkaitan dengan mengkampayekan perlindungan dan pemberdayaan perempuan dan anak jalanan”.67

Di Pontianak dialog dalam bentuk kerja sosial CDCC melakukan kegiatan berkaitan dengan masalah ekonomi dan kesehatan. Dalam masalah ekonomi CDCC dan World Vision Indonesia memberikan modal bagi masyarakat yang berbeda agama dengan melakukan budi daya ternak ikan lele. Dalam masalah kesehatan CDCC dan World Vision Indonesia melakukan Fogging. Pada budi daya ternak lele dan fogging ini, CDCC dan World Vision Indonesia memberikan modal sebesar Rp.100.000.000,- bagi kegiatan tersebut. Tujuan kegiatan ini untuk pengentasan kemiskinan dan pengangguran dengan memberikan kesempatan mereka dengan budi daya ikan lele dan membrantas wabah demam berdarah di daerah pontianak.

Di Palu dialog dalam bentuk kerja sosial, CDCC bekerja sama dengan PGI dan KWI dari Kristen, Muhammadiyah dan NU dari Islam. Pada kegiatan ini menekankan pada pentingnya perdamaian agama. Pada dialog ini CDCC berkerjasama dengan tokoh-tokoh agama dan para aktivis agama dari agama yang berbeda. Pada kegiatan ini CDCC melakukan penyuluhan dan seminar-seminar yang berkaitan dengan pentingan perdamaian agama. Agama merupakan ajaran kasih sayang, dan ajaran damai. Agama bukanlah sumber dari terjadi konflik.

Kegiatan dialog kerja sosial ini diharapkan dapat mewujudkan masyarakat Palu menjadi masyarakat yang toleran terhadap agama yang berbeda-beda dan menghargai pluralisme, sehingga dapat terwujud masyarakat Palu yang damai dan selalu tersenyum untuk semua agama, tanpa adanya permusuhan.

Di Yogyakarta dialog dalam bentuk kerja sosial, CDCC memusatkan pada hal ekonomi. CDCC melakukan pemberdayaan ekonomi kecil dan menengah dengan memberikan pinjaman sebagai modal usaha. Dengan melakukan hal ini diharap ekonomi kecil dan menengah tetap bisa berusaha, sehingga bisa menekan angka kemiskinan yang ada di daerah Yogyakarta. Pada kegiatan ini CDCC dan World Vision Indonesia juga memberikan modal sejumlah Rp.100.000.000,-.

Di Surabaya dialog dalam bentuk kerja sosial, CDCC lebih menekankan pada hal kemanusiaan. Dalam melakukan kegiatan ini CDCC bekerjasama dengan Persatuan Gereja Indonesia (PGI), KWI, Nasiatul Aisyah (NA), Fatayat NU dan World Vision Indonesia. Pada kegiatan ini CDCC fokus pada mengkampayekan, melindungi dan memperdayakan perempuan dan anak jalanan. Pada kegiatan ini diharapkan nilai-nilai kemanusiaan bisa terangkat.

CDCC mempunyai nilai dalam perjuangan, yaitu nilai kemanusiaan yang bersifat universal. Kemanusiaan yang bersifat universal dimaknai sebagai nilai yang mengedepankan penghormatan dan penghargaan terhadap perbedaan dan keluhuran umat manusia tanpa membedakan agama, latar belakang Negara, etnis, dan kebudayaan. Kerena pada dasar nya ada sebuah common agreement diantara berbagai peradaban dan agama yang menempatkan manusia pada kedudukan yang

sangat terhormat. Dengan memperdayakan perempaun dan anak jalanan berarti CDCC berusa mewujudkan nilai-nilai kemanusian yang mereka perjuangkan melalui dialog dalam bentuk kerja sosial.

Dari kegiatan Interfaith in Action merupakan kilat project yang diadakan oleh CDCC yang bekerja sama dengan World Vision Indonesia. Kegiatan ini saat ini belum terlihat hasilnya, karena usia pelaksanaan nya kurang lebih baru satu tahun. Menurut Ilham apabila kegiatan itu berjalan sudah dua tahun maka akan dievaluasi apakah kegiatan ini berhasil untuk menciptakan masyarakat yang toleran dengan kegiatan Interfaith in Action ini. Jadi untuk saat ini belum terlihat hasilnya sukses atau tidak.

Untuk mewujudkan masyarakat yang toleran, pada tanggal 6 Februari 2011, di Istora Senayan, Jakarta CDCC bekerjasama dengan Inter Religius Council Indonesia dan lembaga-lembaga keagamaan seperti Muhammadiyah, Persada Hindu Darma Indonesia (PHDI), Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI), Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (MATAKIN), WALUBI, dan Majelis Taoisme Indonesia menyelengarakan World Interfaith Harmony Week “ Pekan Kerukunan Antar Umat Beragama Sedunia” dengan tema “Harmony in Diversity”.

Pada acara ini diisi dengan pesan-pesan kerukunan dari tokoh-tokoh agama dan pemerintahan. Dari kalangan agama pesan kerukunan tersebut disampaikan oleh tokoh agama Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu. Dari kalangan pemerintahan disampaikan oleh Ketua MPR RI dan Ketua DPD RI. Dalam pesan tersebut masing-masing agama menyerukan untuk

saling menghormati dan menghargai antar pemeluk agama, guna terciptanya masyarakat indonesia yang toleran terhadap yang lain, dengan terwujudnya masyarakat yang toleran tersebut maka perdamaian di bumi Indonesia ini dapat terwujud.