• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

1.1 Latar Belakang

Sektor pertanian selama ini memberikan sumbangan yang cukup besar untuk pembangunan nasional, seperti dalam pembentukan PDB (Produk Domestik Bruto), penyerapan tenaga kerja, perolehan devisa dan penurunan kemiskinan. Berdasarkan data yang terdapat pada Tabel 1 pada tahun 2009 sektor pertanian (mencakup pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan) berada di peringkat ketiga atas kontribusinya terhadap PDB setelah sektor industri pengolahan dan sektor perdagangan, hotel dan restoran .

Tabel 1. Produk Domestik Bruto per Triwulan Atas Dasar Harga Konstan Menurut Lapangan Usaha Tahun 2009 (Miliar Rupiah)

No Lapangan Usaha I II III 2009** IV Jumlah

1. Pertanian, Peternakan,

Kehutanan dan Perikanan 73.859 76.285 81.876

64.349 296.369 2. Pertambangan dan Penggalian 43.516 44.219 46.332 45.908 179.975 3. Industri Pengolahan 138.750 140.788 144.813 145.201 569.551 4. Listrik, Gas & Air Bersih 3.984 4.309 4.376

4.391 17.060 5. Konstruksi 33.455 34.192 35.826

36.711 140.184 6. Perdagangan, Hotel &

Restoran 87.706 90.098 94.343 95.811 367.959 7. Pengangkutan dan Komunikasi 45.272 47.118 49.357 49.928 191.674 8. Keuangan, Real Estate &

Jasa Perusahaan 51.499 51.791 52.534 53.008 208.832 9. Jasa-jasa 50.027 51.563 51.545 52.237 205.372 **Angka Sangat Sementara

Sumber: BPS (2009)

Dalam RJPM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah) Nasional 2010-2014, pemerintah melakukan tiga program pembangunan di sektor pertanian: (1) pengembangan agribisnis yang bertujuan untuk mengembangkan agribisnis yang mampu menghasilkan produk pertanian yang berdaya saing; (2) peningkatan ketahanan pangan adalah dengan meningkatkan keanekaragaman produksi, ketersediaan tanaman pangan dan distribusinya, serta menjamin

ketersediaan pangan dan gizi yang baik bagi masyarakat; (3) peningkatan kesejahteraan petani. Berhasil tidaknya pembangunan pertanian akan berpengaruh pada peningkatan kesejahteraan hidup petani dan masyarakat pedesaan yang berarti pula meningkatkan taraf hidup sebagian golongan masyarakat Indonesia.

Salah satu program pembangunan di sektor pertanian yang cukup berhasil adalah program ketahanan pangan, dengan adanya program tersebut hampir seluruh komoditi pertanian khususnya tanaman pangan mengalami kenaikan. Tanaman pangan yang paling banyak dibudidayakan oleh petani di Indonesia adalah padi. Berdasarkan Tabel 2, produksi padi meningkat dari 54,45 juta ton pada tahun 2006 menjadi 66,41 juta ton pada tahun 2010 dengan peningkatan sekitar 4,39 persen pertahun. Namun ironisnya masih banyak petani yang taraf hidupnya di bawah garis kemiskinan. Hal ini sangat berlawanan dengan produksi hasil pertanian kita yang akhir-akhir ini mengalami peningkatan produktivitas. Berdasarkan data dari Laporan Perekonomian Indonesia oleh Bank Indonesia jumlah anggota rumah tangga petani yang masih hidup dalam kemiskinan pada tahun 2007 dari 37,17 juta jumlah penduduk miskin, 63,30 persen hidup di perdesaan dan sebagian besar mengandalkan sumber kehidupannya dari sektor pertanian1. Hingga Maret 2010, sekitar 64,23 persen penduduk miskin di Indonesia berada di daerah pedesaan, yang rata-rata dari mereka bekerja di sektor pertanian2.

Tabel 2. Luas Panen, Produksi, Produktivitas Tanaman Padi Tahun 2006–2010

No Komoditi 2006 2007 2008 2009 2010*

1. Padi

- Luas Panen ( juta ha)

- Produksi ( juta ton ) - Produktivitas ( ton/ha ) 11,77 54,45 4,62 12,15 54,16 4,71 12,33 60,33 4,69 12,67 62,56 4,94 13,24 66,41 5,01 *Angka Sementara Sumber : Deptan (2011)

Dalam program pembangunan pertanian tidak hanya dengan peningkatan produktivitas untuk mencapai ketahanan pangan saja, melainkan perlu upaya       

1

www.bi.go.id “Data Jumlah Penduduk Miskin Indonesia Tahun 2007” [2 Desember 2010] 2

untuk meningkatkan kesejahteraan petani pedesaan khususnya. Berbagai permasalahan penyebab masih rendahnya kesejahteraan masyarakat pedesaan khususnya petani menjadi permasalahan utama dalam pembangunan pertanian.

Berbagai permasalahan yang dihadapi petani pedesaan, yaitu: (1) kepemilikan dan pengusahaan lahan pertanian yang relatif sempit dan

tempatnya terpencar; (2) kurangnya modal untuk membeli sarana produksi. Permodalan menjadi permasalahan bagi petani Indonesia.; (3) kedudukan petani dalam pemasaran sangat lemah; (4) sumberdaya manusia petani Indonesia masih tergolong rendah. Keempat permasalahan tersebut menyebabkan tingkat ekonomi pedesaan selalu berada di titik yang terendah (Hakim 1988, dalam Pranaka et al.

1996).

Salah satu upaya untuk mengatasi permasalahan–permasalahan tersebut diperlukan sebuah integrasi petani ke dalam sektor yang dianggap lebih modern. Pengintegrasian ini bertujuan untuk mengubah mindset petani dari petani yang konvensional menjadi petani modern dengan mengembangkan pertanian berbasiskan agribisnis.  Dalam rangka pembangunan pertanian berbasiskan agribisnis, pemerintah mengeluarkan UU No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil yang kemudian dijabarkan pada PP No. 44 Tahun 1997 tentang kemitraan. Aturan tersebut antara lain ditujukan untuk mengatasi masalah-masalah keterbatasan modal dan teknologi bagi petani kecil, peningkatan mutu SDM dan produk serta masalah pemasaran (Departemen Pertanian 2003 dalam Purnaningsih et al. 2006).

Konsep tentang kajian kemitraan bukan sesuatu yang baru dalam pengembangan agribisnis. Di Kabupaten Bogor misalnya, beberapa perusahaan yang bergerak di sektor agribisnis menerapkan konsep kemitraan dengan petani, mengingat Kabupaten Bogor merupakan kawasan yang potensial untuk mengembangkan sektor pertanian. Hingga kini jumlah kemitraan dengan petani khususnya di Kabupaten Bogor meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah perusahaan agribisnis di Kabupaten Bogor (Purnaningsih 2007). Dengan adanya kemitraan ini diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang dihadapi petani dan memberikan manfaat, baik bagi petani maupun perusahaan.

Idealnya suatu kemitraan bertujuan untuk menumbuhkan, meningkatkan kemampuan peranan petani sehingga diharapkan kesejahteraan petani meningkat

dengan adanya konsep kemitraan ini. Namun kenyataanya sering dijumpai kemitraan tersebut belum dapat memenuhi harapan. Sering terjadi kegagalan dan berbagai hambatan dan permasalahan dalam kegiatan kemitraan. Kendala yang sering terjadi diantaranya masih rendahnya kualitas sumber daya manusia dan kurangnya komitmen dalam pelaksanaan mekanisme kemitraan usaha, baik oleh petani maupun oleh perusahaan mitra (Hafsah 2000).

Kendala juga ditemukan pada sejumlah kemitraan yang berlangsung diantaranya kemitraan antara nelayan di Pulau Saparua dengan PT. Sarana Maluku Ventura contohnya, kemitraan yang berlangsung menemui berbagai kendala salah satunya adalah kegiatan kemitraan yang cenderung top down

sehingga keterlibatan nelayan dalam kemitraan kurang (Lopulalan 2003). Kendala kemitraan juga ditemukan pada kemitraan antara peternak ayam di Cibinong dengan CV. Tunas Mekar Farm, dalam hal ini kendala berasal dari pihak peternak melakukan berbagai kecurangan yang berpengaruh pada mutu ternak (Fibridinia 2010). Kendala lain dalam kemitraan juga ditemukan pada kemitraan petani cabai di Boyolali dengan PT. ABC, dalam kemitraan mengalami kendala seperti belum terpenuhinya kewajiban petani dalam hal kualitas cabai, penetapan harga kontrak dan kualitas benih yang disediakan oleh perusahaan mitra, selain itu kegagalan dari pihak petani juga berpengaruh terhadap kemitraan ini (Saptana et al. 2009).

Dengan adanya kendala-kendala dalam kemitraan, maka perlu dikaji tentang pelaksanaan kemitraan, yang bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan kemitraan yang terjadi antara petani dengan perusahaan mitra serta untuk mengetahui tingkat kepuasan petani terhadap pelayanan kemitraan yang diterima petani, sehingga nantinya diperoleh cara untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepada petani agar petani puas. Namun dalam hal ini perlu diketahui bahwa untuk bermitra, pihak petani harus memiliki kelembagaan kelompok yang dibentuk secara resmi atau kelompok berbadan hukum, dengan kata lain dan yang lebih tepat, petani harus bergabung dalam wadah gapoktan/koperasi (Karwan 1997 dalam Supadi 2004). Petani akan menjadi subjek atau pelaku kemitraan yang diwadahi dalam lembaga-lembaga pertanian pedesaan yaitu gapoktan/koperasi,

dimana pelaku ini mendapatkan pelayanan yang berkaitan dengan kontribusinya dalam kemitraan agribisnis.