• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

A. Latar Belakang

Kerja merupakan sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia. Kebutuhan itu bisa bermacam-macam, berkembang dan berubah, bahkan seringkali tidak disadari oleh pelakunya. Selain itu, seseorang bekerja karena ada sesuatu yang hendak dicapainya (Anoraga, 1992). Bekerja merupakan bagian fundamental kehidupan bagi hampir semua orang dewasa, baik pria maupun wanita, yang memberikan kebahagiaan dan kepuasan. Kenyataannya adalah bila seseorang mampu mendapatkan penghasilan sendiri, ini merupakan suatu pertanda bahwa dirinya adalah manusia produktif, manusia yang berguna dan tidak menjadi beban orang lain. Kegiatan bekerja bagi seseorang dapat menimbulkan rasa percaya diri, harga diri, dan rasa puas (Partini, 2011). Bekerja tidak hanya digunakan sebagai alat instrumental untuk mendapatkan keuntungan atau sumber finansial untuk pribadi saja. Tetapi bekerja juga bisa menjadi sumber penting untuk membentuk identifikasi dan citra diri.

Adanya aktivitas kerja yang dilakukan oleh seseorang maka akan menimbulkan makna kerja pada diri individu tersebut. Harpaz (2002) mengatakan bahwa makna kerja terbentuk dari berbagai pengalaman kerja yang didapat dari lingkungan kerja. Ditambahkan oleh Deresky (2002) bahwa makna kerja tidak hanya sebagai usaha untuk pemenuhan kebutuhan ekonomi

saja, tetapi sebagai usaha pemenuhan kebutuhan sosial, pemenuhan akan harga diri, dan pengaktualisasian diri seseorang terhadap pekerjaan mereka. Secara subjektif makna kerja diartikan sebagai individu yang bekerja dan lebih menunjukkan prestasi kerja dari pada uang, harga diri, dan bersosialisasi (Herudiati, 2013). Maka dari itu makna kerja sangatlah dibutuhkan seseorang untuk mewujudkan semangat kerja, motivasi kerja, dan perfoemansi kerja yang positif.

Tidak selamanya individu bekerja terus menerus sepanjang umurnya. Ada kalanya ketika sudah mencapai usia tua, individu akan beristirahat dari pekerjaannya dan memasuki fase pensiun. Fase pensiun dianggap banyak orang cukup penting dan tidak bisa dihindari. Coward & Lee (dalam, Partini 2011) menambahkan bahwa kehadiran masa pensiun bukanlah keadaan tiba-tiba tetapi suatu waktu yang dapat diketahui sebelumnya. Safitri (2013) menyebutkan bahwa pensiun adalah suatu masa transisi ke pola hidup baru, sehingga pensiun selalu menyangkut perubahan peran, perubahan keinginan, perubahan nilai dan makna. Selanjutnya masa bekerja bagi seseorang bisa terkait dengan umur. Dijelaskan bahwa di berbagai lembaga pemerintahan atau swasta, terdapat undang-undang yang mengatur seseorang pegawai harus berhenti dari pekerjaan karena telah mencapai umur tertentu, yaitu disebut dengan purnatugas atau pensiun (Partini, 2011).

Dalam konteks menjelang pensiun ini diperkirakan individu yang menjelang pensiun sudah memiliki makna kerja. Dalam membentuk makna kerja pada diri seseorang, apalagi seseorang yang akan menghadapi pensiun,

tidak jarang akan mengalami kendala dan halangan. Salah satu kendala yang dihadapi para pegawai yang menjelang pensiun dalam membentuk makna kerja biasanya adalah kecemasan. Kecemasan dalam konteks penelitian ini adalah kecemasan menghadapi pensiun. Hadirnya masa pensiun ini akan menimbulkan masalah bagi sebagian orang. Individu yang hampir setiap hari bekerja dan tiba-tiba harus berhenti bekerja membuat mereka merasa tidak berharga dan cemas.

Pensiun adalah sebuah titik balik yang signifikan dalam karir seseorang selama hidup bagi mayoritas orang dewasa yang telah menghabiskan seluruh atau sebagian besar hidupnya untuk bekerja. Eyde (dalam Eliana, 2003)berpendapat bahwa adanya kendala atau halangan dalam pembentukan makna kerja pada pegawai menjelang pensiun yang mengalami kecemasan akan berdampak kepada berubahnya kehidupan didalam diri seperti, seseorang akan kehilangan peran sosialnya di masyarakat, prestise, kekuasaan, kontak sosial, bahkan harga diri akan berubah juga karena kehilangan peran. Selain itu akan berdampak juga pada menurunnya kondisi fisik, pendapatan, dan berkurangnya relasi sosial itulah yang menyebabkan individu mengalami kecemasan dalam menghadapi masa pensiun (Limono, 2013). Hasil penelitian dari jurnal ilmiah menyatakan bahwa masyarakat Amerika dan Jerman merasa khawatir dan cemas terhadap pensiun. Hal ini dikarenakan mereka khawatir akan menurunnya keadaan keuangan, sehingga mereka merasa tidak mempunyai dana yang cukup untuk memenuhi

kebutuhan biaya kesehatan yang cukup besar di saat mereka berusia lanjut (McConatha, dkk, 2009).

Bagi sebagian besar pegawai, perihal pensiun tidaklah menyenangkan sehingga para pegawai cenderung mulai merasa cemas dan khawatir ketika menjelang pensiun (Tarigan, 2009). Kecemasan merupakan situasi afektif yang dirasa tidak menyenangkan yang diikuti oleh sensasi fisik yang memperingatkan seseorang akan bahaya yang mengancam (Freud dalam Feist, 2010). Apabila kecemasan tersebut dibiarkan terus menerus dalam waktu yang lama, maka akan terjadi depresi, stres berat, dan putus asa (Tarigan, 2009). Kecemasan yang muncul bisa berupa gejala fisik, emosi, kognitif, dan perilaku.

Pada salah satu informan yang menjelang pensiun pada penelitian ini sudah memiliki rencana dan aktivitas sampingan seperti menjadi Ketua RT, tetapi dirinya tetap merasa cemas dan tidak berharga dalam melakukan aktivitas tersebut. Menurut informan aktivitas yang dilakukannya tidak menambah pemasukkannya dan tidak membuat dirinya merasa berharga. Hal ini dikarenakan informan belum mampu menerima dirinya yang sebentar lagi akan pensiun. Sedangkan jika seseorang mampu merencanakan atau mencari aktivitas pengganti setelah pensiun, mempertahankan keberlanjutan aktivitas kehidupan barunya dan dapat mengaktualisasikan apa yang ada maka akan terhindar dari masalah psikologis seperti kecemasan.

Seseorang yang mengalami kecemasan pada masa menjelang pensiun akan merasa sudah tidak berguna dan tidak ada lagi yang ingin

dibanggakan dari dirinya. Mereka merasa sudah tidak diperlukan lagi oleh instansi tempat mereka bekerja, karena menurut mereka sudah kalah saing dengan generasi yang lebih muda dan lebih baik dari dirinya. Persepsi dan stigma negatif dari masyarakat mengenai pensiun perlu disikapi dengan bijaksana agar tidak menimbulkan atau menambah kecemasan. Dari penelitian jurnal yang berjudul “Dukungan Sosial dan Tingkat Kecemasan Pada Kelompok Pekerja PNS yang Mennghadapi Masa Pensiun” menunjukkan bahwa sebesar 34,5% dari total subjek yang ada mengalami kecemasan dari tingkat kecemasan yang rendah sampai tingkat kecemasan yang tinggi dalam menghadapi masa pensiun (Santi dan Mu’in, 2013).

Dengan timbulnya berbagai macam bentuk kecemasan, pegawai menjelang pensiun yang mengalami kecemasan akan cenderung menunjukkan perilaku-perilaku yang menganggu dan mempengaruhi semangat kerja dikantor. Semangat kerja menurut Siswanto (dalam Yuliarti, 2014) merupakan suatu keadaan psikologis seseorang yang bisa menciptakan kesenangan yang akhirnya bisa mendorong seseorang tersebut untuk bekerja lebih giat dan lebih baik lagi. Adanya penelitian yang membahas mengenai hubungan antara kecemasan menghadapi pensiun dengan semangat kerja, yang menunjukkan kedua variabel tersebut memiliki korelasi yang signifikan (Yuliarti, 2014). Dengan adanya penelitian diatas kemudian dipertegas oleh teori bahwa seseorang pegawai yang mempunyai semangat kerja tinggi akan selalu memberikan sikap positif kepada pekerjaan dan juga lingkungan kerjanya (Djui dalam Yuliarti, 2014).

Menurut Nawawi (dalam Yuliarti, 2014) mengatakan bahwa seseorang biasanya mengalami penurunan semangat kerja bila seseorang tersebut akan menjelang pensiun. Penurunan semangat ini dipengaruhi oleh adanya kecemasan. Menurut Yuliarti (2014) pegawai yang mengalami kecemasan dalam menhadapi pensiun biasanya menjadi malas-malasan saat melakukan suatu pekerjaan. Reaksi cemas seseorang sering merubah sikap pegawai dari yang tadinya rajin menjadi malas dalam bekerja, bersikap santai dan cenderung tidak peduli dengan pekerjaan, serta sering membolos kerja dengan berbagai alasan. Nitisemito (dalam Yuliarti, 2014) menambahkan bahwa gejala-gejala yang nampak saat seseorang pegawai mengalami penurunan semangat kerja diantaranya yaitu, rendahnya produktivitas kerja, tingkat absensi yang tinggi, tingkat perpindahan karyawan yang tinggi, tingkat kerusakan yang meningkat, kegelisahan dimana-mana, tuntutan yang sering terjadi, dan mogok kerja. Semangat kerja didalamnya meliputi motivasi seseorang dalam bekerja. Hal ini didukung oleh Anoraga (1992) motif adalah yang melatarbelakangi individu untuk berbuat (berperilaku kerja) dan mencapai tujuan tertentu. Motivasi seseorang dalam bekerja secara otomatis akan mempengaruhi semangat kerja dan pemaknaan kerja seseorang saat melakukan aktifitas kerja. Hal ini disebabkan oleh sumber terbentuknya makna kerja salah satunya adalah motivasi dari dalam diri (Rosso, Dekas, and Wrzesniewski, 2010). Oldham (dalam Rosso, et all, 2010) mendefinisikan motivasi kerja sebagai derajat dimana seseorang mengalami perasaan yang positif saat bekerja dengan efektif. Sedangkan Hackman & Oldham (dalam

Rosso, et all, 2010) mengatakan bahwa ketika seseorang mengalami suatu hal yang disebut kebermaknaan dalam bekerja (meaningfulness of work), hal ini dapat menjadi hal yang penting dalam perkembangan motivasi kerja. Dengan kata lain, ketika seseorang merasa bahwa bekerja sebagai sesuatu yang bermakna maka motivasi kerja akan tumbuh, sehingga orang tersebut dapat memaknai kerja dan muncullah makna kerja bagi dirinya. Makna kerja adalah suatu perasaan bahwa pekerjaan yang mereka pilih tidak dapat dipisahkan dari kehidupannya, tidak mengutamakan aspek finansial atau kemajuan karir. Makna kerja mencangkup kepercayaan kita tentang peran kerja dalam kehidupan kita, dan merefleksikannya dalam perasaan kita mengenai pekerjaan kita, perilaku kita dalam bekerja, dan tipe-tipe tujuan yang kita perjuangkan terdapat dalam pekerjaan (Wrzesniewski, 1999).

Untuk menambahkan informasi dan fenomena yang ada saat ini peneliti mencoba mewawancarai calon informan mengenai kinerjanya sebelum pensiun. Dapat dikatakan bahwa kinerja dan semangat kerja informan baik, ini dilihat dari hasil wawancara yang dilakukan. Informan menuturkan bahwa mendekati masa pensiun dirinya tambah semakin rajin dan semangat dalam bekerja untuk menyelesaikan tugasnya. Ini dikarenakan ketika subjek sudah benar-benar pensiun, subjek tidak merasa terbebani lagi oleh pekerjaan-pekerjaan dikantor. Hal ini didukung juga oleh Pines & Aronson (dalam Santrock, 2002) menyatakan bahwa orang dewasa tengah baya mungkin memfokuskan pada beberapa banyak waktu yang tersisa sebelum pensiun dan kecepatan mereka mencapai tujuan pekerjaan mereka.

Selain itu, performansi kerja subjek meningkat dan banyak mendapat apresiasi dari pimpinan dan teman-teman sekantornya. Hal ini membuat subjek puas dan bangga atas hasil kerjanya. Santrock (2002) mendukung kalimat diatas, bahwa terdapat komitmen kerja yang lebih besar seiring dengan bertambahnya umur seseorang. Menurut subjek, menjelang pensiun tidak mempengaruhi kinerjanya dikantor. Dari beberapa pernyataan informan, ada kecenderungan dirinya memiliki makna kerja yang baik karena dipengaruhi oleh iman. Bekerja juga salah satu ungkapan iman yang sangat penting dan istimewa. Kejujuran dan rasa bersyukur subjek yang membuat subjek merasa siap untuk memasuki masa pensiun (Kristiadi, komunikasi pribadi, 5 Desember 2015). Membahas kinerja yang lainnya terlihat dari fenomena yang terjadi bahwa informan lainnya mengalami penurunan gairah kerja karena dirinya beranggapan bahwa dirinya sebentar lagi akan pensiun. Performansi kerja informan juga tidak begitu baik karena informan beranggapan bahwa tidak akan ada orang yang menilai dan menegur kinerjanya. Informan juga merasa kalah bersaing dengan pegawai-pegawai yang berusia muda karena keadaan fisik informan juga mempengaruhi kinerjanya (Gatot, komunikasi pribadi, 7 Desember 2015).

Dengan adanya kedua fenomena yang berbeda diatas bisa dikatakan bahwa ketika seseorang mempunyai motivasi kerja yang didasari pada semangat kerja akan menimbulkan performansi kerja yang baik menjelang pensiun. Sebaliknya jika semangat kerja pegawai menurun maka akan bisa menyebabkan menurunnya tingkat produktivitas kerja. Hal ini juga

didukung oleh Anoraga (1992) banyak asumsi dan hipotesis yang dibuat menyatakan bahwa dengan pemaknaan kerja yang tepat, maka produktivitas akan meningkat.

Penelitian menunjukkan bahwa ketika seseorang mengalami kecemasan, maka akan mempengaruhi semangat kerja dan produktivitas kerja yang menurun (Yuliarti, 2014). Perusahaan perlu untuk menjaga semangat kerja pegawainya, terutama pada saat pegawai mengalami kecemasan menjelang pensiun. Kesiapan para pegawai negeri sipil dalam mengahadapi masa pensiun bergantung pada presepsi pegawai negeri sipil mengenai pensiun itu sendiri bagi kehidupan mereka. Maka dari itu untuk mengurangi permasalahan-permasalahan menjelang dan pasca pensiun pemerintah telah menyediakan program masa persiapan pensiun atau yang lebih sering dikenal dengan singkatan MPP (Masa Persiapan Pensiun) bagi pegawai negeri sipil yang akan memasuki masa pensiun.

Menurut Partini (2011), program pensiun merupakan penghargaan atau imbalan jasa dari pemerintah kepada karyawan yang telah berjasa dan membaktikan dirinya untuk bekerja selama bertahun-tahun. Pada tahap MPP karyawan diberikan program-program pelatihan untuk mempersiapkan masa pensiun (Rivai dalam Kadarisman, 2012). Adanya program MPP yang diterapkan di instansi BPN adalah dengan membebastugaskan pegawai yang 1 tahun kedepan akan pensiun dan tetap menerima gaji pokok. Fungsi dan kegunaan dari diadakannya program MPP di instansi BPN (Badan Pertanahan Nasional) adalah untuk memberikan keleluasaan kepada para pegawai yang

ingin mempersiapkan pensiun. Fenomena yang terjadi di instansi negeri BPN kebanyakan pegawai tidak mengambil MPP dan memilih untuk tetap bekerja di sisa-sisa waktu sebelum masuk masa pensiun. Hal ini dikarenakan, mereka memilih untuk menyelesaikan kewajiban dan tanggungjawab yang masih ada sebelum mereka pensiun. Selain itu, supaya mereka tetap beraktifitas sehari-harinya dan juga mendapat uang tambahan dari pekerjaan lapangan.

Pemilihan untuk tetap bekerja dengan giat walaupun sebentar lagi memasuki masa pensiun merupakan salah satu penerapan prinsip hidup agar terus berkembang untuk menentukan langkah hidup yang tepat kedepannya. Namun tanggungjawab untuk tetap bekerja masih ada meskipun berbagai masalah sering muncul. Konsekuensi dari perilaku tersebut ternyata tidak dapat menghentikan semangat subjek untuk tetap bekerja meskipun akan memasuki masa pensiun, hal ini mungkin dikarenakan subjek memegang makna kerja yang baik dalam kehidupannya. Selain itu, juga ada pegawai yang memilih untuk bekerja tetapi performansi kerja, semangat kerja, dan kinerjanya di perusahan menurun karena subjek mempunyai anggapan bahwa dirinya sudah tua dan kalah bersaing dengan pegawai yang lebih muda. Dengan adanya kedua peristiwa ini, kemudian menarik perhatian dan peneliti termotivasi untuk melihat pemaknaan kerja pegawai yang menjelang pensiun.

Dokumen terkait