HASIL DAN PEMBAHASAN
D. Pembahasan Hasil Penelitian
Makna kerja adalah pemahaman pegawai tentang apa yang dilakukan ditempat kerja sebagaimana signifikansinya terhadap apa yang benar-benar mereka lakukan (Wrzesniewski, 2003). Makna kerja ini sudah ditemukan dari keuda informan pada penelitian ini. Pernyataan-pernyataan informan yang telah dideskripsikan sebelumnya, membuat peneliti dapat menarik kesimpulan bahwa bekerja bagi informan adalah sebuah kebutuhan ekonomi, kebutuhan membangun relasi, kerja dipandang sebagai wujud dari kehidupan spiritual, kerja dimaknai sebagai sebuah perintah dan tanggung jawab yang harus diselesaikan, dan kerja dipandang sebagai sebuah panggilan. Dengan munculnya makna kerja yang mereka peroleh, hal ini juga tidak lepas dari proses panjang yang mereka alami. Pegawai negeri sipil yang menjelang pensiun dan tidak memanfaatkan program masa persiapan pensiun ini mengalami berbagai gejolak psikologis. Tarigan (2009) karakteristik pegawai yang akan menghadapi pensiun biasanya mengalami berbagai masalah, antara lain merasa cemas, merasa diri tidak berguna, dan memiliki status ekonomi yang belum mapan. Hal ini, dirasakan oleh informan 1 yang mengalami kecemasan menjelang pensiun dikarenakan merasa masih memiliki keadaan ekonomi yang belum mapan. Informan 1 menyadari bahwa dirinya mengalami kecemasan. Tetapi dibalik itu, informan 1 sudah menyiapkan strategi coping dalam menangani masalah kecemasan tersebut. Sedangkan informan 2 tidak mengalami kecemasan sama sekali dalam menghadapi pensiun.
Dengan adanya pengalaman panjang yang dialami para informan dalam kehidupannya, ini membuktikan bahwa telah terbentuknya unsur-unsur pembentukan makna kerja. Menurut Wrzesniewski dkk (2003) makna kerja adalah suatu perasaan bahwa pekerjaan yang mereka pilih tidak dapat dipisahkan dari kehidupannya. Pegawai yang menjelang pensiun dan tidak memanfaatkan program masa persiapan pensiun memaknai pekerjaan mereka berdasarkan kebutuhan ekonomi, kebutuhan membangun relasi sosial, kerja dipandang sebagai sebuah panggilan hidup, memandang pekerjaan sebagai sebuah perintah dan tanggung jawab, dan berdasarkan kehidupan spiritual.
Kerja dimaknai sebagai kebutuhan ekonomi menurut Wrzesniewski dkk (2003) adalah pekerjaan dianggap sebagai pendapatan pokok dan sebagai sebuah sarana untuk mencapai tujuan (seperti hobi atau menafkahi keluarga). Sedangkan hal senada juga diungkapkan oleh Rosso, et all (2010) bahwa karyawan dengan kebutuhan keuangan yang lebih besar akan lebih fokus pada nilai ekonomi pekerjaan daripada karyawan lainnya, karena mereka tidak memiliki kemewahan. Bagi kebanyakan orang, bekerja dan hasilnya dianggap suatu yang mendasar dan penting. Bekerja adalah pusat kehidupan manusia karena telah menjadi dasar dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi perorangan dan merupakan tugas manusia di dalam masyarakat. Dengan adanya teori-teori diatas menggambarkan bahwa hal yang utama dalam bekerja adalah mencari dan memenuhi kebutuhan ekonomi sehari-hari untuk menafkahi keluarga. Seperti para pegawai pada umumnya para informan bekerja karena ingin mendapatkan upah. Informan 1 memilih untuk
bekerja dan memilih untuk tetap bekerja ketika sebentar lagi akan pensiun karena informan 1 berpikir bahwa kondisi ekonomi belum begitu mapan dan masih membutuhkan biaya untuk mensekolahkan anak tunggalnya sampai kejenjang yang lebih tinggi. Tidak berbeda dengan informan 2 yang menyatakan bahwa memilih bekerja karena ingin mendapatkan penghasilan sendiri secara mandiri dan tidak bergantung dengan orang lain. Pernyataan tersebut didukung oleh Frankl (dalam Herudiati, 2013) bahwa individu tidak hanya melihat pekerjaan sebagai sebuah sarana untuk mendapatkan penghasilan yang lebih besar. Selanjutnya dipertegas oleh MOW- International Research Team pada tahun 1987 (dalam Harpaz, 2002) mengatakan bahwa pentingnya orientasi instrumental yang berfungsi untuk memperoleh aspek instrumental atau aspek ekonomi dari konteks pekerjaan mereka. Dengan demikian, tampaknya bahwa orang-orang dengan kecenderungan tinggi terhadap nilai-nilai ekonomi yang menganggap pekerjaan sebagai alat utama untuk memberikan pendapatan. Dengan adanya penghargaan, ini bisa menjadi sebuah alat untuk meningkatkan semangat kerja dan motivasi kerja individu. Kebanyakan orang beranggapan bahwa kerja dan hasilnya dianggap sebagai suatu hak yang mendasar karena berperan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi.
Selain kebutuhan ekonomi, para informan juga memaknai pekerjaan mereka sebagi ajang membangun relasi sosial didalam lingkup lingungkan kerja ataupun lingkungan masyarakat sekitar. Menurut MOW- International Research Team pada tahun 1987 (dalam Harpaz, 2002)
mengatakan bahwa pentingnya hubungan relasi sosial atau hubungan interpersonal diantara manusia. Hal ini dikarenakan manusia adalah mahkluk sosial dan adanya interaksi antar manusia bisa menjadi penting untuk peningkatan kesehatan mental mereka dan meningkatkan makna hidup dalam diri mereka. Partini (2011) menjelaskan bahwa masalah psikologis yang dihadapi para pegawai yang akan menghadapi pensiun pada umumnya mengalami kesepian, kurang percaya diri, ketergantungan, dan kurangnya melakukan kontak sosial dengan lingkungannya. Teori tersebut tidak terbukti pada kedua informan penelitian ini, bahwa para informan memaknai kerja sebagai bentuk wujud membangun relasi sosial.
Diungkapkan oleh informan 1 bahwa dirinya memiliki kelekatan relasi dengan rekan kerja satu kantor. Informan 1 pernah menyebutkan bahwa dirinya jarang sekali memanfaatkan hak cuti dikarenakan informan 1 memilih untuk bekerja dan berinteraksi dengan rekan kerjanya. Pernyataan tersebut didukung oleh Wrzesniewski dkk (2003) tentang makna kerja bisa diungkapkan sebagai penghayatan seseorang dalam melakukan tugas dan berinteraksi dengan rekan kerja mereka yang penuh semangat dalam mengerjakan tugas. Bukan hanya itu, informan 1 juga aktif dalam bidang sosial kemasyarakatan menjabat sebagai Ketua RT. Hal serupa juga ditunjukkan oleh informan 2 bahwa kerja itu adalah hal yang mengasyikan karena bisa bekerja dan bisa bergaul dan berinteraksi dengan rekan kerja. Kedua informan melakukan hal tersebut selama bekerja dan selama menjelang pensiun agar tidak merasa rendah diri dan kesepian. Lingkungan sosial dan
relasi sosial yang terbentuk juga berpengaruh pada pegawai yang menjelang pensiun dan tidak memanfaatkan program masa persiapan pensiun dalam memaknai pekerjaan.
Kerja dimaknai sebagai sebuah panggilan. Dengan kata lain hal ini melebihi dari sekedar kerja sebagai kebutuhan memenuhi kondisi ekonomi dan kerja sebagai alat untuk membangun relasi. Pembahasan pada pemaknaan ini jauh lebih mendalam dibandingkan makna yang lainnya. Hal ini dikarenakan banyak cakupan aspek yang membentuk suatu pekerjaan yang dimaknai sebagai sebuah panggilan. Pekerjaan diartikan sebuah panggilan karena menurut Wrzesniewski dkk (2003) pekerjaan sebagai sebuah panggilan adalah sumber kebermaknaan diri. Individu yang memandang pekerjaan sebagai sebuah panggilan akan mengenali dan percaya bahwa pekerjaan yang mereka lakukan mampu memberikan kontribusi kepada lingkungan sosial atau pekerjaan sebagai sarana untuk melayani diri sendiri dan orang lain.
Memaknai pekerjaan sebagai panggilan ini dapat dijabarkan sebagai penerapan nilai-nilai kerja yang informan miliki saat bekerja dikantor. Nilai kerja adalah salah satu aspek pembentukan makna kerja. Aspek nilai kerja yang diterapkan oleh informan adalah bagaimana menanggapi masalah tanggungjawab kerja yang harus mereka hadapi dan mereka selesaikan, kemudian bekerja sebagai wujud untuk menyalurkan ilmu atau membagikan ilmu yang sudah pernah didapat kepada rekan kerja yang membutuhkan bantuan. Bukan hanya dikalangan lingkungan kantor saja, tetapi kedua informan membagi informasi dan ilmu mereka kepada masyarakat sekitar yang
memerlukan. Pada penelitian ini para informan juga membahas mengenai motivasi mereka untuk tetap bekerja meski memiliki kesempatan untuk mempersiapkan masa pensiun mereka. Hal ini dikarenakan mereka masih ingin melakukan aktivitas kerja, masih memiliki tugas kerja yang belum terselesaikan, dan masih ingin bersosialisasi dengan rekan kerja. Tidak lupa juga, bahwa mereka melakukan aktivitas kerja adalah wujud nyata mereka untuk melayani dan menghargai diri mereka sendiri. Menghargai diri sendiri dengan cara menerima upah/gaji sebagai bentuk dari hak mereka selama bekerja. Selain itu, bisa mengaktualisasikan diri mereka dengan cara bekerja. Hal ini terlihat pada informan 1 yang sudah berhasil mencapai aktualisasi diri sebagai pegawai pemerintahan, sudah mencapai batas maksimal kemampuan diri yang informan 1 punya.
Menurut Rosso, et all dkk (2010) spiritualitas sebagai sumber kebermaknaan berbagi kesamaan dengan sumber-sumber lain, seperti hubungan interpersonal dan konteks budaya, di mana hasil kebermaknaan menghubungkan keentitas diluar diri. Beberapa ahli mempunyai teori tentang hubungan antara spiritualitas dan makna pekerjaan gema teori berpengaruh Victor Frankl, berpikir positif bahwa melalui hidup untuk dan mencari setelah itu yang berada di luar diri manusia yang menemukan makna dan tujuan hidup dan bekerja. Penelitian menunjukkan bahwa karyawan spiritual memandang pekerjaan mereka berbeda dari karyawan non-spiritual, melihat perilaku pekerjaan mereka dalam hal spiritual peduli, layanan, dan transendensi. Oleh karena itu, ketika karyawan merasa pekerjaan dalam cahaya spiritual, pekerjaan
mereka cenderung mengambil sensasi yang lebih bermakna. Adanya teori diatas bisa menggambarkan temuan yang muncul di penelitian ini. Sumber makna kerja yang berasal dari kehidupan spiritualitas ini ditunjukkan oleh informan 1 saja. Dirinya selalu mengucap rasa syukur ketika mendapatkan sesuatu tugas dari kantor yang menjadikan dirinya berperan aktif didalam tugas tersebut. Selain itu, informan 2 juga memiliki hal berbeda ketika memaknai sebuah pekerjaan. Menurut informan 2 kerja adalah sesuatu yang mengasyikan dikarenakan bekerja adalah kegiatan yang membuat dampak yang menyenangkan bagi orang lain disekitar tempat informan 2 bekerja.