• Tidak ada hasil yang ditemukan

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

DAFTAR PUSTAKA 66 LAMPIRAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara mega diversity untuk tumbuhan obat di dunia dengan keanekaragaman hayati tertinggi ke-2 setelah BraziRismawati. Dari 40 000 jenis flora yang ada di dunia sebanyak 30.000 jenis dijumpai di Indonesia dan 940 jenis di antaranya diketahui berkhasiat sebagai obat yang telah dipergunakan dalam pengobatan tradisional secara turun-temurun oleh berbagai etnis di Indonesia. Keanekaragaman hayati ini merupakan komoditi nasional yang bernilai tinggi untuk pengembangan industri agromedisin di dunia. Adanya kecenderungan pola hidup kembali ke alam (back t o nat ure) dengan

keyakinan bahwa mengkomsumsi obat herbal relatif lebih aman dibanding dengan obat sintetik, maka berdampak tingginya permintaan dunia akan obat herbal sehingga prospek pasar tumbuhan obat Indonesia di dalam maupun di luar negeri semakin besar peluangnya1.

Masyarakat Indonesia sudah sejak ratusan tahun yang lalu memiliki tradisi memanfaatkan tumbuhan dari lingkungan sekitarnya sebagai obat tradisional. Kecenderungan masyarakat mencari pemecahan terhadap masalah kesehatan melalui pengobatan tradisional sangat dirasakan akhir-akhir ini. Fenomena ini terus meningkat sejak krisis ekonomi tahun 1997 yang menyebabkan harga obat sintetik melonjak tinggi karena sebagian besar bahan baku obat sintetik tersebut merupakan komoditi impor.

Salah satu upaya pemerintah melalui Direktorat Jendral Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dalam mendukung pengembangan agroindustri tumbuhan obat herbal Indonesia adalah ditetapkannya 13 komoditi tumbuhan obat herbal unggulan yaitu temulawak, jati belanda, sambiloto, mengkudu, pegagan, daun ungu, sanrego, pasak bumi, daun jinten, kencur, pala, jambu mete, dan tempuyung dengan pertimbangan bahwa komoditi tersebut mempunyai nilai ekonomi yang tinggi, mempunyai peluang pasar, dan potensi produksi yang tinggi, serta berpeluang dalam pengembangan teknologi2.

1

2 2

Peluang pengembangan obat tradisional Indonesia masih terbuka lebar karena permintaan pasar yang terus meningkat seiring dengan laju pertambahan penduduk Indonesia yang tinggi dan menyadari mahalnya harga obat sintetik belakangan ini. Tingginya minat masyarakat akan obat herbal yang minim dengan efek samping , banyak perusahaan industri farmasi nasional menawarkan produk obat herbal dalam bentuk ekstrak tumbuhan obat (fitofarmaka) yang diolah dan dikemas secara modern. Di Indonesia sendiri telah berdiri beberapa perusahaan yang memanfaatkan tanaman obat (biofarmaka) sebagai bahan baku utama seperti PT Sido Muncul, PT Nyonya Meneer, dan PT Mustika Ratu.

Selain itu, dengan adanya usaha tanaman obat ini juga menambah Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Produk Domestik Bruto (PDB) merupakan salah satu indikator ekonomi makro untuk mengetahui peranan dan kontribusi tanaman biofarmaka terhadap pendapatan nasional. Kontribusi tanaman obat (Biofarmaka) terhadap nilai PDB Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Nilai Produk Domestik Bruto Hortikultura Berdasarkan Harga Berlaku pada Tahun 2006-2009 di Indonesia

Komoditi Nilai PDB (dalam milyar rupiah)

2006 % 2007 % 2008 % 2009 % Buah-buahan 35.448 51,65 42.362 55,16 42.660 53,13 30.595 34,60 Sayuran 24.694 35,98 25.587 33,32 27.423 34,15 48.437 54,78 Tanaman hias 4.734 6,89 4.741 6,17 6.091 7,59 5.496 6,21 Biofarmaka 3.762 5,48 4.105 5,35 4.118 5,13 3.897 4,41 Total 68.638 100 76.795 100 80.292 100 88.425 100 Keterangan : Hasil kajian Ditjen Hortikultura

Sumber : Direktorat Jendral Hortikultura, 2010(Diolah)

Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa, nilai PDB biofarmaka mengalami peningkatan dari tahun 2006 ke 2007 sebesar 9,12 persen. Keadaan ini disebabkan oleh adanya peningkatan lahan produksi tanaman obat herbal dan peningkatan perdagangan tanaman obat herbal. Peningkatan luas lahan ini salah satunya merupakan dampak dari kebijakan pemerintah yang menetapkan 13 tanaman obat herbal menjadi komoditi utama Indonesia. Pada tahun 2008 dan 2009 nilai PDB Biofarmaka cukup stabil. Hal ini dapat menjadi peluang perkembangan tanaman obat (biofarmaka) di Indonesia.

2

http:// peluang-tanaman-rempah-dan-obat-sebagai-sumber-pangan-fungsional.com/, (21 Maret 2011)

3 Peluang perkembangan tanaman obat didorong dengan bertambahnya luas budidaya tanaman obat di Indonesia untuk 13 komoditi utama tanaman obat (biofarmaka). Daerah pertanaman tumbuhan obat-obatan (untuk 13 tanaman biofarmaka utama) menyebar di seluruh provinsi di Indonesia. Pengusahaan tumbuhan obat di Indonesia dalam skala luas dengan areal penanaman seluas 126.504.197 m2 yang dikelola oleh Ditjen Bina Produksi Hortikultura (Ditjen Perkebunan, 2004) pada tahun 2003 masih terbatas untuk 13 komoditi tumbuhan obat yaitu: jahe, lengkuas, kencur, kunyit, lempuyang, temulawak, temuireng, kejibeling, dringo, kapulaga, temukunci, mengkudu, dan sambiloto. Data tanaman biofarmaka yang dikumpulkan melalui laporan Statistik Pertanian Hortikultura (SPH) pada tahun 2009 mencakup 15 jenis tanaman dengan tambahan tanaman mahkota dewa dan lidah buaya. Perkembangan luas panen 15 tanamana obat utama pada tahun 2008 dan 2009 dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Perbandingan Luas Panen Tanaman Biofarmaka di Indonesia pada Tahun 2008 dan 2009

No. Komoditi Luas Panen (m

2) Peningkatan/ Penurunan (%) Tahun 2008 Tahun 2009 1 Jahe 87.117.173 68.654.046 -21,19 2 Laos/Lengkus 23.489.099 23.847.358 1,53 3 Kencur 29.416.619 25.617.301 -12,92 4 Kunyit 59.092.996 54.544.926 -7,70 5 Lempuyang 4.932.905 5.453.103 10,55 6 Tamulawak 16.174.365 20.977.327 29,69 7 Temuireng 5..532.144 3.991.054 -27,86 8 Temukunci 1.837.517 2.488.178 35,41 9 Dringo/Dlingo 359.201 355.684 -0,98 10 Kapulaga 2.700.185 3.506.599 29,87 11 Mengkudu/Pace*) 984.935 699.332 -29,00 12 Mahkota Dewa*) 112.127 163.360 45,69 13 Kaji Beling 471.137 339.984 -27,84 14 Sambiloto 2.728.538 1.729.218 -36,62 15 Lidah Buaya 190.728 441.216 131,33

Keterangan : *) Luas Panen mengkudu dan mahkota dewa dalam satuan pohon Sumber : Direktorat Jendral Hortikultura, 2010

Tabel 2 menunjukkan bahwa luas panen tanaman biofarmaka mengalami peurunan dari tahun 2008 ke tahun 2009 sebesar 9,66 persen untuk tanaman jenis rimpang, yaitu dari 227.952.019 meter persegi menjadi 205.928.977 meter

4 persegi. Komoditi non rimpang seperti mengkudu, kejibeling, dan sambiloto juga mengalami penurunan luas panen, sedangkan yang mengalami peningkatan luas panen adalah kapulaga, mahakota dewa, lidah buaya, temukunci, laos/lengkuas, temulawak, dan lempuyang. Perbandingan luas panen tanaman biofarmaka ini juga dapat dilihat perbandingan produksi pada tanaman biofarmaka. Perbandingan produksi tanaman biofarmaka untuk 15 komoditi utama tanaman biofarmaka dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Perbandingan Produksi Tanaman Biofarmaka di Indonesia Tahun 2008 dan 2009

No. Komoditi Produksi (kg) Peningkatan/

Penurunan (%) Tahun 2008 Tahun 2009 1. Jahe 154.963.886 122.181.084 -21,16 2. Laos/Lengkus 50.092.846 59.332.313 18,44 3. Kencur 38.531.160 43.635.311 13,25 4. Kunyit 111.258.884 124.047.450 11,49 5. Lempuyang 7.621.045 8.804.375 15,53 6. Tamulawak 23.740.105 36.826.340 55,12 7. Temuireng 8.817.235 7.584.022 -13,99 8. Temukunci 3.096.643 4.701.570 51,83 9. Dringo/Dlingo 687.008 1.074.901 56,46 10. Kapulaga 21.230.881 25.178.901 18,60 11. Mengkudu/Pace*) 16.306.163 16.267.057 -0,24 12. Mahkota Dewa*) 17.089.485 12.066.850 -29,39 13. Kaji Beling 1.202.453 943.721 -21,52 14. Sambiloto 7.716.432 4.334.768 -43,82 15. Lidah Buaya 2.903.138 5.884.352 102,69

Keterangan : *) Luas Panen mengkudu dan mahkota dewa dalam satuan pohon Sumber : Direktorat Jendral Holtikultura, 2010

Peningkatan luas panen pada beberapa tanaman biofarmaka juga diikuti dengan peningkatan produksi tanaman biofarmaka tersebut. Secara umum tanaman biofarmaka jenis rimpang mengalami peningkatan produksi sebesar 2,35 persen dari tahun 2009. Komoditi tanaman biofarmaka yang mengalami peningkatan diataranya mahkota dewa, lidah buaya, temulawak, temukunci, kapulaga, dan laos/lengkuas. Namun ada beberapa tanaman biofarmaka jenis rimpang yang mengalami penurunan seperti jahe dan temuireng.

Produktivitas tanaman biofarmaka mengalami fluktuatif produksi setiap tahunnya. Hal ini dapat dilihat dari total produksi per luas lahannya setiap

5 tahunnya. Tanamana biofarmaka jenis rimpangan umumnya mengalami peningkatan dari tahun 2008 ke tahun 2009 kecuali temuireng dan temukunci mengalami penurunan produkstivitas. Tanaman biofarmaka jenis lainya yang mengalami peningkatan produktivitas adalah mengkudu, sambiloto dan lidah buaya. Produktivitas 15 tanaman biofarmaka dari tahun 2008 dan 2009 dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Produktivitas Tanaman Biofarmaka Indonesia pada Tahun 2008 dan 2009

No. Komoditi Produktivitas (kg/m

2 ) Tahun 2008 Tahun 2009 1. Jahe 1,78 1,78 2. Laos/Lengkus 2,13 2,49 3. Kencur 1,31 1,70 4. Kunyit 1,88 2,27 5. Lempuyang 1,54 1,61 6. Tamulawak 1,47 1,76 7. Temuireng 1,59 1,90 8. Temukunci 1,69 1,89 9. Dringo/Dlingo 1,91 3,02 10. Kapulaga 7,86 1,34 11. Mengkudu/Pace*) 16,56 23,36 12. Mahkota Dewa*) 152,41 73,87 13. Kaji Beling 2,55 2,78 14. Sambiloto 2,83 2,51 15. Lidah Buaya 15,22 13,34

Keterangan : *) Luas Panen mengkudu dan mahkota dewa dalam satuan pohon Sumber : Direktorat Jendral Holtikultura, 2010(Diolah)

Tabel 4 menunjukkan produktivitas tanaman biofarmaka dari tahun 2008 ke tahun 2009. Beberapa jenis tanaman biofarmaka diatas adalah temulawak dari jenis rimpangan dan mahkota dewa dari jenis buah, serta pegagan dari jenis daun. Saat ini pegagan belum menjadi 15 tanaman biofarmaka utama. Perubahan produktivitas tanaman biofarmaka dapat disebabkan oleh berbagai kejadian yang berpeluang terjadi baik dalam proses budidaya dan pasca panen tanaman obat serta pengolahan tanaman obat atau simplsia menjadi obat herbal. Perlakuan tanaman obat sebelum diolah menjadi obat herbal merupakan salah satu kegiatan yang dapat menentukan kualitas obat herbal yang akan dihasilkan.

6 Pengusahaan tanaman biofarmaka menjadi obat herbal atau jamu telah menyebar keseluruh Indonesia. Salah satu instansi di Jawa Barat yang memproduksi tanaman obat-obatan (biofarmaka) adalah Kebun Unit Konservasi Budidaya Biofarmaka (UKBB) yang berlokasi di Blok C Kebun percobaan Cikabayan, Kampus IPB Dramaga, Bogor. Kebun UKBB membudidayakan tanaman biofarmaka. Kebun UKBB membudidayakan 310 tanaman obat yang terdiri dari tanaman koleksi dan tanaman komersial. Diantara tanaman obat yang dibudidayakan di kebun UKBB adalah Sambiloto, Jati belanda, Sidaguri, Lidah buaya, Bangle, Brotowali, Pegagan, Daun ungu, Mahkota dewa, Mengkudu, Mimba, Jambu biji, Sirih hijau, Temulawak, Jahe, dan Kunyit. Temulawak (curcumae xanthoriza rhizoma), Pegagan (guazumae folium), dan Mahkota Dewa (phaleria macrocarpa) merupakan komoditi utama pada setiap jenisnya di kebun UKBB.

Temulawak (curcumae xanthoriza rhizoma) merupakan tanaman obat jenis rimpang. Temulawak dapat dikonsumsi dalam bentuk kering (simplisia kering) maupun dalam bentuk yang telah diolah seperti serbuk atau kapsul. Temulawak berkhasiat meningkatkan nafsu makan, anti kolesterol, pencegah kanker, anti oksidan dan anemia. Pegagan (guazumae folium) merupakan tanaman obat jenis daun. Pegagan berasa manis, bersifat mendinginkan, memiliki fungsi membersihkan darah, melancarkan peredaran darah, peluruh kencing (diuretika), dan penurun panas (antipiretika), menghentikan pendarahan (haemostatika). Pegagan dapat dikonsumsi langsung sebagai lalapan atau dikeringkan dan diseduh seperti teh. Mahkota Dewa (phaleria macrocarpa) merupakan tanaman obat yang memanfaatkan buahnya. Mahkota dewa dapat mentralisir racun, meningkatkan sistem kekebalan tubuh, mengurangi kadar gula, melancarkan peredaran darah, dan anti alergi. Mahkota dewa dapat dikonsumsi dalam bentuk simplisia kering atau yang sudah diolah seperti dalam bentuk kapsul.

Salah satu kegiatan kebun UKBB yang sangat mempengaruhi kualitas tanaman obat yang akan dihasilkan adalah kegiatan pasca panen. Kegiatan pasca panen tanaman obat sebelum menjadi obat herbal yang sering disebut juga dengan simplisia berupa penyortiran basah, pencucian, perajangan untuk jenis tanaman rimpang, pengeringan, dan penyortiran kering serta penyimpanan. Setiap proses

7 tersebut akan menimbulkan peluang kejadian yang dapat mendatangkan kerugian bagi perusahaan atau yang sering disebut dengan risiko usaha. Kurang optimalnya proses pasca panen tanaman obat ini dapat menimbulkan risiko seperti berkurangnya kualitas simplisia yang dihasilkan dan tidak dapat memenuhi standar dari Badan POM yaitu simplisia yang baik untuk diolah menjadi obat herbal adalah 10 persen. Penyimpanan simplisia yang terlalu lama dan tempat penyimpanan yang tidak baik menyebabkan simplisia busuk atau rusak dan akhirnya simplisia tidak dapat diproduksi.

Salah satu startegi manajemen risiko yang dapat mengurangi risiko yang ada, dapat dilakukan diversifikasi usaha. Berbeda dengan usaha spesialisasi yang hanya mengusahakan satu unit usaha (satu komoditi) maka usaha diversifikasi dilakukan dengan menggabungkan beberapa unit usaha yang ada dalam perusahaan sehingga apabila terjadi kegagalan salah satu unit usaha maka tidak akan menghabiskan komoditi yang ada atau mengurangi risiko yang dihadapai perusahaan.

Dokumen terkait