• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I : PENGANTAR

A. Latar Belakang

Manusia terlahir ke dunia ini sebagai makhluk sosial sehingga manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa kehadiran orang lain di sisinya. Masyarakat Indonesia sendiri sejak dulu dikenal sebagai bangsa yang memiliki rasa kekeluargaan yang tinggi. Hal ini tercermin dalam kehidupan mereka yang rukun, saling tolong-menolong, saling bekerjasama, rasa solidaritas antarsesama, saling berbagi, dan saling menghormati satu sama lain. Penelitian yang dilakukan oleh Syafriman dan Wirawan (2004) membuktikan bahwa perilaku prososial orang suku bangsa Melayu dalam kehidupan bermasyarakat lebih tinggi dari orang suku bangsa Tionghoa. Hal ini dikarenakan pada budaya masyarakat Melayu terdapat nilai-nilai yang menekankan pentingnya hidup saling menghormati, tolong-menolong, setia kawan, perbuatan menanam budi dengan melakukan kebaikan terhadap orang lain dalam kehidupan keluarga dan masyarakat.

Seiring berjalannya waktu maka manusia dan masyarakat banyak mengalami perubahan. Hal ini disebabkan gerakan modernisasi yang merupakan suatu usaha menuju ke masyarakat modern telah menimbulkan pergeseran pola interaksi manusia. Pada kehidupan masyarakat modern saat ini yang tampak adalah perwujudan kepentingan diri sendiri dan rasa individualisme. Hal ini mengakibatkan orang lain tidak lagi peduli pada orang lain sehingga intensi prososial seseorang pun mulai menurun. Fenomena perubahan sosial ini dibahas oleh Sasono

(http://www.kompas.co.id.24/2/07) yang mengemukakan bahwa televisi saat ini dipenuhi orang-orang jahat. Manusia-manusia Indonesia yang digambarkan dalam sinetron mampu melakukan kejahatan dengan motivasi yang umumnya berasal dari kualitas buruk manusia itu sendiri yang diliputi dengan rasa iri hati, dengki, ketidakmampuan menerima kenyataan, dan sebagainya. Korban kejahatan dalam sinetron-sinetron ini biasanya punya hubungan sosial yang cukup dekat atau bahkan hubungan keluarga dengan pelakunya. Ada beberapa hal yang bisa dilihat dari fenomena ini, salah satunya adalah harmoni hubungan sosial yang ada dan digambarkan selama ini ternyata ”omong kosong” dan manusia Indonesia ternyata melihat tetangga, saudara, teman sepermainan dalam iri hati yang dalam. Satu sama lain siap saling menjatuhkan dengan segala cara yang tak terpikirkan oleh manusia berakal dan berjiwa sehat. Hal ini menandakan manusia mulai mengutamakan sifat keegoisannya dibandingkan kepentingan bersama.

Perilaku prososial sendiri adalah suatu tindakan menolong yang menguntungkan orang lain tanpa harus menyediakan suatu keuntungan langsung pada orang yang melakukan tindakan tersebut, dan mungkin bahkan melibatkan suatu resiko bagi orang yang menolong ( Baron & Byrne, 2005), sedangkan intensi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1996) memiliki arti sebagai suatu keinginan seseorang untuk melakukan suatu hal.

Perilaku prososial dalam tindakannya memberikan keuntungan bagi yang menerimanya, seperti berbagi dengan orang lain yang mengalami nasib lebih buruk darinya, menghibur dan menolong orang yang tertekan karena memiliki masalah, menolong orang lain dan bekerja sama dengan orang lain hingga mencapai sasaran

yang memang ingin dicapainya dan memberikan perasaan nyaman pada orang lain atas penampilan atau prestasinya (Shaffer, 1994).

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perilaku prososial menurut Shaffer (1994), yaitu: 1) Kecenderungan perkembangan perilaku prososial: asal mula perilaku prososial, perkembangan usia. 2) Pribadi orang yang menerima pertolongan dan situasi yang mempengaruhi tingkah laku prososial: jenis kelamin, perasaan dibutuhkan bagi penolong dari orang yang memang bergantung padanya, perasaan suka akan menolong seorang teman, suasanan hati (good mood and bad mood). 3) Kognitif dan kontribusi afektif: kemampuan yang dimiliki, empati yang penting untuk menjadi mediator dari altruisme, tahapan moral, melihat dirinya sebagai orang yang altruistik. 4) Kultur dan pengaruh sosial: pengaruh kultur dalam keluarga, adanya penguatan, adanya pengaruh modelling, orangtua sebagai orang yang mengembangkan perilaku prososial anak.

Berdasarkan penjelasan diatas, diketahui bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku prososial adalah kultur yang dianut pada sebuah keluarga.

Keluarga khususnya orangtua memiliki peran yang sangat penting dalam mengembangkan perilaku prososial anak, mulai dari kecil hingga besar. Keluarga khususnya orangtua akan memberi penguatan (reinforcement) dan modelling pada anak dengan perilaku dan kebiasaan mereka (Shaffer, 1994).

Keluarga merupakan kelompok sosial yang pertama dalam kehidupan manusia, tempat manusia belajar dan menyatakan diri sebagai manusia sosial di dalam hubungan interaksi dengan kelompoknya. Pada keluarga yang interaksi sosialnya berdasarkan simpati, manusia belajar memperhatikan keinginan-keinginan

orang lain, belajar bekerja sama, saling membantu, dengan kata lain manusia pertama-tama belajar memegang peranan sebagai makhluk sosial yang memiliki norma-norma dan kecakapan-kecakapan tertentu dalam pergaulannya dengan orang lain (Gerungan, 1988).

Peran keluarga dalam membantu perkembangan sosial anak sangat besar, oleh sebab itu keutuhan keluarga harus diperhatikan. Keutuhan ini meliputi keutuhan dalam struktur keluarga, yaitu bahwa di dalam keluarga itu adanya ayah di samping adanya ibu dan anak-anaknya. Apabila tidak ada ayahnya atau ibunya atau kedua-duanya, maka struktur keluarga sudah tidak utuh lagi, juga apabila orangtua, baik ibu atau ayah, jarang pulang ke rumah dan berbulan-bulan meninggalkan anaknya karena tugas atau hal-hal lain, dan hal ini terjadi secara berulang-ulang, maka struktur keluarga itu pun sebenarnya tidak utuh lagi. Pada akhirnya, apabila orang tua hidup bercerai, maka keluarga itu juga tidak utuh lagi. Selain keutuhan dalam sturktur keluarga, dimaksudkan pula keutuhan dalam interaksi keluarga, bahwa di dalam keluarga berlangsung interaksi sosial yang wajar (harmonis). Apabila orangtua sering bercekcok dan menyatakan sikap saling bermusuhan dengan disertai tindakan-tindakan yang agresif, keluarga itu tidak dapat disebut utuh (Gerungan, 1988). Kondisi keluarga yang tidak utuh akan mengakibatkan perkembangan perilaku prososial anak tidak berjalan baik. Shuffer (1994) mengungkapkan bahwa apabila dalam perkembangannya perilaku prososial anak rendah maka perilaku agresif anak saat remaja akan tinggi.

Rumah tangga yang dipenuhi kekerasan (antara orangtua atau orangtua pada anaknya) jelas berdampak pada anak. Anak, ketika meningkat remaja, belajar

bahwa kekerasan adalah bagian dari dirinya, sehingga adalah hal yang wajar kalau ia melakukan kekerasan pula pada orang lain.

Keterlibatan keluarga dalam mempengaruhi perilaku prososial terlihat dalam penelitian yang dilakukan Kerr, dkk (2003) yang menggunakan subjek remaja Latin berusia14-19 tahun. Penelitian ini menunjukkan hasil bahwa keterlibatan keluarga dapat mempengaruhi perilaku prososial remaja. Rendahnya keterlibatan keluarga maka akan menguatkan keterlibatan remaja pada pesta minuman keras, penggunaan ganja, pesta-pesta, dan tindakan kekerasan pada orang lain. Kuatnya monitoring orangtua dan kultur sosial yang dianut remaja akan mempengaruhi kuatnya minat remaja untuk menjadi tenaga sukarelawan pada kegiatan sosial dan perilaku prososial lainnya.

Penelitian lain yang juga mengungkapkan adanya pengaruh kondisi keluarga, khususnya orangtua dengan perkembangan perilaku prososial adalah penelitian Duncan, dkk (2002) pada remaja berusia 10-14 tahun di Baratlaut Pasifik, disana terungkap bahwa remaja yang hidup di lingkungan keluarga yang memiliki sepasang orangtua memiliki keterlibatan yang lebih rendah pada perilaku menyimpang dan penggunaan obat-obatan terlarang. remaja yang berasal dari keluarga yang memiliki orangtua lengkap juga lebih kuat minatnya pada kegiatan olah raga dan memiliki perilaku prososial yang lebih baik.

Interaksi keluarga yang baik, khususnya dari orangtua pada anak, juga dapat membantu perkembangan perilaku prososial anak, pada penelitiannya Hastings, dkk (2005) meneliti perkembangan perilaku prososial anak berdasarkan dari jenis kelamin, larangan (inhibition), dan sosialisasi dari orangtua. Berdasarkan hasil

penelitian ini diketahui bahwa perlakuan orangtua (protektif dan otoriter), khususnya dari ibu dapat mempengaruhi perkembangan perilaku prososial anak dikemudian hari.

Berdasarkan uraian diatas dapat dilihat bahwa peran keluarga sangat besar pada kehidupan sosial remaja. Pada penelitian ini akan dapat diketahui Apakah ada hubungan antara persepsi keharmonisan keluarga dengan intensi prososial remaja?

Dokumen terkait