• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I : PENGANTAR

C. Manfaat Penelitian

B. Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara persepsi keharmonisan keluarga dengan intensi prososial remaja.

C. Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini dapat memperkaya pengembangan psikologi, khususnya psikologi perkembangan dan psikologi sosial. Selain itu dapat juga menambah wawasan dan wacana tambahan bagi unsur ilmu psikologi terapan seperti psikologi keluarga, dan unsur ilmu lainnya.

b. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini dapat mengetahui apakah persepsi keharmonisan keluarga memiliki hubungan intensi prososial remaja. Hasil penelitian ini akan bermanfaat untuk para orangtua dan para pendidik/guru karena akan membantu jika anak atau peserta didiknya memiliki masalah dalam

berperilaku prososial, dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat membantu dalam menemukan faktor penyebabnya.

D. Keaslian Penelitian 1. Keaslian Topik

Topik pada penelitian ini berbeda dengan tiga penelitian sebelumnya yang menggunakan Variabel tergantung sama. Pada penelitian ini peneliti mengangkat topik Hubungan antara persepsi keharmonisan keluarga dengan intensi prososial remaja. Pada penelitian sebelumnya yang termuat dalam empat jurnal dan satu skripsi adalah Perbedaan orientasi nilai dan perilaku prososial antara suku bangsa Melayu dan suku bangsa Tionghoa oleh Syafriman dan Wirawan (2004), Family involvement, problem and prosocial behavior outcomes of Latino youth oleh Kerr, dkk (2003), Links among gender, inhibition, and parental socializations in the development of prosocial behavior olek Hastings, dkk (2005), Relations between youth antisocial and prosocial activities oleh Duncan, dkk (2002), serta satu skripsi yang ditulis oleh Sulistyandari (1988) yang berjudul Perbedaan intensi prososial ditinjau dari status anak dalam keluarga.

2. Keaslian Teori

Penelitian ini menggunakan teori dari shaffer dalam mengungkapkan pengertian perilaku prososial, faktor-faktor, dan aspek-aspek yang mempengaruhi perilaku prososial. Hal inilah yang membedakan penelitian ini dari penelitian-penelitian sebelumnya. Penelitian Syafriman dan Wirawan (2004) menggunakan teori dari William dan Bartal dalam mengungkap pengertian perilaku prososial,

penelitian Kerr, dkk (2003) menggunakan teori Bandura dan Erikson dalam menjelaskan proses perkembangan anak termasuk perkembangan perlaku sosialnya, Hastings, dkk (2005) banyak menggunakan teori Eisenberg dan Fabes, dalam mengungkap perilaku prososial, Duncan, dkk (2002), menggunakan teori dari Pate, dkk dalam merumuskan penelitiannya. Pada skripsinya Sulistyandari (1988) menggunakan teori Staub, Wrightsman dan Deaux untuk menjelaskan pengertian perilaku prososial dan menggunakan aspek-aspek dari Mussen, dkk.

3. Keaslian Alat Ukur

Penelitian ini menggunakan alat ukur, yaitu skala persepsi keharmonisan keluarga dan skala intensi prososial yang akan dibuat oleh peneliti dengan mengacu pada teori yang digunakan peneliti.

4. Keaslian Subjek Penelitian

Subjek penelitian ini adalah siswa-siswi SMAN 2 Kota Bekasi yang berusia antara 15-18 tahun. Berbeda dengan subjek penelitian yang sebelumnya, yaitu orang suku bangsa Melayu dan suku bangsa Tionghoa yang bertempat tinggal di Indragiri Hulu yang berusia 17-25 tahun, remaja laki-laki dan perempuan Latin, anak-anak berusia 10-14 tahun di Baratlaut Pasifik, 108 keluarga yang terdiri dari 46 anak-anak laki-laki dan 42 anak perempuan berserta orantua mereka, serta siswa-siswi SMA Muhammadiyah II Yogyakarta beserta kakak sulung dan adik bungsu siswa-siswi tersebut.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Intensi Prososial 1. Pengertian Perilaku Prososial.

Perilaku prososial menurut Wispe (Brigham, 1991) adalah perilaku yang dimaksudkan untuk memberikan kontribusi baik fisik maupun psikis pada kesejahteraan orang lain. Baron dan Byrne (1994) memandang perilaku prososial sebagai tindakan yang memberikan keuntungan bagi orang lain tetapi tidak memberikan manfaat atau keuntungan bagi yang melakukannya. Berdasarkan hal itu, apabila perilaku prososial tersebut menimbulkan keuntungan, keuntungan tersebut tidak dapat dirasakan secara langsung oleh orang yang memberikannya, dan bahkan menimbulkan derajat risiko tertentu (Baron & Byrne, 2005). Menurut Wrightman dan Deaux (1981) perilaku prososial mengandung arti sebagai perilaku yang mempunyai konsekuensi sosial positif yang ditujukan bagi kesejahteraan orang lain baik secara fisik maupun psikologis. Eisenberg dan Fabes mengemukakan bahwa perilaku prososial merupakan bagian dari perilaku yang sangat menolong, affiliasi, dan respon mendukung yang fokus pada memberikan keuntungan pada orang lain yang sedang dalam keadaan tertekan dan memang membutuhkannya (Hastings dkk, 2005).

Perilaku prososial sering digunakan secara bergantian dengan istilah altruisme. Altruisme sendiri memiliki arti sebagai tingkah laku yang merefleksikan pertimbangan untuk tidak mementingkan diri sendiri demi kebaikan orang lain (Baron

& Byrne, 1994). Menurut Sears, dkk (1991) altruisme adalah tindakan sukarela yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang untuk menolong orang lain tanpa mengharapkan imbalan apa pun (kecuali mungkin perasaan telah melakukan kebaikan). Brigham (1991) mengartikan altruisme sebagai perilaku tanpa pamrih yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan penerimanya. Jadi perilaku dianggap altruisme jika perilaku tersebut dilakukan tanpa memiliki pamrih apapun.

Rushton (Baron & Byrne, 1994) mengatakan perilaku prososial berkisar dari tindakan altruisme yang tidak mementingkan diri sendiri atau tanpa pamrih sampai tindakan menolong yang sepenuhnya dimotivasi oleh kepentingan diri sendiri.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa perilaku prososial sebagai perilaku yang memberikan keuntungan baik fisik maupun psikis bagi yang menerimanya, namun tidak memberikan manfaat atau keuntungan bagi yang memberikannya. Namun apabila perilaku prososial tersebut menimbulkan keuntungan, keuntungan tersebut tidak dapat dirasakan secara langsung oleh orang yang memberikannya, dan bahkan menimbulkan derajat risiko tertentu.

2. Aspek-aspek Perilaku Prososial

Perilaku prososial menurut Sears, dkk (1991) dapat dipahami melalui tiga perspektif. Perspektif pertama adalah dasar historis, ada dua pandangan historis yang bertentang. Pandangan pertama dikemukakan oleh para ilmuwan sosiobiologi pada abad ke-19. Siebenaler dan Caldwell (Sears dkk, 1991) mengisahkan ada seekor lumba pingsan karena adanya ledakan dalam air, dua ekor lumba-lumba dewasa datang untuk menolong dengan mendukung temannya itu agar

terapung sampai sadar dan mampu menolong dirinya sendiri. Gambaran tentang hewan yang saling menolong dan mengorbankan diri ini bertentangan dengan gambaran orang tentang hewan yang saling membunuh. Sosiobiologi menggunakan teori evolusi untuk menjelaskan perilaku prososial pada binatang. Setiap sifat genetik yang mempunyai nilai kelangsungan hidup tinggi (yang membantu individu untuk bertahan hidup) cenderung diturunkan. Ini terjadi karena individu yang memiliki sifat itu mempunyai kemungkinan yang lebih besar untuk bertahan hidup dibandingkan individu yang tidak memiliki sifat tersebut, sehingga menghasilkan lebih banyak keturunan, yang masing-masing cenderung memiliki sifat itu dan mempunyai kemungkinan yang lebih besar untuk bertahan hidup serta mempunyai keturunan, dan seterusnya.

Ditegaskan oleh Trivers (Sears dkk, 1991) bahwa hanya altruisme timbal balik yang mempunyai dasar biologis. Menurut pendapatnya, kerugian potensial dari altruisme yang dialami individu diimbangi dengan kemungkinan menerima pertolongan dari individu lain. Tetapi sistem pemberian bantuan timbal balik semacam itu terancam oleh “penipu” terselubung yang menerima tetapi tidak memberikan bantuan sama sekali. Untuk meminimalkan penipuan, seleksi alam memberikan kecenderungan untuk merasa bersalah dan kecenderungan untuk melaksanakan pertolongan timbal balik melalui perangkat sosial, seperti menghukum mereka yang tidak mematuhi aturan kelompok.

Pandangan kedua adalah teori evolusi sosial, yang mengemukakan kritik terhadap teori sosiobiologi, yaitu bahwa faktor sosial jauh lebih penting dibandingkan faktor biologis dalam menentukan perilaku prososial. Menurut pandangan ini, secara

bertahap dan selektif masyarakat mengembangkan keterampilan, keyakinan, dan teknologi yang menunjang kesejahteraan kelompok. Perilaku prososial menjadi bagian dari aturan atau norma sosial. Tiga norma yang paling penting bagi perilaku prososial adalah :

a. Tanggung jawab sosial.

Norma ini menentukan bahwa seharusnya kita membantu orang lain yang bergantung pada kita, seperti orangtua diharapkan memelihara anak-anaknya dan guru harus membantu murid-muridnya.

b. Saling ketimbalbalikan.

Norma ini menyatakan bahwa kita harus menolong orang yang menolong kita.

c. Keadilan sosial.

Norma ini berisi tentang keadilan dan pembagian sumber daya secara adil.

Salah satu prinsip keadilan adalah kesamaan. Menurut prinsip ini dua orang yang memberikan andil yang sama dalam suatu tugas harus menerima ganjaran yang sama.

Perspektif yang kedua tentang perilaku prososial yang menekankan makna pentingnya proses belajar. Dalam masa perkembangan, anak mempelajari norma masyarakatnya tentang tindakan menolong. Anak di rumah, di sekolah, dan di dalam masyarakat selalu belajar melalui orang dewasa bahwa mereka harus menolong orang lain. Orang belajar menolong melalui penguatan (peneguhan), yaitu melalui efek ganjaran dan hukuman terhadap tindakan menolong, dan peniruan, yaitu meniru orang lain yang memberikan pertolongan.

Perspektif yang ketiga adalah pengambilan keputusan untuk menolong.

Menuru Latane, dkk dalam situasi tertentu keputusan untuk menolong melibatkan proses kognisi sosial kompleks dan pengambilan keputusan yang rasional (Sears dkk, 1991). Pertama, orang harus memperhatikan bahwa sesuatu sedang berlangsung dan memutuskan apakah pertolongan dibutuhkan atau tidak. Bila pertolongan dibutuhkan, mungkin orang itu masih mempertimbangkan sejauh mana tanggung jawabnya untuk bertindak. Ketiga, orang tersebut mungkin menilai ganjaran dan kerugian bila membantu atau tidak. Terakhir, orang tersebut harus memutuskan jenis pertolongan apa yang dibutuhkan, dan bagaimana memberikannya.

Perilaku prososial menurut Shaffer (1994) dalam tindakannya memberikan keuntungan bagi yang menerimanya. Perilaku-perilaku yang menunjukkan perilaku prososial, yaitu :

a. Berbagi dengan orang lain yang mengalami nasib lebih buruk darinya.

b. Menghibur dan menolong orang yang tertekan karena memiliki masalah.

c. Menolong dan bekerja sama dengan orang lain hingga mencapai sasaran yang memang ingin dicapainya.

d. Memberikan perasaan nyaman pada orang lain atas penampilan atau prestasinya.

Syafriman dan Wirawan (2004) pada penelitiannya mengungkapkan bahwa perilaku prososial diwujudkan dengan perilaku, yaitu : menolong, bekerja sama, menyumbang dan membagi, serta mempertimbangkan kesejahteraan orang lain.

Berdasarkan uraian di atas, maka ada empat aspek yang penulis gunakan pada penelitian ini, yaitu berbagi dengan orang lain yang mengalami nasib lebih buruk darinya, menghibur dan menolong orang yang tertekan karena memiliki masalah, menolong dan bekerja sama dengan orang lain hingga mencapai sasaran yang memang ingin dicapainya, dan memberikan perasaan nyaman pada orang lain atas penampilan atau prestasinya.

3. Faktor-faktor Perilaku Prososial

Perlaku prososial menurut Shaffer (1994) dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu:

1. Kecenderungan perkembangan perilaku prososial:

a) Asal mula perilaku prososial

Sepanjang perjalanan hidupnya seseorang menerima pendidikan tentang moral dan agama, seseorang melihat contoh perilaku yang menyerupai perilaku prososial dari orang yang lebih tua. Perbedaan individu pada awal berkembangnya rasa belas kasih pada diri mereka, juga tergantung pada praktek sosialisasi yang dilakukan oleh orangtuanya. Waxler dan asosiasinya (Shaffer, 1994) meminta para ibu untuk menjaga rekaman (1) reaksi pada anak berusia satu setengah hingga dua setengah tahun yang diberi gangguan oleh anak lain dan (2) reaksi mereka sendiri ketika anak mereka yang menyebabkan gangguan tersebut. Hasilnya sangat menarik ibu yang rasa belas kasihnya rendah menekankan disiplin pada anak dengan taktik memaksa seperti physical restraint ( “saya hanya memindahkan anak

tersebut dari bayinya” ), physical punishment ( “Saya memukulnya sebagai satu-satunya cara yang baik” ) atau unexplained prohibitions ( “saya mengatakan „berhenti lakukan itu‟” ). Ini berbeda, ibu yang memiliki rasa belas kasih yang tinggi mendidik rasa disiplin pada anak dengan affective explanations, yaitu dengan membantu anak melihat hubungan antara tindakan mereka dan gangguan yang disebabkan karena tindakan mereka.

Contohnya dengan mengatakan “ Kau telah membuat Doug menangis.” ; “Ini tidak enak untuk kau gigit.” Atau “ Kau tidak boleh mencolok mata orang lain.” Menurut Maccoby (Shaffer, 1994), affective explanation adalah salah satu format dari empathy training, yaitu cacian ibu akan membuat anak menderita dan memancing perhatian karena telah membuat orang lain tidak nyaman. Sekali waktu anak akan mulai menghubungkan penderitaan mereka dengan apa yang ada pada korban mereka, karena pondasi untuk rasa belas kasih telah tertanam. semua anak sekarang perlu belajar bahwa setiap anak dapat menghilangkan kegelisahan yang dirasakannya dengan membebaskan orang lain dari penderitaannya. Hal ini dapat terus berlanjut hingga anak akan terbiasa saat beranjak remaja nanti.

b) Perkembang usia

Menurut hasil penelitian Underwood dan Moore, serta Whiting dan Edwards berbagi, menolong dan perilaku prososial lainnya akan lebih banyak muncul pada saat anak masuk sekolah dasar hingga terus berlanjut sampai awal remaja (Shaffer, 1994). Handlon dan Gross (Shaffer, 1994) menjawab penelitian-penelitian sebelumnya dengan mengadakan penelitian replikasi

pada siswa-siswa preschool, taman kanak-kanak, sekolah dasar kelas empat, lima, dan enam di Amerika. Studi ini mengungkapkan anak-anak preschool dan taman kanak-kanak sifat egoisnya masih terlihat terutama pada anak seumurannya, namun sifat murah hati/dermawan akan terus tumbuh sejalan dengan usianya. berdasarkan penelitian Green dan Schneider (Shaffer, 1994) sifat murah hati/dermawan terus meningkat hingga remaja pertengahan.

2. Pribadi orang yang menerima pertolongan dan situasi yang mempengaruhi tingkah laku prososial :

a) Jenis kelamin

Penelitian Latane dan Dabbs (Baron & Byrne, 2005) serta Piliavin dan Unger telah secara konsisten menunjukkan bahwa laki-laki lebih cenderung memberi pertolongan pada wanita yang mengalami kesulitan.

Namun menurut Shigetomi, dkk (Shaffer, 1994) wanita pada semua umur mempunyai empati, murah hati dan jiwa penolong yang lebih tinggi daripada pria.

b) Perasaan dibutuhkan bagi penolong dari orang yang memang bergantung padanya.

Seseorang juga cenderung untuk membantu orang yang tampak tergantung padanya untuk ditolong. Midlarsky dan Hannah (Shaffer, 1994) mengungkapkan bahwa anak-anak usia 6 tahun dan remaja berusia 16 tahun di mana pun lebih cepat untuk membantu seorang anak kecil yang sedang terluka dibandingkan orang yang seusianya yang

menderita luka yang sama, terutama sekali ketika orang yang sedang terluka tersebut tampak menyebalkan.

c) Perasaan suka akan menolong seorang teman

Seseorang lebih merasa nyaman, membantu, dan menyalurkan rasa murah hatinya dengan teman daripada dengan kenalannya atau orang yang tidak dikenal. Staub dan Noerenberg mengatakan seseorang terutama sekali akan sangat menolong atau murah hati kepada seorang teman jika mereka berpikir persahabatan mereka terancam dan memandang tindakan mereka demi kebaikan sebagai jalan untuk menguatkan atau memulihkan hubungan (Shaffer, 1994).

d) Suasana hati (good moods and bad moods)

Ada sejumlah bukti bahwa orang lebih terdorong untuk memberikan bantuan bila mereka berada dalam suasana hati yang baik (Sears dkk 1991). Orang akan lebih mungkin terlibat dalam tindakan prososial untuk menolong orang asing jika dalam suasana hati yang positif, misalnya dalam penelitian Wilson, jika partisipan setelah mendengarkan rekaman komedi (Baron & Byrne, 2005), diberi kue gratis di perpustakaan, seperti yang diungkapkan Isen dan Levin (Sears dkk, 1991), dan lain-lain.

Namun, ada batasan yang penting pada suasana hati positif tersebut.

Pertama, Isen, dkk (Sears dkk, 1991) mengungkapkan, efek suasana hati yang positif tidak berlangsung lama, hanya 20 menit dalam suatu penelitian. Kedua, Isen dan Simmonds (Sears dkk, 1991) mengatakan,

suasana hati yang baik bisa menurunkan kesediaan untuk menolong bila pemberian bantuan akan mengurangi suasana hati yang baik tersebut.

Penelitian Amato yang dperkuat dengan penelitian Rogers, dkk serta Thompson, dkk mengungkapkan ketika seseorang berada dalam suasana hati yang buruk serta sedang memusatkan perhatian pada diri sendiri dan pada masalah-masalah orang tersebut, maka orang tersebut cenderung untuk tidak menolong orang yang membutuhkan. Namun emosi negatif dapat juga memiliki pengaruh yang berlawanan pada kondisi spesifik. Misalnya, Cialdini, dkk mengungkapkan, jika suatu tindakan menolong merupakan suatu interaksi yang akan membuat anda merasa lebih baik, emosi negatif meningkatkan kemungkinan terjadinya tingkah laku prososial (Baron & Byrne, 2005).

3. Kognitif dan kontribusi afektif : a) Kemampuan yang dimiliki

Ada asumsi bahwa role taker yang pandai akan lebih altruistik jika dibandingkan dengan role taker yang rendah kemampuannya. Hal ini dikarenakan ketrampilan role taker mereka akan membantu untuk mengenali dan memahami faktor yang berperan untuk kemalangan atau kesusahan orang lain (Shaffer,1994). Seseorang juga akan merasa mempunyai kewajiban yang lebih besar untuk turut campur tangan dalam situasi di mana orang tersebut mempunyai kecakapan untuk membantu secara efektif. Dalam penelitian Clark dan Word (Sears dkk, 1991) para peserta melihat seseorang (sebenarnya teman peneliti) jatuh pingsan

karena mengalami shock listrik dari peralatan yang rusak. Di antara peserta yang mempunyai pengalaman atau pernah memperoleh latihan formal yang berkaitan dengan peralatan listrik, 90 persen bertindak untuk menolong, di antara mereka yang tidak memiliki kecakapan elektrik, hanya 58 persen yang bertindak.

b) Empati yang penting untuk menjadi mediator dari altruisme

Empati mengacu pada kemampuan seseorang untuk merasakan emosi yang sedang dirasakan oleh orang lain. Menurut Martin (Shaffer, 1994), empati adalah suatu respon dari manusia yang universal, yang mempunyai suatu neurogical basis, dan dapat terus berkembang dibantu atau ditempa oleh pengaruh lingkungan. Martin percaya bahwa penanaman empati akan menjadi suatu mediator yang penting dari altruisme.

Clark dan Orenstein mengungkapkan bahwa banyak perbedaan pada minat seseorang untuk menolong bersumber pada motif altruistik yang berdasarkan pada empati (Baron & Byrne, 2005). Duan (Baron & Byrne, 2005) mengatakan empati meliputi komponen afektif maupun kognitif.

Ditambahkan oleh Darley bahwa orang yang berempati merasakan apa yang orang lain rasakan (Baron & Byrne, 2005). Sedangkan, Azar menjelaskan bahwa secara kognitif, orang yang berempati memahami apa yang orang lain rasakan dan mengapa (Baron & Byrne, 2005).

c) Tahapan moral

Peneliti telah membuat tabel perkembangan tahapan pemikiran anak-anak tentang prososial dan hubungannya dengan perilaku altruistik.

Tabel 1

Tahapan prosocial moral reasoning yang disusun oleh N. Eisenberg, dkk (Shaffer, 1994), terdiri dari :

Level Deskripsi singkat Rentang usia Hedonistic pada nilai-nilai yang betul-betul mendalam,

tanggung-jawab. Untuk orang yang miliki prinsip

yang sangat

mendalam/kuat tentu ini sekarang akan mengikis rasa harga dirinya.

Catatan : Dilema prosocial moral reasoning ini terus maju sampai sebanyaklima tingkatan antara awal masa kanak-kanak dan masa remaja.

d) Melihat dirinya sebagai orang yang altruistik

Baron dan Byrne yang diperkuat oleh Shaffer dan Smith mengungkapkan kesediaan seseorang untuk berkorban yang bermanfaat bagi orang lain bisa juga bergantung dengan kekritisan pada atas bagaimana rendah hati dipercaya pada dirinya. Riset pada orang dewasa yang secara konsisten menunjukkan bahwa orang-orang yang memiliki self-concept rendah hati lebih prososial dibanding mereka yang tidak menggambarkan hal tersebut pada diri mereka, terutama sekali rasa berbelas kasih, beramal, atau menolong (Shaffer, 1994).

4. Kultur dan pengaruh sosial :

a) Pengaruh kultur dalam keluarga

Kultur dengan jelas berbeda dalam mendukung atau mendorong timbulnya perilaku prososial. Beatrice dan Whiting (Shaffer, 1994) telah melakukan observasi terhadap perilaku prososial pada anak berusia tiga hingga sepuluh tahun di enam kultur, yaitu Kenya, Meksiko, Filipina, Okinawa, India, dan Amerika Serikat. Hasil penelitian tersebut adalah kultur di mana anak-anak dapat lebih rasa rendah hati saat mengadakan

hubungan sosial adalah jika anak tinggal dalam keluarga besar dan semua orang mendukung kesejahteraan keluarga tersebut. Whiting menyimpulkan bahwa anak-anak yang diberikan tanggung-jawab yang penting, seperti membuat dan memproses makanan atau mengawasi saudara-saudaranya yang masih bayi, akan secara sendirinya mengembangkan kerja sama, dan mengorientasikan sikap rendah hati sejak dini. Sehingga saat anak beranjak remaja dan lebih banyak meluangkan waktunya bersama teman sebayanya, anak akan mudah untuk dapat bekerja sama, berempati, dan berbagi dengan temannya.

b) Adanya penguatan

Beberapa penelitian memperlihatkan dengan jelas bahwa seseorang akan membantu dan memberi lebih banyak bila mereka mendapat ganjaran karena melakukan perilaku prososial. Misalnya, Fischer mengungkapkan anak yang berusia empat tahun mempunyai kemungkinan lebih besar untuk memberikan kelerengnya kepada anak lain bila mereka mendapat ganjaran permen karet karena kemurahan hatinya itu. Pada kesempatan Moss dan Page mengadakan penelitian, orang yang berjalan di sepanjang jalan utama kota Dayton, Ohio, dihampiri oleh seorang wanita yang bertanya tentang bagaimana caranya bila ingin ke toserba setempat. Setelah mendapatkan penjelasan, dia mengganjar penolong itu (dengan mengatakan “Terima kasih banyak, saya benar-benar mengerti”) atau menghukumnya (“Saya tidak mengerti apa yang Anda katakan, tetapi tidak apa-apa, saya akan bertanya pada

orang lain”). Ketika subjek yang naif itu terus melanjutkan perjalanannya, dia bertemu dengan wanita lain yang tiba-tiba menjatuhkan tas kecilnya dan terus berjalan seolah-olah tidak tahu bahwa tasnya telah jatuh, yang menjadi pertanyaan adalah apakah subjek itu akan menolong wanita tersebut dengan mengembalikan tasnya atau tidak. Dalam kondisi ganjaran, 90 persen orang memberikan pertolongan, dalam kondisi hukuman, hanya 40 persen menolong.

c) Adanya pengaruh modelling (peniruan)

Rushton dan Teachman (Sears dkk, 1991) menggambarkan penelitian yang menggabungkan peniruan dan penguatan. Pertama-tama, seorang model dewasa yang suka menolong meminta anak laki-laki untuk melakukan perilaku altruistik dengan memberikan sebagian uang yang mereka menangkan dalam permainan bowling kepada seorang anak yatim-piatu bernama Bobby. Kemudian, sang model itu memberikan ganjaran kepada anak atas kebaikan hatinya (“Kamu memang baik.”

“Kamu benar-benar baik”). Atau, menghukumnya (“Kamu benar-benar bodoh mau memberikan uang ini untuk Bobby.”). Ada juga kondisi tanpa penguatan di mana orang dewasa itu tidak mengatakan apa-apa. Dalam eksperimen berikutnya, anak yang memperoleh ganjaran memberikan keping mata uang lebih banyak kepada Bobby dibandingkan anak yang

“Kamu benar-benar baik”). Atau, menghukumnya (“Kamu benar-benar bodoh mau memberikan uang ini untuk Bobby.”). Ada juga kondisi tanpa penguatan di mana orang dewasa itu tidak mengatakan apa-apa. Dalam eksperimen berikutnya, anak yang memperoleh ganjaran memberikan keping mata uang lebih banyak kepada Bobby dibandingkan anak yang

Dokumen terkait