Hubungan antara Persepsi Keharmonisan Keluarga dengan Intensi Prososial Remaja
SKRIPSI
Diajukan Kepada Program Studi Psikologi
Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia Untuk Memenuhi Sebagian Dari Syarat-syarat Guna Memperoleh
Derajat Sarjana S1 Psikologi
Oleh:
TYAGITA DARMALA PUTRI 03320203
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
YOGYAKARTA
2007
HALAMAN PENGESAHAN
Dipertahankan di depan Dewan Penguji Skripsi Program Studi Psikologi
Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia Untuk Memenuhi Sebagian Dari Syarat-syarat Guna Memperoleh
Derajat Sarjana S1 Psikologi
Pada Tanggal
Mengesahkan,
Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia
Ketua Prodi
Qurotul Uyun, S.Psi., M.Si
Dewan Penguji Tanda Tangan
1. Sonny Andrianto, S.Psi.,M.Si _________________
2. H. Fuad Nashori, S.Psi.,M.Si _________________
3. Sus Budiharto, S.Psi.,Psi _________________
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Judul ………i
Halaman Pengesahan ………...ii
Halaman Pernyataan ……….iii
Halaman Persembahan ………iv
Halaman Motto ………...v
Prakata ………vi
Daftar Isi ………..ix
Daftar Tabel ………...xii
Daftar Gambar ………...xiii
Daftar Lampiran ……….xiv
Intisari ………..xv
BAB I : PENGANTAR ………1
A. Latar Belakang ………....1
B. Tujuan Penelitian ………6
C. Manfaat Penelitian ………..6
D. Keaslian Penellitian ………7
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA ……….9
A. Intensi Prososial ………..9
1. Pengertian Perilaku Prososial ………....9
2. Aspek-aspek Perilaku prososial ………10
3. Faktor-faktor Perilaku Prososial ……….14
4. Intensi ……….27
5. Intensi Prososial remaja………31
B. Persepsi Keharmonisan Keluarga ………34
1. Pengertian Persepsi Keharmonisan Keluarga ……….34
2. Aspek-aspek Persepsi Keharmonisan Keluarga ……….38
C. Dinamika Psikologis Antara Persepsi Keharmonisan Keluarga Dengan Intensi Prososial Remaja ………43
D. Hipotesis Penelitian ………47
BAB III : METODE PENELITIAN ……….48
A. Identifikasi Variabel-variabel Penelitian ………..48
B. Definisi Operasional Variabel Penelitian ……….48
1. Intensi Prososial Remaja ………....48
2. Persepsi Keharmonisan Keluarga ……….49
C. Subjek Penelitian ………49
D. Metode Pengumpulan Data ………..50
1. Skala Intensi Prososial ……….50
2. Skala Persepsi Keharmonisan Keluarga ………...51
E. Metode Analisis Data ………..54
BAB IV : PELAKSANAAN DAN HASIL PENELITIAN ………...56
A. Orientasi Kancah dan Persiapan ………..56
1. Orientasi Kancah ………...56
2. Persiapan ………58
a. Persiapan Administrasi ………...58
b. Persiapan Alat Ukur ……….59
c. Uji Coba Alat Ukur ………...61
d. Hasil Uji Coba Alat Ukur ………...61
1) Uji validitas aitem ………61
2) Uji reliabilitas alat ukur ………...63
B. Laporan Pelaksanaan Penelitian ………..64
C. Hasil Penelitian ………...65
1. Deskripsi Subjek Penelitian ……….65
2. Deskripsi Statistik ………..66
3. Uji Asumsi ………...69
a. Uji Normalitas ………...69
b. Uji Lineritas ………...69
4. Uji Hipotesa ………70
5. Analisis Tambahan ………70
D. Pembahasan ………70
BAB V : PENUTUP ……….74
A. Kesimpulan ………...74
B. Saran ………..74
1. Bagi Praktisi Psikologi ………...74
2.. Bagi Orangtua ………75
3. Bagi Peneliti Selanjutnya ………..75
DAFTAR PUSTAKA ………...76
LAMPIRAN………78
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1 : Tahapan Prosocial Moral Reasioning ………20
Tabel 2 : Distribusi Skala Intensi Prososial ………....51
Tabel 3 : Distribusi Skala Persepsi Keharmonisan Keluarga ………..53
Tabel 4 : Jumlah Alumni yang Diterima di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) ……….57
Tabel 5 : Distribusi Penyebaran Aitem Skala Intensi Prososial Setelah Uji coba …62 Tabel 6 : Distribusi Penyebaran Aitem Skala Persepsi Keharmonisan Keluarga Setelah Uji Coba ………...63
Tabel 7 : Deskripsi Subjek Penelitian ………..66
Tabel 8 : Deskripsi Data Penelitian ………..66
Tabel 9 : Kategorisasi Subjek Skor Intensi Prososial ………67
Tabel 10 : Kategorisasi Subjek Skor Persepsi Keharmonisan Keluarga …………...68
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1 : Skema yang Menjelaskan Terbentuknya Intensi ……….30
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1 : Angket Try-out……….78
Lampiran 2 : Data Try-out……….80
Lampiran 3 : Analisis Try-out………...113
Lampiran 4 : Angket Penelitian………146
Lampiran 5 : Data penelitian……….148
Lampiran 6 : Analisis Data………188
Lampiran 7 : Surat-surat keterangan ijin peneliatian dan selesai penelitian……….193
HALAMAN PERNYATAAN
Bersama ini saya menyatakan bahwa selama melakukan penelitian dan dalam membuat laporan penelitian, tidak melanggar etika akademik seperti penjiplakan, pemalsuan data, dan manipulasi data. Jika pada saat ujian skripsi saya terbukti melanggar etika akademik, maka saya sanggup menerima sanksi dari dewan penguji. Apabila di kemudian hari saya terbukti melanggar etika akademik, maka saya sanggup menerima konsekwensi berupa pencabutan gelar kesarjanaan yang telah saya peroleh.
Yang menyatakan
Tyagita Darmala Putri
xv
HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI KEHARMONISAN KELUARGA DENGAN INTENSI PROSOSIAL REMAJA
Tyagita Darmala Putri Sonny Andrianto
INTISARI
Masyarakat Indonesia sejak dulu dikenal sebagai bangsa yang memiliki rasa kekeluargaan yang tinggi, namun pada kehidupan masyarakat modern saat ini yang tampak adalah perwujudan kepentingan diri sendiri dan rasa individualisme. Hal ini mengakibatkan orang lain tidak lagi peduli pada orang lain sehingga intensi prososial seseorang pun mulai menurun. Permasalahan ini juga terjadi pada remaja.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada hubungan antara persepsi keharmonisan keluarga dengan intensi prosoial remaja. Dugaan awal adalah ada hubungan positif antara persepsi keharmonisan keluarga dengan intensi prososial remaja. Semakin tinggi persepsi keharmonisan keluarga yang dimiliki remaja, maka semakin tinggi intensi prososial yang dimiliki remaja tersebut.
Subjek pada penelitian ini adalah siswa-siswi SMAN 2 Kota Bekasi yang berusia 15-18 tahun. Jumlah subjek penelitian adalah 90 orang. Penelitian menggunakan skala intensi prososial dan skala persepsi keharmonisan keluarga.
Skala intensi prososial dirancang oleh penulis berdasarkan aspek-aspek yang dikemukakan oleh Shaffer (1994). Skala persepsi keharmonisan keluarga dirancang sendiri juga oleh penulis berdasarkan aspek-aspek yang dikemukakan oleh Stinnet dan De Frain (Hawari, 1999).
Metode analisis menggunakan teknik analisis product moment dari Pearson dengan menggunakan fasilitas SPSS 12.00 for Windows. Hasil analisis menunjukkan rxy2 = 0,512 dengan p = 0,000 (<0,01, hasil penelitian ini menunjukkan korelasi positif yang sangat signifikan antara persepsi keharmonisan keluarga dengan intensi prososial remaja. Semakin tinggi persepsi keharmonisan keluarga, maka semakin tinggi intensi prososial remaja. Sumbangan efektif yang diberikan persepsi keharmonisan keluarga terhadap tingkat intensi prososial sebesar 26,2%
Kata kunci : persepsi keharmonisan keluarga, intensi prososial
PRAKATA
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Alhamdulillahi Rabbil’alamin. Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas petunjuk dan pertolongan-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Keberhasilan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini semata-mata adalah rahmat Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
Pada kesempatan kali ini penulis juga ingin mengucapkan terima kasih pada orang-orang yang telah memberikan semangat, dukungan, dorangan, dan juga bantuan. Tanpa mereka penulis tidak akan dapat mencapai cita-citanya untuk dapat menyusun skripsi dan menyelesaikan kuliah S1-nya. Untuk itu dengan setulus hati penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak H. Fuad Nashori, S.Psi, M.Si, Psikolog, selaku Dekan Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universiats Islam Indonesia dan dosen beberapa mata kuliah yang pernah diambil oleh penulis.
2. Bapak Sonny Andrianto, S.Psi, M.Si, selaku Dosen Pembimbing yang telah sabar membimbing dan memberikan dukungan, sehingga penulis dapat terus termotivasi menyelesaikan skripsinya.
3. Ibu Emy Zulaifah, Dra, M.Sc , selaku Dosen Pembimbing Akademik penulis.
4. Dosen-dosen di Fakultas Psikologi dan ilmu sosial Budaya yang telah banyak memberikan ilmu pengetahuan dan bimbingan kepada penulis. Kepala dan staf biro administrasi akademik dan kemahasiswaan, dan seluruh karyawan Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya yang telah banyak membantu selama ini.
5. Kepala Sekolah, Wakil Kepala Sekolah beserta guru-guru SMAN 2 Kota Bekasi, khususnya Pak Pur dan Bu Indah yang banyak membantu selama proses pengambilan data.
6. Kepala Sekolah dan Kepala TU SMU UII Yogyakarta beserta Mbak Suci, yang telah banyak membantu selama proses pengambilan data try out.
7. Papa dan mama, terima kasih doa, cinta, kasih sayang, dan dukungannya selama ini, tidak ada yang dapat menggantikan semua pengorbanan yang mama dan papa berikan. Baru ini yang dapat gita berikan, semoga di kemudian hari gita dapat memberikan yang lebih baik dari ini, semoga gita bisa menjadi anak yang bisa memenuhi harapan papa dan mama.
8. Uniku sayang, makasih sudah menjadi kakak dan teman yang baik selama ini, sudah nemenin ambil data dan bantu kasih skoring sampai pegel-pegel.
9. Adit dan Krisna, makasih sudah jadi motivator kakak, semoga kalian dapat menjadi yang lebih baik dari kakak.
10. Kakakku Ahyot, tidak ada yang bisa gita ucapkan selain terima kasih banyak atas perlindungan, kasih sayang, dukungan, dorongan, nasehat-nasehat kakak, karena kakak juga gita bisa seperti sekarang, semoga kita tetep deket, maaf gita sudah banyak ngerepotin kakak.
11. Almh. Nenek, Almh. Embah, Nenek tambun+Tante Dede sekeluarga, Makdang Zahra, Pakdang+Makdang Danis, Bang Delson+ Mbak Yuni beserta Wisya dan Willa, Pakde+ Bude Toyo, Bule Tini, Bule Tarmi, tante-tante, Om-Om, dan saudara-saudara yang tidak dapat gita sebutkan satu persatu terima kasih atas doanya selama ini.
12. Meinaku sayang, terima kasih atas persahabatan, persaudaraan, dan sudah jadi motivatorku selama ini, semoga persahabatan kita kekal mei, mas Ryan terima kasih atas bantuannya selama ini dan sudah selalu menjaga mei.
13. Dekqu IN, terima kasih karena sudah jadi adik yang manis dan pengertian, karena In mbak git selalu ingin menjadi lebih baik setiap harinya.
14. Buat anak-anak kontrakan ImoeDh (kata dini..) terima kasih persahabatannya selama ini, terima kasih Nda+Nie sudah mau nemenin keman-mana. Nda terima kasih sudah banyak bantu selama ngerjain skripsi, nyemangatin saat lagi putus asa. Buat tetangga seberang rumah black/item & ucup alias Yusup (yang udah sering direpotin makasih ya..) juga buat botak ama Andi (gantian ndi sekarang nama lo yang nongol di skripsi gw…).
15. Buat Walid, Fitri, Guntur, dan Widi, orang-orang pertama di Jogja yang mengajarkan arti persahabatan.
16. Buat adek-adekku di KOGNIE, juga buat keluargaku lainnya : mas Wahyu, mas Onox, Aang, Adhy, Ermi, rocky, rangga, dan yang lainnya.
17. Iphul, terima kasih sudah ngajarin SPSS.
18. Temen-temen semua angkatan 2003 baik kelas C, A, maupun B.
19. Semua pihak yang terlibat baik langsung maupun tidak langsung dalam penulisan karya ini.
Yogyakarta, 01 Agustus 2007
Penulis
BAB I PENGANTAR
A. Latar Belakang Masalah
Manusia terlahir ke dunia ini sebagai makhluk sosial sehingga manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa kehadiran orang lain di sisinya. Masyarakat Indonesia sendiri sejak dulu dikenal sebagai bangsa yang memiliki rasa kekeluargaan yang tinggi. Hal ini tercermin dalam kehidupan mereka yang rukun, saling tolong- menolong, saling bekerjasama, rasa solidaritas antarsesama, saling berbagi, dan saling menghormati satu sama lain. Penelitian yang dilakukan oleh Syafriman dan Wirawan (2004) membuktikan bahwa perilaku prososial orang suku bangsa Melayu dalam kehidupan bermasyarakat lebih tinggi dari orang suku bangsa Tionghoa. Hal ini dikarenakan pada budaya masyarakat Melayu terdapat nilai-nilai yang menekankan pentingnya hidup saling menghormati, tolong-menolong, setia kawan, perbuatan menanam budi dengan melakukan kebaikan terhadap orang lain dalam kehidupan keluarga dan masyarakat.
Seiring berjalannya waktu maka manusia dan masyarakat banyak mengalami perubahan. Hal ini disebabkan gerakan modernisasi yang merupakan suatu usaha menuju ke masyarakat modern telah menimbulkan pergeseran pola interaksi manusia. Pada kehidupan masyarakat modern saat ini yang tampak adalah perwujudan kepentingan diri sendiri dan rasa individualisme. Hal ini mengakibatkan orang lain tidak lagi peduli pada orang lain sehingga intensi prososial seseorang pun mulai menurun. Fenomena perubahan sosial ini dibahas oleh Sasono
(http://www.kompas.co.id.24/2/07) yang mengemukakan bahwa televisi saat ini dipenuhi orang-orang jahat. Manusia-manusia Indonesia yang digambarkan dalam sinetron mampu melakukan kejahatan dengan motivasi yang umumnya berasal dari kualitas buruk manusia itu sendiri yang diliputi dengan rasa iri hati, dengki, ketidakmampuan menerima kenyataan, dan sebagainya. Korban kejahatan dalam sinetron-sinetron ini biasanya punya hubungan sosial yang cukup dekat atau bahkan hubungan keluarga dengan pelakunya. Ada beberapa hal yang bisa dilihat dari fenomena ini, salah satunya adalah harmoni hubungan sosial yang ada dan digambarkan selama ini ternyata ”omong kosong” dan manusia Indonesia ternyata melihat tetangga, saudara, teman sepermainan dalam iri hati yang dalam. Satu sama lain siap saling menjatuhkan dengan segala cara yang tak terpikirkan oleh manusia berakal dan berjiwa sehat. Hal ini menandakan manusia mulai mengutamakan sifat keegoisannya dibandingkan kepentingan bersama.
Perilaku prososial sendiri adalah suatu tindakan menolong yang menguntungkan orang lain tanpa harus menyediakan suatu keuntungan langsung pada orang yang melakukan tindakan tersebut, dan mungkin bahkan melibatkan suatu resiko bagi orang yang menolong ( Baron & Byrne, 2005), sedangkan intensi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1996) memiliki arti sebagai suatu keinginan seseorang untuk melakukan suatu hal.
Perilaku prososial dalam tindakannya memberikan keuntungan bagi yang menerimanya, seperti berbagi dengan orang lain yang mengalami nasib lebih buruk darinya, menghibur dan menolong orang yang tertekan karena memiliki masalah, menolong orang lain dan bekerja sama dengan orang lain hingga mencapai sasaran
yang memang ingin dicapainya dan memberikan perasaan nyaman pada orang lain atas penampilan atau prestasinya (Shaffer, 1994).
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perilaku prososial menurut Shaffer (1994), yaitu: 1) Kecenderungan perkembangan perilaku prososial: asal mula perilaku prososial, perkembangan usia. 2) Pribadi orang yang menerima pertolongan dan situasi yang mempengaruhi tingkah laku prososial: jenis kelamin, perasaan dibutuhkan bagi penolong dari orang yang memang bergantung padanya, perasaan suka akan menolong seorang teman, suasanan hati (good mood and bad mood). 3) Kognitif dan kontribusi afektif: kemampuan yang dimiliki, empati yang penting untuk menjadi mediator dari altruisme, tahapan moral, melihat dirinya sebagai orang yang altruistik. 4) Kultur dan pengaruh sosial: pengaruh kultur dalam keluarga, adanya penguatan, adanya pengaruh modelling, orangtua sebagai orang yang mengembangkan perilaku prososial anak.
Berdasarkan penjelasan diatas, diketahui bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku prososial adalah kultur yang dianut pada sebuah keluarga.
Keluarga khususnya orangtua memiliki peran yang sangat penting dalam mengembangkan perilaku prososial anak, mulai dari kecil hingga besar. Keluarga khususnya orangtua akan memberi penguatan (reinforcement) dan modelling pada anak dengan perilaku dan kebiasaan mereka (Shaffer, 1994).
Keluarga merupakan kelompok sosial yang pertama dalam kehidupan manusia, tempat manusia belajar dan menyatakan diri sebagai manusia sosial di dalam hubungan interaksi dengan kelompoknya. Pada keluarga yang interaksi sosialnya berdasarkan simpati, manusia belajar memperhatikan keinginan-keinginan
orang lain, belajar bekerja sama, saling membantu, dengan kata lain manusia pertama-tama belajar memegang peranan sebagai makhluk sosial yang memiliki norma-norma dan kecakapan-kecakapan tertentu dalam pergaulannya dengan orang lain (Gerungan, 1988).
Peran keluarga dalam membantu perkembangan sosial anak sangat besar, oleh sebab itu keutuhan keluarga harus diperhatikan. Keutuhan ini meliputi keutuhan dalam struktur keluarga, yaitu bahwa di dalam keluarga itu adanya ayah di samping adanya ibu dan anak-anaknya. Apabila tidak ada ayahnya atau ibunya atau kedua- duanya, maka struktur keluarga sudah tidak utuh lagi, juga apabila orangtua, baik ibu atau ayah, jarang pulang ke rumah dan berbulan-bulan meninggalkan anaknya karena tugas atau hal-hal lain, dan hal ini terjadi secara berulang-ulang, maka struktur keluarga itu pun sebenarnya tidak utuh lagi. Pada akhirnya, apabila orang tua hidup bercerai, maka keluarga itu juga tidak utuh lagi. Selain keutuhan dalam sturktur keluarga, dimaksudkan pula keutuhan dalam interaksi keluarga, bahwa di dalam keluarga berlangsung interaksi sosial yang wajar (harmonis). Apabila orangtua sering bercekcok dan menyatakan sikap saling bermusuhan dengan disertai tindakan-tindakan yang agresif, keluarga itu tidak dapat disebut utuh (Gerungan, 1988). Kondisi keluarga yang tidak utuh akan mengakibatkan perkembangan perilaku prososial anak tidak berjalan baik. Shuffer (1994) mengungkapkan bahwa apabila dalam perkembangannya perilaku prososial anak rendah maka perilaku agresif anak saat remaja akan tinggi.
Rumah tangga yang dipenuhi kekerasan (antara orangtua atau orangtua pada anaknya) jelas berdampak pada anak. Anak, ketika meningkat remaja, belajar
bahwa kekerasan adalah bagian dari dirinya, sehingga adalah hal yang wajar kalau ia melakukan kekerasan pula pada orang lain.
Keterlibatan keluarga dalam mempengaruhi perilaku prososial terlihat dalam penelitian yang dilakukan Kerr, dkk (2003) yang menggunakan subjek remaja Latin berusia14-19 tahun. Penelitian ini menunjukkan hasil bahwa keterlibatan keluarga dapat mempengaruhi perilaku prososial remaja. Rendahnya keterlibatan keluarga maka akan menguatkan keterlibatan remaja pada pesta minuman keras, penggunaan ganja, pesta-pesta, dan tindakan kekerasan pada orang lain. Kuatnya monitoring orangtua dan kultur sosial yang dianut remaja akan mempengaruhi kuatnya minat remaja untuk menjadi tenaga sukarelawan pada kegiatan sosial dan perilaku prososial lainnya.
Penelitian lain yang juga mengungkapkan adanya pengaruh kondisi keluarga, khususnya orangtua dengan perkembangan perilaku prososial adalah penelitian Duncan, dkk (2002) pada remaja berusia 10-14 tahun di Baratlaut Pasifik, disana terungkap bahwa remaja yang hidup di lingkungan keluarga yang memiliki sepasang orangtua memiliki keterlibatan yang lebih rendah pada perilaku menyimpang dan penggunaan obat-obatan terlarang. remaja yang berasal dari keluarga yang memiliki orangtua lengkap juga lebih kuat minatnya pada kegiatan olah raga dan memiliki perilaku prososial yang lebih baik.
Interaksi keluarga yang baik, khususnya dari orangtua pada anak, juga dapat membantu perkembangan perilaku prososial anak, pada penelitiannya Hastings, dkk (2005) meneliti perkembangan perilaku prososial anak berdasarkan dari jenis kelamin, larangan (inhibition), dan sosialisasi dari orangtua. Berdasarkan hasil
penelitian ini diketahui bahwa perlakuan orangtua (protektif dan otoriter), khususnya dari ibu dapat mempengaruhi perkembangan perilaku prososial anak dikemudian hari.
Berdasarkan uraian diatas dapat dilihat bahwa peran keluarga sangat besar pada kehidupan sosial remaja. Pada penelitian ini akan dapat diketahui Apakah ada hubungan antara persepsi keharmonisan keluarga dengan intensi prososial remaja?
B. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara persepsi keharmonisan keluarga dengan intensi prososial remaja.
C. Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini dapat memperkaya pengembangan psikologi, khususnya psikologi perkembangan dan psikologi sosial. Selain itu dapat juga menambah wawasan dan wacana tambahan bagi unsur ilmu psikologi terapan seperti psikologi keluarga, dan unsur ilmu lainnya.
b. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini dapat mengetahui apakah persepsi keharmonisan keluarga memiliki hubungan intensi prososial remaja. Hasil penelitian ini akan bermanfaat untuk para orangtua dan para pendidik/guru karena akan membantu jika anak atau peserta didiknya memiliki masalah dalam
berperilaku prososial, dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat membantu dalam menemukan faktor penyebabnya.
D. Keaslian Penelitian 1. Keaslian Topik
Topik pada penelitian ini berbeda dengan tiga penelitian sebelumnya yang menggunakan Variabel tergantung sama. Pada penelitian ini peneliti mengangkat topik Hubungan antara persepsi keharmonisan keluarga dengan intensi prososial remaja. Pada penelitian sebelumnya yang termuat dalam empat jurnal dan satu skripsi adalah Perbedaan orientasi nilai dan perilaku prososial antara suku bangsa Melayu dan suku bangsa Tionghoa oleh Syafriman dan Wirawan (2004), Family involvement, problem and prosocial behavior outcomes of Latino youth oleh Kerr, dkk (2003), Links among gender, inhibition, and parental socializations in the development of prosocial behavior olek Hastings, dkk (2005), Relations between youth antisocial and prosocial activities oleh Duncan, dkk (2002), serta satu skripsi yang ditulis oleh Sulistyandari (1988) yang berjudul Perbedaan intensi prososial ditinjau dari status anak dalam keluarga.
2. Keaslian Teori
Penelitian ini menggunakan teori dari shaffer dalam mengungkapkan pengertian perilaku prososial, faktor-faktor, dan aspek-aspek yang mempengaruhi perilaku prososial. Hal inilah yang membedakan penelitian ini dari penelitian- penelitian sebelumnya. Penelitian Syafriman dan Wirawan (2004) menggunakan teori dari William dan Bartal dalam mengungkap pengertian perilaku prososial,
penelitian Kerr, dkk (2003) menggunakan teori Bandura dan Erikson dalam menjelaskan proses perkembangan anak termasuk perkembangan perlaku sosialnya, Hastings, dkk (2005) banyak menggunakan teori Eisenberg dan Fabes, dalam mengungkap perilaku prososial, Duncan, dkk (2002), menggunakan teori dari Pate, dkk dalam merumuskan penelitiannya. Pada skripsinya Sulistyandari (1988) menggunakan teori Staub, Wrightsman dan Deaux untuk menjelaskan pengertian perilaku prososial dan menggunakan aspek-aspek dari Mussen, dkk.
3. Keaslian Alat Ukur
Penelitian ini menggunakan alat ukur, yaitu skala persepsi keharmonisan keluarga dan skala intensi prososial yang akan dibuat oleh peneliti dengan mengacu pada teori yang digunakan peneliti.
4. Keaslian Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah siswa-siswi SMAN 2 Kota Bekasi yang berusia antara 15-18 tahun. Berbeda dengan subjek penelitian yang sebelumnya, yaitu orang suku bangsa Melayu dan suku bangsa Tionghoa yang bertempat tinggal di Indragiri Hulu yang berusia 17-25 tahun, remaja laki-laki dan perempuan Latin, anak- anak berusia 10-14 tahun di Baratlaut Pasifik, 108 keluarga yang terdiri dari 46 anak laki-laki dan 42 anak perempuan berserta orantua mereka, serta siswa-siswi SMA Muhammadiyah II Yogyakarta beserta kakak sulung dan adik bungsu siswa-siswi tersebut.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Intensi Prososial 1. Pengertian Perilaku Prososial.
Perilaku prososial menurut Wispe (Brigham, 1991) adalah perilaku yang dimaksudkan untuk memberikan kontribusi baik fisik maupun psikis pada kesejahteraan orang lain. Baron dan Byrne (1994) memandang perilaku prososial sebagai tindakan yang memberikan keuntungan bagi orang lain tetapi tidak memberikan manfaat atau keuntungan bagi yang melakukannya. Berdasarkan hal itu, apabila perilaku prososial tersebut menimbulkan keuntungan, keuntungan tersebut tidak dapat dirasakan secara langsung oleh orang yang memberikannya, dan bahkan menimbulkan derajat risiko tertentu (Baron & Byrne, 2005). Menurut Wrightman dan Deaux (1981) perilaku prososial mengandung arti sebagai perilaku yang mempunyai konsekuensi sosial positif yang ditujukan bagi kesejahteraan orang lain baik secara fisik maupun psikologis. Eisenberg dan Fabes mengemukakan bahwa perilaku prososial merupakan bagian dari perilaku yang sangat menolong, affiliasi, dan respon mendukung yang fokus pada memberikan keuntungan pada orang lain yang sedang dalam keadaan tertekan dan memang membutuhkannya (Hastings dkk, 2005).
Perilaku prososial sering digunakan secara bergantian dengan istilah altruisme. Altruisme sendiri memiliki arti sebagai tingkah laku yang merefleksikan pertimbangan untuk tidak mementingkan diri sendiri demi kebaikan orang lain (Baron
& Byrne, 1994). Menurut Sears, dkk (1991) altruisme adalah tindakan sukarela yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang untuk menolong orang lain tanpa mengharapkan imbalan apa pun (kecuali mungkin perasaan telah melakukan kebaikan). Brigham (1991) mengartikan altruisme sebagai perilaku tanpa pamrih yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan penerimanya. Jadi perilaku dianggap altruisme jika perilaku tersebut dilakukan tanpa memiliki pamrih apapun.
Rushton (Baron & Byrne, 1994) mengatakan perilaku prososial berkisar dari tindakan altruisme yang tidak mementingkan diri sendiri atau tanpa pamrih sampai tindakan menolong yang sepenuhnya dimotivasi oleh kepentingan diri sendiri.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa perilaku prososial sebagai perilaku yang memberikan keuntungan baik fisik maupun psikis bagi yang menerimanya, namun tidak memberikan manfaat atau keuntungan bagi yang memberikannya. Namun apabila perilaku prososial tersebut menimbulkan keuntungan, keuntungan tersebut tidak dapat dirasakan secara langsung oleh orang yang memberikannya, dan bahkan menimbulkan derajat risiko tertentu.
2. Aspek-aspek Perilaku Prososial
Perilaku prososial menurut Sears, dkk (1991) dapat dipahami melalui tiga perspektif. Perspektif pertama adalah dasar historis, ada dua pandangan historis yang bertentang. Pandangan pertama dikemukakan oleh para ilmuwan sosiobiologi pada abad ke-19. Siebenaler dan Caldwell (Sears dkk, 1991) mengisahkan ada seekor lumba-lumba pingsan karena adanya ledakan dalam air, dua ekor lumba- lumba dewasa datang untuk menolong dengan mendukung temannya itu agar
terapung sampai sadar dan mampu menolong dirinya sendiri. Gambaran tentang hewan yang saling menolong dan mengorbankan diri ini bertentangan dengan gambaran orang tentang hewan yang saling membunuh. Sosiobiologi menggunakan teori evolusi untuk menjelaskan perilaku prososial pada binatang. Setiap sifat genetik yang mempunyai nilai kelangsungan hidup tinggi (yang membantu individu untuk bertahan hidup) cenderung diturunkan. Ini terjadi karena individu yang memiliki sifat itu mempunyai kemungkinan yang lebih besar untuk bertahan hidup dibandingkan individu yang tidak memiliki sifat tersebut, sehingga menghasilkan lebih banyak keturunan, yang masing-masing cenderung memiliki sifat itu dan mempunyai kemungkinan yang lebih besar untuk bertahan hidup serta mempunyai keturunan, dan seterusnya.
Ditegaskan oleh Trivers (Sears dkk, 1991) bahwa hanya altruisme timbal balik yang mempunyai dasar biologis. Menurut pendapatnya, kerugian potensial dari altruisme yang dialami individu diimbangi dengan kemungkinan menerima pertolongan dari individu lain. Tetapi sistem pemberian bantuan timbal balik semacam itu terancam oleh “penipu” terselubung yang menerima tetapi tidak memberikan bantuan sama sekali. Untuk meminimalkan penipuan, seleksi alam memberikan kecenderungan untuk merasa bersalah dan kecenderungan untuk melaksanakan pertolongan timbal balik melalui perangkat sosial, seperti menghukum mereka yang tidak mematuhi aturan kelompok.
Pandangan kedua adalah teori evolusi sosial, yang mengemukakan kritik terhadap teori sosiobiologi, yaitu bahwa faktor sosial jauh lebih penting dibandingkan faktor biologis dalam menentukan perilaku prososial. Menurut pandangan ini, secara
bertahap dan selektif masyarakat mengembangkan keterampilan, keyakinan, dan teknologi yang menunjang kesejahteraan kelompok. Perilaku prososial menjadi bagian dari aturan atau norma sosial. Tiga norma yang paling penting bagi perilaku prososial adalah :
a. Tanggung jawab sosial.
Norma ini menentukan bahwa seharusnya kita membantu orang lain yang bergantung pada kita, seperti orangtua diharapkan memelihara anak-anaknya dan guru harus membantu murid-muridnya.
b. Saling ketimbalbalikan.
Norma ini menyatakan bahwa kita harus menolong orang yang menolong kita.
c. Keadilan sosial.
Norma ini berisi tentang keadilan dan pembagian sumber daya secara adil.
Salah satu prinsip keadilan adalah kesamaan. Menurut prinsip ini dua orang yang memberikan andil yang sama dalam suatu tugas harus menerima ganjaran yang sama.
Perspektif yang kedua tentang perilaku prososial yang menekankan makna pentingnya proses belajar. Dalam masa perkembangan, anak mempelajari norma masyarakatnya tentang tindakan menolong. Anak di rumah, di sekolah, dan di dalam masyarakat selalu belajar melalui orang dewasa bahwa mereka harus menolong orang lain. Orang belajar menolong melalui penguatan (peneguhan), yaitu melalui efek ganjaran dan hukuman terhadap tindakan menolong, dan peniruan, yaitu meniru orang lain yang memberikan pertolongan.
Perspektif yang ketiga adalah pengambilan keputusan untuk menolong.
Menuru Latane, dkk dalam situasi tertentu keputusan untuk menolong melibatkan proses kognisi sosial kompleks dan pengambilan keputusan yang rasional (Sears dkk, 1991). Pertama, orang harus memperhatikan bahwa sesuatu sedang berlangsung dan memutuskan apakah pertolongan dibutuhkan atau tidak. Bila pertolongan dibutuhkan, mungkin orang itu masih mempertimbangkan sejauh mana tanggung jawabnya untuk bertindak. Ketiga, orang tersebut mungkin menilai ganjaran dan kerugian bila membantu atau tidak. Terakhir, orang tersebut harus memutuskan jenis pertolongan apa yang dibutuhkan, dan bagaimana memberikannya.
Perilaku prososial menurut Shaffer (1994) dalam tindakannya memberikan keuntungan bagi yang menerimanya. Perilaku-perilaku yang menunjukkan perilaku prososial, yaitu :
a. Berbagi dengan orang lain yang mengalami nasib lebih buruk darinya.
b. Menghibur dan menolong orang yang tertekan karena memiliki masalah.
c. Menolong dan bekerja sama dengan orang lain hingga mencapai sasaran yang memang ingin dicapainya.
d. Memberikan perasaan nyaman pada orang lain atas penampilan atau prestasinya.
Syafriman dan Wirawan (2004) pada penelitiannya mengungkapkan bahwa perilaku prososial diwujudkan dengan perilaku, yaitu : menolong, bekerja sama, menyumbang dan membagi, serta mempertimbangkan kesejahteraan orang lain.
Berdasarkan uraian di atas, maka ada empat aspek yang penulis gunakan pada penelitian ini, yaitu berbagi dengan orang lain yang mengalami nasib lebih buruk darinya, menghibur dan menolong orang yang tertekan karena memiliki masalah, menolong dan bekerja sama dengan orang lain hingga mencapai sasaran yang memang ingin dicapainya, dan memberikan perasaan nyaman pada orang lain atas penampilan atau prestasinya.
3. Faktor-faktor Perilaku Prososial
Perlaku prososial menurut Shaffer (1994) dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu:
1. Kecenderungan perkembangan perilaku prososial:
a) Asal mula perilaku prososial
Sepanjang perjalanan hidupnya seseorang menerima pendidikan tentang moral dan agama, seseorang melihat contoh perilaku yang menyerupai perilaku prososial dari orang yang lebih tua. Perbedaan individu pada awal berkembangnya rasa belas kasih pada diri mereka, juga tergantung pada praktek sosialisasi yang dilakukan oleh orangtuanya. Waxler dan asosiasinya (Shaffer, 1994) meminta para ibu untuk menjaga rekaman (1) reaksi pada anak berusia satu setengah hingga dua setengah tahun yang diberi gangguan oleh anak lain dan (2) reaksi mereka sendiri ketika anak mereka yang menyebabkan gangguan tersebut. Hasilnya sangat menarik ibu yang rasa belas kasihnya rendah menekankan disiplin pada anak dengan taktik memaksa seperti physical restraint ( “saya hanya memindahkan anak
tersebut dari bayinya” ), physical punishment ( “Saya memukulnya sebagai satu-satunya cara yang baik” ) atau unexplained prohibitions ( “saya mengatakan „berhenti lakukan itu‟” ). Ini berbeda, ibu yang memiliki rasa belas kasih yang tinggi mendidik rasa disiplin pada anak dengan affective explanations, yaitu dengan membantu anak melihat hubungan antara tindakan mereka dan gangguan yang disebabkan karena tindakan mereka.
Contohnya dengan mengatakan “ Kau telah membuat Doug menangis.” ; “Ini tidak enak untuk kau gigit.” Atau “ Kau tidak boleh mencolok mata orang lain.” Menurut Maccoby (Shaffer, 1994), affective explanation adalah salah satu format dari empathy training, yaitu cacian ibu akan membuat anak menderita dan memancing perhatian karena telah membuat orang lain tidak nyaman. Sekali waktu anak akan mulai menghubungkan penderitaan mereka dengan apa yang ada pada korban mereka, karena pondasi untuk rasa belas kasih telah tertanam. semua anak sekarang perlu belajar bahwa setiap anak dapat menghilangkan kegelisahan yang dirasakannya dengan membebaskan orang lain dari penderitaannya. Hal ini dapat terus berlanjut hingga anak akan terbiasa saat beranjak remaja nanti.
b) Perkembang usia
Menurut hasil penelitian Underwood dan Moore, serta Whiting dan Edwards berbagi, menolong dan perilaku prososial lainnya akan lebih banyak muncul pada saat anak masuk sekolah dasar hingga terus berlanjut sampai awal remaja (Shaffer, 1994). Handlon dan Gross (Shaffer, 1994) menjawab penelitian-penelitian sebelumnya dengan mengadakan penelitian replikasi
pada siswa-siswa preschool, taman kanak-kanak, sekolah dasar kelas empat, lima, dan enam di Amerika. Studi ini mengungkapkan anak-anak preschool dan taman kanak-kanak sifat egoisnya masih terlihat terutama pada anak seumurannya, namun sifat murah hati/dermawan akan terus tumbuh sejalan dengan usianya. berdasarkan penelitian Green dan Schneider (Shaffer, 1994) sifat murah hati/dermawan terus meningkat hingga remaja pertengahan.
2. Pribadi orang yang menerima pertolongan dan situasi yang mempengaruhi tingkah laku prososial :
a) Jenis kelamin
Penelitian Latane dan Dabbs (Baron & Byrne, 2005) serta Piliavin dan Unger telah secara konsisten menunjukkan bahwa laki-laki lebih cenderung memberi pertolongan pada wanita yang mengalami kesulitan.
Namun menurut Shigetomi, dkk (Shaffer, 1994) wanita pada semua umur mempunyai empati, murah hati dan jiwa penolong yang lebih tinggi daripada pria.
b) Perasaan dibutuhkan bagi penolong dari orang yang memang bergantung padanya.
Seseorang juga cenderung untuk membantu orang yang tampak tergantung padanya untuk ditolong. Midlarsky dan Hannah (Shaffer, 1994) mengungkapkan bahwa anak-anak usia 6 tahun dan remaja berusia 16 tahun di mana pun lebih cepat untuk membantu seorang anak kecil yang sedang terluka dibandingkan orang yang seusianya yang
menderita luka yang sama, terutama sekali ketika orang yang sedang terluka tersebut tampak menyebalkan.
c) Perasaan suka akan menolong seorang teman
Seseorang lebih merasa nyaman, membantu, dan menyalurkan rasa murah hatinya dengan teman daripada dengan kenalannya atau orang yang tidak dikenal. Staub dan Noerenberg mengatakan seseorang terutama sekali akan sangat menolong atau murah hati kepada seorang teman jika mereka berpikir persahabatan mereka terancam dan memandang tindakan mereka demi kebaikan sebagai jalan untuk menguatkan atau memulihkan hubungan (Shaffer, 1994).
d) Suasana hati (good moods and bad moods)
Ada sejumlah bukti bahwa orang lebih terdorong untuk memberikan bantuan bila mereka berada dalam suasana hati yang baik (Sears dkk 1991). Orang akan lebih mungkin terlibat dalam tindakan prososial untuk menolong orang asing jika dalam suasana hati yang positif, misalnya dalam penelitian Wilson, jika partisipan setelah mendengarkan rekaman komedi (Baron & Byrne, 2005), diberi kue gratis di perpustakaan, seperti yang diungkapkan Isen dan Levin (Sears dkk, 1991), dan lain-lain.
Namun, ada batasan yang penting pada suasana hati positif tersebut.
Pertama, Isen, dkk (Sears dkk, 1991) mengungkapkan, efek suasana hati yang positif tidak berlangsung lama, hanya 20 menit dalam suatu penelitian. Kedua, Isen dan Simmonds (Sears dkk, 1991) mengatakan,
suasana hati yang baik bisa menurunkan kesediaan untuk menolong bila pemberian bantuan akan mengurangi suasana hati yang baik tersebut.
Penelitian Amato yang dperkuat dengan penelitian Rogers, dkk serta Thompson, dkk mengungkapkan ketika seseorang berada dalam suasana hati yang buruk serta sedang memusatkan perhatian pada diri sendiri dan pada masalah-masalah orang tersebut, maka orang tersebut cenderung untuk tidak menolong orang yang membutuhkan. Namun emosi negatif dapat juga memiliki pengaruh yang berlawanan pada kondisi spesifik. Misalnya, Cialdini, dkk mengungkapkan, jika suatu tindakan menolong merupakan suatu interaksi yang akan membuat anda merasa lebih baik, emosi negatif meningkatkan kemungkinan terjadinya tingkah laku prososial (Baron & Byrne, 2005).
3. Kognitif dan kontribusi afektif : a) Kemampuan yang dimiliki
Ada asumsi bahwa role taker yang pandai akan lebih altruistik jika dibandingkan dengan role taker yang rendah kemampuannya. Hal ini dikarenakan ketrampilan role taker mereka akan membantu untuk mengenali dan memahami faktor yang berperan untuk kemalangan atau kesusahan orang lain (Shaffer,1994). Seseorang juga akan merasa mempunyai kewajiban yang lebih besar untuk turut campur tangan dalam situasi di mana orang tersebut mempunyai kecakapan untuk membantu secara efektif. Dalam penelitian Clark dan Word (Sears dkk, 1991) para peserta melihat seseorang (sebenarnya teman peneliti) jatuh pingsan
karena mengalami shock listrik dari peralatan yang rusak. Di antara peserta yang mempunyai pengalaman atau pernah memperoleh latihan formal yang berkaitan dengan peralatan listrik, 90 persen bertindak untuk menolong, di antara mereka yang tidak memiliki kecakapan elektrik, hanya 58 persen yang bertindak.
b) Empati yang penting untuk menjadi mediator dari altruisme
Empati mengacu pada kemampuan seseorang untuk merasakan emosi yang sedang dirasakan oleh orang lain. Menurut Martin (Shaffer, 1994), empati adalah suatu respon dari manusia yang universal, yang mempunyai suatu neurogical basis, dan dapat terus berkembang dibantu atau ditempa oleh pengaruh lingkungan. Martin percaya bahwa penanaman empati akan menjadi suatu mediator yang penting dari altruisme.
Clark dan Orenstein mengungkapkan bahwa banyak perbedaan pada minat seseorang untuk menolong bersumber pada motif altruistik yang berdasarkan pada empati (Baron & Byrne, 2005). Duan (Baron & Byrne, 2005) mengatakan empati meliputi komponen afektif maupun kognitif.
Ditambahkan oleh Darley bahwa orang yang berempati merasakan apa yang orang lain rasakan (Baron & Byrne, 2005). Sedangkan, Azar menjelaskan bahwa secara kognitif, orang yang berempati memahami apa yang orang lain rasakan dan mengapa (Baron & Byrne, 2005).
c) Tahapan moral
Peneliti telah membuat tabel perkembangan tahapan pemikiran anak- anak tentang prososial dan hubungannya dengan perilaku altruistik.
Tabel 1
Tahapan prosocial moral reasoning yang disusun oleh N. Eisenberg, dkk (Shaffer, 1994), terdiri dari :
Level Deskripsi singkat Rentang usia Hedonistic
(self-oriented)
Perhatian pada satu orang, paling senang memberikan pertolongan ketika itu memberikan keuntungan bagi dirinya.
Siswa preschool dan awal sekolah dasar.
Needs oriented
Keputusan memberi pertolongan didasari atas kebutuhan orang lain, tidak banyak bukti dari simpati atau rasa bersalah untuk tidak membantu pada level ini.
Siswa sekolah dasar dan sedikit preschool.
Approval- oriented
Memperhatikan
penampilan dari tindakan altruistik yang orang lain lihat agar bagus atau patut dipuji, menjadi baik atau sesuai secara sosial amat penting.
Siswa sekolah dasar dan beberapa siswa sekolah tingkat lanjut.
Empathic or transitional
keputusan sekarang meliputi bukti dari respon simpatik, bukti dari rasa bersalah karena tidak memberi respon, dan bukti dari perasaan baik karena telah berbuat hal yang benar, acuan yang abstrak dibuat untuk memisahkan antara prinsip, tugas-tugas, dan nilai-nilai.
Siswa sekolah tingkat lanjut dan beberapa siswa sekolah dasar tingkat akhir.
Strongly internalized
penguatan untuk
membantu didasarkan pada nilai-nilai yang betul- betul mendalam, norma- norma, hukuman, dan
Sekelompok kecil siswa sekolah tingkat lanjut dan sebenarnya tidak untuk siswa sekolah dasar.
tanggung-jawab. Untuk orang yang miliki prinsip
yang sangat
mendalam/kuat tentu ini sekarang akan mengikis rasa harga dirinya.
Catatan : Dilema prosocial moral reasoning ini terus maju sampai sebanyaklima tingkatan antara awal masa kanak-kanak dan masa remaja.
d) Melihat dirinya sebagai orang yang altruistik
Baron dan Byrne yang diperkuat oleh Shaffer dan Smith mengungkapkan kesediaan seseorang untuk berkorban yang bermanfaat bagi orang lain bisa juga bergantung dengan kekritisan pada atas bagaimana rendah hati dipercaya pada dirinya. Riset pada orang dewasa yang secara konsisten menunjukkan bahwa orang-orang yang memiliki self-concept rendah hati lebih prososial dibanding mereka yang tidak menggambarkan hal tersebut pada diri mereka, terutama sekali rasa berbelas kasih, beramal, atau menolong (Shaffer, 1994).
4. Kultur dan pengaruh sosial :
a) Pengaruh kultur dalam keluarga
Kultur dengan jelas berbeda dalam mendukung atau mendorong timbulnya perilaku prososial. Beatrice dan Whiting (Shaffer, 1994) telah melakukan observasi terhadap perilaku prososial pada anak berusia tiga hingga sepuluh tahun di enam kultur, yaitu Kenya, Meksiko, Filipina, Okinawa, India, dan Amerika Serikat. Hasil penelitian tersebut adalah kultur di mana anak-anak dapat lebih rasa rendah hati saat mengadakan
hubungan sosial adalah jika anak tinggal dalam keluarga besar dan semua orang mendukung kesejahteraan keluarga tersebut. Whiting menyimpulkan bahwa anak-anak yang diberikan tanggung-jawab yang penting, seperti membuat dan memproses makanan atau mengawasi saudara-saudaranya yang masih bayi, akan secara sendirinya mengembangkan kerja sama, dan mengorientasikan sikap rendah hati sejak dini. Sehingga saat anak beranjak remaja dan lebih banyak meluangkan waktunya bersama teman sebayanya, anak akan mudah untuk dapat bekerja sama, berempati, dan berbagi dengan temannya.
b) Adanya penguatan
Beberapa penelitian memperlihatkan dengan jelas bahwa seseorang akan membantu dan memberi lebih banyak bila mereka mendapat ganjaran karena melakukan perilaku prososial. Misalnya, Fischer mengungkapkan anak yang berusia empat tahun mempunyai kemungkinan lebih besar untuk memberikan kelerengnya kepada anak lain bila mereka mendapat ganjaran permen karet karena kemurahan hatinya itu. Pada kesempatan Moss dan Page mengadakan penelitian, orang yang berjalan di sepanjang jalan utama kota Dayton, Ohio, dihampiri oleh seorang wanita yang bertanya tentang bagaimana caranya bila ingin ke toserba setempat. Setelah mendapatkan penjelasan, dia mengganjar penolong itu (dengan mengatakan “Terima kasih banyak, saya benar-benar mengerti”) atau menghukumnya (“Saya tidak mengerti apa yang Anda katakan, tetapi tidak apa-apa, saya akan bertanya pada
orang lain”). Ketika subjek yang naif itu terus melanjutkan perjalanannya, dia bertemu dengan wanita lain yang tiba-tiba menjatuhkan tas kecilnya dan terus berjalan seolah-olah tidak tahu bahwa tasnya telah jatuh, yang menjadi pertanyaan adalah apakah subjek itu akan menolong wanita tersebut dengan mengembalikan tasnya atau tidak. Dalam kondisi ganjaran, 90 persen orang memberikan pertolongan, dalam kondisi hukuman, hanya 40 persen menolong.
c) Adanya pengaruh modelling (peniruan)
Rushton dan Teachman (Sears dkk, 1991) menggambarkan penelitian yang menggabungkan peniruan dan penguatan. Pertama-tama, seorang model dewasa yang suka menolong meminta anak laki-laki untuk melakukan perilaku altruistik dengan memberikan sebagian uang yang mereka menangkan dalam permainan bowling kepada seorang anak yatim-piatu bernama Bobby. Kemudian, sang model itu memberikan ganjaran kepada anak atas kebaikan hatinya (“Kamu memang baik.”
“Kamu benar-benar baik”). Atau, menghukumnya (“Kamu benar-benar bodoh mau memberikan uang ini untuk Bobby.”). Ada juga kondisi tanpa penguatan di mana orang dewasa itu tidak mengatakan apa-apa. Dalam eksperimen berikutnya, anak yang memperoleh ganjaran memberikan keping mata uang lebih banyak kepada Bobby dibandingkan anak yang memperoleh hukuman. Dua minggu kemudian, ketika anak-anak itu kembali memainkan peranan yang sama dan diingatkan tentang Bobby,
efek ganjaran atau hukuman sebelumnya masih mempengaruhi jumlah keping mata uang yang mereka berikan kepada Bobby.
Peniruan (modelling) juga merupakan penyebab kuat timbulnya perilaku prososial pada orang yang lebih dewasa, seperti yang diperlihatkan dalam telaah tentang donor darah. Rushton dan Campbell (Sears dkk, 1991) menceritakan, pada mulanya beberapa mahasiswi berbincang- bincang dengan seorang wanita yang ramah ( yang merupakan pasangan peneliti) sebagai bagian dari telaah tentang interaksi sosial.
Peneliti mengatur segala sesuatunya sedemikian rupa sehingga pada saat kedua wanita itu meninggalkan ruang penelitian interaksi, mereka melewati meja di gang, yang dijaga oleh orang yang mengajak mereka menjadi donor darah. Dalam suatu kondisi, pasangan peneliti segera menjadi donor sukarela, menjadi model perilaku prososial. Dalam kondisi yang lain, pasangan peneliti minggir untuk berbincang-bincang, dengan orang lain. Efek perilaku model itu sangat berbeda. Model yang suka menolong menyebabkan 67 persen subjek berjanji untuk menyumbangkan darahnya, sedangkan 25 persen subjek yang tidak melihat model. Selain itu, pada subjek yang berjanji tersebut hanya 33 persen dari mereka yang melihat model yang benar-benar menyumbangkan darahnya dan tidak ada di antara mereka yang berada dalam kondisi tanpa model yang benar-benar menyumbangkan darah.
Orangtua memiliki peluang besar mendidik anak mereka dengan pemahaman kognitif yang rasional tentang berbagi, menenangkan dan menolong orang lain (Shaffer, 1994).
d) Orangtua sebagai orang yang mengembangkan perilaku prososial anak Orangtua memiliki peran yang besar dalam mengembangkan perilaku prososial pada anak secara aktif. Reaksi orangtua atas tindakan yang dilakukan oleh anaknya juga memiliki peran penting dalam perkembangan sikap peduli anak/murah hati anak pada orang lain.
Sebagai contoh, Waxler, dkk (Shaffer, 1994) telah mencatat bahwa para ibu yang lebih sedikit rasa belas kasihnya memberi reaksi pada perbuatan nakal bayi dan anak mereka dengan hukuman atau yang lebih keras lagi. atau menghukum, sedangkan para ibu dari bayi atau anak yang memiliki rasa belas kasih yang lebih kuat tidak bereaksi dengan memberi hukuman, namun cenderung memberi penjelasan, dan membujuk anak mereka untuk menerima tanggung jawab pribadi atas kenakalannya dan menghimbaunya untuk mengarahkan untuk memberi beberapa macam penghiburan atau tanggapan kepada korban mereka.
Seorang anak yang perlaku prososialnya dapat berkembang dengan baik akan menjalin kerja sama dan hubungan pertemanan yang baik dengan remaja usianya.
Syafriman dan Wirawan (2004) dalam penelitiannya mengungkapkan faktor- faktor yang mempengaruhi prilaku prososial adalah sebagai berikut :
a. Faktor situasional yang meliputi : kehadiran orang lain, faktor lingkungan dan kebisingan, faktor tanggung jawab, faktor kemampuan yang dimiliki, faktor desakan waktu, dan latar belakang keluarga.
b. Faktor internal yang meliputi : faktor pertimbangan untung rugi, faktor nilai- nilai pribadi, faktor empati, suasana hati (mood), faktor sifat, faktor tanggung jawab, faktor agama, tahapan moral, orientasi seksual, dan jenis kelamin.
c. Faktor penerima bantuan yang meliputi : karakteristik orang yang memerlukan pertolongan, kesamaan penolong dengan yang memerlukan pertolongan, asal daerah, dan daya tarik fisik.
d. Faktor budaya meliputi : nilai dan norma yang berlaku pada suatu masyarakat khususnya norma tanggung jawab sosial, norma timbal balik dan norma keadilan.
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku prososial cukup banyak. Namun menurut penulis, faktor- faktor tersebut dapat dibedakan menjadi dua, yaitu dari sisi orang yang melakukan dan orang yang yang menerima. Dari sisi yang melakukan, yaitu faktor internal meliputi : Kecenderungan perkembangan perilaku prososial, Kemampuan yang dimiliki, Melihat dirinya sebagai orang yang altruistik, pertimbangan untung rugi, nilai-nilai pribadi, empati, suasana hati (mood), sifat, tanggung jawab, agama, tahapan moral, orientasi seksual, dan jenis kelamin. Faktor eksternal meliputi : Orangtua sebagai orang yang mengembangkan perilaku prososial anak, pengaruh
kultur dalam keluarga, adanya penguatan, adanya pengaruh modelling (peniruan), kehadiran orang lain, lingkungan dan kebisingan, tanggung jawab, kemampuan yang dimiliki, desakan waktu. Dari sisi yang menerima perilaku prososial, yaitu Jenis kelamin, karakteristik orang yang memerlukan pertolongan, kesamaan penolong dengan yang memerlukan pertolongan, asal daerah, dan daya tarik fisik. Perasaan suka menolong seorang teman, perasaan dibutuhkan bagi penolong dari orang yang memang bergantung padanya.
Berdasarkan faktor-faktor di atas, penulis menyimpulkan peran orangtua sangat besar dalam mempengaruhi perkembangan perilaku prososial anak di kemudian hari. Perilaku orangtua dapat mempengaruhi remaja melalui modelling dan pemberian reinforcement. Hal ini juga diperkuat oleh kultur yang berkembang dalam keluarga apakah dapat mempengaruhi perilaku prososial anak saat remaja atau tidak.
4. Intensi
Intensi menurut Fishbein dan Ajzen (1975) sering dipandang sebagai komponen konatif dari sikap. Dapat dikatakan bahwa komponen konatif ini berhubungan erat dengan komponen afektif dari sikap. Menurut Ancok (Dayakisni &
Hudaniah, 2003), pada dasarnya intensi berkaitan erat dengan pengetahuan (belief) seseorang terhadap suatu hal, sikap (attitude) nya pada hal itu, serta dengan perilaku itu sendiri sebagai perwujudan nyata dari intensinya.
Intensi menurut Dayakisni dan Hudaniah (2003), merupakan predisposisi yang sifatnya spesifik dan mengarah pada terwujudnya perilaku yang spesifik.
Fishbein dan Ajzen (1975) juga menjelaskan bahwa intensi harus dipandang sebagai fenomena bebas dan khusus, lebih daripada sekedar bagian dari sikap.
Dengan demikian walaupun orang memiliki sikap yang sama terhadap suatu hal, namun mereka dapat memiliki intensi yang berbeda. Kekhususan tersebut menurut Fishbein dan Ajzen (1975) melibatkan empat unsur-unsur yang berbeda, yaitu : a. Perilaku, perilaku spesifik atau khusus yang nantinya akan dilakukan.
b. Target, objek yang menjadi target perilaku akan diarahkan. Target dibedakan menjadi : particular object (misalnya nama), a class of object (misalnya jabatan atau kedudukan), dan any object , yaitu orang pada umumnya.
c. Situasi, di mana perilaku akan dilakukan. Situasi dapat diartikan sebagai lokasi perilaku tersebut akan dilakukan.
d. Waktunya, kapan perilaku akan dilakukan. Intensi dapat dilakukan pada periode waktu yang spesifik yang telah ditentukan atau pada periode waktu yang tak dibatasi.
Mekanisme pertama terbentuknya tingkah laku terjadi saat seseorang berpikir dengan teliti dan hati-hati terhadap sikapnya dan bagaimana implikasi sikap terhadap tingkah laku orang tersebut. Pengertian yang mendalam dari proses tersebut dijelaskan oleh teori tindakan yang beralasan (theory of reasoned action) dan selanjutnya lebih dikenal dengan teori tingkah laku terencana (theory of planned behavior) yang pertama kali dikemukakan oleh Fishben dan Ajzen (Baron & Byrne, 2003) yang mengatakan bahwa keputusan untuk menampilkan tingkah laku tertentu adalah hasil dari proses rasional yang diarahkan pada satu tujuan tertentu dan mengikuti urut-urutan berpikir. Pilihan tingkah laku dipertimbangkan, konsekuensi
dan hasil dari setiap tingkah laku dievaluasi, dan dibuat sebuah keputusan apakah akan bertindak atau tidak, kemudian keputusan itu direfleksikan dalam tujuan tingkah laku yang nantinya dapat menjadi prediktor yang kuat terhadap cara kita bertingkah laku pada situasi yang terjadi.
Berdasarkan teori di atas, diketahui bahwa intensi dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu: keyakinan terhadap tingkah laku (Behavioral beliefs) yang menghasilkan sikap terhadap tingkah laku (Attitudes toward a behavior), yaitu evaluasi positif atau negatif dari tingkah laku yang ditampilkan, dan keyakinan terhadap norma (normative beliefs) yang menghasilkan norma subjektif (subjective norm), yaitu persepsi orang apakah orang lain akan menyetujui atau menolak tingkah laku tersebut. Teori tingkah laku terencana (theory of planned behavior) menambahkan faktor ketiga, yaitu keyakinan terhadap kontrol (control beliefs) yang menghasilkan kontrol tingkah laku yang dipersepsikan (perceived behavioral control), yang diartikan sebagai penilaian terhadap kemampuan sikap untuk menampilkan tingkah laku (Ajzen, 2006).
kk
Bagan 1 :
Skema yang menjelaskan terbentuknya intensi
Konsep tentang perceived behavior control sangat mirip dengan konsep self- efficacy dari Bandura yang merujuk pada sejauh mana individu memiliki keyakinan (belief) bahwa mereka memiliki kecakapan (kemampuan) dan kesempatan yang dibutuhkan untuk menampilkan suatu tindakan (Dayakisni & Hudaniah, 2003).
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa intensi adalah niat seseorang untuk melakukan perilaku tertentu. Intensi dipengaruhi oleh faktor sikap terhadap tingkah laku, norma subjektif , dan kontrol tingkah laku yang dipersepsikan.
Keyakinan terhadap
tingkah laku
Keyakinan terhadap
norma
Sikap terhadap
tingkah laku
Norma subjektif
Kontrol keyakinan
Kontrol perilaku yang dipersep
sikan
intensi perilaku
5. Intensi Prososial Remaja
Remaja (adolescence ) seperti diungkap oleh Muss (Sarwono, 2002) adalah berasal dari bahasa latin, yaitu adolescere yang artinya tumbuh ke arah kematangan. Kematangan di sini tidak hanya berarti kematangan fisik, tetapi terutama kematangan sosial-psikologis.
Menurut Hurlock (1980), lazimnya masa remaja dimulai pada saat anak secara seksual telah menjadi matang dan berakhir saat seseorang mencapai usia matang secara hukum. Dengan demikian, garis pemisah antara awal dan akhir masa remaja terletak kira-kira di sekitar usia tujuh belas tahun.
Stanley Hall, tokoh yang pertama kali mempublikasikan buku teks mengenai remaja, menyatakan bahwa usia remaja berkisar antara 12 – 23 tahun dan masa ini biasanya dipenuhi dengan konflik dan tekanan (Santrock, 2001).
Sementara itu, pada tahun 1974, organisasi kesehatan dunia (WHO) menetapkan batas usia 10 – 20 tahun sebagai batasan usia remaja, dengan membagi menjadi dua bagian, yaitu remaja awal 10 – 14 tahun dan remaja akhir 15 – 20 tahun. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sendiri menetapkan usia 15 – 24 tahun sebagai usia pemuda (Sarwono, 2002).
Blos (Sarwono, 2002) mengungkapkan bahwa perkembangan pada hakikatnya adalah usaha penyesuaian diri (coping), yaitu untuk secaraaktif mengatasi stress dan mencari jalan keluar baru dari berbagai masalah. Dalam proses penyesuaian diri menuju kedewasaan, ada tiga tahap perkembangan remaja, yaitu:
a. Remaja awal (early adolescence)
Seorang remaja pada tahap ini masih terheran-heran akan perubahan- perubahan yang terjadi pada tubuhnya sendiri dan doronga-dorongan yang menyertai perubahan itu-perubahan itu. Mereka mengembangkan pikiran-pikiran baru, cepat tertarik pada lawan jenis dan mudah terangsang secara erotis.
b. Remaja madya (middle adolescence)
Pada tahap ini remaja sangat membutuhkan kawan-kawan. Remaja senang kalau banyak teman yang menyukainya. Ada kecenderungan “narcistic”, yaitumencintai diri sendiri, dengan menyukai teman-temannya yang mempunyai sifat yang sama dengan dirinya. Selain itu remaja juga dalam kondisi kebingungan karena tidak tahu harus memilih mana: peka atau tidak peka, ramai atau sendiri, dan lain-lain.
c. Remaja akhir (late adolescence)
Tahap ini masa konsolidasi menuju priode dewasa dan ditandai dengan pencapaian lima hal, yaitu:
1. Minat yang makin mantap terhadap fungsi-fungsi intelek.
2. Egonya mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang-orang lain dan dalam pengalaman-pengalaman baru.
3. Terbentuknya identitas seksual yang tidak akan berubah lagi.
4. Egosentrisme (terlalu memusatkan pada diri sendiri) diganti dengan keseimbangan antar kepentingan diri sendiri dengan orang lain.
5. Tumbuh “dinding” yang memisahkan diri pribadinya (private self) dan masyarakat umum (the public).
Masa remaja adalah saat di mana anak lebih banyak menghabiskan waktunya di luar rumah. Perilaku anak di luar rumah adalah cerminan dari pendidikan yang diberikan keluarga khususnya orangtuanya. Hal ini seperti yang diungkapkan Locke (Sarwono, 2002) pada salah satu dari tiga antithesisnya bahwa seorang anak akan menjadi baik atau jahat tergantung dari pengalaman. Kalau anak mendapat pengalaman yang baik dia akan jadi anak yang baik, kalau pengalamannya tentang kejahatan dia menjadi anak jahat.
Seorang remaja yang mendapatkan pengalaman yang baik akan dapat mengembangkan perilaku prososialnya. Seorang remaja yang mendapatkan dukungan orangtuanya untuk mengembangkan perilaku prososial dari pola pengasuhan orangtuanya, tentu akan menjadi remaja yang baik. Hal ini terungkap dari hasil penelitian Hastings, dkk (2005) yang meneliti perkembangan perilaku prososial anak berdasarkan dari jenis kelamin, larangan (inhibition), dan sosialisasi dari orangtua. Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa perlakuan orangtua (protektif dan otoriter), khususnya dari ibu dapat mempengaruhi perkembangan perilaku prososial anak dikemudian hari.
Seorang remaja yang perilaku prososialnya dapat berkembang dengan baik, tentu akan memiliki intensi prososial yang tinggi. Berbeda dengan seorang anak yang perilaku prososialnya tidak dapat berkembang dengan baik maka remaja tersebut akan memiliki intensi prososial yang rendah.
B. Persepsi Keharmonisan Keluarga 1. Pengertian persepsi Keharmonisan Keluarga
Persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh proses penginderaan, yaitu merupakan proses diterimanya stimulus oleh individu melalui alat indera.
Proses penginderaan akan berlangsung setiap saat, pada waktu individu menerima stimulus melalui alat indera, yaitu melalui mata sebagai alat penglihatan, telinga sebagai alat pendengaran, hidung sebagai alat pembauan, lidah sebagai alat pengecapan, kulit pada telapak tangan sebagai perabaan, yang kesemuanya merupakan alat indera yang digunakan untuk menerima stimulus dari luar individu.
Stimulus yang diindera itu kemudian oleh individu diorganisasikan dan diinterpretasikan, sehingga individu menyadari, mengerti tentang apa yang diindera itu, dan proses ini disebut persepsi ( Walgito, 2002).
Menurut Moskowitz dan Orgel (Walgito, 2002) persepsi merupakan proses yang integrated dalam diri individu terhadap stimulus yang diterimanya. Dalam persepsi stimulus dapat datang dari luar, tetapi juga dapat datang dari dalam diri individu sendiri. Namun demikian sebagian terbesar stimulus datang dari luar individu yang bersangkutan. Sekalipun persepsi dapat melalui macam-macam alat indera yang ada pada individu, tetapi sebagian besar persepsi melalui alat indera penglihatan (Walgito, 2002). Persepsi dipengaruhi oleh beberapa faktor. Adapun menurut Walgito (2002) faktor-faktor tersebut, yaitu :
a. Objek yang dipersepsi
Objek menimbulkan stimulus yang mengenai alat indera atau reseptor.
Stimulus dapat datang dari luar individu yang mempersepsi, tetapi juga dapat dari dalam individu yang bersangkutan yang langsung mengenai syaraf penerima yang bekerja sebagai reseptor. Objek yang dapat dipersepsi sangat banyak, yaitu segala sesuatu yang ada di sekitar manusia. Manusia itu sendiri dapat menjadi objek persepsi. Orang yang menjadikan dirinya sendiri sebagai objek persepsi, ini yang disebut sebagai persepsi diri atau self-perception. Karena sangat banyaknya objek yang dapat dipersepsi, maka pada umumnya objek persepsi diklasifikasikan. Objek persepsi dapat dibedakan atas objek yang non-manusia dan manusia. Objek persepsi yang berwujud manusia disebut person perception atau juga ada yang menyebutnya social perception, sedangkan persepsi yang berobjekan non-manusia sering disebut nonsocial perception atau things perception.
b. Alat indera, syaraf, dan pusat susunan syaraf
Alat indera atau reseptor merupakan alat untuk menerima stimulus. Di samping itu juga harus ada syaraf sensoris sebagai alat untuk meneruskan stimulus yang diterima reseptor ke pusat susunan syaraf, yaitu otak sebagai pusat kesadaran. Sebagai alat untuk mengadakan respon diperlukan syaraf motoris.
c. Perhatian
Untuk menyadari atau untuk mengadakan persepsi diperlukan adanya perhatian, yaitu merupakan langkah pertama sebagai suatu persiapan dalam rangka mengadakan persepsi. Perhatian merupakan pemusatan atau konsentrasi dari seluruh aktivitas individu yang ditujukan kepada sesuatu atau sekumpulan objek.
Proses terjadinya dapat dijelaskan bermula pada objek menimbulkan stimulus, dan stimulus mengenai alat indera atau reseptor. Proses stimulus mengenai alat indera merupakan proses kealaman atau proses fisik. Stimulus yang diterima oleh alat indera diteruskan oleh syaraf sensoris ke otak. Proses ini yang disebut sebagai proses fisiologis. Kemudian terjadilah proses di otak sebagai pusat kesadaran sehingga individu menyadari apa yang dilihat, atau apa yang didengar, atau apa yang diraba. Proses yang terjadi dalam otak atau dalam pusat kesadaran inilah yang disebut sebagai proses psikologis. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa taraf terakhir dari proses persepsi ialah individu menyadari, misalnya tentang apa yang dilihat, atau apa yang didengar, atau apa yang diraba, yaitu stimulus yang diterima melalui alat indera. Proses ini merupakan proses terakhir dari persepsi dan merupakan persepsi sebenarnya. Respon sebagai akibat dari persepsi dapat diambil oleh individu dalam berbagai macam bentuk (Walgito, 2002).
Pada penelitian ini penulis akan menggabungkan pengertian antara persepsi dan keharmonisan keluarga. Pada dewasa ini banyak sekali pengertian keluarga yang berkembang di masyarakat. Arifin (Suhendi & Wahyu, 2001) mengatakan keluarga adalah suatu kelompok yang terdiri dari dua orang atau lebih yang direkatkan oleh ikatan darah, perkawinan, atau adopsi serta tinggal bersama.
Para sosiolog berpendapat bahwa asal-usul pengelompokan keluarga bermula dari peristiwa perkawinan. Akan tetapi asal-usul keluarga dapat pula terbentuk dari hubungan antara laki-laki dan perempuan dengan status yang berbeda, kemudian mereka tinggal bersama memiliki anak. Anak yang dihasilkan dari hidup bersama ini disebut keturunan dari kelompok itu. Dari sinilah pengertian