• Tidak ada hasil yang ditemukan

Latar Belakang Pendidikan dan Karir Syed Muhammad Naquib Al Attas

SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS A Biografi Syed Muhammad Naquib Al-Attas

2. Latar Belakang Pendidikan dan Karir Syed Muhammad Naquib Al Attas

Syed Muhammad Naquib Al-Attas adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Yang sulung bernama Syed Hussein, seorang ahli sosiologi dan mantan Wakil rektor Universitas Malaya, sedangkan yang bungsu bernama Syed Zaid, seorang insinyur kimia dan mantan dosen Institut Teknologi MARA.2

2. Latar Belakang Pendidikan dan Karir Syed Muhammad Naquib Al- Attas

Sejarawan, ahli filsafat, dan seniman berkewarganegaraan Malaysia. Dalam dunia akademis, ia dikenal sebagai sejarawan yang mengkhususkan diri pada sejarah Islam di Melayu. Ia adalah pendiri The International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC), Kuala Lumpur, Malaysia.3

Pada waktu itu Indonesia berada di bawah kolonialisme Belanda. Bila dilihat dari garis keturunannya, al-Attas termasuk orang yang beruntung secara inheren. Sebab dari kedua belah pihak, baik pihak ayah maupun ibu merupakan orang-orang

2 Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib Al- Attas, (Bandung: Mizan, 2003), cet. ke-1, h. 45-46

3 Hasan Muarif Hambaly. et.al., Suplemen Ensiklopedi Islam Jilid 2, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), cet. ke-1, h. 78

yang berdarah biru. Ibunya yang asli Bogor itu masih keturunan bangsawan Sunda. Sedangkan pihak ayah masih tergolong bangsawan di Johor. Bahkan mendapat gelar sayyed yang dalam tradisi Islam orang yang mendapat gelar tersebut merupakan keturunan langsung dari Nabi Muhammad SAW. 4

Ketika berusia 5 tahun, Al-Attas diajak orang tuanya migrasi ke Malaysia. Di Malaysia, Al-Attas dimasukkan dalam pendidikan dasar Ngee Heng Primary School sampai usia 10 tahun (1936-1941). Melihat perkembangan yang menguntungkan yakni ketika Jepang menguasai Malaysia, maka Al-Attas dan keluarga pindah lagi ke Indonesia. Di sini, ia kemudian melanjutkan pendidikan di sekolah „Urwah al-Wusqa, Sukabumi selama lima tahun. Di tempat lain, Al-Attas mulai mendalami dan mendapatkan pemahaman tradisi Islam yang kuat, terutama tarekat. Hal ini bisa difahami, karena saat itu, di Sukabumi telah berkembang perkumpulan tarekat Naqsabandiyyah.5

Ia kembali ke Indonesia ketika Jepang menduduki Malaya untuk belajar ilmu- ilmu keislaman di madrasah al-Urwatul Wutsqa‟, Sukabumi, Jawa Barat (1941-1945). Setelah menyelesaikan sekolah lanjutan atas, ia memasuki ketentaraan Malaysia dan sempat dikirim untuk belajar di beberapa sekolah militer di Inggris, termasuk Royal Military Academy, Sandhurst (1952-1955). Pada tahun 1957, ia keluar dari duni militer dan belajar di Universiti Malaya, Malaysia, selama dua tahun. Kemudian ia melanjutkan pendidikannya di Institute of Islamic Studies, Mc.Gill University, Canada (1959-1962), hingga meraih gelar Master dengan tesis yang berjudul Raniri

and The Wujudiyyah of 17th Century Acheh (diterbitkan 1966).6

Belum puas dengan pengembaraan intelektualnya, Al-Attas kemudian melanjutkan studi ke School of Oriental and African Studies di Universitas London. Di sinilah ia bertemu dengan Lings, seorang profesor asal Inggris yang mempunyai pengaruh besar dalam diri Al-Attas, walaupun itu hanya terbatas pada dataran

4 Al-Rasyidin dan Samsul Nizar, Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis: Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Ciputat Press, 2005), h. 117

5 Ramayulis dan Samsul Nizar, op.cit., h. 118 6 Hasan Muarif Hambaly. et.al., op.cit., h. 78

metodologis. Selama kurang lebih dua tahun (1963-1965), dengan bimbingan Martin Lings, Al-Attas menyelesaikan perkuliahan dan mempertahankan disertasinya yang berjudul The Mysticism of Hamzah Fansuri (diterbitkan 1970).7

Dalam perjalanan karir akademiknya, Al-Attas mengawali karirnya dengan menjadi seorang dosen. Dia banyak membina perguruan tinggi dan ikut berpartisipasi dalam pendirian universitas di Malaysia, baik sebagai ketua jurusan, dekan, direktur dan rektor. Pada tahun 1968-1970 Al-Attas menjabat sebagai ketua Departemen Kesusastraan dalam Pengkajian Melayu. Al-Attas merancang dasar bahasa Malaysia pada tahun 1970. Dan pada tahun 1970-1973 Al-Attas menjabat Dekan pada Fakultas Sastra di universitas tersebut. Akhirnya pada tanggal 24 Januari 1972 dia diangkat menjadi Profesor Bahasa dan Kesusastraan Melayu, dalam pengukuhannya dia membacakan pidato ilmiah yang berjudul Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu.8

Mulai awal 1980-an, Al-Attas berusaha mempraktekkan gagasannya mengenai konsep pendidikan Islam dalam bentuk universitas. Hal ini antara lain dikemukakan dalam Konferensi Dunia Pendidikan Islam pertama di Mekah pada tahun 1977. Sebgai tindak lanjut konferensi tersebut, Organisasi Konferensi Islam (OKI) bersedia membantu pemerintah Malaysia mendirikan suatu universitas Islam internasional di Malaysia, yang kemudian diberi nama International Islamic University (Universitas Islam Internasional), pada tahun 1984. Konsep universitas ini adalah universitas biasa, namun dengan tambahan pengajaran dan dasar-dasar Islam dan bahasa Arab. Pengetahuan dasar tentang Islam diberi cukup mendalam agar mahasiswa dapat menyaring konsep-konsep tak islami dari ilmu-ilmu yang dipelajarinya. Artinya, islamisasi terjadi dalam diri mahasiswa yang mempelajari ilmu-ilmu modern itu, dan bukan sesuatu yang dilakukan terhadap disiplin itu sendiri.

7 Al-Rasyidin dan Samsul Nizar, op.cit., h. 118

8 Inpas Online, Islamisasi Ilmu Pengetahuan Tinjauan Atas Pemikiran Syed M. Naquib Al-Attas

Belakangan arah konsep universitas ini berubah menjadi lebih dekat dengan konsep universitas Islam versi International Institute of Islamic Thought (IIIT) – sebuah lembaga penelitian yang berpusat di Washington D.C., Amerika Serikat, serta diilhami oleh pemikiran almarhum Ismail Raji‟ Al-Faruqi – yaitu islamisasi disiplin ilmu itu sendiri. Merasa tidak sejalan dengan arah baru universitas ini, Al-Attas berusaha mendirikan sebuah lembaga pengajaran dan penelitian yang mengkhususkan diri pada pemikiran Islam – khususnya filsafat – sebagai jantung dari proses islamisasi yang dibayangkannya itu. Gagasannya tersebut terwujud dengan berdirinya ISTAC di Kuala Lumpur pada tanggal 27 Februari 1987. Pada bulan Desember 1987, Al-Attas diangkat menjadi profesor bidang pemikiran dan peradaban Islam pada lembaga tersebut. Ia juga merancang gedung ISTAC yang diresmikan tahun 1991. Selain itu, ia juga memperoleh penghargaan Al-Ghazali Chair of Islamic Thought pada bulan Desember 1993 dari lembaga ini atas sumbangannya dalam pemikiran Islam kontemporer.9