• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengertian Pendidikan Islam “ Ta’dib ”

SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS A Biografi Syed Muhammad Naquib Al-Attas

2. Pengertian Pendidikan Islam “ Ta’dib ”

Dalam dunia pendidikan dikenal adanya tiga rangkaian istilah yang disering digunakan untuk menunjukkan pendidikan Islam, secara keseluruhan yang terdapat dalam konotasi istilah tarbiyah, ta’lim, dan ta’dib, yang dipakai secara bersamaan. Ketika tampil sebagai pembicara utama dalam Konferensi Dunia pertama tentang pendidikan Islam tahun 1977 di Makkah, Syed Muhammad Naquib Al-Attas sebagai ketua komite yang membahas tentang cita-cita dan tujuan pendidikan dalam konferensi tersebut, secara sistematis mengajukan agar definisi pendidikan Islam diganti menjadi “Penanaman adab” dan istilah pendidikan dalam Islam, menjadi

19Ibid., h. 42-43

20 Achmad Gholib, Teologi dalam Perspektif Islam, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2004), cet. ke-1, h. 155

ta’dib. Setelah melalui perdebatan yang sengit, akhirnya usul tersebut di atas untuk merujuk kepada istilah pendidikan Islam.21 Lebih jelasnya Al-Attas menegaskan bahwa:

Bagi saya, istilah tarbiyah bukanlah istilah yang tepat dan bukan pula istilah yang benar untuk memaksudkan pendidikan dalam pengertian Islam. Karena istilah yang dipergunakan mesti membawa gagasan yang benar tentang pendidikan dan segala yang terlibat dalam proses pendidikan, maka wajib bagi kita sekarang untuk menguji istilah tarbiyah secara kritis dan jika perlu menggantikannya dengan pilihan yang lebih tepat dan benar.

Menurut Al-Attas, istilah yang paling tepat untuk menunjukkan pendidikan Islam adalah al-ta’dib. Konsep ini didasarkan pada hadis Nabi :

)يّلع نع ىركسعلا اور( ْيِْييد ْأَت َنَسْحَاَف ْيَِر ْيَِبَدَا

Artinya :

“Tuhan telah mendidikku, maka Ia sempurnakan pendidikanku”. (HR. Al- „Askary dari „Ali ra)

Kata addaba dalam hadis di atas dimaknai Al-Attas sebagai “mendidik”. Selanjutnya ia mengemukakan, bahwa hadis tersebut bisa dimaknai kepada “Tuhanku telah membuatku mengenali dan mengakui dengan adab yang dilakukan secara berangsur-angsur ditanamkan-Nya ke dalam diriku, tempat-tempat yang tepat bagi segala sesuatu di dalam penciptaan, sehingga hal itu membimbingku ke arah pengenalan dan pengakuan tempat-Nya yang tepat di dalam tatanan wujud dan kepribadian, serta – sebagai akibatnya – Ia telah membuat pendidikanku yang paling baik”.

Menurut Wan Mohd Nor Wan Daud, Al-Attas adalah orang pertama yang memahami dan menerjemahkan perkataan “addabani” dengan “mendidikku”. Menurut sarjana-sarjana terdahulu, kandungan ta’dib adalah akhlak. Fakta

21 Ridjaluddin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Pusat Kajian Islam FAI UHAMKA, 2009), h. 101-102

bahwasannya pendidikan Nabi Muhammad SAW. dijadikan Allah sebagai pendidikan yang terbaik didukung oleh Al-Qur‟an yang mengafirmasikan kedudukan Rasulullah yang mulia (akram), teladan yang paling baik.22

Berdasarkan batasan tersebut, maka al-ta’dib berarti pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan ke dalam diri manusia (peserta didik) tentang tempat–tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan. Dengan pendekatan ini, pendidikan akan berfungsi sebagai pembimbing ke arah pengenalan dan pengakuan Tuhan yang tepat dalam tatanan wujud dan

kepribadiannya.23 Al-Attas yang tidak setuju dengan penerimaan yang kompromis ini kemudia

menyatakan kembali argumentasinya dalam The Concept of Education in Islam yang disampaikannya pada Konferensi Dunia Kedua mengenai Pendidikan Islam yang diselenggarakan di Islamabad, pada 1980. Menurut Al-Attas, jika benar-benar dipahami dan dijelaskan dengan baik, konsep ta’dib adalah konsep yang paling tepat untuk pendidikan Islam, bukannya tarbiyah ataupun ta’lim sebagaimana yang dipakai pada masa itu. Al-Attas dalam Wan Mohd Nor Wan Daud mengatakan, “struktur konsep ta’dib sudah mencakup unsur-unsur ilmu („ilm), instruksi (ta’lim), dan pembinaan yang baik (tarbiyah) sehingga tidak perlu lagi dikatakan bahwa konsep pendidikan Islam adalah sebagaimana terdapat dalam tiga serangkai konsep tarbiyah- ta’lim-ta’dib.” Walaupun Al-Qur‟an tidak memakai istilah adab ataupun istilah lain yang memiliki akar kata yang sama dengannya, perkataan adab itu sendiri dan cabang-cabangnya disebutkan dalam ucapan-ucapan Nabi SAW., para sahabat r.a., dalam puisi ataupun karya sarjana-sarjana Muslim yang datang setelah mereka.24

Salah satu bidang spesialisasi Al-Attas adalah bahasa dan sastra, oleh karena itu ia sangat menekankan penggunaan sebuah istilah yang benar. Karena menurutnya, penggunaan sebuah istilah yang keliru bukan hanya merusak eksistensi bahasa itu

22 Wan Mohd Nor Wan Daud, op.cit., h. 176

23 Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam : Pendekatan Historis, Teoritis, dan Praktis, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), cet. ke-1, h. 30

snediri, akan tetapi juga dapat merusak persepsi kita tentang suatu kebenaran. Penekanan terhadap istilah ta’dib bagi pendidikan Islam tersebut, nampaknya merupakan salah satu upaya merekonstruksi kembali arah dan tujuan pendidikan yang dikehendaki oleh Al-Attas.

Senada dengan ini, cendekiawan Muslim Indonesia Prof. Dr. H. Azyumardi Azra dalam Ridjaluddin menyatakan:

Proses pengajaran dalam pendidikan dewasa ini, hanya mengisi aspek kognitif intelektual saja, tapi tidak mengisi aspek pembentukan kepribadian dan watak. Oleh karena itu, ia menawarkan beberapa arah rekonstruksi pendidikan Islam, salah satunya adalah perumusan kembali makna pendidikan dan menyatakan kesetujuannya dengan konsep ta’dib yang diajukan Al-Attas, lebih lanjut Azyumardi Azra menegaskan:

...arah rekonstruksi keempat adalah perumusan kembali makna pendidikan. Dalam hal ini saya setuju dnegan Prof. Naquib Al-Attas: bahwa proses pendidikan Islam yang kita tempuh lebih baik menggunakan istilah ta’dib ketimbang tarbiyah, karena ta’dib mengandung proses inkulturasi, proses pembudayaan. Tidak hanya proses intelektualisasi, tapi karena ta’dib berkaitan dengan kata adab, akhlak dan sebagainya, maka kemudian yang akan muncul dari sistem pendidikan di dalam paradigma ta’dib ini adalah manusia yang betul-betul berbudaya,

berkarakter, dan berakhlak.25