• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengertian Pendidikan Islam “ Tarbiyah ”

SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS A Biografi Syed Muhammad Naquib Al-Attas

3. Pengertian Pendidikan Islam “ Tarbiyah ”

Menurut Al-Attas, tarbiyah merupakan istilah yang relatif baru, yang bisa dikatakan telah dibuat–buat oleh orang–orang yang mengaitkan dirinya dengan pemikiran modernis. Istilah tersebut dimaksudkan untuk mengungkapkan makna pendidikan tanpa memperhatikan sifat yang sebenarnya. Adapun kata – kata Latin

educare dan educatio, yang dalam bahasa Inggris berarti “educate” dan “education”,

secara konseptual dikaitkan dengan bahasa Latin educare atau dalam bahasa Inggris

educe” – menghasilkan, mengembangkan dari kepribadian yang tersembunyi atau

potensial, yang di dalamnya “proses menghasilkan dan mengembangkan” mengacu kepada segala sesuatu yang bersifat fisik dan material. Yang dituju dalam konsepsi

pendidikan yang diturunkan dari konsep–konsep Latin yang dikembangkan dari istilah–istilah tersebut di atas meliputi spesies hewan dan tidak dibatasi pada “hewan berakal”.26

Mereka yang membuat–buat istilah tarbiyah untuk maksud pendidikan pada hakikatnya mencerminkan konsep Barat tentang pendidikan. Mengingat istilah

tarbiyah, tidak sebagaimana mereka masih nyatakan, adalah suatu terjemahan yang

jelas dari istilah education menurut artian Barat, karena makna–makna dasar yang dikandung olehnya mirip dengan yang bisa ditemui di dalam rekanan Latinnya. Meskipun para penganjur penggunaan istilah tarbiyah terus membela istilah itu – yang mereka katakan sebagai dikembangkan dari Al-Qur‟an – pengembangannya didasarkan atas dugaan belaka. Hal ini mengungkapkan ketidaksadaran mereka akan struktur semantik sistem konseptual al-Qur‟an, mengingat secara semantik istilah

tarbiyah tidak tepat dan tidak memadai untuk membawakan konsep pendidikan

dalam pengertian Islam sebagaimana dipaparkan berikut ini.

Pertama, istilah tarbiyah yang dipahami dalam pengertian pendidikan,

sebagaimana dipergunakan di masa kini. Ibnu Manzhur memang merekam bentuk

tarbiyah bersama dengan beberapa bentuk–bentuk lain dari akar raba (

بر

) dan

rabba (

اّبر

) sebagaimana diriwayatkan oleh al-Asma‟i yang mengatakan bahwa

istilah–istilah tersebut memuat makna yang sama. Mengenai maknanya, al-Jauhari mengatakan bahwa tarbiyah dan beberapa bentuk lain yang disebutkan oleh al- Asma‟i berarti : memberi makan, memelihara, mengasuh; yakni dari kata ghadza atau

ghadzau (

وذغ

dan

اذغ

). Makna ini mengacu kepada segala sesuatu yang tumbuh,

seperti anak-anak, tanaman, dan sebagainya. Pada dasarnya tarbiyah berarti mengasuh, menanggung, memberi makan, mengembangkan, memelihara, membuat, menjadikan bertambah dalam pertumbuhan, membesarkan, memproduksi hasil–hasil

yang sudah matang dan menjinakkan. Penerapannya dalam bahasa Arab tidak hanya terbatas pada manusia saja, dan medan–medan semantiknya meluas kepada spesies– spesies lain – untuk mineral, tanaman, dan hewan. Orang bisa mengacu pada peternakan sapi, peternakan hewan, peternakan ayam dan unggas; peternakan ikan serta perkebunan; masing–masing sebagai suatu bentuk tarbiyah. Meskipun demikian, sebagaimana telah terlebih dulu kita tunjukkan, pendidikan dalam arti Islam adalah sesuatu yang khusus hanya untuk manusia. Dengan mengacu pada kaidah penerapan secara tepat istilah–istilah dan konsep–konsep sebagaimana dilukiskan oleh al-Jahiz sehubungan dengan bukhl misalnya; soal di atas itu saja sudah cukup menunjukkan bahwa tarbiyah sebagai sebuah istilah dan konsep yang bisa diterapkan untuk berbagai spesies dan tidak terbatas hanya untuk manusia, tidak cukup cocok untuk menunjukkan pendidikan dalam arti Islam yang dimaksudkan hanya untuk manusia saja. 27

Sudah jelas bahwa unsur–unsur kualitatif bawaan dalam konsep Islam tentang pendidikan dan kegiatan atau proses yang dicakupnya tidak sama dengan yang tercakup di dalam tarbiyah. Lagipula, tarbiyah pada dasarnya juga mengacu pada gagasan “pemilikan”, seperti pemilikan keturunan oleh orang–orang tuanya dan biasanya para orang tua – pemilik inilah yang melaksanakan tarbiyah atas obyek– obyek pemilikan yang relevan seperti keturunannya atau yang lain–lain. Pemilikan– pemilikan yang dimaksudkan di sini hanyalah jenis relasional, mengingat pemilikan yang sebenarnya ada pada Tuhan saja, Sang Pencipta, Pemelihara, Penjaga, Pemberi, Pengurus, dan Pemilik segala sesuatu, yang ke semuanya itu tercakup dan ditunjukkan oleh sebuah istilah tunggal ar-Rabb. Jadi, kata rabba dan yang diturunkan daripadanya, jika diterapkan pada manusia dan hewan–hewan, menunjukkan suatu “milik yang dipinjam”. Yang mereka kerjakan dengan milik yang dipinjam ini adalah tarbiyah jika yang mereka kerjakan adalah mengasuh, menanggung, memberi makan, mengembangkan, memelihara, membesarkan,

menjadikan bertambah di dalam pertumbuhan, menghasilkan produk matang, menjinakkan dan sebagainya. Kesemuanya itu tentu bukan pekerjaan mendidik jika pendidikan kita maksudkan terutama sebagai penanaman pengetahuanyang berkenaan dengan manusia saja, dan dengan intelek manusia pada khususnya. Jadi, jika dalam menggambarkan tarbiyah, sebagai pendidikan, kita susupkan ke dalam istilah itu makna esensial yang membawa unsur fundamental pengetahuan, maka penyusupan seperti itu hanyalah dibuat-buat, karena makna bawaan struktur konseptual tarbiyah tidak secara alami mencakup pengetahuan sebagai salah satu di antaranya. Sekarang, dalam kasus manusia, biasanya orangtualah yang melakukan tarbiyah atas keturunannya sehubungan dengan hak milik pinjaman dari orang tua terhadap anaknya.

Jika penyelenggaraan tarbiyah dipandang sebagai pendidikan dialihkan kepada keadaan seperti itu terdapat bahaya bahwa pendidikan akan menjadi suatu pekerjaan sekuler, dan itulah kenyataan yang terjadi. Hal itu terjadi karena tujuan

tarbiyah, secara normal, bersifat fisik dan material serta berwatak kuantitatif,

mengingat konsep bawaan yang termuat dalam istilah tersebut berhubungan dengan pertumbuhan dan kematangan material dan fisik saja; dan karena nilai – nilai yang ditetapkan oleh keadaan itu disesuaikan dengan tujuan menghasilkan penduduk- penduduk – nilai-nilai yang secara alami diatur oleh prinsip-prinsip utilitarian yang cenderung pada aspek–aspek fisik dan material kehidupan sosial dan politis manusia.

28

Kedua, dengan mengacu pada alasan bahwa tarbiyah, dipandang sebagai

pendidikan, dikembangkan dari penggunaan Al-Qur‟an berkenaan dengan istilah raba

dan rabba yang berarti sama, apa yang dikatakan pada sebelumnya sudah dijelaskan

titik poros masalah, yaitu bahwa makna dasar istilah–istilah ini – tentunya berpuncak pada otoritas Al-Qur‟an sendiri – tidak secara alami mengandung unsur-unsur

esensial pengetahuan, intelegensi dan kebajikan yang pada hakikatnya, merupakan unsur-unsur pendidikan yang sebenarnya.29

Ketiga, jika sekiranya dikatakan bahwa suatu makna yang berhubungan

dengan pengetahuan bisa disusupkan ke dalam konsep rabba, makna tersebut mengacu pada pemilikan pengetahuan dan bukan penanamannya. Oleh karenanya, hal itu tidak mengacu pada pendidikan dalam artian yang dimaksudkan. Yang Al-

Attas maksudkan adalah istilah rabbani (

يناَبَر

) yaitu nama yang diberikan bagi orang- orang bijaksana yang terpelajar dalam bidang pengetahuan tentang ar-Rabb.

Al-Attas menolak peristilahan tarbiyah dan ta’lim yang selama ini dianggap sebagai pengertian yang lengkap mengenai pendidikan dalam Islam, baik salah satu

(tarbiyah atau ta’lim) maupun keduanya (tarbiyah wa ta’lim), sebab istilah tersebut

menunjukkan ketidaksesuaian makna. Beliau menolak istilah tarbiyah sebab istilah ini hanya menyinggung aspek fisikal dalam mengembangkan tanam-tanaman dan terbatas pada aspek fisikal dan emosional dalam pertumbuhan dan perkembangan binatang dan manusia.30

4. Tujuan Pendidikan Islam

Tujuan mencari pengetahuan dalam Islam ialah menanamkan kebaikan dalam diri manusia sebagai manusia dan sebagai diri individual. Tujuan akhir pendidikan Islam ialah menghasilkan manusia yang baik dan bukan, seperti dalam peradaban Barat, warganegara yang baik. “Baik” dalam konsep manusia yang baik berarti tepat sebagai manusia adab dalam pengertian yang dijelaskan di sini, yakni meliputi kehidupan material dan spiritual manusia. Karena manusia, sebelum menjadi manusia

telah mengikat perjanjian (mitsaq :

قاثيم

) individual secara kolektif dengan Tuhan,

29Ibid., h. 69-70

serta telah mengenal dan mengakui Allah sebagai Tuhan (ar-Rabb :

ّبرلا

) ketika ia mempersaksikan untuk dirinya dan menegaskan “benar!” (bala :

ىلب

) pada pertanyaan Allah “Bukankah Aku Tuhanmu?” (

ْم ك يبَريب

تْسَلَا

).31

Jika tujuan pengetahuan adalah untuk menghasilkan seorang manusia yang baik, maka kita tidak bermaksud mengatakan bahwa menghasilkan sebuah masyarakat yang baik bukanlah merupakan tujuan, karena masyarakat terdiri dari perseorangan–perseorangan maka membuat setiap orang atau sebagian besar di antaranya menjadi orang–orang baik berarti pula menghasilkan masyarakat yang baik. Pendidikan adalah bahan masyarakat. Penekanan pada adab yang mencakup „amal dalam pendidikan dan proses pendidikan adalah untuk menjamin bahwasannya ilmu („ilm) dipergunakan secara baik di dalam masyarakat. Karena alasan inilah maka orang-orang bijak, para cerdik cendekia dan para sarjana di antara orang–orang Islam terdahulu mengombinasikan „ilm dengan „amal dan adab, dan menganggap kombinasi harmonis ketiganya sebagai pendidikan. Pendidikan dalam kenyataannya adalah ta’dib (

بيدأت

) karena adab, sebagaimana didefinisikan di sini, sudah mencakup „ilmu dan „amal sekaligus.32

Al-Attas, pemikir kontemporer Muslim pertama yang mendefinisikan arti pendidikan secara sistematis, menegaskan dan menjelaskan bahwa tujuan pendidikan menurut Islam bukanlah untuk menghasilkan warga negara dan pekerja yang baik. Sebaliknya, tujuan tersebut adalah untuk menciptakan manusia yang baik. Pada September 1970, Al-Attas mengajukan kepada Ghazali Syafie, yang kemudian menjadi Menteri Dalam Negeri Malaysia, bahwa “tujuan pendidikan dari tingkat yang paling rendah hingga tingkat yang paling tinggi seharusnya tidak ditujukan untuk menghasilkan warga negara yang sempurna (complete citizen), tetapi untuk

31 Syed Muhammad Naquib Al-Attas, op.cit., h. 54-55 32Ibid., h. 59-60

memunculkan manusia paripurna”. Hal ini disebutkannya lagi secara lebih detail dalam bukunya Islam and Secularism dalam Wan Mohd Nor Wan Daud :

Tujuan mencari ilmu adalah untuk menanamkan kebaikan ataupun keadilan dalam diri manusia sebagai seorang manusia dan individu, bukan hanya sebagai seorang warga negara ataupun anggota masyarakat. Yang perlu ditekankan (dalam pendidikan) adalah nilai manusia sebagai manusia sejati, sebagai warga kota, sebagai warga negara dalam kerajaannya yang mikro, sebagai sesuatu yang bersifat spiritual, (dengan demikian yang ditekankan itu) bukanlah nilai manusia sebagai identitas fisik yang diukur dalam konteks pragmatis dan utilitarian berdasarkan kegunaannya bagi negara, masyarakat, dan dunia.33