• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sistem Pendidikan dalam Islam

SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS A Biografi Syed Muhammad Naquib Al-Attas

5. Sistem Pendidikan dalam Islam

Setiap manusia tak ubahnya sebuah miniatur kerajaan, representasi

mikrokosmos (alam shaghir :

رغص

ماع

) dari makrokosmos (alam kabir :

ربك

ماع

). Ia adalah seorang penghuni di dalam kota (madinah :

ة يدم

) dirinya sendiri, tempat ia menyelenggarakan dinnya. Karena dalam Islam, tujuan mencari pengetahuan pada puncaknya adalah untuk menjadi seorang manusia yang baik – sebagaimana telah diuraikan – dan bukannya seorang penduduk yang baik dari sebuah negara sekuler, maka sistem pendidikan dalam Islam mestilah mencerminkan manusia, bukan negara. Perwujudan paling tinggi dan paling sempurna dari sistem pendidikan adalah universitas. Dan mengingat bahwa universitas merupakan sistematisasi pengetahuan yang paling tinggi dan yang sempurna – yang dirancang untuk mencerminkan yang universal – maka ia mestilah juga merupakan pencerminan dari bukan sekedar manusia apa saja, melainkan Manusia Universal atau Sempurna (al-insanul kamil :

لماكلا ناسناا

). Universitas modern yang berdasarkan model-model Barat tidak mencerminkan manusia, melainkan lebih mencerminkan negara sekuler. Hal ini terjadi karena dalam peradaban Barat, atau peradaban–peradaban lain selain Islam, tidak pernah ada seorang Manusia Sempurna pun yang bisa menjadi model untuk ditiru dalam hidup dan yang bisa dipakai untuk memproyeksikan pengetahuan dan tindakan yang benar dalam bentuk universal sebagai universitas. Hanya dalam Islam, dalam pribadi suci Nabi SAW. sajalah Manusia Universal atau Sempurna ternyatakan. Karena konsep pendidikan dalam Islam hanya berkenaan dengan manusia saja, maka perumusannya sebagai suatu sistem harus mengambil model manusia tersempurnakan di dalam pribadi suci Nabi SAW. Jadi, universitas Islam itu mesti mencerminkan Nabi dalam hal pengetahuan dan tindakan yang benar; dan fungsinya adalah untuk menghasilkan manusia, laki–laki dan perempuan, yang mutunya sedekat mungkin menyerupai beliau – masing-masing sesuai dengan kapasitas dan potensi bawaannya – untuk menghasilkan laki–laki dan perempuan yang baik; untuk menghasilkan laki–laki dan perempuan beradab sebagai tiruan dia yang bersabda: “Tuhanku telah mendidikku, dan dengan demikian menjadikan pendidikanku yang terbaik”.34

Dengan adanya tujuan pendidikan Islam yang menjadikan manusia menjadi manusia sempurna, Al-Attas menganggap ISTAC sebagai nucleus dari universitas Islam yang sebenarnya. Al-Attas berjuang untuk menjadikan ISTAC sebagai refleksi dari insan kamil. Ditinjau dari aspek spiritual, Al-Attas telah berusaha dan berhasil melaksanakan peletakan batu pertama untuk pembangunan ISTAC pada malam ke- 27 bulan Rajab, menurut kalender Muslim, bersamaan peringatan Isra‟ dan Mi‟raj Nabi Muhammad SAW. Selama acara tersebut, dia berdoa semoga Allah melimpahi kita dengan hikmah dan sifat-sifat terpuji yang telah dikaruniakan kepada Nabi tercinta-Nya.35

34 Syed Muhammad Naquib Al-Attas, op.cit., h. 83-85 35 Wan Mohd Nor Wan Daud, op.cit., h. 209

Konsepsi mengenai universitas yang benar-benar islami sebagai sebuah refleksi dari insan kamil atau manusia universal tidak saja signifikan, tetapi juga riil. Alasannya, figur seperti Nabi Muhammad SAW. adalah contoh riil insan kamil dan universal tersebut. Oleh karena itu, universitas dalam Islam harus merefleksikan figur Nabi Muhammad dalam hal ilmu pengetahuan dan amal saleh dan fungsinya adalah membentuk laki-laki dan wanita yang beradab agar memiliki kualitas seperti Nabi Muhammad SAW. sesuai dengan kemampuan dan potensinya masing-masing.36

6. Kurikulum Pendidikan Islam

Manusia adalah jiwa sekaligus jasad, sekaligus wujud jasmaniah dan ruhaniah; dan jiwanya mesti mengatur jasadnya sebagaimana Allah mengatur jagad. Dia terpadukan sebagai satu kesatuan dan dengan adanya saling keterkaitan antara wujud ruhaniah dengan wujud jasmaniah serta inderanya, ia membimbing dan memelihara kehidupannya di dalam dunia ini. Sebagaimana manusia memiliki dwi – sifat, demikian pulalah ilmu terdiri dari dua jenis: yang pertama adalah berian Allah, dan yang kedua adalah ilmu capaian (yang diperoleh dengan usaha). Pada hakikatnya, dalam Islam, semua ilmu datang dari Allah, tapi cara kedatangannya – yaitu hushul

dan wushul – serta wujud–wujud dan indera–indera yang menerima dan

menafsirkannya berbeda. Mengingat ilmu jenis pertama adalah mutlak penting bagi pembimbingan dan penyelamatan manusia, maka ilmu tentangnya – yang tercakup di dalam ilmu–ilmu agama – bersifat perlu dan wajib atas semua muslim (fardhu „ain :

نع ضرف

). Pencapaian ilmu jenis kedua – yang mencakup ilmu–ilmu rasional, intelektual dan filosofis – wajib bagi sebagian muslim saja (fardhu kifayah :

ضرف

ةيافك

).

Skema berikut ini tentang manusia, ilmu dan universitas akan menjelaskan kaitan yang ditemukan di antara kesemuanya itu :

I MANUSIA

a. Jiwa dan wujud batini yahnya (ruh, nafs, qalb, „aql).

b. Jasad, wujud jasmaniah dan indera – inderanya. II PENGETAHUAN a. Ilmu berian Allah.

b. Ilmu capaian.

III UNIVERSITAS a. Ilmu – ilmu agama (fardhu „ain).

b. Ilmu – ilmu rasional, intelektual, dan filosofis (fardhu kifayah).37

Jika kita tumpangtindihkan skema pengetahuan dengan skema manusia, tampak jelas bahwa pengetahuan berian Allah mengacu pada wujud dan indera ruhaniah manusia, sementara ilmu capaian mengacu pada fakultas dan indera jasmaniahnya. Intelek („aql) adalah mata rantai penghubung antara yang jasmaniah dan ruhaniah yang menjadikan manusia bisa memahami hakikat dan kebenaran ruhaniah. Dan jika kita tumpangtindihkan skema manusia – yang mencerminkan universitas – dengan skema ilmu dan manusia, tampak jelas bahwa ilmu–ilmu agama memiliki pengetahuan fardhu „ain pada jantung universitas yang sebagaimana jiwa manusia, merupakan pusat universitas yang permanen dan abadi, dan mewujudkan pengungkapan dan sistematisasi tertinggi dari segala yang wajib atas tiap muslim. Apa yang secara umum di masa kini telah dipahami sebagai konsep fardhu „ain adalah bentuk terbatas yang tersusun dari sebuah rumus statis yang diajarkan pada tahap kehidupan anak–anak dan dibatasi hanya pada esensi–esensi pokoknya. Yang mesti dipahami mengenai konsep itu adalah makna dan maksud aslinya, yaitu bahwa ilmu seperti itu bebas alirannya, dan tidak tersekat, dan bertambah dalam hal ruang lingkup dan kandungannya, sebagaimana seseorang bertambah dalam hal kedewasaan dan tanggung jawab serta sesuai dengan kapasitas dan potensi seseorang. Jadi, dalam sistem pendidikan tiga tahap (rendah, menengah, tinggi) ilmu fardhu „ain diajarkan tidak hanya pada tingkat primer (rendah) melainkan juga pada tingkat sekunder

(menengah) pra-universitas dan juga tingkat universitas. Ruang lingkup dan kandungan pada tingkat universitas harus lebih dahulu dirumuskan sebelum bisa diproyeksikan ke dalam tahapan–tahapan yang lebih sedikit secara berurutan ke tingkat–tingkat yang lebih rendah, mengingat tingkat universitas mencerminkan perumusan sistematisasi yang paling lengkap dan paling tinggi, dan hanya jika hal itu bisa dicapai barulah dia akan bisa menjadi model bagi yang berikut di bawahnya. Jika tidak – yaitu kalau kita mulai dengan usaha perumusan ruang lingkup dan kandungannya dari tingkat – tingkat yang lebih rendah – kita taka akan pernah berhasil, mengingat tidak adanya model yang sempurna dan lengkap dari keteraturan yang lebih tinggi agar bisa bertindak sebagai kriteria bagi perumusan ruang lingkup dan kandungannya. Pengetahuan inti yang mencerminkan fardhu „ain – yang terpadukan dan tersusun sebagai suatu kesatuan harmonis pada tingkat universitas sebagai struktur model bagi tingkat–tingkat yang lebih rendah, dan mesti dicerminkan dalam bentuk yang lebih mudah secara berurutan pada pra-universitas, tingkat– tingkat sekunder dan primer dari sistem pendidikan di seluruh dunia muslim – harus mencerminkan tidak hanya pemahaman Sunni tentangnya, tapi juga mencakup penafsiran Syi‟i. Pembagian dua jenis ilmu tersebut bisa secara ringkas diikhtisarkan sebagai berikut :

a. Ilmu–ilmu agama

1) Al-Qur’an: pembacaan dan penafsirannya (tafsir dan ta’wil).

2) As-Sunnah: kehidupan Nabi, sejarah dan pesan–pesan para rasul

sebelumnya, hadits, dan riwayat–riwayat otoritatifnya.

3) Asy-Syari’ah : Undang–undang dan Hukum, prinsip–prinsip dan praktek–praktek Islam (Islam :

ماسا

, Iman :

ناما

, dan Ihsan :

ناسحا

) 4) Teologi: Tuhan, Esensi-Nya, Sifat–sifat dan nama–nama–Nya serta

5) Metafisika Islam (at–Tashawwuf :

فّوصتلا

) psikologi, kosmologi dan ontologi: unsur–unsur yang sah dalam filsafat Islam (termasuk doktrin–doktrin kosmologis yang benar, berkenaan dengan tingkatan– tingkatan wujud)

6) Ilmu–ilmu Linguistik: bahasa Arab, tata bahasa, leksikografi, dan kesusasteraannya.

b. Ilmu–ilmu rasional, intelektual, dan filosofis 1) Ilmu–ilmu kemanusiaan.

2) Ilmu–ilmu alam. 3) Ilmu–ilmu terapan. 4) Ilmu–ilmu teknologi. 38

Menurut Al-Attas, struktur ilmu pengetahuan dan kurikulum pendidikan Islam seharusnya menggambarkan manusia dan hakikatnya yang harus diimplementasikan pertama-tama pada tingkat universitas. Struktur dan kurikulum ini secara bertahap kemudian diaplikasikan pada tingkat rendah. Secara alami, kurikulum tersebut diambil dari hakikat manusia yang bersifat ganda (dual nature); aspek fisikalnya lebih berhubungan dengan pengetahuannya mengenai ilmu-ilmu fisikal dan teknikal, atau fardhu kifayah; sedangkan keadaan spiritualnya sebagaimana terkandung dalam istilah-istilah ruh, nafs, qalb, dan „aql lebih tepatnya berhubungan dengan ilmu inti atau fardhu „ain. Kandungan umum yang terperinci dari dua ketgori tersebut pada tingkat pendidikan tinggi adalah :

a. Fardhu ‘Ain (ilmu-ilmu agama)

1) Kitab suci Al-Qur‟an: pembacaannya dan interpretasinya (tafsir dan ta’wil). Di ISTAC, Al-Attas telah menyetujui mata kuliah sejarah dan metodologi „Ulum Al-Qur’an. Ia merupakan studi mengenai Al- Qur‟an, konsep dan sejarah wahyu, penurunannya, pengumpulan, penjagaan, dan penyebarannya, ilmu-ilmu untuk memahami Al-Qur‟an

38

(seperti nasikh-mansukh, al-khashsh wa al-„am, muhkam-mutasyabih,

dan amr-nahy). Ia juga meliputi studi komparatif mengenai asal-usul,

perkembangan, dan metodologi literatur tafsir, jenis-jenis dan mazhab- mazhabnya.

2) Sunnah : kehidupan Nabi : sejarah dan risalah nabi-nabi terdahulu, hadis dan perawiannya. Mata kuliah sejarah dan metodologi hadis wajib bagi semua mahasiswa ISTAC. Selain itu, mata kuliah ini merupakan pengkajian yang mendalam mengenai sejarah kritik hadis, beberapa istilah teknisnya (musthalahat al-hadis), analisis perbandingan terhadap kitab-kitab kumpulan hadis yang penting dan pengategoriannya, ilmu biografi, dan kamus utama mengenai biografi.39

3) Syariat : fiqih dan hukum; prinsip-prinsip dan pengamalan Islam (Islam, iman, ihsan). Al-Attas menganggap pengetahuan syariat sebagai aspek terpenting dalam pendidikan Islam. Bagaimanapun, pelaksanaan syariat dalam kehidupan individu dan masyarakat harus didasarkan pada ilmu yang tepat, sikap moderat, dan adil. Al-Attas menilai bahwa pengajaran hukum Islam mendapat perhatian yang lebih besar daripada yang diperlukan kebanyakan Muslim dalam bidang pemikiran pendidikan dan administratif, sampai pada tingkat mengurangi perhatian pada masalah-masalah yang lebih fundamental lainnya, seperti teologi, metafisika, dan etika.

4) Teologi (Ilmu Kalam): Tuhan, Zat-Nya, Sifat-sifat, Nama-nama, dan Perbuatan-Nya (al-tauhid). Teologi Islam merupakan subjek yang sangat penting yang masih belum diberi tempat yang layak dalam kurikulum pendidikan tinggi Islam sekarang ini. Alasannya, ketidakmampuan banyak ilmuwan Muslim modern menunjukkan

bahwa permasalahan dan isu yang diangkat dalam subjek ini bukanlah hal kuno dan ketinggalan zaman, karena itu tidak relevan bagi Muslim modern. Sebaliknya, Al-Attas secara konsisten berpendapat dan membuktikan bahwa permasalahan dan isu-isu yang diangkat dalam teologi itu muncul kembali, terutama dari sumber-sumber kebudayaan. Memahami dengan baik pendapat yang dikembangkan oleh beberapa ahli teologi Muslim yang terkenal akan sangat membantu mengurangi kerancuan (pemahaman) keagamaan yang terjadi di kalangan pemimpin Muslim hari ini.40

5) Metafisika Islam (al-tashawwuf „irfan): psikologi, kosmologi, dan ontologi; elemen-eleman filsafat Islam yang cukup dikenal terdiri dari doktrin-doktrin kosmologi yang berkaitan dengan hierarki wujud. Mata kuliah ini mungkin merupakan yang paling fundamental dalam kurikulum pendidikan Al-Attas, bukan saja karena meliputi semua elemen yang paling penting dalam pandangan Islam mengenai realitas dan kebenaran sebagaimana diterangkan dalam Al-Qur‟an dan hadis, melainkan juga karena mencakup ringkasan semua disiplin intelektual lain, seperti ilmu Al-Qur‟an, hadis, teologi dan filsafat, serta ilmu pengetahuan mengenai bahasa Arab klasik.

6) Ilmu bahasa: bahasa Arab, tata bahasanya, leksikografi, dan sastra. Tujuannya bukan hanya menguasai keterampilan berbicara melainkan lebih penting lagi untuk menganalisis dan menginterpretasikan sumber-sumber primer dalam Islam, khazanah intelektual dan spiritual penting dalam bahasa Arab.41

Harus disebutkan di sini bahwa kategori fardhu „ain merupakan gambaran dari integrasi pelbagai mazhab yang dianut dalam tradisi pendidikan Muslim. Lebih jauh lagi, harus digarisbawahi bahwa konsepsi Islam mengenai fardhu „ain,

40Ibid., 276-277 41Ibid., h. 277

sebagaimana dipahami oleh Al-Attas, pada dasarnya berbeda dari pengategorian bidang studi pendidikan sekuler liberal modern yang biasanya berupa bidang studi permanen atau kurikulum inti atau pendidikan umum, dengan alasan berikut.

Pertama, bidang studi permanen pada pendidikan umum tidak pernah diberi

status normatif sebagaimana fardhu „ain.

Kedua, bidang studi permanen dan pendidikan umum secara keseluruhan pada

dasarnya difokuskan untuk program S1 pada pendidikan universitas, sedangkan pengetahuan fardhu „ain harus dipelajari sejak akil baligh sampai tingkat pendidikan tertinggi bahkan sampai meninggal dunia.

Ketiga, berbeda dari pengetahuan inti pada pendidikan umum, pengetahuan

fardu „ain diambil dari dan berakar pada Wahyu Ilahi dan hadis Nabi yang tidak pernah ditentang oleh ilmuwan Muslim siapa pun sepanjang zaman.42

b. Fardhu Kifayah

Pengetahuan mengenai fardhu kifayah tidak diwajibkan kepada setiap Muslim untuk mempelajarinya, tetapi seluruh masyarakat Mukmin akan bertanggung jawab jika tidak ada seorangpun dari masyarakat tersebut yang mempelajarinya, karena memberikan landasan teoretis dan motivasi keagamaan kepada umat Islam untuk mempelajari dan mengembangkan segala ilmu ataupun teknologi yang diperlukan untuk kemakmuran masyarakat. Al-Attas membagi pengetahuan fardhu kifayah menjadi delapan disiplin ilmu :

1) Ilmu Kemanusiaan. 2) Ilmu Alam. 3) Ilmu Terapan. 4) Ilmu Teknologi. 5) Perbandingan Agama. 6) Kebudayaan Barat. 42Ibid., h. 279-281

7) Ilmu Linguistik: Bahasa Islam. 8) Sejarah Islam

Sudah tentu Al-Attas tidak membatasi pengetahuan fardhu kifayah pada delapan disiplin ilmu di atas. Hal ini bisa dipahami karena pengetahuan („ilm) itu sendiri, sebagai Sifat Tuhan, tidak terbatas. Selain itu, fardhu „ain itu dinamis dan berkembang seseuai dengan kemampuan intelektual dan spiritual seseorang serta keadaan masyarakatnya, pengetahuan fardhu kifayah juga akan berkembang dengan keperluan dan program masyarakat tertentu.43