• Tidak ada hasil yang ditemukan

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pembangunan bidang pertambangan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional, sehingga pembangunan bidang pertambangan merupakan tanggung jawab bersama. Oleh karenanya harus dilaksanakan secara bertanggung jawab dan transparan untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Selain aspek ekonomi, pengelolaan pertambangan juga harus tetap memperhatikan aspek ekologi, sosial dan budaya sehingga pemanfaatan sumberdaya pertambangan tidak hanya diarahkan untuk menghasilkan keuntungan ekonomi semata tetapi yang lebih penting adalah keberlanjutan fungsi sumberdaya tambang itu sendiri untuk menopang kehidupan manusia antar generasi.

Sumberdaya pertambangan sebagai salah satu kekayaan yang dimiliki Bangsa Indonesia, apabila dikelola dengan baik akan memberikan kontribusi terhadap pembangunan ekonomi nasional. Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945, pemerintah sebagai penguasa sumberdaya harus mampu mengatur, mencegah pemborosan, dan mengoptimalkan pendapatan dari penguasaan sumberdaya tersebut untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Pada sisi lain, tekanan pembangunan ekonomi yang dilakukan di negara-negara berkembang sering menimbulkan dilema bagi kelestarian sumberdaya alam. Hal ini mengingat kebutuhan konsumsi untuk masyarakat sering tidak ditunjang oleh pengelolaan yang baik dan kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga kelestarian sumberdaya alam, sehingga penurunan kualitas lingkungan sering

dianggap sebagai biaya yang harus dibayar untuk suatu proses pembangunan ekonomi. Dengan makin meningkatnya kebutuhan ekonomi yang berbasis sumberdaya alam (resource base), makin memberikan tekanan yang tinggi terhadap sumberdaya alam itu sendiri sehingga kebutuhan akan pengelolaan sumberdaya alam yang baik menjadi kebutuhan yang mendesak.

Undang-undang No. 11 Tahun 1967 tentang pokok-pokok Pertambangan yang kemudian diganti dengan Undang-Undang (UU) Pertambangan Mineral dan Batubara Tahun 2009, telah menjadi landasan eksploitasi sumberdaya mineral dan batubara secara besar-besaran untuk mengejar pertumbuhan ekonomi. Dalam beberapa tahun terakhir, produksi beberapa komoditas pertambangan Indonesia seperti timah, tembaga, nikel, emas dan batubara tumbuh sangat tinggi dan tidak saja telah berperan besar dalam perekonomian nasional namun juga telah menjadi pemasok bagi kebutuhan dunia.

Kontribusi sektor pertambangan non migas dalam perekonomian Indonesia selama periode 2000-2010 menunjukkan tren yang terus meningkat. Berdasarkan Gambar 1 dapat diketahui bahwa kontribusi sektor pertambangan bukan migas pada tahun 2000 baru mencapai 2.81 persen, kemudian pada tahun 2010 meningkat menjadi 5.16 persen. Komoditas terbesar dalam sektor pertambangan bukan migas adalah batubara, dalam beberapa tahun terakhir produksinya meningkat cukup tajam. Peningkatan produksi batubara ini diduga akibat dari kebijakan energi mix yang lebih mengutamakan energi batubara dibandingkan energi yang lain, sehingga permintaan internasional akan komoditas tersebut juga meningkat.

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2011 (diolah)

Gambar 1. Kontribusi Sektor Pertambangan Bukan Migas dalam Perekonomian Indonesia Tahun 2000-2010

Selain berkontribusi dalam penciptaan nilai tambah (value added), sektor pertambangan juga berkontribusi besar pada penerimaan keuangan negara. Penerimaan pemerintah dari sektor ini selama periode 2005-2010 berkisar antara 6-13 triliun rupiah dan terbesar terjadi pada tahun 2008 yang mencapai 12.8 triliun rupiah atau sekitar 5.72 persen dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui bahwa bahwa penerimaan pemerintah bukan pajak yang berasal dari Sumberdaya Alam (SDA) selama periode tersebut berkisar antara 100-225 triliun rupiah atau berkontribusi pada APBN sekitar 10-27 persen. Hal ini membuktikan bahwa peran sektor yang berbasis SDA, termasuk pertambangan non migas mempunyai peran yang sangat penting dalam perekonomian nasional.

2.81 3.19 2.81 2.65 2.84 3.77 3.91 4.06 3.95 4.53 5.16 0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Persen Tahun

Tabel 1. Penerimaan Negara Bukan Pajak dari Sumberdaya Alam Tahun 2005-2010 Tahun Migas (Miliar Rupiah) Bukan Migas (Miliar Rupiah) Total Penerimaan SDA (Miliar Rupiah) Kontribusi Terhadap APBN (Persen) 2005 103 762.1 6 705.3 110 467.4 22.37 2006 158 086.1 9 387.8 167 473.9 26.33 2007 124 783.7 8 108.9 132 892.6 18.82 2008 211 617.0 12 846.0 224 463.0 22.96 2009 162 123.1 11 373.5 173 496.5 17.62 2010 101 259.3 10 908.5 111 453.9 12.65

Sumber: Kementerian Keuangan, 2010 (diolah)

Secara spasial, aktivitas sektor pertambangan non migas terkonsentrasi di Pulau Kalimantan, sekitar 50.84 persen nilai tambah pertambangan non migas Indonesia di hasilkan di Kalimantan, dan sekitar 90 persen produksinya diekspor ke luar wilayah. Hal ini berarti sebagian besar sumberdaya alam di Kalimantan yang ada dikirim ke luar Kalimantan tanpa melalui proses produksi. Melalui cara ini berarti kegiatan ekonomi yang dilaksanakan di Kalimantan sedikit sekali yang menghasilkan nilai tambah. Padahal proses nilai tambah itulah yang sebenarnya dapat menaikkan pendapatan masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam jangka panjang kondisi tersebut tentu saja tidak menguntungkan bagi daerah. Oleh karena sektor pertambangan bersifat nonrenewable, maka daerah perlu segera mengembangkan sektor ekonomi alternatif lain yang dapat dijadikan leading sector di bidang perekonomian. Sektor ekonomi tersebut harus mulai dikembangkan sedini mungkin, sehingga pada saat pertambangan berhenti berproduksi, maka sektor ekonomi alternatif tersebut sudah mampu menggantikan posisi pertambangan sebagai penggerak utama perekonomian.

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2011 (diolah)

Gambar 2. PDRB Pertambangan dan Non Pertambangan di Kalimantan Tahun 2000-2010

Melihat dominasi sektor pertambangan yang cukup besar dalam perekonomian mengakibatkan terjadinya ketimpangan dalam struktur perekonomian. Struktur ekonomi dari daerah penghasil tambang seakan terbagi ke dalam dua bagian yaitu ekonomi modern dan ekonomi tradisional. Masing-masing struktur tersebut relatif terpisah dan kurang terkait satu sama lain. Keterpisahan kedua struktur tersebut mengakibatkan perkembangan ekonomi yang cepat dari sektor modern kurang mampu mendorong laju pertumbuhan ekonomi tradisional.

Ekonomi modern pada umumnya berskala besar yang dikelola oleh swasta dan pada umum kepemilikannya dikuasi oleh penduduk luar wilayah tersebut. Sektor modern yang berkembang ini sangat bergantung pada sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui dan memberikan pengaruh besar terhadap masalah-masalah lingkungan. Selain itu, sektor modern ini juga bergantung kepada modal

63.98 70.55 69.39 78.51 101.12 142.00 155.43 170.55 249.64 210.59 236.49 67.59 76.00 85.47 95.11 108.66 124.93 141.96 162.99 192.91 217.19 246.05 0 50 100 150 200 250 300 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

dan tenaga kerja dari luar wilayah dan relatif kurang memberikan multiplier kepada ekonomi lokal.

Pada sisi lain ekonomi tradisional merupakan ekonomi rakyat yang masih bersifat subsisten. Pola ekonomi ini menunjukkan bahwa tingkat perkembangan ekonomi tradisional berada pada tahap awal dengan volume perdagangan yang relatif kecil serta cenderung hanya melayani kebutuhan lokal. Karakter ekonomi yang bersifat subsisten dengan ukuran pasar yang kecil ini tidak memungkinkan untuk mendorong laju pertumbuhan ekonomi wilayah. Begitu juga apabila dilihat dari aspek produktivitas, rendahnya kontribusi sektor pertanian dalam PDRB dan tingginya ketergantungan tenaga kerja pada sektor pertanian menyebabkan kesejahteraan masyarakat yang bekerja di sektor pertanian lebih rendah jika dibandingkan dengan masyarakat yang bekerja di sektor pertambangan.

Tabel 2. Struktur Perekonomian Pulau Kalimantan Tahun 2005-2010

Sektor 2005 2010 Nilai Tambah Tenaga Kerja Nilai Tambah Tenaga Kerja 1. Pertanian 12.41 52.97 12.14 47.54

2. Pertambangan & Penggalian 31.84 3.26 35.55 4.75

3. Industri Pengolahan 29.40 7.71 20.60 5.51

4. Listrik, Gas & Air Bersih 0.40 0.26 0.37 0.22

5. Bangunan 3.72 4.30 4.23 5.03

6. Perdag., Hotel & Restoran 10.15 17.52 11.99 17.80 7. Pengangkutan &

Komunikasi

4.73 4.51 5.32 3.92

8. Keuangan. Persewaan, & Jasa Perusahaan

2.64 0.58 3.28 1.38

9. Jasa-Jasa 4.72 8.91 6.52 13.85

Produk Domestik Regional Bruto

100.00 100.00 100.00 100.00

Masalah lainnya yang juga terjadi dalam pengelolaan tambang adalah pola pemanfaatan sumberdaya alam tambang kurang memberikan akses kepada masyarakat adat dan lokal di satu pihak dan di pihak lain cenderung sentralistik dan terpusat pada beberapa kelompok masyarakat dan golongan tertentu, sehingga mengurangi kesempatan dan peran serta aktif masyarakat adat dan lokal. Kondisi tersebut jika dibiarkan secara terus menerus dapat menimbulkan kesenjangan pendapatan antara penduduk pendatang dan masyarakat lokal. Secara rata-rata hanya sekitar 19 persen saja pendapatan yang dapat dinikmati oleh 40 persen penduduk yang berpendapatan rendah. Sementara 20 persen penduduk yang berpendapatan tinggi menikmati pendapatan lebih banyak yaitu sekitar 45 persen. Hal ini menandakan bahwa distribusi pendapatan dalam masyarakat Kalimantan terjadi ketimpangan.

Dokumen terkait