• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. KAJIAN PUSTAKA

2.5. Pertumbuhan dan Pemerataan

Hubungan pertumbuhan dan pemerataan hingga kini masih menjadi kontroversi. Di satu pihak, ada yang berpendapat bahwa pertumbuhan dan pemerataan saling bertentangan, tetapi di pihak lain, ada yang berpendapat sebaliknya. Kelompok yang terakhir ini di dunia internasional tergolong minoritas. Sebab jumlah negara yang berhasil memadukan pertumbuhan dan pemerataan tidak banyak. Justru yang banyak adalah negara yang berhasil menciptakan pertumbuhan tinggi, tetapi dibarengi dengan ketimpangan yang semakin melebar. Namun tidak sedikit negara yang pertumbuhan ekonominya rendah tetapi diikuti dengan ketimpangan yang terus melebar.

Untuk menganalisis pengarah pembagian pendapatan terhadap investasi (I), perlu melakukan beberapa penyederhanaan seperti yang dilakukan Kaldor (dalam Ismail 1995). Misalkan bahwa pendapatan nasional (Y) didistribusikan dalam dua bentuk, yaitu yang diterima kelompok pekerja berupa upah (W) dan yang diterima kelompok pengusaha berupa keuntungan (F). Apabila kedua kelompok masyarakat tersebut mempunyai hasrat menabung yang berbeda (Sw≠ sf, dimana sw = hasrat menabung pekerja dan sF = hasrat menabung pengusaha), maka tabungan nasional bisa ditulis menjadi:

S = sY = (sw W) + (sFF) ... (2.20) dengan asumsi hasrat menabung marginal sama dengan tabungan rata-rata.

Dalam model makro ekonomi Keynesian sederhana, keseimbangan terjadi apabila I = S. Dengan mensubstitusikan syarat keseimbangan ini dengan persamaan (2.20) diperoleh:

I = (sww)+ (sFF) ... (2.21) jika W sama dengan Y dikurangi F, maka

I = sW(Y-F) + (sFF) ... (2.22) = (sF-sw)F +(swY) ... (2.23) bila ruas kiri dan ruas kanan dibagi dengan Y, diperoleh:

W W F S Y F S S Y I   ( ) ... (2.24)

Ini berarti bahwa tingkat investasi (I/Y) merupakan fungsi dari tingkat keuntungan (F/Y). Bila hasrat menabung dari kelompok buruh sama dengan nol (biasanya terbukti di kebanyakan negara berkembang), maka tingkat investasi ditentukan semata-mata oleh tingkat keuntungan. Atau apabila dianggap bahwa hasrat menabung kelompok buruh lebih kecil daripada kelompok kapitalis (biasanya terjadi di negara manapun), maka tingkat keuntungan tetap merupakan faktor penting dalam menentukan tingkat investasi. Dengan demikian, menurunkan proporsi keuntungan dalam pendapatan nasional untuk memperbaiki distribusi pendapatan, mempunyai dampak negatif terhadap tingkat investasi Selanjutnya, persamaan (20) ditulis kembali menjadi:

S = Y F s s s Y W S F s Y S W F W W F ) ( ) ( ) (      ... (2.25)

Dengan memasukkan persamaan: (22) ke dalam formulasi pertumbuhan Harrod-Domar (g = s/v, dimana s - hasrat menabung masyarakat, dan v = nisbah antara kapital dan output), akhirnya diperoleh:

v Y F s s s g W( FW)( )  ... (2.26)

Dari persamaan (2.26) jelas bahwa pertumbuhan dan pemerataan merupakan dua hal yang bertentangan. Jika dikehendaki tingkat pertumbuhan (g) yang tinggi, maka proporsi pendapatan nasional yang diterima kelompok kapitalis (F/Y) harus cukup tinggi pula; begitu sebaliknya bila dikehendaki distribusi pendapatan yang lebih merata, maka tingkat pertumbuhan akan rendah.

Dalam literatur, paling sedikit ada tiga konsep distribusi pendapatan, yakni: (1) distribusi fungsional, (2) distribusi fungsional yang diperluas, dan (3) distribusi personal. Distribusi fungsional berkaitan dengan pembagian pendapatan yang diterima pemilik faktor produksi tradisional dalam proses produksi (tanah, modal, dan tenaga kerja). Distribusi fungsional yang diperluas merupakan bentuk lain dari distribusi fungsional, misalnya pembagian pendapatan menurut wilayah, menurut sektor ekonomi (antara sektor pertanian dan sektor industri), atau menurut teknik produksi dalam sektor tertentu (antara industri modem dan industri tradisional). Sedangkan distribusi personal berkaitan dengan pembagian pendapatan yang diterima oleh individu atau rumahtangga.

Menurut Ismail (1995) teori neo-Keynesian dan juga teori distribusi pendapatan yang lainnya, lebih menitik beratkan pada masalah distribusi fungsional. Teori semacam ini tidak sepenuhnya relevan bila digunakan sebagai landasan untuk merumuskan kebijakan distribusi pendapatan di negara berkembang. Hal ini disebabkan oleh dua hal. Pertama, penggolongan penerima pendapatan dalam teori distribusi fungsional terlalu sederhana, yaitu hanya terbatas pada buruh dan pemilik modal, dan umumnya hanya meliputi mereka

yang tergabung dalam sektor formal. Pembagian semacam ini mengabaikan aspek penting dari problem kemiskinan dan ketimpangan di negara berkembang. Sebagian besar kelompok miskin di negara berkembang bekerja secara marginal di sektor tradisional dan informal, dan kegiatan mereka biasanya tidak dimasukkan ke dalam perhitungan pendapatan nasional. Karena itu kebijakan yang diarahkan untuk mempengaruhi pola pembagian pendapatan antara pekerja dan pengusaha yang didasarkan pada teori distribusi fungsional hanya akan menyentuh lapisan menengah dan lapisan atas dari kelompok pendapatan.

Kedua, teori distribusi pendapatan fungsional tidak banyak membahas konflik sosial-politik-ekonomi. Dalam proses pembangunan konflik semacam ini menonjol, dan biasanya hal ini berkaitan dengan strategi pembangunan yang dipilih. Distribusi fungsional dapat mengungkap kepentingan politik jika konflik itu bersumber dari pemilik faktor produksi. Ketidakmampuan teori distribusi fungsional untuk menjelaskan fenomena di negara berkembang adalah karena konflik sosial-ekonomi di negara tersebut bukan terletak semata-mata pada konflik antara upah dan modal, tetapi lebih mengarah pada konflik, misalnya antara desa dan kota, antara sektor industri dan sektor pertanian, antara sektor yang dilindungi dan sektor yang tidak dilindungi, antara industri substitusi impor dan industri untuk ekspor, dan sebagainya. Karena itu teori distribusi fungsional mempunyai kemampuan yang terbatas untuk menjelaskan proses dan fenomena jangka panjang dari ketimpangan pendapatan di negara berkembang.

Keterbatasan teori distribusi fungsional mendorong beberapa ahli mencari alternatif lain yang bisa digunakan sebagai dasar untuk menganalisis kaitan antara pertumbuhan dan pemerataan di negara berkembang. Salah satu alternatif yang dikemukakan adalah mengkaitkan distribusi personal dengan pertumbuhan.

Landasan ini dikenal dengan hipotesis U (U hypothesis) yang dikemukakan pertama kali oleh Simon Kuznets pada tahun 1955.

Hipotesis ini menyatakan bahwa pembangunan ekonomi pada mulanya diikuti oleh semakin buruknya pembagian pendapatan dan setelah mencapai titik tertentu, pembangunan akan diikuti oleh membaiknya pemerataan. Beberapa ekonom berusaha membuktikan keabsahan hipotesis U. Umumnya mereka menggunakan model ekonometrik yang menghubungkan proporsi pendapatan nasional yang diterima oleh 40 persen penduduk pendapatan rendah (sebagai variabel yang dijelaskan) dengan pendapatan per kapital dan variabel struktural lainnya (sebagai variabel penjelas). Studi mereka umumnya membuktikan kebenaran hipotesis U dalam pembangunan. Ini terjadi karena analisisnya didasarkan pada model pembangunan yang dualis (model dua sektor). Maksudnya pertumbuhan terjadi karena adanya transfer sumber-sumber ekonomi dari sektor tradisional ke sektor modern, dan ketimpangan pendapatan dalam proses pertumbuhan terjadi karena adanya perubahan struktural yang lambat dari dualisme ekonomi.

Pertumbuhan utamanya berasal dari sektor modern, yang umumnya tingkat pertumbuhannya jauh lebih cepat daripada sektor tradisional. Ketika terjadi pertumbuhan, hasilnya menyebar ke seluruh sektor ekonomi, tetapi ada sejumlah hambatan bagi orang-orang miskin untuk memperoleh manfaat dari pertumbuhan tersebut. Hambatan-hambatan ini antara lain berupa rendahnya tingkat pendidikan, sempitnya lahan yang dimiliki, rendahnya modal, dan beberapa kebijakan ekonomi (fiskal dan moneter) yang melemahkan posisi mereka. Karena orang miskin tidak bisa diserap untuk menjadi buruh di sektor modern, maka

memburuknya pemerataan pendapatan pada awal pembangunan tidak bisa dihindari.

Sekalipun sejumlah studi telah membuktikan keabsahan hipotesis U, namun tidak semua ahli ekonomi pembangunan setuju dengan prediksi Kuznets. Temuan Field (dalam Ismail, 1995) menunjukkan bahwa ada negara yang pertumbuhan ekonominya relatif tinggi tetapi diiringi dengan kemiskinan dan pemerataan yang semakin parah (Filipina). Di Brazilia, pertumbuhan tinggi mampu menurunkan kemiskinan tetapi distribusi pendapatannya semakin timpang. India dan Sri Langka, pertumbuhan rendah diiringi dengan pemerataan yang semakin membaik, namun di India kemiskinan memburuk. Sedangkan Taiwan dan Costa Rica, pertumbuhan tinggi tidak hanya diikuti oleh menurunnya kemiskinan tetapi juga membaiknya distribusi pendapatan. Ranis, demikian juga Lai (dalan Ismail, 1995), keduanya menunjukkan bahwa dalam pembangunan Taiwan tidak terjadi tradeoff antara pertumbuhan dan pemerataan, sekalipun dalam jangka pendek. Taiwan berhasil merealisasikan pertumbuhan dan pemerataan secara simultan dengan model pembangunan dualis. Strategi pembangunan yang diterapkan oleh Taiwan berhasil mensinergikan pertumbuhan dan pemerataan, padahal di negara-negara lain justru terjadi tradeoff dalam jangka pendek.

Menurut Cheng-chung Lai (dalan Ismail, 1995), Taiwan menerapkan empat strategi pada awal pembangunannya. Pertama, adanya transfer surplus (modal dan tenaga kerja) dari sektor pertanian ke sektor industri yang berjalan dengan baik Dalam tahap awal dari model pembangunan dualis, industrialisasi membutuhkan modal yang besar. Dana ini diambil dari surplus sektor pertanian yang dikumpulkan oleh pemerintah. Mekanisme semacam ini pada gilirannya

memungkinkan sektor industri menyerap surplus tenaga kerja di sektor pertanian. Penyerapan ini menyebabkan beban penduduk di sektor pertanian menurun sehingga produktivitas rata-rata meningkat, dan akhirnya pendapatan rata-rata juga meningkat. Hal demikian memungkinkan mengecilnya perbedaan pendapatan rata-rata antara kedua sektor tersebut. Kedua, industrinya bersifat padat karya dan berorientasi ekspor. Terus membaiknya distribusi pendapatan di Taiwan terutama disebabkan mekanisme penyerapan tenaga kerja oleh sektor industri. Antara tahun 1961-1976, 37 sampai 56 persen kenaikan kesempatan kerja berasal dari sektor industri. Di sektor ekspor juga menyumbang terhadap perluasan kesempatan kerja, yaitu antara 20 - 27 persen dari perluasan total Ketiga, lokasi industri yang tidak mendorong urbanisasi ini terjadi karena industri yang memproses barang-barang pertanian di Taiwan tidak terkonsentrasi di daerah perkotaan. Lokasi yang demikian pada akhirnya juga tidak mendorong terkonsentrasinya kegiatan ekonomi lain di daerah perkotaan. Akibatnya, distribusi kesempatan kerja antar desa dan kota relatif seimbang. Keempat, adanya land reform. Secara politik land reform menghilangkan konsentrasi kekayaan elit kekuasan di daerah perdesaan dan secara ekonomi mengurangi konsentrasi kekayaan dan mendorong tuan tanah untuk menanamkan modal dan aktivitas ekonominya di sektor industri yang sedang berkembang. Reformasi tanah dilakukan dalam tiga bentuk: penurunan sewa tanah pertanian, penjualan tanah negara, dan penjualan tanah milik tuan tanah (landlord) kepada petani kecil. Tuan tanah menerima 70 persen dari harga tanah dalam bentuk "Land Bond" dan 30 persen berupa saham industri dari empat perusahaan negara. Dampak ekonomi dari land-reform adalah hari kerja dan produktivitas tenaga kerja meningkat,

bagian pendapatan dari pemilik tanah dan pemilik modal menurun, sedangkan bagian pendapatan tenaga kerja meningkat secara berarti. Ini berarti bahwa land-reform mendorong pendapatan buruh memngkat dan karenanya ketimpangan menurun. Dengan empat strategi ini, pemerataan pendapatan di Taiwan terkait langsung dengan pertumbuhan, sehingga pemerataan tidak hanya terjadi antar individu, tetapi juga pemerataan antar sektor ekonomi dan antar wilayah.

Dokumen terkait