• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran, dampak investasi dan kebijakan sektor pertambangan terhadap perekonomian nasional dan regional

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Peran, dampak investasi dan kebijakan sektor pertambangan terhadap perekonomian nasional dan regional"

Copied!
580
0
0

Teks penuh

(1)

DISERTASI

MARGO YUWONO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

SURAT PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya yang berjudul :

PERAN, DAMPAK INVESTASI DAN KEBIJAKAN SEKTOR

PERTAMBANGAN TERHADAP PEREKONOMIAN

NASIONAL DAN REGIONAL

merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi saya sendiri dengan

pembimbingan Komisi Pembimbing, kecuali dengan jelas ditunjukkan dengan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program yang sejenis di perguruan tinggi lain.

Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan dengan jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Januari 2012

(4)
(5)

ABSTRACT

MARGO YUWONO. The Roles, Investment Impacts, and Mining Sector Policies on Regional and National Economy (RINA OKTAVIANI as a Chairperson, BONAR M SINAGA, and DEDI BUDIMAN HAKIM as Members of the Advisory Committee)

The objective of this study is to analyze The Roles, Investment Impacts, and Mining Sector Policies on Regional and National Economy. This study uses Interregional Social Accounting Matrix (IRSAM) models of Kalimantan, and non-Kalimantan framework. The IRSAM model is used based on a consideration that it can explain the social and economic performance quite well. Kalimantan and non-Kalimantan framework are used to see the transmission or flow of the mining sector development impacts in Kalimantan. In the IRSAM models, the mining sector disaggregated into oil and gas, and coal mining, and other mining sub-sectors. Furthermore, disaggregation of urban and rural household criteria is adopted from World Bank concepts that divide household income into three categories namely low, medium, and high income. The objectives of this research are achieved using two different ways. Firstly, an analysis is conducted by using a descriptive analysis and IRSAM multipliers, and secondly, by using policy simulations analysis. A descriptive analysis and IRSAM multipliers are used to see the impacts of any increased in investment on Mining sector, and the policy simulation analysis is used to see the impact of any development policies on the same sector. The roles of the mining sectors are analyzed using relevance and multiplier values, and it shows that the mining sector linkages in the economy both backward and forward are very low. Based on the mining sector development multiplier analysis, it shows that the development of the mining sector does not give too much of a benefit to the economy of Kalimantan, or the high level of spillovereffect occurs in the economy. Furthermore, shocks in the mining sector are causing high income disparities in economic. Any increases in investments in the mining sector produce a less good impact on the economy of Kalimantan. The reason is because not all capital goods that are used by the mining sector are available in Kalimantan. This is causing the impact flows out from the territory. Several policy alternatives to optimize the mining sector's roles in the economy are simulated in the models. The result shows that not all specified scenarios give good results in all aspects. However, the most effective policy, in short term or long term, is scenario 7, which increased regional revenues by getting 6.5 percent of royalty, and from that amount distributes 20 percent to agricultural sector, 40 percent to infrastructures, and 40 percent to the development of agro-industry. The implementation of this policy could result in additional revenues in all sectors of productions, and would be more evenly distributed especially in agriculture sector, and agro-industry. Additional income is also generated more evenly in all household groups.

(6)
(7)

RINGKASAN

Margo Yuwono. Peran, Dampak Investasi dan Kebijakan Sektor Pertambangan terhadap Perekonomian Nasional dan Regional (Prof. Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS sebagai Ketua Komisi Pembimbing, Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA dan Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec sebagai Anggota Komisi Pembimbing).

Dalam beberapa tahun terakhir, produksi beberapa komoditas pertambangan Indonesia seperti timah, tembaga, nikel, emas dan batubara tidak saja berperan besar dalam perekonomian nasional namun juga telah menjadi pemasok bagi kebutuhan dunia. Kontribusi sektor pertambangan bukan migas dalam perekonomian Indonesia selama periode 2000-2010 cenderung meningkat, jika pada tahun 2000 kontribusinya baru mencapai 2.81 persen kemudian pada tahun 2010 sudah mencapai 5.16 persen. Komoditas terbesar dalam sektor pertambangan bukan migas adalah komoditas batubara, dalam beberapa tahun terakhir produksinya meningkat cukup tajam. Peningkatan produksi batubara ini diduga akibat dari kebijakan energi mix yang lebih mengutamakan energi batubara dibandingkan energi yang lain, sehingga permintaan internasional akan komoditas tersebut juga meningkat.

Selain berkontribusi dalam penciptaan nilai tambah (value added), sektor pertambangan bukan migas juga memberikan manfaat yang besar pada penerimaan keuangan negara. Penerimaan pemerintah dari sektor ini selama periode 2005-2010, berkisar antara Rp.6-13 Triliun dan terbesar terjadi pada tahun 2008 yang mencapai Rp.12,8 triliun. Sementa itu penerimaan negara dari SDA berkisar antara Rp.100-225 triliun, atau sekitar 18-27 persen dari total APBN. Hal ini memberikan indikasi bahwa ketergantungan ekonomi Indonesia terhadap sumberdaya alam masih sangat tinggi.

Secara spasial, aktivitas sektor pertambangan bukan migas terkonsentrasi di Pulau Kalimantan, sekitar 50,84 persen nilai tambah pertambangan bukan migas Indonesia di hasilkan di Kalimantan. Implikasi dari terkonsentrasinya kegiatan pertambangan di Kalimantan sangat luas. Pertama, meningkatkan PDRB dan APBD daerah. Kedua, karena karakteristik pertambangan adalah padat modal dan berisiko tinggi terhadap kerusakan lingkungan beberapa daerah penghasil pertambangan di Kalimantan dihadapkan pada beberapa persoalan sosial seperti masalah pengangguran, kemiskinan, dan kualitas pembangunan manusia yang rendah. Ketiga, struktur perekonomian Kalimantan cenderung tidak seimbang (imbalances), ketimpangan pendapatan sektoral yang diakibatkan ketergantungan terhadap pertambangan menyebabkan pondasi perekonomian sangat rentan, dikuatirkan jika tambang berhenti berproduksi (habis) maka ekonomi daerah bisa collaps. Dalam jangka panjang struktuk ekonomi yang demikian tentu saja kurang menguntungkan bagi perekonomian Kalimantan.

(8)

kebijakan terhadap pembangunan sektor pertambangan di Kalimantan dalam kerangka kesetaraan pembangunan antarwilayah.

Berdasarkan data IRSAM 2008, diperoleh informasi bahwa pertambangan batubara dalam pembentukan PDB pada tahun 2008 mencapai 3.78 persen, dan mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 0.91 persen dari tenaga kerja nasional. Jika dilihat sebarannya, 41.32 persen produksi batubara tersebut dihasilkan oleh di Pulau Kalimantan dan sisanya sebesar 56.68 persen terdapat di pulau laiinya di Indonesia. Kontribusi pertambangan sektor petambangan di Kalimantan dalam pembentukan PDRB mencapai 13.75 persen dan daya serap tenaga kerjanya hanya 3,23 persen dari total tenaga kerja di Kalimantan. Rendahnya daya serap tenaga kerja di sektor ini mengindikasikan bahwa sektor pertambangan batubara tergolong sektor yang capital intensive.

Pengamatan terhadap distribusi pendapatan faktorial di sektor pertambangan diketahui lebih banyak diterima oleh pemilik kapital, secara nasional alokasi pendapatan untuk kapital sebesar 68.87 persen, di Kalimantan sebesar 87.53 persen dan di Luar Kalimantan sebesar 88.98 persen. Hal ini mengindakasikan bahwa pembangunan sektor pertambangan lebih banyak dinikmati oleh para pemilik kapital dari pada tenagakerja. Bila dikaji lebih lanjut penerima pendapatan tenaga kerja terbesar adalah pekerja non pertanian sebagai tenaga produksi, operator alat angkutan dan buruh kasar. Sedangkan bila dilihat perbandingan desa-kota, ternyata alokasi pendapatan tenaga kerja banyak dinikmati oleh tenagakerja di kota atau dengan kata lain pembangunan sektor pertambangan adalah bias perkotaan (urban bias).

Hasil penelitian lainnya menunjukkan bahwa keterkaitan sektor pertambangan dalam perekonomian baik keterkaitan ke Belakang (backward linkage) maupun keterkaitan ke Depan (forward linkage) sangat rendah. Hal ini mengindasikan bahwa dalam setiap tahapan produksi maupun penggunaannya (distribusi) dalam perekonomian tidak banyak melibatkan sektor ekonomi lainnya. Berdasarkan analisis multiplier pembangunan sektor pertambangan menunjukkan bahwa pembangunan sektor pertambangan tidak banyak memberikan manfaat bagi perekonomian Kalimantan, atau dengan kata lain adanya goncangan (shock) di sektor pertambangan batubara banyak dinikmati oleh penduduk Luar Kalimantan, terjadi spillover effect yang cukup tinggi dalam perekonomian. Pada sisi lain, adannya shock pada sektor pertambangan juga menimbulkan disparitas pendapatan yang cukup tinggi, baik di Faktor Produksi, Sektor Produksi maupun Institusi.

(9)

@ Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012 Hak cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar Institut Pertanian Bogor

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya

(10)
(11)

PERAN, DAMPAK INVESTASI DAN KEBIJAKAN SEKTOR

PERTAMBANGAN TERHADAP PEREKONOMIAN

NASIONAL DAN REGIONAL

MARGO YUWONO

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup :

1. Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS

Staf Pengajar Departemen Ilmu Ekonomi Pertanian

Fakultas Ekonomi dan Manejemen, Institut Pertanian Bogor 2. Prof. Dr. Ir. Mangara Tambunan,M.Sc

Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Manejemen, Institut Pertanian Bogor

Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka : 1. Dr. Slamet Sutomo, MS

Deputi Bidang Neraca dan Analisis Statistik Badan Pusat Statistik Republik Indonesia 2. Drs. Sumedi Andono Mulyo, M.A., PhD

Kasubdit Bidang Analisis Sosial Ekonomi Regional Direktorat Pengembangan Wilayah

(13)

Judul : Peran, Dampak Investasi dan Kebijakan Sektor Pertambangan terhadap Perekonomian Nasional dan Regional

Nama Mahasiswa : Margo Yuwono

Nomor Pokok : H.361064124

Menyetujui :

1. Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS Ketua

Prof. Dr. Ir. Bonar M Sinaga, MA Anggota

Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec Anggota

Mengetahui :

2. Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian,

Prof. Dr. Ir. Bonar M Sinaga, MA

3. Dekan Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor

(14)
(15)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah Subhana Wata’ala yang telah memberikan taufik dan

hidayah-Nya kepada penulis untuk dapat menyelesaikan penulisan disertasi yang

berjudul : Peran, Dampak Investasi dan Kebijakan Sektor Pertambangan terhadap Perekonomian Nasional dan Regional.

Tujuan dari penelitian ini adalah : (1) menganalisis peran sektor pertambangan di Kalimantan melalui analisis keterkaitan dan multiplier effect sektor pertambangan, (2) menganalisis dampak peningkatan investasi sektor

pertambangan di Kalimantan, dan (3) menganalisis berbagai simulasi kebijakan pembangunan di sektor pertambangan dengan menggunakan model Interregional

Social Accounting Matrix.

Seiring dengan selesainya penelitian ini, penulis ingin mengucapkan terimakasih dan penghormatan yang setinggi tingginya kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS selaku ketua komisi pembimbing dan Prof. Dr. Ir. Bonar M Sinaga, MA, Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, MEc selaku

Anggota Komisi Pembimbing yang telah meluangkan waktu yang sangat berharga untuk memberikan pengarahan dan bimbingan kepada penulis sejak penyusunan proposal sampai penyelesaian disertasi ini.

2. Istri tercinta, Irma Susanty dan anak-anak, Vinna dan Dini yang telah ikut memberi motivasi dan pengorbanan waktu selama hampir 5 tahun.

3. Sdr. Windy, Dimas, Pepi dan rekan-rekan di BPS yang telah memberikan motivasi kepada penulis, sehingga mampu menyelesaikan penelitian ini.

Kepada semua yang penulis sebutkan diatas semoga Allah SWT selalu

(16)

Penulis sangat menyadari dengan waktu dan kemampuan yang terbatas penelitian ini masih jauh dari harapan dan belum sempurna. Namun demikian

penulis tetap berharap semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukannya.

Bogor, Januari 2012

(17)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Blitar, Jawa Timur pada tanggal 5 Juni 1963, dari Ayah Rajikan dan Ibu Suparti Penulis adalah anak pertama dari 5 bersaudara.

Setelah menamatkan pendidikan menengah di SMA Negeri 45 Jakarta pada tahun 1982, penulis melanjutkan pendidikan Sarjana Muda di Akademi Ilmu

Statistik (AIS), Jakarta dan lulus tahun 1986. Kemudian melanjutkan program sarjana di Institut Pertanian Bogor (IPB), Jurusan Statistik dan tamat tahun 1994.

Pada tahun 1999 penulis berkesempatan melanjutkan pendidikan Pascasarjana, pada Program Perencanaan Wilayah dan Perdesaan (PWD)-IPB dan lulus pada tahun 2005.

Sejak tahun 1986 hingga tahun 2009, penulis bekerja di Badan Pusat Statistik, Jakarta sebagai staf pada bagian Konsolidasi Neraca Regional,

Direktorat Neraca Produksi. Pada tahun 2009 sampai sekarang penulis bekerja di Direktorat Analisis dan Pengembangan Statistik, BPS. Pada tahun 2006, penulis berkesempatan mengambil program Doktor pada Program Studi Ilmu Ekonomi

(18)
(19)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xxiii

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 7

1.3. Tujuan Penelitian ... 10

1.4. Manfaat Penelitian ... 11

1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ... 11

II. KAJIAN PUSTAKA ... 13

2.1. Makna Pembangunan dan Pembangunan Regional ... 13

2.1. Paradigma Pembangunan Berkelanjutan ... 14

2.3. Teori Basis Ekspor ... 16

2.4. Model Pendapatan Interregional ... 17

2.5. Pertumbuhan dan Pemerataan ... 24

2.6. Distribusi Pendapatan ... 31

2.7. Kelembagaan dan Kebijakan Batubara Nasional ... 38

2.8. Studi Empirik Dampak Ekonomi Pertambangan di Indonesia dan beberapa Negara Penghasil Tambang ... 48

III. KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS ... 53

3.1. Kerangka Pikir Penelitian ... 53

3.2. Interregional Social Accounting Matrix ... 54

3.2.1. Dekomposisi Multplier Social Accounting Matrix dan IRSAM ... 58

3.2.2. Penyusunan Sistem Jaringan IRSAM ... 67

(20)

3.3.1. Metode RAS ... 74

4.3. Struktur IRSAM Kalimantan dan Non Kalimantan ... 90

4.4. Metode Analisis ... 94

4.4.1. Metode Analisis Keterkaitan Sektor Pertambangan dengan Sektor Ekonomi Lainnya ... 94

4.4.2. Metode Analisis Multiplier Effect Sektor Pertambangan terhadap Peningkatan Pendapatan Sektor Produksi ... 95

4.4.3. Metode Analisis Multiplier Effect Sektor Pertambangan terhadap Peningkatan Pendapatan Faktor Produksi ... 96

4.4.4. Metode Analisis Multiplier Effect Sektor Pertambangan terhadap Peningkatan Pendapatan Institusi ... 96

4.4.5. Metode Analisis Jalur Struktural ... 97

4.4.6. Metode Analisis Simulasi Dampak Kebijakan Pembangunan Sektor Pertambangan di Kalimantan ... 98

V. PERAN SEKTOR PERTAMBANGAN BATUBARA PADA PEREKONOMIAN ... 101

5.1. Posisi Pertambangan Batubara Indonesia dalam Pasar Global .. 101

5.1.1. Posisi Produksi Batubara Indonesia dalam Pasar Global 101 5.1.2. Posisi Ekspor Batubara Indonesia dalam Pasar Global . 103 5.1.3. Rangkuman ... 104

5.2. Kontribusi Pertambangan Batubara dalam Perekonomian ... 104

5.2.1. Kontribusi dalam PDB/PDRB ... 104

(21)

5.2.3. Rangkuman ... 109

5.3. Distribusi Pendapatan Faktorial Sektor Pertambangan ... 110

5.3.1. Distribusi Pendapatan Faktorial Sektor Pertambangan Batubara di Kalimantan ... 110

5.3.2. Distribusi Pendapatan Faktorial di Non Kalimantan ... 112

5.3.3. Rangkuman ... 112

5.4. Analisis Keterkaitan Antar Sektor Produksi ... 113

5.4.1. Analisis Keterkaitan Intraregional ... 113

5.4.2. Analisis Keterkaitan Interregional ... 120

5.4.3. Rangkuman ... 123

5.5. Analisis Multiplier Pembangunan Sektor Pertambangan Dalam Perekonomian ... 123

5.5.1. Efek terhadap Pendapatan Faktor Produksi ... 125

5.5.2. Efek terhadap Pendapatan Institusi ... 126

5.5.3. Efek terhadap Pendapatan Sektor Produksi ... 128

5.5.4. Rangkuman ... 130

VI. ANALISIS DAMPAK INVESTASI, EKSPOR DAN SIMULASI KEBIJAKAN ... 131

6.1. Dampak Kenaikan Investasi Sektor Pertambangan di Kalimantan ... 131

6.1.1. Perubahan Nilai Tambah Faktor Produksi ... 131

6.1.2. Perubahan Pendapatan Rumahtangga ... 133

6.1.3. Perubahan Pendapatan Sektor Produksi ... 134

6.1.4. Perubahan penyerapan Tenaga Kerja ... 136

6.1.5. Analisis Jalur Struktural ... 138

6.1.6. Transmisi Jalur Peningkatan Investasi terhadap Pembentukan Output Sektor Pertambangan di Kalimantan ... 138

6.1.7. Spillover Effect Akibat dari Investasi Barang Modal di Sektor Pertambangan Batubara dan tambang Lainnya di Kalimantan ... 143

6.1.8 Rangkuman ... 145

6.2. Dampak Kenaikan Ekspor Sektor Pertambangan ... 146

(22)

6.2.2. Perubahan Pendapatan Rumahtangga ... 148 6.2.3. Transmisi Jalur Akibat Kenaikan Output Sektor

Pertambangan Batubara di Kalimantan ... 150 6.2.4 Spillover Effect Akibat Kenaikan Ekspor Sektor

Pertambangan Batubara di Kalimantan ... 158 6.2.5. Rangkuman ... 161 6.3. Analisis Simulasi Kebijakan ... 161

6.3.1 Simulasi Kebijakan Pembangunan Sektor Pertambangan di Kalimantan terhadap Pendapatan

Sektor Produksi ... 161 6.3.2. Simulasi Kebijakan Pembangunan Sektor

Pertambangan terhadap Pendapatan rumahtangga ... 168 6.3.4. Rangkuman ... 168

VII. KESIMPULAN DAN SARAN ... 171 7.1. Kesimpulan ... 171 7.2. Saran ... 175 7.2.1. Implikasi Kebijakan ... 175 7.2.2. Penelitian Lanjutan ... 186

(23)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Penerimaan Negara Bukan Pajak dari Sumberdaya Alam, Tahun

2005-2010 ... 4 2. Struktur Perekonomian Pulau Kalimantan Tahun 2005-2010 ... 6 3. Indikator Sosial dan Ekonomi Daerah Penghasil Tambang Tahun

2010 ... 8 4. Kerangka Dasar Interregional Social Accounting Matrix (IRSAM) . 57 5. Definisi Neraca Transaksi Inter-Regional Social Accounting Matrix

(IRSAM) ... 58 6. Klasifikasi IRSAM Kalimantan dan Non Kalimantan, Tahun 2008 .. 91 7. Produsen Utama Batubara di Dunia, Tahun 2000-2008... 102 8. Ekspor Batubara Beberapa Negara di Dunia, Tahun 2005-2008 ... 103 9. Struktur Ekonomi Pulau Kalimantan, Non Kalimantan dan

Indonesia, Tahun 2008 ... 106 10. Alokasi Bagi Hasil Sektor Pertambangan Umum, Tahun 2009 ... 109 11. Distribusi Pendapatan Faktorial Sektor Pertambangan, Tahun 2008 . 111 12. Keterkaitan ke Belakang dan ke Depan Menurut Sektor Produksi di

Kalimantan ... 115 13. Keterkaitan ke Belakang dan ke Depan Menurut Sektor Produksi di

Non Kalimantan ... 118 14. Keterkaitan Interregional ke Belakang dan ke Depan Menurut

Sektor Produksi di Kalimantan dan Non Kalimantan ... 122 15. Efek Sektor Pertambangan Batubara di Kalimantan terhadap

Pendapatan Faktor Produksi ... 125 16. Efek Sektor Pertambangan Batubara di Kalimantan terhadap

Pendapatan Institusi ... 127 17. Efek Sektor Pertambangan Batubara di Kalimantan terhadap

Pendapatan Sektor Produksi ... 129 18. Dampak Kenaikan Investasi Sektor Pertambangan Batubara

Sebesar 10 persen terhadap Penambahan Pendapatan di Faktor

(24)

19. Dampak Kenaikan Investasi Sektor Pertambangan Batubara

Sebesar 10 persen terhadap Penambahan Pendapatan Rumahtangga 133 20. Dampak Kenaikan Investasi Sektor Pertambangan Batubara

Sebesar 10 persen terhadap Penambahan Sektor Produksi ... 135 21. Dampak Kenaikan Investasi Sektor Pertambangan Sebesar 10

persen terhadap Penyerapan Tenaga Kerja ... 137 22. Analisis Jalur Investasi Barang Modal terhadap Pembentukan

Output Pertambangan di Pulau Kalimantan ... 139 23. Analisis Jalur Investasi Sektor Pertambangan di Pulau Kalimantan

terhadap Pendapatan Institusi di Kalimantan dan Non Kalimantan .. 141 24. Efek Total dari Investasi Pertambangan Batubara dan Tambang

Lainnya di Kalimantan ... 145 25. Dampak Kenaikan Ekspor Pertambangan Batubara Sebesar 20

persen terhadap Penambahan Pendapatan Faktor Produksi ... 147 26. Dampak Peningkatan Ekspor Pertambangan Batubara Sebesar 20

persen terhadap Penambahan Pendapatan Rumahtangga ... 149 27. Transmisi Akibat Kenaikan Output di Sektor Pertambangan

Batubara dan Lainnya di Pulau Kalimantan terhadap Peningkatan

Pendapatan di Kalimantan dan di Luar Kalimantan ... 150 28. Transmisi Kenaikan Ekspor Sektor Pertambangan Batubara di

Pulau Kalimantan terhadap Penciptaan Kapital di Kalimantan dan

di Non Kalimantan ... 153 29. Pengaruh Global Akibat Kenaikan Ekspor Sektor Pertambangan

Batubara di Pulau Kalimantan terhadap Peningkatan Pendapatan

Rumahtangga ... 155 30. Transmisi Jalur Kenaikan Ekspor Sektor Pertambangan Pulau

Kalimantan terhadap Peningkatan Pendapatan Rumahtangga ... 156 31. Efek Total dari Guncangan Output Sektor Pertambangan Batubara

dan tambang Lainnya di Kalimantan terhadap Output Sektoral,

Pendapatan Institusi, Pendapatan Faktor, dan Total Perekonomian .. 159 32. Hasil Simulasi Beberapa Kebijakan Pembangunan Sektor

Pertambangan di Kalimantan terhadap Pendapatan Sektor Produksi 167 33. Hasil Simulasi Beberapa Kebijakan Pembangunan Sektor

Pertambangan di Kalimantan terhadap Peningkatan Pendapatan

(25)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Kontribusi Sektor Pertambangan Bukan Migas dalam

Perekonomian Indonesia, Tahun 2000-2010 ... 3 2. PDRB Pertambangan dan Non Pertambangan di Kalimantan,

Tahun 2000-2010 ... 5 3. Unsur-Unsur Pendukung Pembangunan Berkelanjutan ... 15 4. Arus Uang Melalui Perekonomian ... 32 5. Distribusi Pendapatan dengan Pendekatan Fungsional ... 34 6. Sistem Bagi Hasil Produksi Batubara ... 38 7. Kerangka Interregional Social Accounting Matrix Sumber: Hadi

(2001), Achjar et al., Rum Alim (2005) ... 55 8. Proses Pengganda antara Neraca Endogen SAM ... 63 9. Jalur Dasar dalam Analisis Jalur ... 80 10. Sirkuit dalam Analisis Jalur ... 80 11. Contoh Dua Sektor ... 81 12. Kerangka Pemikiran Operasional ... 86 13. Keterkaitan ke Belakang dan ke Depan menurut Sektor Produksi di

Kalimantan ... 117 14. Keterkaitan ke Belakang dan ke Depan menurut Sektor Produksi di

Non Kalimantan ... 119 15. Analisis Jalur Investasi Barang Modal Interregional terhadap

Sektor Pertambangan Batubara di Pulau Kalimantan ... 140 16. Analisis Jalur Investasi Barang Modal Intraregional dan

Interregional Sektor Pertambangan terhadap Pendapatan Institusi .... 142 17. Analisis Jalur Peningkatan Ekspor Sektor Pertambangan Batubara

di Kalimantan terhadap Peningkatan Pendapatan Kapital ... 152 18. Analisis Jalur Ekspor Sektor Pertambangan Batubara di Pulau

Kalimantan terhadap Penciptaan Kapital ... 154 19. Analisis Jalur Kenaikan Ekspor Pertambangan Batubara di

(26)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Klasifikasi Tabel IRSAM Kalimantan dan Non Kalimantan ... 184

(27)

1.1. Latar Belakang

Pembangunan bidang pertambangan merupakan bagian integral dari

pembangunan nasional, sehingga pembangunan bidang pertambangan merupakan

tanggung jawab bersama. Oleh karenanya harus dilaksanakan secara bertanggung

jawab dan transparan untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi

kemakmuran rakyat. Selain aspek ekonomi, pengelolaan pertambangan juga harus

tetap memperhatikan aspek ekologi, sosial dan budaya sehingga pemanfaatan

sumberdaya pertambangan tidak hanya diarahkan untuk menghasilkan keuntungan

ekonomi semata tetapi yang lebih penting adalah keberlanjutan fungsi sumberdaya

tambang itu sendiri untuk menopang kehidupan manusia antar generasi.

Sumberdaya pertambangan sebagai salah satu kekayaan yang dimiliki

Bangsa Indonesia, apabila dikelola dengan baik akan memberikan kontribusi

terhadap pembangunan ekonomi nasional. Sesuai dengan amanat Undang-Undang

Dasar 1945, pemerintah sebagai penguasa sumberdaya harus mampu mengatur,

mencegah pemborosan, dan mengoptimalkan pendapatan dari penguasaan

sumberdaya tersebut untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Pada sisi

lain, tekanan pembangunan ekonomi yang dilakukan di negara-negara

berkembang sering menimbulkan dilema bagi kelestarian sumberdaya alam. Hal

ini mengingat kebutuhan konsumsi untuk masyarakat sering tidak ditunjang oleh

pengelolaan yang baik dan kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga

(28)

dianggap sebagai biaya yang harus dibayar untuk suatu proses pembangunan

ekonomi. Dengan makin meningkatnya kebutuhan ekonomi yang berbasis

sumberdaya alam (resource base), makin memberikan tekanan yang tinggi

terhadap sumberdaya alam itu sendiri sehingga kebutuhan akan pengelolaan

sumberdaya alam yang baik menjadi kebutuhan yang mendesak.

Undang-undang No. 11 Tahun 1967 tentang pokok-pokok Pertambangan

yang kemudian diganti dengan Undang-Undang (UU) Pertambangan Mineral dan

Batubara Tahun 2009, telah menjadi landasan eksploitasi sumberdaya mineral dan

batubara secara besar-besaran untuk mengejar pertumbuhan ekonomi. Dalam

beberapa tahun terakhir, produksi beberapa komoditas pertambangan Indonesia

seperti timah, tembaga, nikel, emas dan batubara tumbuh sangat tinggi dan tidak

saja telah berperan besar dalam perekonomian nasional namun juga telah menjadi

pemasok bagi kebutuhan dunia.

Kontribusi sektor pertambangan non migas dalam perekonomian Indonesia

selama periode 2000-2010 menunjukkan tren yang terus meningkat. Berdasarkan

Gambar 1 dapat diketahui bahwa kontribusi sektor pertambangan bukan migas

pada tahun 2000 baru mencapai 2.81 persen, kemudian pada tahun 2010

meningkat menjadi 5.16 persen. Komoditas terbesar dalam sektor pertambangan

bukan migas adalah batubara, dalam beberapa tahun terakhir produksinya

meningkat cukup tajam. Peningkatan produksi batubara ini diduga akibat dari

kebijakan energi mix yang lebih mengutamakan energi batubara dibandingkan

energi yang lain, sehingga permintaan internasional akan komoditas tersebut juga

(29)

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2011 (diolah)

Gambar 1. Kontribusi Sektor Pertambangan Bukan Migas dalam Perekonomian Indonesia Tahun 2000-2010

Selain berkontribusi dalam penciptaan nilai tambah (value added), sektor

pertambangan juga berkontribusi besar pada penerimaan keuangan negara.

Penerimaan pemerintah dari sektor ini selama periode 2005-2010 berkisar antara

6-13 triliun rupiah dan terbesar terjadi pada tahun 2008 yang mencapai 12.8 triliun

rupiah atau sekitar 5.72 persen dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja

Negara (APBN). Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui bahwa bahwa penerimaan

pemerintah bukan pajak yang berasal dari Sumberdaya Alam (SDA) selama

periode tersebut berkisar antara 100-225 triliun rupiah atau berkontribusi pada

APBN sekitar 10-27 persen. Hal ini membuktikan bahwa peran sektor yang

berbasis SDA, termasuk pertambangan non migas mempunyai peran yang sangat

penting dalam perekonomian nasional.

2.81 3.19 2.81 2.65 2.84

3.77 3.91 4.06 3.95 4.53

5.16

0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Persen

(30)

Tabel 1. Penerimaan Negara Bukan Pajak dari Sumberdaya Alam Tahun

2005-Secara spasial, aktivitas sektor pertambangan non migas terkonsentrasi di

Pulau Kalimantan, sekitar 50.84 persen nilai tambah pertambangan non migas

Indonesia di hasilkan di Kalimantan, dan sekitar 90 persen produksinya diekspor

ke luar wilayah. Hal ini berarti sebagian besar sumberdaya alam di Kalimantan

yang ada dikirim ke luar Kalimantan tanpa melalui proses produksi. Melalui cara

ini berarti kegiatan ekonomi yang dilaksanakan di Kalimantan sedikit sekali yang

menghasilkan nilai tambah. Padahal proses nilai tambah itulah yang sebenarnya

dapat menaikkan pendapatan masyarakat baik secara langsung maupun tidak

langsung. Dalam jangka panjang kondisi tersebut tentu saja tidak menguntungkan

bagi daerah. Oleh karena sektor pertambangan bersifat nonrenewable, maka

daerah perlu segera mengembangkan sektor ekonomi alternatif lain yang dapat

dijadikan leading sector di bidang perekonomian. Sektor ekonomi tersebut harus

mulai dikembangkan sedini mungkin, sehingga pada saat pertambangan berhenti

berproduksi, maka sektor ekonomi alternatif tersebut sudah mampu menggantikan

(31)

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2011 (diolah)

Gambar 2. PDRB Pertambangan dan Non Pertambangan di Kalimantan Tahun 2000-2010

Melihat dominasi sektor pertambangan yang cukup besar dalam

perekonomian mengakibatkan terjadinya ketimpangan dalam struktur

perekonomian. Struktur ekonomi dari daerah penghasil tambang seakan terbagi ke

dalam dua bagian yaitu ekonomi modern dan ekonomi tradisional. Masing-masing

struktur tersebut relatif terpisah dan kurang terkait satu sama lain. Keterpisahan

kedua struktur tersebut mengakibatkan perkembangan ekonomi yang cepat dari

sektor modern kurang mampu mendorong laju pertumbuhan ekonomi tradisional.

Ekonomi modern pada umumnya berskala besar yang dikelola oleh swasta

dan pada umum kepemilikannya dikuasi oleh penduduk luar wilayah tersebut.

Sektor modern yang berkembang ini sangat bergantung pada sumberdaya alam

yang tidak dapat diperbaharui dan memberikan pengaruh besar terhadap

masalah-masalah lingkungan. Selain itu, sektor modern ini juga bergantung kepada modal 63.98 70.55 69.39

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

(32)

dan tenaga kerja dari luar wilayah dan relatif kurang memberikan multiplier

kepada ekonomi lokal.

Pada sisi lain ekonomi tradisional merupakan ekonomi rakyat yang masih bersifat subsisten. Pola ekonomi ini menunjukkan bahwa tingkat perkembangan ekonomi tradisional berada pada tahap awal dengan volume perdagangan yang relatif kecil serta cenderung hanya melayani kebutuhan lokal. Karakter ekonomi yang bersifat subsisten dengan ukuran pasar yang kecil ini tidak memungkinkan untuk mendorong laju pertumbuhan ekonomi wilayah. Begitu juga apabila dilihat dari aspek produktivitas, rendahnya kontribusi sektor pertanian dalam PDRB dan tingginya ketergantungan tenaga kerja pada sektor pertanian menyebabkan kesejahteraan masyarakat yang bekerja di sektor pertanian lebih rendah jika dibandingkan dengan masyarakat yang bekerja di sektor pertambangan.

Tabel 2. Struktur Perekonomian Pulau Kalimantan Tahun 2005-2010

Sektor

(33)

Masalah lainnya yang juga terjadi dalam pengelolaan tambang adalah pola pemanfaatan sumberdaya alam tambang kurang memberikan akses kepada

masyarakat adat dan lokal di satu pihak dan di pihak lain cenderung sentralistik dan terpusat pada beberapa kelompok masyarakat dan golongan tertentu, sehingga mengurangi kesempatan dan peran serta aktif masyarakat adat dan lokal. Kondisi

tersebut jika dibiarkan secara terus menerus dapat menimbulkan kesenjangan pendapatan antara penduduk pendatang dan masyarakat lokal. Secara rata-rata

hanya sekitar 19 persen saja pendapatan yang dapat dinikmati oleh 40 persen penduduk yang berpendapatan rendah. Sementara 20 persen penduduk yang berpendapatan tinggi menikmati pendapatan lebih banyak yaitu sekitar 45 persen.

Hal ini menandakan bahwa distribusi pendapatan dalam masyarakat Kalimantan terjadi ketimpangan.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan beberapa bukti empiris yang telah diuaraikan sebelumnya, teridentifikasi beberapa permasalahan pokok yang perlu segera ditangani dalam

pengelolaan sumberdaya tambang di Kalimantan, antara lain sebagai berikut: 1. Pengelolaan tambang selama ini telah menimbulkan “bias” pembangunan

(34)

menerima dampak negatif (eksternalitas negatif) dari pengambilan sumberdaya alam. Hal ini di indikasikan oleh masih banyaknya penduduk miskin dan rendahnya kualitas manusia di daerah, nilai IPM pada daerah-daerah penghasil tambang secara umum masih sangat rendah.

Tabel 3. Indikator Sosial dan Ekonomi Daerah Penghasil Tambang Tahun 2010

Indikator Sosial dan Ekonomi Kutai Timur

PDRB per Kapita (Juta Rupiah) 140.02 128.26 295.05

APBD per Kapita (Juta Rupiah) 8.79 3.02 9.46

Indeks Pembangunan Manusia 71.23 68.49 66.16

Peringkat IPM secara Nasional (497 Kabupaten/Kota)

223 438 361

Sumber: Badan Pusat Statistik, 2011 (diolah)

2. Struktur perekonomian di Pulau Kalimantan cenderung tidak seimbang (imbalances). Ketimpangan pendapatan sektoral yang diakibatkan ketergantungan terhadap pertambangan menyebabkan pondasi perekonomian

Kalimantan sangat rentan, dikuatirkan jika tambang berhenti berproduksi (habis) maka ekonomi daerah bisa collaps. Dalam jangka panjang struktur

ekonomi tersebut kurang menguntungkan bagi perekonomian Kalimantan. 3. Sektor pertanian yang merupakan sumber utama ekonomi masyarakat daerah

kontribusinya dalam perekonomian masih sangat kecil. Melihat potensi yang

(35)

Dari rumusan permasalahan di atas, maka beberapa pertanyaan yang dapat dikemukakan dalam penelitian ini antara lain sebagai berikut:

1. Seberapa besar peran sektor pertambangan dalam perekonomian nasional dan regional Kalimantan? Dalam hal ini yang dimaksudkan dengan peran sektor pertambangan dalam perekonomian meliputi antara lain:

a. Seberapa besar keterkaitan sektor pertambangan di Kalimantan terhadap sektor ekonomi lainnya?

b. Seberapa besar multiplier effect sektor pertambangan terhadap pendapatan faktor produksi (tenaga kerja dan kapital) baik intra maupun interregional Kalimantan dan non Kalimantan?

c. Seberapa besar multiplier effect sektor pertambangan terhadap pendapatan rumahtangga baik intra maupun interregional Kalimantan dan

non Kalimantan?

d. Seberapa besar multiplier effect sektor pertambangan terhadap pendapatan sektor-sektor produksi lainnya di Kalimantan dan non

Kalimantan?

2. Seberapa besar dampak investasi dan ekspor sektor pertambangan di Pulau

Kalimantan terhadap pendapatan Faktor Produksi, Institusi dan Sektor Produksi?

3. Strategi dan kebijaksanaan seperti apa yang perlu dilakukan oleh Pemerintah

(36)

1.3. Tujuan Penelitian

Secara umum tujuan penelitian ini adalah menganalisis peran dan dampak peningkatan investasi sektor pertambangan di pulau Kalimantan terhadap perekonomian nasional dan regional. Secara khusus tujuan dari penelitian ini adalah untuk:

1. Menganalisis peran sektor pertambangan dalam perekonomian Nasional dan

regional Kalimantan, yang meliputi antara lain:

a. Menganalisis keterkaitan ke belakang (backward linkage) dan keterkaitan

ke depan (forward linkage) dari sektor pertambangan di Kalimantan. b. Menganalisis multiplier effect dari sektor pertambangan terhadap

pendapatan faktor produksi (tenaga kerja dan kapital) baik intra maupun

interregional Kalimantan dan non Kalimantan.

c. Menganalisis multiplier effect sektor pertambangan terhadap pendapatan

rumahtangga baik intra maupun interregional Kalimantan dan non Kalimantan.

d. Menganalisis multiplier effect sektor pertambangan terhadap pendapatan

pendapatan sektor-sektor produksi lainnya di Kalimantan dan non Kalimantan.

2. Menganalisis dampak investasi dan ekspor sektor pertambangan di Pulau

Kalimantan terhadap pendapatan faktor produksi, institusi dan sektor produksi..

(37)

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan akan bermanfaat untuk:

1. Dapat digunakan sebagai acuan dalam pengelolaan tambang yang dapat memberikan manfaat optimal bagi kesejahteraan masyarakat.

2. Memberikan masukan kepada Pemerintah Daerah mengenai dampak dari kegiatan pertambangan terhadap perekonomian wilayah.

3. Sebagai bahan pembanding dan referensi untuk studi-studi dengan isu yang relevan bagi penelitian selanjutnya.

1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini merupakan kasus di Kalimantan sebagai daerah penelitian yang didasarkan pada beberapa pertimbangan, yaitu: (1) peran sektor pertambangan di Kalimantan cukup tinggi dan cenderung terus meningkat, bahkan pemerintah melalui program Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) telah menetapkan bahwa Kalimantan akan dijadikan sebagai lumbung energi nasional, (2) struktur perekonomian cenderung

imbalances, kondisi ini mengindikasikan bahwa pembangunan sektor

(38)

perikanan, akan tetapi belum dimanfaatkan secara optimal.

Untuk melihat peran dari sektor pertambangan di Kalimantan terhadap perekonomian nasional dan regional dalam penelitian ini akan difokuskan pada

aspek keterkaitan sektor pertambangan dengan sektor ekonomi lainnya, baik keterkaitan antar sektor ekonomi di Kalimantan maupun antar sektor dan

antarwilayah. Keterkaitan yang akan dilihat adalah berupa keterkaitan ke belakang (backward lingkage) dan keterkaitan ke depan (forward linkage). Sedangkan

dampak dari peningkatan investasi sektor pertambangan di Kalimantan terhadap perekonomian nasional dan regional, akan dilihat dampaknya pada perubahan pendapatan di sektor produksi, faktor produksi dan institusi, baik intra maupun

interregional.

Untuk mengetahui peran dan dampak peningkatan investasi sektor pertambangan di Kalimantan terhadap perekonomian nasional dan regional menggunakan pendekatan Interregional Social Accounting Matrix (IRSAM) Kalimantan dan non Kalimantan. Dengan demikian cakupan dalam penelitian ini hanya melihat aspek makroekonomi regional atau dengan kata lain penelitian ini tidak melakukan analisis dari aspek mikroekonomi.

(39)

2.1. Makna Pembangunan dan Pembangunan Regional

Pertanyaan pertama yang perlu diajukan adalah: apa yang dimaksud dengan pembangunan regional? Atau, bagaimana kaitannya pembangunan nasional

dengan pembangunan regional? Untuk itu, perlu memahami permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan pembangunan, pembangunan nasional, dan

pembangunan regional.

(40)

Perbedaan mengenai kondisi alam, kekayaan sumberdaya alam, kondisi sosial, struktur perekonomian suatu regional merupakan beberapa faktor dasar

yang membedakan suatu regional dengan regional-regional lainnya. Perbedaan-perbedaan tersebut memberikan efek terhadap pencapaian kinerja ekonomi-sosial suatu regional. Dengan perkataan lain, pembangunan merupakan proses

perubahan multi dimensional yang melibatkan perubahan-perubahan besar dalam struktur sosial, ekonomi, kelembagaan dan oleh karena itu pembangunan

merupakan suatu proses kerja yang bermuatan sisi multi dimensi yang tidak hanya mengukur kinerja dari satu sisi saja (Todaro, 1995). Dan oleh karena itu, dibutuhkan suatu koordinasi yang baik untuk memadukan pembangunan nasional

dengan pembangunan regional sebagai bagian dari perencanaan nasional dan untuk dapat memperoleh hal tersebut, maka pembangunan perlu disebarkan secara

geografis (Rondinelli, 1985).

2.2. Paradigma Pembangunan Berkelanjutan

(41)

Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pada saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka. Dengan kata lain, pembangunan berkelanjutan adalah proses pembangunan yang bermanfaat tidak hanya untuk generasi sekarang, akan tetapi juga dapat mendukung keberlanjutan pembangunan bagi generasi berikutnya. Konsep ini mengandung dua unsur, yaitu: pertama adalah kebutuhan, khususnya kebutuhan dasar bagi masyarakat yang kurang beruntung, yang amat perlu mendapatkan prioritas tinggi dari semua Negara; kedua, keterbatasan, dalam arti penguasaan teknologi dan organisasi sosial harus memperhatikan keterbatasan kemampuan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan manusia pada saat ini dan di masa depan.

Pemahaman pembangunan berkelanjutan (sustainable development) memerlukan konsep yang mendekati kelaikan yang operasional agar tujuan ideal dari pembangunan berkelanjutan dapat dilaksanakan. Selain itu untuk mencapai pembangunan berkelanjutan memerlukan penghargaan (recognation) tentang adanya empat jenis kapital yang membentuk kekayaan suatu bangsa (the wealth of

nation), yaitu: human capital, natural capital, man-made capital, dan social capital.

(42)

Kapital alami dan kapital buatan manusia akan mengalami degradasi melalui depresiasi yang berlangsung dengan cepat atau lambat. Kapasitasnya akan

mengalami penurunan (declining). Oleh karena itu jika ingin mewariskan tingkat kehidupan yang tidak lebih buruk kepada generasi yang akan datang maka penurunan kapasitas kedua kapital tersebut harus dapat diimbangi (compensated)

dengan peningkatan kedua kapital manusia dan kapital sosial tersebut. Dalam hubungan ini sasaran yang dituju yakni mampu memanfaatkan dan memelihara

keberlangsungan peningkatan pemanfaatan sumberdaya yang ada sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta mengatasi persoalan kemiskinan, baik di kawasan perkotaan maupun wilayah perdesaan. Selanjutnya

sustainability dapat tercapai apabila human capital dan social capital dapat berkembang lebih besar, sehingga secara dinamik peningkatannya harus jauh

lebih tinggi dibanding natural capital (yang relatif tetap bahkan cenderung berkurang) dan man-made capital yang terkena depresiasi, disamping peningkatan total kapital per kapita.

2.3. Teori Basis Ekspor

(43)

Yi = (Ei- Mi)+Xi ... (2.1) dimana, Yi adalah pendapatan daerah i, (Ei, - Mi) adalah pengeluaran domestik

daerah i, dan Xiadalah ekspor daerah i.

Ei = ei Yi ... (2.2)

Mi = mi Yi ... (2.3)

Xi = X i (eksogen) ... (2.4) Persamaan (2.2), (2.3), dan (2.4) disubsitusikan ke persamaan (2.1) menjadi:

Yi= eiYi -miYi + Xi ... (2.5) dengan demikian,

i

i m

e X Y

  

1 ... (2.6)

Jadi, pendapatan regional adalah kelipatan dari ekspor jika hasrat marginal untuk membelanjakan (marginal propensity to expenditure) secara lokal (e + m) lebih

kecil daripada satu (Richardson,2001).

Jika persamaan (2.26) diubah susunannya maka:

Menurut teori ini, khususnya asumsi yang mendasarinya, tidak ada unsur-unsur eksogen lainnya daripada ekspor, maka rasio rata-rata sama dengan rasio marginal. Dengan demikian, multiplier basis adalah:

2.4. Model Pendapatan Interregional

Model pendapatan interregional sesungguhnya merupakan perluasan dari

(44)

basis, yakni bahwa ekspor bukan lagi merupakan satu-satunya unsur otonom, melainkan juga pengeluaran pemerintah dan investasi. Ini berarti bahwa

pengeluaran pemerintah dan investasi juga ditentukan oleh faktor-faktor eksogen (Richardson, 2001). Selanjutnya, Richardson memandang bahwa dalam sistem tertutup, ekspor suatu daerah ditentukan oleh permintaan impor daerah-daerah

lainnya di dalam sistem yang bersangkutan. Karena pengeluaran pemerintah telah dimasukkan ke dalam model maka logis kalau pajak juga dimasukkan ke dalam

model yang bersangkutan. Walaupun model ini dapat juga mencakup pembayaran-pembayaran transfer, pajak lump-sum, pajak langsung, dan pajak tidak langsung, namun Richardson mengasumsikan bahwa semua pajak

dibebankan pada pendapatan. Sedangkan pengeluaran konsumsi swasta merupakan fungsi dari disposable income. Selanjutnya, Richardson melakukan

modifikasi atas rumus pendapatan yang dikemukakan pertama kali oleh Keynes, menjadi pendapatan regional sebagai berikut:

Yi = Ci + Ii + Gi + Xi - Mi ... (2.7) di mana, Yi adalah pendapatan regional wilayah i, Ci adalah pengeluaran konsumsi wilayah i, li, adalah investasi swasta wilayah i, Gi adalah pengeluaran pemerintah

wilayah i, dan (Xi-Mi) adalah ekspor netto wilayah i. Fungsi pengeluaran konsumsi adalah :

Ci=ai + ciYid ... (2.8) dimana, Yid = disposable income wilayah i dan c, = marginal propensity to

consume wilayah i;

Ii = Ii, ... (2.9)

(45)

Xi = Mij = mij Ydj ... (2.11)

Mi = mij Ydj ... (2.12)

Ydj = Yi-Ti ... (2.13)

Ti = tiYi ... (2.14) dimana, t adalah tingkat pajak marginal (marginal rate of taxation).

Ai = ai + IiGi ... (2.15)

dimana Ai adalah pengeluaran otonom total wilayah i.

Apabila persamaan (2.19) sampai dengan (2.24) disubstitusikan ke dalam persamaan (2.17) dan menata kembali hasilnya, maka persamaan pendapatan regional dapat dirumuskan sebagai berikut (Richardson, 2001):

Yi =

Dengan demikian, pendapatan daerah i terdiri atas penjumlahan pengeluaran-pengeluaran otonom di tambah ekspor daerah i dikalikan multiplier.

Multiplier regional adalah : Model ini dapat menunjukkan sumber-sumber perubahan pendapatan suatu

(46)

(3) berubahnya salah satu di antara parameter-parameter model (mpc, Koefisien perdagangan interregional atau tingkat pajak marginal).

Selanjutnya, Richardson (2001) memandang bahwa model pendapatan interregional dapat juga digunakan untuk menganalisis kebijakan stabilitas regional. Hal ini dimungkinkan karena pengeluaran pemerintah merupakan salah

satu dari variabel-variabel pengeluaran otonom. Untuk keperluan dimaksud, model tersebut dapat disempurnakan dengan memasukkan struktur pajak yang

lebih kompleks, dan tingkat pengeluaran pemerintah dapat dikaitkan dengan penerimaan pajak total. Syarat-syarat stabilitas bagi sistem yang bersangkutan dan pantulan-pantulan yang ditimbulkan oleh perubahan-perubahan persebaran

regional dari pengeluaran otonom adalah sangat penting dalam kerangka kebijakan stabilitas. Jika marginal propensity to consume di semua daerah lebih

kecil dari satu, maka sistem yang bersangkutan adalah stabil. Sebaliknya, jika

marginal propensity to consume lebih besar dari satu, maka sistem yang bersangkutan tidak stabil.

Menurut Chipman, (dalam Richardson, 2001), jika ci = cj bagi semua daerah (i, j, ...,n) maka multiplier interregional adalah sama dengan rumus multiplier

nasional. Ini berarti bahwa dengan marginal propensity to consume yang sama, perubahan alokasi regional dari pengeluaran pemerintah (atau pengeluaran otonom lainnya) tidak akan mengubah pendapatan nasional tetapi hanya akan

mempengaruhi tingkat pendapatan regional. Akan tetapi jika ci ≠ cj, maka perubahan alokasi regional dari pengeluaran akan mengakibatkan berubahnya

(47)

maksimum jika kenaikan pengeluaran pemerintah dipusatkan di daerah-daerah di mana c paling tinggi (biasanya daerah-daerah yang paling terkebelakang).

Peluberan pendapatan dan kemungkinan pantulan-pantulan ekspor sekunder adalah sifat-sifat yang paling istimewa dari model-model pendapatan interregional. Suatu injeksi investasi di daerah i tidak hanya meningkatkan

pendapatan (menaikkan Ai) di daerah yang bersangkutan, tetapi juga meyebarkan

kekuatan pendorong pada semua daerah lainnya melalui kenaikan Mi (mij).

Dalam kondisi keseimbangan neraca pembayaran. Kenaikan impor ini akan

mengakibatkan kemerosotan neraca pembayaran daerah i namun demikian, hal ini belum merupakan efek netto yang terakhir. Kenaikan pendapatan di daerah-daerah

lain akan memperbesar ekspor daerah i. Hal ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

)

Efek keseluruhan terhadap neraca pembayaran daerah i, tergantung pada

sejauhmana perubahan primer (impor terdorong) dapat diimbangi oleh perubahan sekunder (kenaikan ekspor). Dalam banyak hal, kenaikan sekunder tidak akan

cukup untuk mencegah kemunduran neraca pembayaran daerah i. Untuk memperbaiki neraca pembayaran daerah i, maka serentak dengan itu marginal

propensity to consume daerah-daerah Iain dalam sistem yang bersangkutan haruslah lebih besar dari satu. Sudah lazim diasumsikan bahwa mekanisme penyesuaian neraca pemberian di antara daerah-daerah bekerja lebih efektif

(48)

instrument-instrumen kebijakan seperti yang dipunyai oleh bangsa-bangsa (seperti kurs mata uang, tariff moneter, dan fiskal). Perbedaan lain antara perekonomian

interregional dalam suatu negara dan perekonomian internasional adalah bahwa mobilitas faktor-faktor produksi di antara daerah-daerah pada umumnya lebih tinggi, dan bahwa arus faktor dapat berfungsi sebagai kekuatan yang

menyeimbangkan dalam neraca pembayaran.

Ketidakseimbangan sementara neraca pembayaran suatu daerah dapat

diatasi dengan arus jangka pendek (umpamanya, melalui transfer interregional di antara cabang-cabang bank). Akan tetapi dalam banyak hal, mungkin diperlukan tambahan mekanisme-mekanisme penyesuaian. Hal ini meliputi efek harga dan

efek pendapatan, transfer pemerintah dan pengeluaran pemerintah di daerah-daerah terkebelakang, arus modal dan tenaga kerja. Efek harga agaknya tidak

begitu efektif, karena mayoritas produsen lebih mementingkan pasar nasional daripada pasar regional dan harga yang mereka tetapkan cenderung untuk berlaku di mana saja. Efek pendapatan juga mungkin tidak cukup kuat untuk memulihkan

keseimbangan, tetapi mungkin lebih efektif daripada perekonomian internasional karena m biasanya lebih besar bagi daerah-daerah daripada bagi bangsa-bangsa.

Tindakan-tindakan fiskal dapat juga membantu proses penyimpangan melalui stabilisator-stabilisator yang bersifat built-in atau melalui pengeluaran langsung bagi pemerintah di daerah-daerah yang mengalami kelesuan. Sekalipun dana

pemerintah yang masuk ke daerah-daerah yang mengalami kelesuan akan memperbesar impor, namun bagaimanapun juga dana tersebut akan ikut

(49)

didasarkan atas asumsi bahwa sumber yang menimbulkan defisit neraca pembayaran adalah kekurangan ekspor. Di samping itu, defisit neraca pembayaran

suatu daerah dapat bersumber dari kenaikan pendapatan, seperti dalam model pendapatan interregional, maka mekanisme-mekanisme ini pun cenderung untuk menyimpang dari keseimbangan.

Perbedaan antara kedua sumber defisit neraca pembayaran di atas sangat penting, apabila peranan arus faktor (faktor flows) hendak dipertimbangkan

Modal cenderung mengalir ke daerah-daerah yang memberikan profit yang lebih tinggi, akan tetapi hal ini hanya akan menyeimbangkan jika modal yang relevan adalah modal di mana yang menyebabkan defisit neraca pembayaran adalah

proses kenaikan pendapatan. Defisit neraca pembayaran yang bersumber dari kemerosotan ekspor merupakan defisit yang bersifat kronis. Sebab dalam kondisi

ini modal cenderung mengalir keluar daripada mengalir masuk Jika tenaga kerja dapat berpindah maka mereka akan bermigrasi dari daerah yang mengalami kemerosotan ke daerah-daerah makmur. Pendapatan daerah yang disebutkan

belakangan akan mengalami peningkatan, sehingga impor daerah tersebut akan meningkat. Hal ini akan meningkat ekspor daerah i (daerah yang disebutkan

pertama), tetapi dengan tingkat pendapatan yang lebih rendah. Akibatnya perbedaan tingkat pertumbuhan regional akan bertambah besar.

Apa pun yang menjadi penyebab timbulnya defisit neraca pembayaran,

modal dan tenaga kerja akan bergerak ke arah yang sama. Namun demikian, arus faktor produksi bukanlah mekanisme penyesuaian yang penting terhadap tipe

(50)

regional, walaupun dalam jangka panjang mungkin lebih cenderung mengakibatkan bertambah besar dan bukannya memperkecil perbedaan tingkat

pertumbuhan regional (Richardson, 2001).

2.5. Pertumbuhan dan Pemerataan

Hubungan pertumbuhan dan pemerataan hingga kini masih menjadi kontroversi. Di satu pihak, ada yang berpendapat bahwa pertumbuhan dan pemerataan saling bertentangan, tetapi di pihak lain, ada yang berpendapat sebaliknya. Kelompok yang terakhir ini di dunia internasional tergolong minoritas. Sebab jumlah negara yang berhasil memadukan pertumbuhan dan pemerataan tidak banyak. Justru yang banyak adalah negara yang berhasil menciptakan pertumbuhan tinggi, tetapi dibarengi dengan ketimpangan yang semakin melebar. Namun tidak sedikit negara yang pertumbuhan ekonominya rendah tetapi diikuti dengan ketimpangan yang terus melebar.

Untuk menganalisis pengarah pembagian pendapatan terhadap investasi (I), perlu melakukan beberapa penyederhanaan seperti yang dilakukan Kaldor (dalam

Ismail 1995). Misalkan bahwa pendapatan nasional (Y) didistribusikan dalam dua bentuk, yaitu yang diterima kelompok pekerja berupa upah (W) dan yang diterima kelompok pengusaha berupa keuntungan (F). Apabila kedua kelompok

masyarakat tersebut mempunyai hasrat menabung yang berbeda (Sw≠ sf, dimana sw = hasrat menabung pekerja dan sF = hasrat menabung pengusaha), maka

tabungan nasional bisa ditulis menjadi:

(51)

Dalam model makro ekonomi Keynesian sederhana, keseimbangan terjadi apabila I = S. Dengan mensubstitusikan syarat keseimbangan ini dengan

persamaan (2.20) diperoleh:

I = (sww)+ (sFF) ... (2.21) jika W sama dengan Y dikurangi F, maka

I = sW(Y-F) + (sFF) ... (2.22) = (sF-sw)F +(swY) ... (2.23)

bila ruas kiri dan ruas kanan dibagi dengan Y, diperoleh:

W keuntungan (F/Y). Bila hasrat menabung dari kelompok buruh sama dengan nol

(biasanya terbukti di kebanyakan negara berkembang), maka tingkat investasi ditentukan semata-mata oleh tingkat keuntungan. Atau apabila dianggap bahwa hasrat menabung kelompok buruh lebih kecil daripada kelompok kapitalis

(biasanya terjadi di negara manapun), maka tingkat keuntungan tetap merupakan faktor penting dalam menentukan tingkat investasi. Dengan demikian,

menurunkan proporsi keuntungan dalam pendapatan nasional untuk memperbaiki distribusi pendapatan, mempunyai dampak negatif terhadap tingkat investasi Selanjutnya, persamaan (20) ditulis kembali menjadi:

S =

Dengan memasukkan persamaan: (22) ke dalam formulasi pertumbuhan Harrod-Domar (g = s/v, dimana s - hasrat menabung masyarakat, dan v = nisbah

(52)

v

Y F s s s

gW( FW)( ) ... (2.26)

Dari persamaan (2.26) jelas bahwa pertumbuhan dan pemerataan merupakan dua hal yang bertentangan. Jika dikehendaki tingkat pertumbuhan (g) yang tinggi,

maka proporsi pendapatan nasional yang diterima kelompok kapitalis (F/Y) harus cukup tinggi pula; begitu sebaliknya bila dikehendaki distribusi pendapatan yang

lebih merata, maka tingkat pertumbuhan akan rendah.

Dalam literatur, paling sedikit ada tiga konsep distribusi pendapatan, yakni: (1) distribusi fungsional, (2) distribusi fungsional yang diperluas, dan (3)

distribusi personal. Distribusi fungsional berkaitan dengan pembagian pendapatan yang diterima pemilik faktor produksi tradisional dalam proses produksi (tanah, modal, dan tenaga kerja). Distribusi fungsional yang diperluas merupakan bentuk

lain dari distribusi fungsional, misalnya pembagian pendapatan menurut wilayah, menurut sektor ekonomi (antara sektor pertanian dan sektor industri), atau

menurut teknik produksi dalam sektor tertentu (antara industri modem dan industri tradisional). Sedangkan distribusi personal berkaitan dengan pembagian pendapatan yang diterima oleh individu atau rumahtangga.

Menurut Ismail (1995) teori neo-Keynesian dan juga teori distribusi pendapatan yang lainnya, lebih menitik beratkan pada masalah distribusi

fungsional. Teori semacam ini tidak sepenuhnya relevan bila digunakan sebagai landasan untuk merumuskan kebijakan distribusi pendapatan di negara berkembang. Hal ini disebabkan oleh dua hal. Pertama, penggolongan penerima

(53)

yang tergabung dalam sektor formal. Pembagian semacam ini mengabaikan aspek penting dari problem kemiskinan dan ketimpangan di negara berkembang.

Sebagian besar kelompok miskin di negara berkembang bekerja secara marginal di sektor tradisional dan informal, dan kegiatan mereka biasanya tidak dimasukkan ke dalam perhitungan pendapatan nasional. Karena itu kebijakan

yang diarahkan untuk mempengaruhi pola pembagian pendapatan antara pekerja dan pengusaha yang didasarkan pada teori distribusi fungsional hanya akan

menyentuh lapisan menengah dan lapisan atas dari kelompok pendapatan.

Kedua, teori distribusi pendapatan fungsional tidak banyak membahas konflik sosial-politik-ekonomi. Dalam proses pembangunan konflik semacam ini menonjol, dan biasanya hal ini berkaitan dengan strategi pembangunan yang dipilih. Distribusi fungsional dapat mengungkap kepentingan politik jika konflik itu bersumber dari pemilik faktor produksi. Ketidakmampuan teori distribusi fungsional untuk menjelaskan fenomena di negara berkembang adalah karena konflik sosial-ekonomi di negara tersebut bukan terletak semata-mata pada konflik antara upah dan modal, tetapi lebih mengarah pada konflik, misalnya antara desa dan kota, antara sektor industri dan sektor pertanian, antara sektor yang dilindungi dan sektor yang tidak dilindungi, antara industri substitusi impor dan industri untuk ekspor, dan sebagainya. Karena itu teori distribusi fungsional mempunyai kemampuan yang terbatas untuk menjelaskan proses dan fenomena jangka panjang dari ketimpangan pendapatan di negara berkembang.

Keterbatasan teori distribusi fungsional mendorong beberapa ahli mencari

alternatif lain yang bisa digunakan sebagai dasar untuk menganalisis kaitan antara pertumbuhan dan pemerataan di negara berkembang. Salah satu alternatif yang

(54)

Landasan ini dikenal dengan hipotesis U (U hypothesis) yang dikemukakan pertama kali oleh Simon Kuznets pada tahun 1955.

Hipotesis ini menyatakan bahwa pembangunan ekonomi pada mulanya diikuti oleh semakin buruknya pembagian pendapatan dan setelah mencapai titik tertentu, pembangunan akan diikuti oleh membaiknya pemerataan. Beberapa

ekonom berusaha membuktikan keabsahan hipotesis U. Umumnya mereka menggunakan model ekonometrik yang menghubungkan proporsi pendapatan

nasional yang diterima oleh 40 persen penduduk pendapatan rendah (sebagai variabel yang dijelaskan) dengan pendapatan per kapital dan variabel struktural lainnya (sebagai variabel penjelas). Studi mereka umumnya membuktikan

kebenaran hipotesis U dalam pembangunan. Ini terjadi karena analisisnya didasarkan pada model pembangunan yang dualis (model dua sektor). Maksudnya

pertumbuhan terjadi karena adanya transfer sumber-sumber ekonomi dari sektor tradisional ke sektor modern, dan ketimpangan pendapatan dalam proses pertumbuhan terjadi karena adanya perubahan struktural yang lambat dari

dualisme ekonomi.

Pertumbuhan utamanya berasal dari sektor modern, yang umumnya tingkat

pertumbuhannya jauh lebih cepat daripada sektor tradisional. Ketika terjadi pertumbuhan, hasilnya menyebar ke seluruh sektor ekonomi, tetapi ada sejumlah hambatan bagi orang-orang miskin untuk memperoleh manfaat dari pertumbuhan

tersebut. Hambatan-hambatan ini antara lain berupa rendahnya tingkat pendidikan, sempitnya lahan yang dimiliki, rendahnya modal, dan beberapa

(55)

memburuknya pemerataan pendapatan pada awal pembangunan tidak bisa dihindari.

Sekalipun sejumlah studi telah membuktikan keabsahan hipotesis U, namun tidak semua ahli ekonomi pembangunan setuju dengan prediksi Kuznets. Temuan Field (dalam Ismail, 1995) menunjukkan bahwa ada negara yang pertumbuhan

ekonominya relatif tinggi tetapi diiringi dengan kemiskinan dan pemerataan yang semakin parah (Filipina). Di Brazilia, pertumbuhan tinggi mampu menurunkan

kemiskinan tetapi distribusi pendapatannya semakin timpang. India dan Sri Langka, pertumbuhan rendah diiringi dengan pemerataan yang semakin membaik, namun di India kemiskinan memburuk. Sedangkan Taiwan dan Costa Rica,

pertumbuhan tinggi tidak hanya diikuti oleh menurunnya kemiskinan tetapi juga membaiknya distribusi pendapatan. Ranis, demikian juga Lai (dalan Ismail,

1995), keduanya menunjukkan bahwa dalam pembangunan Taiwan tidak terjadi

tradeoff antara pertumbuhan dan pemerataan, sekalipun dalam jangka pendek. Taiwan berhasil merealisasikan pertumbuhan dan pemerataan secara simultan

dengan model pembangunan dualis. Strategi pembangunan yang diterapkan oleh Taiwan berhasil mensinergikan pertumbuhan dan pemerataan, padahal di

negara-negara lain justru terjadi tradeoff dalam jangka pendek.

Menurut Cheng-chung Lai (dalan Ismail, 1995), Taiwan menerapkan empat strategi pada awal pembangunannya. Pertama, adanya transfer surplus (modal dan

tenaga kerja) dari sektor pertanian ke sektor industri yang berjalan dengan baik Dalam tahap awal dari model pembangunan dualis, industrialisasi membutuhkan

(56)

memungkinkan sektor industri menyerap surplus tenaga kerja di sektor pertanian. Penyerapan ini menyebabkan beban penduduk di sektor pertanian menurun

sehingga produktivitas rata-rata meningkat, dan akhirnya pendapatan rata-rata juga meningkat. Hal demikian memungkinkan mengecilnya perbedaan pendapatan rata-rata antara kedua sektor tersebut. Kedua, industrinya bersifat

padat karya dan berorientasi ekspor. Terus membaiknya distribusi pendapatan di Taiwan terutama disebabkan mekanisme penyerapan tenaga kerja oleh sektor

industri. Antara tahun 1961-1976, 37 sampai 56 persen kenaikan kesempatan kerja berasal dari sektor industri. Di sektor ekspor juga menyumbang terhadap perluasan kesempatan kerja, yaitu antara 20 - 27 persen dari perluasan total

Ketiga, lokasi industri yang tidak mendorong urbanisasi ini terjadi karena industri yang memproses barang-barang pertanian di Taiwan tidak terkonsentrasi di daerah

perkotaan. Lokasi yang demikian pada akhirnya juga tidak mendorong terkonsentrasinya kegiatan ekonomi lain di daerah perkotaan. Akibatnya, distribusi kesempatan kerja antar desa dan kota relatif seimbang. Keempat, adanya

land reform. Secara politik land reform menghilangkan konsentrasi kekayaan elit kekuasan di daerah perdesaan dan secara ekonomi mengurangi konsentrasi

kekayaan dan mendorong tuan tanah untuk menanamkan modal dan aktivitas ekonominya di sektor industri yang sedang berkembang. Reformasi tanah dilakukan dalam tiga bentuk: penurunan sewa tanah pertanian, penjualan tanah

negara, dan penjualan tanah milik tuan tanah (landlord) kepada petani kecil. Tuan tanah menerima 70 persen dari harga tanah dalam bentuk "Land Bond" dan 30

(57)

bagian pendapatan dari pemilik tanah dan pemilik modal menurun, sedangkan bagian pendapatan tenaga kerja meningkat secara berarti. Ini berarti bahwa

land-reform mendorong pendapatan buruh memngkat dan karenanya ketimpangan menurun. Dengan empat strategi ini, pemerataan pendapatan di Taiwan terkait langsung dengan pertumbuhan, sehingga pemerataan tidak hanya terjadi antar

individu, tetapi juga pemerataan antar sektor ekonomi dan antar wilayah.

2.6. Distribusi Pendapatan

Dalam suatu studi distribusi pendapatan adalah penting sekali untuk memahami terlebih dahulu mengenai pendapatan. Kita perlu memilih konsep

pendapatan yang secara teoritis dapat diterima, dan dapat diterapkan secara praktis. Ilmu ekonomi mikro dan makro telah banyak mengupas konsep-konsep

dasar mengenai pendapatan, baik itu pendapatan individu, pendapatan perusahaan, hingga pendapatan pemerintah. Bagaimana ketiga pendapatan itu terjadi, dapat kita telusuri melalui arus perputaran kegiatan ekonomi (circulair flow of economic

activity) yang disajikan dalam Gambar 4.

Gambar 4 secara lengkap, meskipun sederhana , menunjukkan bagaimana

arus perputaran pendapatan itu terjadi dalam suatu perekonomian. Rumahtangga menerima pendapatan dari perusahaan atas penawaran faktor-faktor produksinya. Kemudian rumahtangga akan mengeluarkan pendapatannya untuk belanja barang

dan jasa, untuk ditabung, dan untuk bayar pajak kepada pemerintah. Selain pendapatan faktor -faktor produksi, rumahtangga juga memperoleh pendapatan

(58)

Gambar 4. Arus Uang Melalui Perekonomian

Pemerintah memperoleh pendapatan dari rumahtangga dan perusahaan atas pembayaran pajak. Pendapatan pemerintah tersebut kemudian dikeluarkan

sebagian untuk membeli barang dan jasa, serta untuk transfer ke rumahtangga. Jika pengeluaran pemerintah ternyata lebih banyak dari pendapatan, pemerintah

akan meminjam dari pasar keuangan untuk menutupi defisit tersebut.

Bigstein (1992) dalam Varina (2000) menyatakan bahwa berdasarkan

Gambar

Gambar 2. PDRB Pertambangan dan Non Pertambangan di Kalimantan Tahun
Tabel 2. Struktur Perekonomian Pulau Kalimantan Tahun 2005-2010
Tabel 3. Indikator Sosial dan Ekonomi Daerah Penghasil Tambang
Gambar 3. Unsur-unsur Pendukung Pembangunan Berkelanjutan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan khususnya adalah; (1) meningkatkan keterampilan mahasiswa sebagai sasaran antara yang strategis dalam mendesain dan membuat kit praktikum sains realistik

Hasil akhir penelitian ini telah membuktikan bahwa pemberian kinesiotape selama tiga hari tidak berbeda dengan perekat plasebo dalam mengurangi resiko cedera berulang

Interaksi dalam internal koalisi penguasa ini menjadi penting untuk memastikan ada pembelajaran dan pemahaman yang sama mengenai pilihan kebijakan antara pemerintah

banyak berdiri bangunan kolonial baik dalam kategori kawasan utama yang paling prioritas maupun kawasan lain baik kota maupun pedesaan yang dapat menjadi bahan pertimbangan

Oleh karena itu, penting untuk dilakukan kajian yang secara khusus menganalisis perubahan penggunaan lahan hutan mangrove, baik dari hutan primer ke hutan sekunder, maupun dari

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh (Srianti, 2017), hasil wawancara langsung yang dilakukan peneliti pada 7 orang ibu post partum normal yang ada pada saat

Identifikasi dilakukan untuk menggali informasi konseli sebagai sumber utama dalam penelitian ini. Konselor membangun hubungan dengan konseli agar konseli dapat

Rataan pertambahan bobot badan (PBBH) landak jantan PI nyata lebih tinggi (P<0,05) dari landak betina, sebaliknya PBBH landak betina PII nyata lebih tinggi (P<0,05) dari