• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI

2.3 Landasan Teori

2.3.2 Teori Bahasa dan Jender

Paradigma dalam perilaku sosial seksis dinamakan jender. Memahami persoalan jender bukanlah sebuah perkara mudah, karena memerlukan berbagai kajian yang memberikan pemahaman akan jender secara menyeluruh. Kajian-kajian ini biasanya berkaitan dengan ilmu-ilmu sosial yang akhirnya mendorong munculnya berbagai teori sosial yang merupakan awal dari teori-teori jender atau sering juga disebut dengan teori feminisme.

Sebelum melangkah lebih jauh membahas teori antara bahasa dan jender, perlu adanya kesepahaman mengenai perbedaan jender dan feminisme. Kedua hal ini tersebut jelas sangat berbeda namun saling berkaitan.

Nancy F. Catt (dalam Nunuk, 2004.a: xxvii) mengungkapkan bahwa pengertian feminisme mengandung 3 komponen yaitu:

a) Suatu keyakinan bahwa tidak ada perbedaan yang berdasarkan seks (sex equality), yakni menentang adanya posisi hierarkis antara jenis kelamin. Persamaan hak terletak pada kuantitas dan kualitas. Posisi relasi hierarkis menghasilkan superior dan inferior.

b) Suatu pengakuan bahwa dalam masyarakat telah terjadi kontruksi sosial yang merugikan perempuan.

c) Feminisme menggugat perbedaan yang mencampuradukkan seks dan jender sehingga perempuan dijadikan sebagai kelompok tersendiri dalam masyarakat.

Feminisme pada dasarnya memiliki relasi erat dengan jender sebagai fenomena budaya yang memiliki peran perempuan (Abdullah, 1997: 186-187).

Gerakan feminis secara leksikal, berarti gerakan wanita yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum wanita dan pria.

Menurut Eckert and McConnel-Ginet (dalam Sinar, 2004: 3), kajian mengenai bahasa jender secara khusus mengasumsikan dua hal pokok yaitu asumsi tentang adanya bahasa seksis dan adanya metodologi pengkajian jender. Bahasa perempuan misalnya lebih mencerminkan konservatisme, prestise, mobilitas, keterkaitan, sensitivitas, dan solidaritas, sedangkan bahasa laki-laki sebagai bandingannya terikat pada hal ketangguhan, persaingan, kemampuan hierarki dan sejenisnya.

Untuk mengetahui sejauh mana perbedaan yang muncul antara TSu (Resurrection) yang merupakan hasil tulisan dari novelis perempuan dan TSa (Kebangkitan) yang merupakan produk terjemahan dari penerjemah pria maka perlu menggunakan teori bahasa dan jender sebagai parameternya. Teori bahasa dan jender yang digunakan mengacu pada apa yang dikemukakan oleh Lakoff dalam Language and Woman’s Place. Teori Lakoff yang mencuat pada tahun 1975 merupakan bagian dari gelombang I linguistik feminis dan bisa dikatakan sebagai pelopor dari kajian yang memusatkan pada bahasa dan jender.

Lakoff mengklasifikasikan bahasa-bahasa yang cenderung lebih sering digunakan oleh jender tertentu (perempuan) dibandingkan jender lainnya (lelaki).

Menurutnya, bahasa yang digunakan oleh jender perempuan adalah sebagai berikut:

a. Sangat memperhatikan sopan santun dalam berbahasa b. Sering menggunakan bahasa yang standar

c. Menghindari pemakaian kata-kata yang kasar d. Banyak menggunakan question tags

e. Sering menggunakan intonasi yang meninggi f. Banyak menggunakan kata sifat yang tanpa makna g. Senang menggunakan istilah warna

(Lakoff, 2004: 43-75)

Sebaliknya, bahasa yang digunakan kaum pria cenderung tepat pada sasaran atau tidak bertele-tele, berterus terang, intonasi datar, dan murni kognitif atau tidak menampilkan warna atas emosi mereka.

BAB IV PEMBAHASAN

Seperti yang telah ditekankan dalam pembatasan masalah, data-data yang akan dipaparkan pada bab ini hanya yang berkaitan dengan bahasa seksis. Selain itu, data-data akan dikelompokkan menurut bahasa yang cenderung digunakan oleh kaum perempuan yang dipilih karena adanya tendensi lain berupa perubahan peran atau rasa. Pengelompokkan tersebut disesuaikan dengan apa yang telah dikemukakan oleh teori bahasa dan jender Lakoff. Selain itu, penambahan dan pengurangan dalam terjemahan juga akan dipaparkan sesuai dengan teori terjemahan yang digagas oleh Nida.

Dari dua sumber data yang digunakan dalam penelitian ini, berhasil dilakukan identifikasi awal dengan jumlah temuan data sebanyak 441 teks. Data awal tersebut kemudian disaring kembali dengan pembacaan berulang serta identifikasi guna mendapatkan hasil yang tepat sesuai sasaran yang diinginkan. Total data terakhir adalah 130 teks yang terdiri dari kata, frasa, klausa, maupun kalimat.

Lakoff sebagai salah seorang linguistik feminis membagi beberapa cara berbahasa yang lazim digunakan oleh perempuan. Oleh karenanya untuk mengetahui bahasa seksis dalam kedua sumber data, teori Lakoff digunakan sebagai alat bantu.

Sedangkan alat bantu lain yang digunakan untuk menganalisis diksi adalah kamus, baik kamus ekabahasa, dwibahasa, maupun elektronik.

4.1 Analisis Diksi 4.1.1 Diksi antar Pelibat

Menurut KBBI (2008: 328), diksi berarti pilihan kata yang tepat dan selaras (dalam penggunaannya) untuk mengungkapkan gagasan sehingga diperoleh efek tertentu (seperti yang diharapkan).

Sedangkan menurut Keraf (2002: 24) ada beberapa hal penting yang berkaitan dengan diksi, yaitu:

• Pilihan kata atau diksi mencakup pengertian kata-kata mana yang harus dipakai untuk mencapai suatu gagasan, bagaimana membentuk pengelompokkan kata-kata yang tepat atau menggunakan ungkapan-ungkapan, dan gaya mana yang paling baik digunakan dalam suatu situasi.

• Pilihan kata atau diksi adalah kemampuan membedakan secara tepat nuansa-nuansa makna dari gagasan yang ingin disampaikan, dan kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki kelompok masyarakat pendengar.

Setiap diksi dalam bahasa yang dipergunakan dalam proses komunikasi, baik secara formal maupun informal, mempunyai tingkatan rasa dan pemahaman bagi orang yang mendengarkannya. Kesalahan pemilihan diksi untuk mengungkapkan sesuatu, dapat berakibat fatal terhadap maksud dan tujuan atau disebut dengan distorsi makna. Akan tetapi yang menjadi permasalahan adalah banyaknya istilah yang berkembang yang kemudian menggeser kedudukan diksi yang dahulu

digunakan. Hal ini menimbulkan kerancuan tentang diksi mana yang sebaiknya dipergunakan untuk mengungkapkan sesuatu.

Sedikit banyak terdapat perbedaan diksi yang digunakan dalam novel Resurrection dan Kebangkitan. Untuk memahami perbedaan diksi yang direfleksikan dalam kedua sumber data, penjelasan mengenainya akan dibagi atas beberapa bagian yakni diksi antar pelibat perempuan dan lelaki dari masing-masing novel.

(a) Pelibat Perempuan dalam Resurrection

Dalam Resurrection, terdapat tiga pelibat perempuan yaitu Gemma Bastian sebagai tokoh utama sekaligus narator, Nailah Lazar, serta Angela Dattari. Persona perempuan lainnya hadir bukan sebagai pelibat melainkan sosok-sosok perempuan suci yang tertulis dalam teks-teks kuno, seperti Perawan Maria, Dewi Isis, Dewi Inanna, Yunia, dan Maria Magdalena juga sosok yang hanya muncul dalam ingatan Gemma yaitu ibunya serta Lucy.

Malarkey membedakan diksi yang digunakan oleh pelibat perempuan dan laki-laki dalam penulisan novelnya. Sejauh pengamatan yang dilakukan, pelibat perempuan tidak menggunakan diksi yang kasar, misalnya berupa umpatan.

Seperti teks berikut:

“I don’t believe it!” Gemma slapped her hand on the glass counter between them.

Situasi yang melatarbelakangi ekspresi pelibat perempuan (Gemma) adalah perasaan marah karena dipermainkan oleh Mr. Eid, seorang tengkulak barang-barang

antik. Gemma yang mencoba mencari tahu apa yang dijual ayahnya kepada Mr. Eid harus menelan kenyataan pahit dengan tidak mendapatkan jawaban yang diinginkan.

Bahkan Mr.Eid pergi begitu saja dan mengutus seorang pria berbadan besar, berkulit legam, dan berwajah penuh luka untuk menakuti Gemma agar segera hengkang dari tokonya. Kalimat I don’t believe it! adalah ungkapan kesal yang teramat sangat yang dirasakan Gemma kepada Mr. Eid. Hal tersebut juga didukung oleh ekspresi Gemma saat itu yang ditulis pada teks-teks selanjutnya.

Eufemisme sebagai salah satu ciri khusus bahasa perempuan seolah benar-benar dijadikan patokan oleh Malarkey dalam mencitrakan pelibat perempuan.

Ekspresi jengkel yang dirasakan oleh Gemma diwakilkan dengan menggunakan bahasa yang tidak menghilangkan kesan elegan dari pelibat itu sendiri.

Konteks situasi yang tidak menggambarkan kekesalan tetapi lebih mengarah pada ketidakacuhan juga menghindari pemakaian diksi yang tidak sopan. Seperti beberapa teks di bawah ini:

“I’m going anyway”

Teks tersebut diucapkan Gemma dan merupakan bentuk pengabaian terhadap larangan Anthony untuk menemui Eid. Anyway mengandung pengertian used when saying something to confirm or support an idea or argument just mentioned (Oxford, 1995: 45). Sesuai dengan pengertian yang dimiliki anyway, teks yang diucapkan Gemma merupakan bentuk penguatan atas perkataannya untuk mendatangi Eid guna mencari teks Injil Thomas yang asli.

“I don’t care. I’ll tell them I walked into a wall”

Sementara itu, bentuk pengabaian lain yang dilakukan Gemma terlihat dari percakapannya dengan Michael. Sebelumnya, Gemma menanyakan respon apa yang harus dia berikan jika David atau Nailah menyoalkan wajahnya yang lebam setelah pulang berpergian bersama Michael. Akan tetapi pada akhirnya Gemma memutuskan untuk tidak terlalu memusingkan jawaban apa yang akan digunakan, cukup menjawab sekenanya saja.

Namun demikian, tidak berarti Malarkey benar-benar sama sekali menghindari penggunaan makian atau umpatan oleh pelibat perempuan. Terdapat beberapa diksi yang dirasakan kasar namun jumlahnya terlalu sedikit apabila dibandingkan dengan keseluruhan bahasa eufemisme yang sifatnya mayoritas.

“Damn it! There is too much I can read!”

Umpatan damn it yang diucapkan oleh Gemma berkaitan dengan kekesalannya terhadap diri sendiri yang tidak mampu membaca tulisan koptik dalam fragmen papirus yang dimilikinya.

(b) Pelibat Perempuan dalam Kebangkitan

Berbanding terbalik dengan apa yang muncul pada novel Resurrection, dalam terjemahannya Subiyanto tidak memberikan banyak ruang bagi diksi-diksi eufemisme yang menjadi karakter penulisan Malarkey. Bahkan perubahan terjemahan yang dilakukan guna menstimulasi naik turunnya emosi pembaca terkesan jauh berbeda dari TSu. Pelibat perempuan dikemas beserta nuansa yang lekat dengan diksi lelaki.

Sehingga apabila tidak membaca teks secara keseluruhan, akan sukar membedakan mana teks yang berasal dari pelibat perempuan dan mana yang berasal dari pelibat lelaki. Seperti yang tampak di bawah ini, yang merupakan terjemahan dari teks yang telah diberikan di atas:

“Dasar jahanam!”. Gemma menggebrak kaca etalase itu.

Diksi pengganti ‘I don’t believe it!’ adalah ‘Dasar jahanam!’ yang berbeda dari makna aslinya dan berfungsi sebagai adjektiva. ‘Jahanam’ merupakan ragam cakapan yang digunakan dalam ragam tak baku. Memiliki makna terkutuk dan jahat sekali (KBBI, 2008: 556).

Dalam hal ini, Subiyanto menjadikan sosok Gemma seperti seorang lelaki yang tidak gentar dalam mengutarakan emosinya. Sesuatu yang sangat dihindari oleh Malarkey dalam Resurrection.

Begitu juga ketika tidak ada guratan emosi dalam TSu, ternyata TSa tetap memberikan sentuhan-sentuhan emosi di dalamnya.

“Persetan, aku mau kesana”.

“Ah, persetan. Akan kukatakan pada mereka aku tadi menabrak dinding”

Kedua TSa menyisipkan adjektiva ‘persetan’ yang melukiskan ketidakpedulian yang dirasakan oleh penutur teks yaitu Gemma. Selain itu, ada juga GIT berupa partikel ‘ah’ yang termasuk bentuk kata seru serta menyatakan ‘tidak setuju’ (KBBI: 2008: 18). Perasaan ‘tidak setuju’ tidak diilustrasikan di dalam TSu maupun TSa, melainkan tersirat dalam kepala Gemma yang berusaha mencari berbagai alasan bohong untuk dijadikan jawaban pada David atau Nailah.

(c) Pelibat Lelaki dalam Resurrection

Pelibat lelaki dalam Resurrection cukup banyak mengisi cerita, diantaranya adalah Anthony Lazar, Michael Lazar, David Lazar, Charles Bastian, Togo Mina, Amad, dan beberapa tokoh lain yang muncul namun tidak menjadi tokoh sentral dalam cerita seperti Umar, Zira, Phocion Tano, Stephan Sutton, Pastor Westerly, Sadir, Eid, dan Carl Schmidt. Bagai dua sisi mata uang, diksi yang digunakan pelibat lelaki dalam Resurrection jauh berbeda dengan diksi pelibat perempuan. Tidak terlihat adanya usaha untuk menghilangkan luapan emosi, bahkan Malarkey memberikan ruang untuk mengekspresikannya yang diwakili dengan diksi yang bersifat kasar.

“Bollocks! You’re not telling everything”.

Interjeksi bollocks diucapkan oleh Togo Mina karena kekesalannya kepada Anthony yang tidak memberikan laporan utuh mengenai keberadaan Injil Filipus.

Bollocks pada kalimat di atas dikategorikan sebagai interjection:

“Interjection is a big name for a little word. Interjections are short exclamations like Oh!, Um or Ah! They have no real grammatical value but we use them quite often, usually more in speaking than in writing. When interjections are inserted into a sentence, they have no grammatical connection to the sentence. An interjection is sometimes followed by an exclamation mark (!) when written.” (www.englishclub.com)

Bollocks ditujukan untuk menunjukkan rasa kesal atau penghinaan (Oxford, 1995: 122).

“I don’t give a damn about that”

Latar belakang situasi kalimat di atas adalah perasaan tidak mengenakkan yang dirasakan oleh Michael ketika Ayahnya (David Lazar) menghampirinya di pesta dansa. Dahulu, Michael adalah putra kebanggaan David yang menjadi pilot pesawat tempur. Namun, semenjak Michael kehilangan sebelah kakinya dalam perang, David selalu merasa iba setiap melihat putra kesayangannya. Dan Michael membenci itu sehingga selalu menjauhi ayahnya.

Dalam hal ini, ‘damn’ di atas merupakan idiom yang menunjukkan ketidakpedulian.

Damn /n/ IDM not care/give a damn (about sb/sth) (infrml) not to care at all.

(Oxford, 1995: 292)

Teks yang telah dipaparkan di atas memiliki konteks situasi rasa kesal dan marah yang dirasakan oleh pelibat lelaki dalam novel Resurrection. Namun ternyata, diksi kasar juga ditampilkan dalam situasi yang tidak memiliki implikasi kesal atau marah.

“…Can’t have a bunch of harlots running things now, can we?”

TSu terucap oleh Michael saat sedang berbincang santai dengan Gemma di pesta dansa. Mereka berdiskusi mengenai kaum perempuan yang pernah berkuasa dalam sejarah. Harlot adalah nomina yang dikategorikan sebagai archaic atau sudah tidak dipergunakan lagi dalam percakapan sehari-hari. Nomina tersebut bermakna a woman who engages in sexual intercourse for money dan dikategorikan sebagai nomina kasar (Oxford, 1995: 543).

(d) Pelibat Lelaki dalam Kebangkitan

Pelibat lelaki dalam Kebangkitan muncul selaras sebagaimana yang digambarkan oleh Malarkey dalam Resurrection. Tidak tampak transformasi baik bentuk maupun rasa dalam TSa.

“Sialan, kau tak pernah menceritakan semuanya”.

Penggantian ‘bollocks!’ menjadi ‘sialan’ tidak memberikan rasa yang berbeda karena merupakan nomina yang dikategorikan kasar untuk menandai dan menunjukkan ragam bahasa tidak sopan. ‘Sialan’ memiliki makna yang variatif, namun dalam konteks TSa, ‘sialan’ digunakan untuk memaki akibat merasakan kesal akan sesuatu.

“Persetan”

Kalimat “I don’t give a damn about that” oleh penerjemah digantikan menjadi ‘persetan’. Pergantian ini dikategorikan sebagai LIT, karena hilangnya beberapa diksi dalam proses penerjemahan. Pengurangan dalam terjemahan tidak selalu mengubah makna, melainkan tetap bertujuan mencari kesepadanan, seperti yang dilakukan oleh Subiyanto tersebut. Merunut pada KBBI (2008: 1294),

‘persetan’ termasuk kategori partikel dan memiliki makna: (1) jahanam; dan (2) untuk menyatakan tidak mau tahu lagi, masa bodoh, tidak peduli.

“…Sekarang tak ada lagi sundal yang mengatur kehidupan kita, bukan?”

Harlot diterjemahkan menjadi nomina ‘sundal’ yang memiliki pengertian perempuan jalang atau pelacur (KBBI, 2008: 1355). Meskipun KBBI tidak

memberikan penjelasan mengenai kasar atau tidaknya nomina ‘sundal’, namun tetap ada bahasa yang lebih sopan untuk melabeli nomina sejenis.

4.1.2 Diksi Bahasa Perempuan

Menurut Santoso, istilah bahasa perempuan digunakan pertama kali dalam Coates (1986), Fasold (1990), Romaine (1994), dan Hoey (1996) dalam membicarakan topik ‘bahasa dan jenis kelamin’ dan atau ‘bahasa dan jender’. Bahasa perempuan dibedakan dengan bahasa laki-laki. Bahkan perempuan diasumsikan memiliki sejumlah karakteristik atau ciri khusus yang membedakannya dengan bahasa laki-laki (Santoso, 2009: 14).

Menurut Lakoff, perempuan mempunyai cara berbicara (way of speaking) yang berbeda dengan laki-laki, yakni sebuah cara berbicara yang merefleksikan dan menghasilkan posisi subordinat dalam masyarakat. Intinya, bahasa yang dihasilkan perempuan, secara sadar maupun bawah sadar merupakan cermin dari posisi ‘yang dikuasai’ atau ‘yang didominasi’. Dengan demikian, pemerian dan penjelasan karakteristik bahasa perempuan dengan seluk beluknya menjadi sebuah tuntutan untuk mengenal perempuan secara lebih baik, sekaligus sebagai pantulan terhadap bahasa laki-laki.

Bahasa perempuan merupakan bagian dari sistem budaya yang berupa sistem nilai dan gagasan sebagai model bertingkah laku. Sistem nilai dan gagasan tersebut akan terwujud dalam sistem ideology, sistem sosial, dan sistem teknologi (Soebadio dalam Hasanudin, 2006: 105). Sistem ideologi meliputi etika, norma dan adat istiadat

serta berfungsi memberikan pengarahan atau landasan terhadap sistem sosial, yang meliputi hubungan dan kegiatan sosial masyarakatnya.

Pada dasarnya, bahasa perempuan memuat berbagai ideologi perempuan yakni sistem ide, pandangan dunia, pola-pola kepercayaan dan konsep berpihak yang diperjuangkan perempuan. Seperti yang diungkapkan oleh Cameron:

Language ideologies is generally refer to sets of representations through which language is imbued with cultural meaning for a certain community (dalam Holmes & Meyerhoff, 2003: 447).

Ideologi dalam bahasa perempuan mengandung makna kajian terhadap pelembagaan gagasan-gagasan sistematis yang diartikulasikan oleh komunitas atau kaum perempuan (Santoso, 2009: 24).

1) Sangat memperhatikan sopan santun dalam berbahasa

Tabel 4.1 Data Penggunaan Bahasa Sopan

NO TSU HAL TSA HAL GIT LIT PP PR

this later, shall we, 97 “Kita lanjutkan

lain kali Gemma.” 120 - √ - √

Gemma?”

them up for her. sahabatnya itu.

“Kabar macam apa yang Anda inginkan?” (No 1)

Dalam TSu fokus subjek terletak pada ‘I’ yang dalam bahasa Indonesia berarti saya. Namun TSa mengemukakan fokus subjek yang berbeda yaitu terletak pada

‘Anda’. Jika melihat pada situasi cerita, ‘I’ di sini adalah Gemma yang bertanya

kepada Bernard Wesley, seorang utusan gereja, yang mendatangi kediamannya untuk menanyakan ada tidaknya kabar dari Charles Bastian.

Perubahan subjek dari ‘I’ menjadi ‘Anda’ dapat dikategorikan sebagai GIT sekaligus LIT. Selain itu, GIT juga tampak dari nomina ‘kabar’ dan ‘inginkan’.

Sedangkan LIT terlihat dari hilangnya verba ‘heard’. Hasil TSa menyiratkan seolah-olah Gemma memiliki kewajiban untuk memberitahukan atau melaporkan apapun yang dia ketahui kepada Bernard.

“I’d love some sherry, if you’ve got it.”

“Kalau boleh aku minta sherry saja.” (No 2)

LIT dalam TSa terlihat dengan penghilangan salah satu klausa ‘if you’ve got it’ dalam TSu yang berujung pada PR. ‘I’ dalam TSu adalah Gemma yang ditawari Michael untuk memilih salah satu dari koleksi alkoholnya yang cukup lengkap untuk menemani mereka berbincang. Gemma memilih alkohol jenis sherry, namun masih ada kesan ragu dari Gemma apakah Michael memiliki minuman jenis tersebut atau tidak. Namun, TSa menyiratkan hal yang sebaliknya, Gemma seolah-olah tidak memiliki kebebasan untuk memilih minuman yang dia inginkan, bahkan terlihat seperti meminta persetujuan dari Michael, ditunjukkan dengan ‘kalau boleh’.

“Do it for me.”

“Ah, terserahlah.” (No 3)

GIT dan LIT berlaku sekaligus dalam teks no 3, karena tidak satupun dalam TSu yang diterjemahkan sepadan dengan TSa. TSu diucapkan oleh Michael pada Gemma, secara lengkap:

“Don’t do it for me. No,” he added, “do it for me.”

“Jangan memanggil taksi demi aku,” kata Michael. “Ah, terserahlah.”

Pada akhirnya, TSu cenderung mengharapkan bantuan untuk memanggilkan taksi, meskipun di awal mengatakan ‘don’t’ atau ‘jangan’. Berbanding terbalik dengan yang terlihat pada TSa, yang cenderung menunjukkan ketidakpedulian terhadap apa yang dilakukan oleh lawan bicara yaitu Gemma. Sesuai dengan makna terserah dalam KBBI: (1) sudah diserahkan (kepada), pulang maklum (kepada), tinggal bergantung (kepada); (2) masa bodoh (2008: 1281). Maka, makna terserah yang sesuai dengan TSa adalah ‘masa bodoh’.

“The Prophet of Islam had an Egyptian wife, the only wife to bear him a child.” “Nabi orang

“Nabi orang Islam itu kawin dengan perempuan Mesir anak seorang Koptik, satu-satunya istri yang memberinya keturunan laki-laki.” (No 4) GIT terlihat dengan adanya penambahan ‘anak seorang Koptik’ guna memperjelas latar belakang perempuan yang menikah dengan Nabi tersebut.

Pengertian koptik tidak ditemukan dalam KBBI, melainkan dalam lampiran yang ada dalam kedua sumber data, yaitu: salah satu bentuk agama Kristen tertua yang dimulai di Mesir oleh Rasul Markus pada pertengahan abad pertama Masehi (Malarkey, 2007:

417).

Selain itu, terjadi pula perubahan diksi dimana TSu lebih memilih menggunakan verba had untuk menyatakan ‘memiliki’. Sedangan TSa menggunakan verba ‘kawin’ sebagai pengganti had.

Kawin sendiri memiliki pengertian (1) membentuk keluarga dengan lawan jenis, bersuami atau beristri, menikah; (2) melakukan hubungan kelamin, berkelamin

(untuk hewan); (3) bersetubuh; (4) perkawinan (KBBI, 2008: 639). Selain kawin, bahasa Indonesia juga memiliki verba nikah yang berarti (1) ikatan perkawinan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan ajaran agama (KBBI, 2008: 962).

Pengertian-pengertian yang ditulis di atas adalah pengertian yang telah berkembang dan dipahami oleh masyarakat Indonesia sekarang ini. Bahwa, ketika kita menyebutkan kawin maka verba tersebut diidentikan dengan kegiatan yang dilakukan binatang, sehingga dirasakan kurang sopan apabila ditujukan kepada manusia. Terlebih lagi, konotasi yang timbul adalah ada terjadinya hubungan seksual dalam diksi tersebut. Oleh karenanya, verba nikah dianggap lebih sesuai apabila diucapkan pada manusia.

Namun apabila meninjau secara etimologis, verba kawin berasal dari bahasa sanskerta yaitu vini yang bermakna (1) mengantar pergi; (2) membawa pergi; (3) melemparkan jauh-jauh; (4) mengusir pergi; (5) menyuruh pergi; (6) mengusir penyakit/bencana; (7) melatih kuda; (8) menjinakkan kuda; (9) menggiring kuda; (10) mengajar; (11) memberi instruksi; (12) mengarahkan, membimbing; (13) menghukum; (14) menyiksa; (15) melaksanakan/menyelesaikan suatu pekerjaan dengan berhasil. Kemudian vini diturunkan ke dalam bahasa Jawa kuno menjadi hawin/awin, yang memiliki pengertian (1) membawa; (2) memikul; (3) memanggul;

(4) mengemban; (5) memboyong 2.

2 Apa Bedanya: “Kawin” “Nikah” “Married” “Merit”

(www.pondokbahasa.wordpress.com)

Dari pengertian yang telah dipaparkan di atas terutama dari bahasa Jawa kuno yang kemudian menjadi asal mula verba kawin dalam bahasa Indonesia, tak satupun yang menunjukkan adanya keterkaitan verba kawin dengan hubungan seksual.

Sebaliknya, lebih mengarah kepada proses membawa atau memboyong istri yang dilakukan oleh suami.

Berbeda halnya dengan apa yang muncul dibalik etimologis verba nikah.

Nikah berasal dari bahasa Arab nakaha (kata kerja) yang bermakna (1) berkumpul, berhimpun; (2) berhubungan seksual, bersetubuh, menyetubuhi; (3) menjalani hidup perkawinan yang sah menurut agama 3. Tampak jelas bahwa ada kaitan antara verba nikah dengan hubungan seksual. Namun, perubahan makna dahulu dan sekarang telah

Nikah berasal dari bahasa Arab nakaha (kata kerja) yang bermakna (1) berkumpul, berhimpun; (2) berhubungan seksual, bersetubuh, menyetubuhi; (3) menjalani hidup perkawinan yang sah menurut agama 3. Tampak jelas bahwa ada kaitan antara verba nikah dengan hubungan seksual. Namun, perubahan makna dahulu dan sekarang telah

Dokumen terkait