• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV PEMBAHASAN

4.2 Analisis Bahasa Seksis

4.2.4 Perempuan dan Fisik

Pembicaraan mengenai jender tak hanya berhubungan dengan sifat antara perempuan dan lelaki saja, namun juga melingkupi peran mereka dalam kehidupan sosial, lingkungan pekerjaan, serta ciri fisik. Seperti apa yang dikemukakan oleh Deaux & Lewis:

“Gender stereotypes exist in at least three other areas as well. Not only can one talk about masculine and feminine traits, but can also talk about roles, occupations, and pyshical characteristics” (dalam Basow, 1992: 6).

Kaitan perempuan dan fisik dapat dilihat dari beberapa TSa yang berbeda dengan TSu, diantaranya:

Nailah wore a pink blouse and slacks, and a hat with pale violet plumes arching over her head.

Nailah menghias tubuhnya dengan blus merah jambu dipadu dengan celana longgar, dan di topinya dia menyelipkan sehelai bulu ungu muda yang melambai-lambai.

Verba ‘menghias’ artinya adalah memperelok dengan barang-barang yang indah (KBBI, 2008: 494). Teks tersebut mengesankan Nailah bagaikan barang yang memperelok diri. Selain itu, tersemat kesan bahwa tubuh wanita seumpama objek hiasan yang harus diperelok. Padahal dalam TSu, hanya tersirat kesan mengenakan sesuatu saja yaitu pakaian berupa blus merah jambu, celana serta topi.

Sejalan dengan teks, perempuan dalam tatanan kehidupan budaya Jawa juga diharuskan memiliki beberapa kepribadian, yaitu menyangkut cara seorang perempuan mengekspresikan karakteristik dirinya yang dimulai sejak lahir dan selama hidupnya. Kewajiban akan kepribadian tersebut dituangkan dalam ajaran khusus mengenai perempuan yang mulanya hanya ditujukan bagi perempuan Keraton. Salah satunya kumpulan ajarannya tersurat dalam naskah sastra Jawa kuno berjudul Serat Candrarini yang menggambarkan ajaran Nyi Hartati pada anak perempuannya Rancangkapti.

Naskah tersebut yang digolongkan sebagai salah satu karya sastra bukan hanya sekedar tulisan yang ditujukan untuk menghibur, melainkan tidak bisa dilepaskan dari kondisi masyarakat yang melahirkannya. Karya sastra secara transparan mendeskripsikan apa yang terjadi dalam lingkungan sosial dan budayanya.

Begitu juga dengan Serat Candrarini yang pernah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Jawa Tengah pada masanya, dan terus berkembang seiring kemajuan zaman. Akan tetapi, nilai-nilai kepribadian perempuan seakan tetap dijadikan norma dan nilai dalam masyarakatnya.

Di dalamnya terpatri bahwa seorang perempuan harus selalu membuat senang suami dan pandai merawat diri. Seorang perempuan Jawa harus senantiasa menampakkan kesenangan sekalipun dirinya tidak merasakan demikian. Kewajiban perempuan di depan suami adalah berperilaku manis demi menyenangkan hati suami, seperti menghindari bersikap kasar dan bermuka masam.

Yogya ngupakareng dhiri, manjrenih mardi weni, wewida ganda rumarum, rumarah ngadi warna, winor ing naya mamanis, mangesthia ing reh cumondhong ing karsa,

(Hendaknya memelihara badan, merawat rambut, melumuri tubuhnya dengan wewangian, merias wajahnya, berbudi halus, sungguh-sungguh menepati norma-norma kehidupan dan menuruti kehendak suami).

Bangkit mantes lan memangun, jumbuhing kang busanadi, tumrape marang sarira, ing warna tibaning wanci, nyamlenge tan pindho karya,

(Pandai memantas dan membuat busana sesuai dengan badannya, warna dan jenisnya disesuaikan dengan waktu dan tempat, sehingga sedap dipandang, tidak ada duanya).

(Budaya Nusantara.Sastra Wulang dari Abad XIX: Serat Candrarini. 2010.

http://budayanusantara.blogsome.com)

Teks tersebut memuat hal-hal yang harus dilakukan perempuan dalam merawat kecantikan demi kesenangan suami semata. Termasuk juga bagaimana seorang perempuan harus pintar berkreasi dengan busana namun tetap santun dan tidak melanggar tata tertib serta norma kesusilaan.

Tatanan kepribadian yang dituangkan dalam Serat Candrarini melingkupi kecantikan dari segi fisik seorang perempuan. Begitu pun yang dilakukan Nailah, kegiatan ‘menghias’ yang dilakukannya berkaitan dengan fisik. Di balik makna menghias umumnya terselip tujuan yang berkaitan dengan kepuasan, baik kepuasan diri sendiri ataupun orang lain yang melihat hasil hiasan.

Situasi saat Nailah ‘menghias’ tubuhnya dengan aneka busana adalah untuk menghadiri pesta ulang tahun suaminya. Kurang lebih dua puluh pasang mata akan melihat hasil hiasannya saat itu. Dan tepat sebelum gambaran mengenai Nailah, Malarkey mendeskripsikan tentang suami Nailah yang mengenakan tuksedo yang dipadu dengan dasi kupu-kupu lebar, campuran kunig dan merah jambu serta menyematkan sekuntum kembang di telinganya. Sehingga dapat dikatakan bahwa apa yang dilakukan Nailah adalah demi kepuasan orang lain. Terlebih lagi, kecantikan fisik yang dimiliki Nailah sebagai hasil berhias dapat mengimbangi dandanan suaminya atau bisa menjadi teman yang mendampinginya di saat pesta.

Selanjutnya adalah bagaimana ciri fisik seorang perempuan dipandang oleh budaya Jawa, seperti tergambar dalam teks berikut:

She focused on Anthony’s back and the dark perspiration down the middle of his shirt.

Gemma menengadah memandangi punggung Anthony dan bajunya yang kuyup berkeringat.

Kesan yang muncul dari TSa adalah bahwa Gemma berada di bawah Anthony, sehingga untuk mengamati punggungnya saja memaksa Gemma harus menengadah. Padahal dalam konteks cerita, Gemma dan Anthony sedang melakukan perjalanan kembali ke Kairo dengan menunggang kuda masing-masing.

Konstruksi perempuan Jawa secara fisik terlihat jelas dengan adanya perbedaan ukuran tinggi antara Gemma dan Anthony saat menunggang kuda.

Meskipun tidak menutup kemungkinan bahwa kuda yang ditunggangi Gemma memang lebih kecil. Namun sejauh TSu tidak menyiratkan bahwa tinggi disebabkan dari ukuran kuda, maka patokannya menjadi tinggi Gemma dan Anthony. Terlebih lagi, representasi ciri fisik Gemma maupun Anthony dalam Resurrection sejak awal cerita sampai akhir tidak memperlihatkan adanya perbedaan tinggi tubuh signifikan antara mereka. Meskipun, tinggi badan perempuan dan lelaki tidak dibahas secara khusus dalam kepribadian perempuan Jawa, namun pemahaman konvensional menyetujui bahwa idealnya secara fisik tinggi perempuan berada di bawah lelaki.

Akan tetapi, ‘menengadah’ di sini juga bisa mengelaborasikan sesuatu yang lebih jauh dari konstruksi fisik semata. Yakni mengenai kedudukan perempuan di bawah laki yang harus taat serta penurut. Ketaatan perempuan dikarenakan

laki-laki atau suami adalah ibarat raja yang menjadi penyelamat dan penunjuk jalan dalam kehidupan.

Babo nini sun tuturi, prakara kang abot, rong prakara gedhene panggawe, ingkang dhingin parentah nerpati, kapindhone laki, padha abotipun.

(Babo nini saya menasehati, masalah yang berat, dua masalah besar yang harus dilakukan, yang pertama perintah raja, yang kedua perintah lelaki, sama beratnya)

Wajib manut marang kakung, aja uga amapaki, marang karepe wong lanang, sanajan atmajeng ngaji, alakiya punakawan, sayekti wajib ngabekti.

(Harus menurut kehendak suami, jangan sampai menghalangi, pada kehendak suami, meskipun putera raja, bersuami pembantu, harus menghormati)

(Sudarmono & Murniatmo, 1986: 27)

Suami bagi perempuan Jawa tidak boleh dibantah, sekalipun apa yang diperintahkan oleh suami tidak mengandung kebenaran. Bukan hanya itu, apabila perempuan melakukan kesalahan, maka wajib baginya untuk menjalani hukuman sesuai yang diberikan suami. Hukuman ini berfungsi sebagai peringatan agar tidak mengulangi kembali kesalahannya.

4.2.5 Perempuan dan Rumah Tangga

Dokumen terkait