• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV PEMBAHASAN

4.2 Analisis Bahasa Seksis

4.2.1 Perempuan dan Wanita

Penggunaan nomina ‘perempuan’ dibandingkan dengan ‘wanita’ yang banyak muncul dalam TSa juga mengandung unsur seksis karena perbedaan makna yang terkandung di dalamnya. Nomina ‘perempuan’ dan ’wanita’ sudah dipakai dalam bahasa Indonesia sejak lama, dan kedudukan keduanya disejajarkan sebagai sinonim.

Tapi tetap saja ada perbedaan penggunaan dari kedua kata tersebut. Hal itu disebabkan adanya perbedaan rasa dalam penggunaannya. Sebagian menganggap nomina ’wanita’ memiliki nilai rasa yang lebih daripada ’perempuan’. Tapi ada pula yang justru sebaliknya, menggunakan nomina ’perempuan’ karena alasan yang sama, yaitu nilai rasa yang lebih tinggi. Namun ada pula yang memilih untuk berdiri di garis tengah yang beranggapan bahwa kedua istilah ini sama saja.

‘Perempuan’ bermakna (1) orang (manusia) yang mempunyai vagina, dapat menstruasi, hamil, melahirkan dan menyusui, wanita; (2) istri, bini; (3) betina (khusus untuk hewan) (KBBI, 2008: 1054). Sedangkan wanita mengandung arti perempuan dewasa (KBBI, 2008: 1556).

Perlu dibedakan rasa yang dikandung oleh nomina ‘perempuan’ dan ‘wanita’.

Berdasarkan Kridalaksana (dalam Sudarwati & Jupriono, 1997) nomina ‘wanita’

telah mengalami proses ameliorasi, yaitu suatu perubahan makna yang semakin positif dan lebih tinggi daripada makna terdahulu. Menurutnya nomina ’wanita’

merupakan bentuk eufemistis dari ’perempuan’.

Wanita berasal dari dua sumber bahasa yaitu Sansekerta dan Jawa. Dalam bahasa Sansekerta ’wanita’ berasal dari kata vanita yang artinya harapan, pelaku atau pencinta. Mungkin kata tersebut tidak menunjuk langsung pada jenis kelamin, tapi justru menunjuk pada sifat dasar seorang ’wanita’. ’Wanita’ dikenal memiliki sifat dasar pencinta, dan ’wanita’ juga dianggap sebagai orang yang selalu memberikan harapan bagi orang lain, terutama bagi kaum pria. Karena ’wanita’ adalah tokoh yang berada di balik keberhasilan seorang pria (Wulandari, www.terimakasihku.com).

Menurut Wulandari, apabili ditelisik dari arti katanya masing-masing, kata

’perempuan’ dan ’wanita’ sebenarnya sama-sama mempunyai arti kata yang positif, yang menunjukkan pada kedudukkannya yang sejajar dengan pria. Tapi segi sejarah Bangsa Indonesia ternyata sangat mempengaruhi penggunaan kedua kata ini. Hal inilah yang kemudian mengacaukan penggunaan kedua kata ini.

Pada jaman penjajahan Jepang di Indonesia, tentara jepang sering menggunakan kata

’perempuan’ untuk menunjuk pada ’perempuan’ Indonesia. Dan hal ini memberikan prasangka negatif, yaitu ’perempuan’ sebagai budak pemuas nafsu tentara jepang.

Sehingga untuk sekian lama, istilah ’perempuan’ tidak dipergunakan untuk menunjuk pada seorang yang terhormat. Orang yang terhormat, hanya boleh disebut dengan kata ‘wanita’. Namun pada jaman orde baru, terjadi lagi perubahan penggunaan kata ini. Seringnya ‘wanita’ mengalami penindasan dalam dunia politik, menyebabkan nomina ‘wanita’ jarang digunakan. Selain itu, penggunaan nomina

’wanita’ yang dianggap terlalu tinggi mengibaratkan kaum pria harus berada dibawah kendali ’wanita’. Oleh karenanya, sejak saat itu untuk konteks formal nomina

’perempuan’ lebih dominan digunakan ’wanita’, misalnya saja dalam pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP).

Apabila merunut kepada etimologi Jawa, kata ‘wanita’ diartikan secara kultural sebagai wani ditoto yang memiliki terjemahan konstekstual bersedia diatur (Sudarwati & Jupriono, 1997). Yang mengatur tentulah kaum lelaki, sehingga muncul ungkapan dalam bahasa Jawa:

“Pesang gesang kula nderek. Swargo nunut, neraka katut”

(Hidup atau mati aku akan ikut suami. Suami masuk surga aku ikut, masuk neraka aku terbawa).

Berbanding terbalik dengan makna perempuan yang ternyata telah mengalami proses degradasi semantis atau peyorasi, yaitu penurunan nilai makna. Dari sisi etimologisnya, ‘perempuan’ berasal dari kata empu yang berarti (1) gelar kehormatan yang berarti ‘tuan’; (2) orang yang sangat ahli (terutama ahli membuat keris) (KBBI, 2008: 370). Empu juga bermakna hulu atau kepala. Tak sampai disitu, nomina

‘perempuan’ juga berakar cukup kuat dengan kata empuan yaitu sebutan untuk istri raja.

Resurrection tidak banyak menggunakan nomina woman, women, girl atau sebutan lain yang melabeli perempuan. Sebaliknya, Malarkey lebih condong mengaplikasikan pronomina her untuk menggantikan label-label tersebut. Namun, TSa lebih bervariasi dengan munculnya pelabelan seperti ‘perempuan’, ‘wanita’,

‘gadis’, ‘putri’, ‘dewi’, dan ‘madam’. ‘Madam’ merupakan ragam cakapan tak resmi yang digunakan untuk menyubstitusi nomina ‘nyonya’ (KBBI, 2008:853). Dari keseluruhan nomina yang dijabarkan oleh Subiyanto, nomina ‘perempuan’ adalah yang paling mendominasi.

Selain itu, terdapat pula frasa yang menunjukkan pelabelan pada perempuan yang bisa digolongkan sebagai bahasa seksis. Menurut Basow, pelabelan pada perempuan menunjukkan steorotip jender:

“Language also defines women by labeling whay is considered to be the exception to the rule, thereby reinforcing gender stereotypes” (1992: 142).

Berikut adalah beberapa frasa yang memberikan pelabelan pada perempuan:

MARY MAGDALENE = ANOINTING PRIESTESS

MARIA MAGDALENA = PENDETA WANITA YANG MEMINYAKI YESUS

Anointing priestess becomes unnamed sinner…

Pendeta perempuan yang meminyaki Yesus itu menjadi seorang pendosa yang namanya tak layak disebut…

Frasa ‘pendeta wanita’ dan ‘pendeta perempuan’ selain memberikan penekanan bahwa pendeta tersebut berjenis kelamin perempuan, juga menyiratkan

bahwa pekerjaan tersebut merupakan wilayah aktivitas kaum lelaki. Dalam KBBI, pendeta mengandung pengertian orang pandai; pertapa (dalam cerita-cerita lama);

pemuka atau pemimpin agama atau jemaah (dalam agama Hindu atau Protestan);

rohaniawan; dan guru agama (2008: 1045). Jika hanya mengacu pada KBBI, tidak ditemukan adanya penjelasan rinci bahwa pendeta identik dengan lelaki, namun kenyataannya menjadi janggal apabila kita menulis pendeta lelaki atau pendeta pria.

Hal tersebut dikarenakan secara implisit, nomina pria sudah termuat dalam nomina

‘pendeta’.

Dalam Kebangkitan juga ditemukan nomina sundal dan pelacur untuk menggantikan nomina harlots, whores dan prostitute. Berdasarkan kajian Basow, pelabelan semacam ini dinamakan deprecating dan merupakan salah satu bentuk seksis dalam bahasa (1992: 142). Dikatakan demikian, karena nomina sundal dan pelacur memiliki makna yang sama begitu pula sinonimnya seperti jalang, lonte, munci, ataupun wanita tunasusila. Banyaknya penyebutan untuk perempuan ini menjadi bentuk pelecehan tersendiri. Namun tidak demikian dengan penyebutan untuk lelaki, hampir tidak pernah terdengar sebutan pria tunasusila atau pria sundal.

Sekalipun ada yang menyebut demikian, maka akan terasa aneh karena tidak umum digunakan dalam bahasa Indonesia.

Dokumen terkait