• Tidak ada hasil yang ditemukan

I ndust ri/bisnis pa nga n

Pilihan 2 : Persyaratan Sistem Manajemen Umum

A. Latar Belakang

Dengan adanya tuntutan jaminan keamanan pangan yang terus berkembang sesuai dengan persyaratan konsumen yang terus meningkat dan seirama dengan kenaikan kualitas hidup manusia, maka masalah keamanan menjadi sangat vital bagi industri dan pelaku bisnis pangan.

Masalah keamanan pangan tersebut juga telah diatur melalui peraturan dalam negeri yaitu PP No 28 Tahun 2004 tentang keamanan, mutu dan gizi pangan, yang pada pasal 2 disebutkan bahwa setiap orang yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan kegiatan pada rantai pangan yang meliputi proses produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan peredaran pangan wajib memenuhi persyaratan sanitasi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Codex Alimentarius Commission (CAC) sebagai organisasi standarisasi

pangan international dan merupakan sister organisasi dari Food and Agriculture

Organization (FAO)/ World Health Organization (WHO) telah memberikan dan mengadopsi sistem HACCP sebagai sistem jaminan keamanan pangan yang menjadi acuan bagi industri pangan di dunia.

Industri pangan kelas menengah ke atas telah memungkinkan untuk menerapkan sistem jaminan keamanan pangan secara menyeluruh dan konsisten, karena didukung oleh manajemen yang sudah berkomitmen kuat agar perusahaannya menerapkan sistem jaminan keamanan pangan, sumber daya manusia yang memiliki pengetahuan yang cukup mengenai keamanan pangan serta infrastruktur yang memadai. Dalam aplikasi penerapan sistem jaminan keamanan pangan seperti sistem HACCP bagi industri pangan diperlukan persiapan-persiapan dalam implementasi sistem HACCP sebelum mengajukan untuk mendapat sertifikat sistem HACCP. Sertitifikasi sistem HACCP merupakan rangkaian kegiatan penerbitan sertifikat Sistem HACCP kepada badan usaha yang telah mampu menerapkan sistem HACCP menurut CAC/RCP 1,1969, Rev 4-2003 tentang Recommended International Code of Practice General Principles of Food Hygiene, SNI 01 4852 1998 tentang Sistem analisa bahaya dan pengendalian titik

kritis (Hazard Analysis Critical Control Point-HACCP) serta pedoman penerapannya dan Pedoman BSN 1004-2002 tentang Panduan penyusunan rencana sistem analisa bahaya dan pengendalian titik kritis (HACCP). Setelah suatu industri melakukan tahap-tahap persiapan penerapan sistem HACCP, seperti adanya komitmen manajemen agar perusahaannya mengaplikasi sistem jaminan

keamanan pangan, gap assessment yaitu suatu assessment yang dilakukan untuk

mengetahui seberapa besar kesenjangan antara sistem yang sudah diterapkan di suatu industri pangan dengan sistem HACCP yang akan diterapkan dan pembuatan dokumen Rencana Kerja Jaminan Mutu (RKJM) atau HACCP Plan oleh tim HACCP. Setelah dokumen selesai dibuat dilanjutkan dengan tahap audit Prevalidasi, yaitu mengkonfirmasi bahwa dokumen yang telah disusun oleh Tim HACCP telah sesuai dengan standar dan regulasi teknis yang berlaku, kemudian berdasarkan dokumen HACCP Plan yang telah disusun tersebut diimplementasikan terhadap proses pengolahan produk pangan selama 10 siklus produksi. Pada saat implementasi dijalankan perlu adanya pengambilan sample produk yang diambil dari 10 siklus produksi tersebut secara random, minimal 3 siklus produksi dan diujikan ke laboratorium yang telah diakreditasi, setelah ada hasil analisa dilanjutkan ke tahap validasi, yaitu tahap mengesahkan bahwa dokumen Rencana Kerja Jaminan Mutu (RKJM) atau HACCP Plan yang disusun oleh tim HACCP dan telah diimplementasikan ke proses produksi adalah efektif dalam mengontrol bahaya. Setelah selesai tahap ini baru suatu industri pangan dapat mengajukan sertifikasi Sistem HACCP ke suatu Lembaga Sertifikasi Sistem HACCP yang telah diakreditasi.

Trend kemajuan ilmu dan pengetahuan saat ini adalah bahwa suatu industri pangan kelas menengah ke atas merasa belum cukup jika perusahaannya telah mengimplementasi Sistem HACCP dan telah memperoleh Sertifikat Sistem HACCP. Hal ini disebabkan karena adanya berbagai tuntutan dari kebijakan suatu negara penerima dari ekspor hasil produk pangan. Kebijakan tersebut mewajibkan suatu industri pangan yang akan mengekspor produknya ke suatu negara tertentu untuk memiliki Sertifikat Sistem HACCP dan jika suatu industri pangan juga memiliki sertifikat ISO 22000 akan menjadi nilai tambah bagi industri tersebut.

Sertifikat sistem HACCP maupun ISO 22000 dapat diperoleh suatu industri pangan dari Lembaga Sertifikasi Sistem HACCP ataupun Lembaga Sertifikasi Sistem Manajemen Keamanan Pangan yang telah diakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional. Lembaga Sertifikasi baik Lembaga Sertifikasi Sistem HACCP ataupun Lembaga Sertifikasi Sistem Manajemen Keamanan Pangan berhak menerbitkan sertifikat yang sah apabila telah memenuhi keseluruhan persyaratan akreditasi dari Komite Akreditasi Nasional, yaitu telah mengimplementasikan ISO 17021:2006 dan ISO 22003:2007.

Standar internasional ISO 17021:2006 dan ISO 22003:2007 ini menjelaskan persyaratan untuk lembaga-lembaga sertifikasi. Pemenuhan atas persyaratan tersebut untuk menjamin bahwa lembaga sertifikasi memberi sertifikasi sistem manajemen secara kompeten, konsisten, dan netral, sehingga memperoleh pengakuan lembaga dan keberterimaan sertifikasi yang diterbitkannya secara nasional dan internasional. Standar tersebut digunakan oleh lembaga-lembaga yang melaksanakan audit dan sertifikasi sistem manajemen dibidang mutu dan keamanan pangan.

B.Tujuan

Penelitian ini adalah mengkaji perbedaan beberapa standar persyaratan yang harus diimplementasikan dalam rangka pengembangan / peningkatan dari Lembaga Sertifikasi Sistem HACCP menjadi Lembaga Sertifikasi Sistem Manajemen Keamanan Pangan yang akan digunakan sebagai acuan untuk proses akreditasi Komite Akreditasi Nasional sehingga berhak menerbitkan sertifikat ISO 22000 dan atau sertifikat Sistem HACCP bagi industri pangan.

Mengidentifikasi gap dari standar-standar kesesuaian proses akreditasi yang harus diimplementasikan untuk pengembangan Lembaga Sertifikasi Sistem HACCP menjadi Lembaga Sertifikasi Sistem Manajemen Keamanan Pangan .

Membuat penyesuaian implementasi terhadap hasil identifikasi gap dari standar-standar kesesuaian proses akreditasi yang harus dipenuhi untuk pengembangan Lembaga Sertifikasi Sistem HACCP menjadi Lembaga Sertifikasi Sistem Manajemen Keamanan Pangan.

Membuat rekomendasi yang dapat digunakan untuk pengembangan Lembaga Sertifikasi Sistem HACCP menjadi Lembaga Sertifikasi Sistem Manajemen Keamanan Pangan berdasarkan ketentuan persyaratan akreditasi Komite Akreditasi Nasional.

C.Manfaat

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini antara lain :

1. Dengan mengidentifikasi gap dari standar-standar kesesuaian proses

akreditasi yang harus diimplementasikan untuk pengembangan Lembaga Sertifikasi Sistem HACCP menjadi Lembaga Sertifikasi Sistem Manajemen Keamanan Pangan maka akan diketahui perbedaan klausul-klausul yang yang harus diimplementasikan.

2. Dengan membuat penyesuaian implementasi dokumen dan

persyaratan lainnya terhadap hasil identifikasi gap dari standar- standar kesesuaian proses akreditasi yang harus dipenuhi untuk pengembangan Lembaga Sertifikasi Sistem HACCP menjadi Lembaga Sertifikasi Sistem Manajemen Keamanan Pangan maka sistem tersebut menjadi dapat diterapkan di Lembaga Sertifikasi sebagai uji coba sehingga proses persiapan untuk mendapat akreditasi menjadi lebih efisien, efektif, dan lancar.

3. Dengan membuat penyesuaian implementasi yang merupakan

rekomendasi, dapat digunakan untuk pengembangan Lembaga Sertifikasi Sistem HACCP menjadi Lembaga Sertifikasi Sistem Manajemen Keamanan Pangan berdasarkan ketentuan persyaratan akreditasi Komite Akreditasi Nasional maka Lembaga Sertifikasi

Sistem HACCP yang akan up grade menjadi menjadi Lembaga

Sertifikasi Sistem Manajemen Keamanan Pangan dapat menggunakannya sebagai acuan sehingga proses persiapan untuk mendapat akreditasi menjadi lebih efisien, efektif, dan sistematis.

D. Ruang Lingkup

Kajian dilakukan terhadap Lembaga sertifikasi HACCP yang sudah diakreditasi KAN dan akan menambah ruang lingkup akreditasi agar dapat menjadi lembaga sertifikasi system manajemen keamanan pangan sesuai persyaratan akreditasi Lembaga Sertifikasi Sistem HACCP / Lembaga Sertifikasi Sistem Manajemen Keamanan yaitu ISO

17021/IEC:2006: Conformity Assessment- Requirements for Bodies

Providing Audit and Certification of Management Systems, ISO/TS

22003:2007: Food safety managements systems- Requirements for bodies

providing audit and certification of food safety management systems, PEDOMAN BSN 1001-1999: Persyaratan Umum Lembaga Sertifikasi Sistem Analisa Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis (HACCP), dan Pedoman BSN 1003-1999: Kriteria Auditor.

A. SISTEM STANDARISASI NASIONAL A.1. Sejarah Perkembangan Standar

Sejak zaman dahulu manusia sebenarnya telah menerapkan standarisasi dalam menjalankan kehidupannya, terbukti dengan pemakaian batu untuk kapak dan alat pencacah yang pada dasarnya mempunyai bentuk yang sama. Hal ini terjadi di semua wilayah dunia baik di Afrika, Eropa, atau Asia. Jika kita telusuri dari mulai bahasa tulisan, bentuk huruf, bentuk simbol, pikogram, bentuk notasi musik yang sudah berlaku sejak beribu-ribu tahun yang lalu.

Legenda yang sangat menarik pada zaman kaisar Qin Shi Huangdu di negeri China 2200 tahun yang lalu telah memperlihatkan bagaimana standarisasi sangat diperhatikan khususnya tentang diberlakukannya pemakaian as dan roda kereta sebagai alat angkutan utama di China pada zaman tersebut, bentuknya harus sama diseluruh daerah kekuasaan kaisar Huangdu. Alasan penyeragaman as dan roda tersebut dikarenakan jalur kereta antar kota banyak mengalami kerusakan sehingga mengakibatkan seringnya as patah. Dengan peraturan tersebut terjadi kemajuan perdagangan yang cukup pesat karena arus transportasi kereta menjadi lebih lancar, hal tersebut disebabkan jika terjadi kerusakan kereta maka tidak begitu sulit memperbaikinya, karena suku cadang mudah diperoleh dimana saja dengan ukuran dan bentuk yang sama (Winarno,2002).

A.2. Perkembangan Standar

Standar didefinisikan secara ringkas sebagai persyaratan minimal, atau suatu spesifikasi, ketentuan baku untuk suatu barang atau jasa yang dibuat dengan cara konsensus oleh semua pihak yang terkait (produsen, konsumen, pakar di bidangnya, dan pemerintah) dengan memperhatikan segi kesehatan, keselamatan, dan perlindungan lingkungan, serta selalu mengikuti perkembangan iptek, dan untuk keuntungan/bermanfaat bagi semua pihak yang terlibat dan memerlukannya.

Sampai saat ini definisi standar tersebut tetap berlaku, dengan demikian standar tidak statis tetapi dinamis karena harus mengikuti perkembangan iptek yang ada. Oleh karena itu tepat sekali jika ISO (International Organization for Standarization) mengatur bahwa paling sedikit satu kali dalam lima tahun standar harus ditinjau kembali, artinya standar tersebut dapat berubah sama sekali, dimodifikasi, diamandemen, atau tetap seperti semula. Demikian halnya standar yang dibuat oleh CAC (Codex Alimentarius Commission) selalu diperbaharui sesuai dengan kemajuan ilmu dan teknologi.

Standar yang dibuat dari mulai tingkat international, regional, nasional, asosiasi, perusahaan, dan personal, semuanya mengikuti kaidah yang sama yaitu konsensus diantara pihak yang terkait sesuai tingkatannya. Standar tersebut meliputi berbagai aspek misalnya nomenklatur, simbol, spesifikasi, pengambilan

contoh dan pengujian, klasifikasi, rasionalisasi, code of practices, keamanan,

pengemasan dan pelabelan, pasokan dan pengantaran.

Selanjutnya dalam perkembangannya standar sangat diperlukan oleh beberapa perusahaan untuk meningkatkan keamanan produknya dan pada saat yang sama perusahaan dapat mengurangi pengujian dan pengesahan yang dituntut oleh konsumennya.

A.3. Tujuan dan Asas Sistem Standarisasi Nasional

Tujuan Sistem Standarisasi Nasional adalah terwujudnya jaminan mutu dan perlindungan keselamatan, keamanan, dan kesehatan konsumen yang dapat meningkatkan efisiensi, efektivitas dan produktivitas nasional dalam menunjang program pengembangan, pemantapan dan peningkatan produksi dan ekspor produk dan jasa Indonesia dalam menghadapi persaingan dalam perdagangan dalam negeri maupun internasional, dengan meningkatkan penerimaan dan kepercayaan atas barang dan atau jasa yang dihasilkan di pasar domestik dan internasional.

Dalam menjalankan kegiatan standarisasi di Indonesia digunakan asas- asas Sistem Standarisasi Nasional. Asas-asas tersebut adalah: (1) Asas manfaat: Standarisasi harus dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan dan melindungi bangsa dan negara; (2) Asas kebersamaan: Standarisasi nasional harus

merupakan usaha bersama dari semua pihak sehingga dengan demikian tercerminlah semangat gotong royong berdasarkan kekeluargaan; (3) Asas kemandirian: Standarisasi nasional harus dikembangkan untuk kepentingan pembangunan nasional yang dilandasi dengan sikap percaya pada diri sendiri (Winarno,2002).

A.4. Badan Standarisasi Nasional

Untuk mewujudkan dan mengembangkan Sistem Standarisasi Nasional, sistem ini dikelola oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN). Di dalam rangka mengembangkan dan membangun kegiatan standarisasi, diperlukan kerjasama yang sinergik antara berbagai institusi yang bergerak di bidang standarisasi, instansi teknis yang terkait, dunia usaha dan industri, dan konsumen. Dalam kaitan inilah Badan Standarisasi Nasional dibentuk untuk menyelaraskan kegiatan standarisasi di Indonesia, untuk dapat melakukan pengembangan standarisasi nasional bekerjasama dengan instansi teknis terkait.

Dengan Surat Keputusan Presiden No. 13 Tahun 1997 telah dibentuk Badan Standarisasi Nasional (BSN) dengan tugas membantu Presiden dalam menyelenggarakan pengembangan dan pembinaan di bidang standarisasi. Dalam menjalankan tugasnya BSN dibina oleh Dewan Pembina Standarisasi Nasional (DPSN) serta dibantu oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN) dan Komite Standar Nasional untuk Satuan Ukuran (KSNSU). Untuk melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud diatas Badan Standarisasi Nasional (BSN) mempunyai fungsi: (1) Perumusan kebijaksanaan, penyusunan rencana dan program nasional di bidang standarisasi; (2) Pembinaan dan pelaksanaan koordinasi kegiatan standarisasi dengan instansi teknis dan instansi lainya; (3) Pelaksanaan kerjasama internasional, dokumentasi, dan informasi serta pemasyarakatan di bidang standarisasi; (4) Penetapan akreditasi dan syarat sertifikasi di bidang standardisasi; (5) Pelaksanaan penelitian dan pengembangandi bidang standarisasi; (6) Penetapan Standar Nasional Indonesia (SNI); (7) Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan di bidang standarisasi dan jaminan mutu (Winarno,2002).

A.5. Penerapan Standar

Standar yang diatur dalam Sistem Standardisasi Nasional ini adalah Standar Nasional Indonesia dan berlaku di negara Republik Indonesia. Penerapan standar adalah kegiatan menggunakan Standar Nasional Indonesia. Kegiatan penggunaan Standar Nasional Indonesia sangat erat kaitannya dengan kegiatan pemberlakuan standar, akreditasi dan sertifikasi.

A.5.1. Pemberlakuan standar

Standar Nasional Indonesia (SNI) dirumuskan oleh Badan Standardisasi Nasional (BSN) dan atau instansi teknis bekerjasama dengan instansi terkait berdasarkan Program Nasional Perumusan SNI melalui tahap-tahap penyiapan Rancangan Standar Nasional Indonesia (RSNI), rapat konsensus RSNI dan penetapan RSNI hasil konsensus menjadi SNI oleh BSN. Dalam melakukan persiapan RSNI, bila diperlukan dapat diawali dengan kegiatan penelitian dan pengembangan standardisasi yang dilaksanakan oleh Badan Standardisasi Nasional ataupun oleh panitia (Winarno,2002)

Standar Nasional Indonesia yang berkaitan dengan kepentingan keamanan, keselamatan, dan kesehatan konsumen, atau kelestarian fungsi lingkungan hidup, diberlakukan secara wajib oleh instansi teknis, yang selanjutnya disebut sebagai SNI wajib. SNI wajib harus diterapkan sepenuhnya oleh semua pihak yang berkaitan. Standar Nasional Indonesia yang tidak berkaitan dengan kepentingan keamanan, keselamatan, dan kesehatan, atau kelestarian fungsi lingkungan hidup, berdasarkan pertimbangan tertentu dapat diberlakukan secara wajib oleh instansi teknis atau diterapkan secara sukarela oleh pihak yang merasa memerlukan.

Unsur-unsur yang terkait dalam penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI) adalah sebagai berikut:

1. Pemerintah: dalam hal ini penerapan SNI merupakan instrumen penting

untuk melaksanakan pengaturan dan pengawasan yang bertujuan untuk melindungi kepentingan umum, khususnya mengenai keamanan, keselamatan, kesehatan konsumen dan kelestarian fungsi lingkungan hidup serta untuk memanfaatkan segala sumber daya secara rasional.

2. Profesi: bagi unsur profesi penerapan SNI penting untuk mengembangkan metode, sistem, ilmu pengetahuan, teknologi, dan cara pemecahan masalah yang terkait dengan kegiatan standardisasi

3. Produsen: penerapan SNI memungkinkan antara lain penyederhanaan

operasi proses pada semua tingkat, pengurangan jenis dan ragam persediaan bahan baku, komponen dan produk akhir, penggunaan teknis- teknis produksi massal, dan peningkatan efisiensi dan produktivitas.

4. Konsumen: melalui penerapan SNI, konsumen akan mendapatkan

seperangkat perlindungan dalam bentuk jaminan mutu barang dan atau jasa.

5. Lembaga sertifikasi dan laboratorium: melalui penerapan SNI, lembaga

sertifikasi dan laboratorium berperan serta dalam menjamin mutu barang dan atau jasa serta kebenaran hasil pengukuran dan pengujian.

A.5.2. Akreditasi

Kegiatan akreditasi adalah rangkaian kegiatan pengakuan formal berupa pemberian, pemeliharaan, perpanjangan, penundaan, dan pencabutan akreditasi lembaga-lembaga sertifikasi (yang antara lain mencakup sistem mutu, produk, personil, sistem manajemen lingkungan, sistem HACCP, sistem manajemen keamanan pangan), laboratorium penguji dan atau laboratorium kalibrasi dan akreditasi lainya di bidang standardisasi lainnya oleh Komite Akreditasi Nasional. KAN menyatakan bahwa lembaga sertifikasi atau laboratorium yang dimaksud telah memenuhi persyaratan untuk melakukan sesuatu kegiatan standardisasi tertentu.

Komite Akreditasi Nasional (KAN) merupakan badan akreditasi, yang dibentuk untuk menunjang pelaksanaan penerapan SNI. Komite Akreditasi Nasional merupakan bagian dari Badan Standardisasi Nasional (BSN) yang dibentuk dengan keputusan Presiden dan merupakan satu-satunya badan akreditasi independen di Indonesia.

Komite Akreditasi Nasional (KAN) mempunyai tugas pokok untuk memberikan akreditasi kepada lembaga-lembaga sertifikasi, laboratorium penguji/ kalibrasi dan akreditasi bidang standardisasi lainnya sesuai dengan kebutuhan, dan

memberikansaran pertimbangankepada Kepala BSN dalam menetapkan sistem akreditasi dan sertifikasi. Komite Akreditasi Nasional (KAN) bertugas pula untuk memperjuangkan keberterimaan di tingkat internasional atas sertifikat yang diterbitkan oleh laboratorium atau lembaga sertifikasi yang telah diakreditasi oleh KAN.

Komite Akreditasi Nasional (KAN) menetapkan peraturan dan persyaratan pemberian, pemeliharaan, perpanjangan, penundaan, dan pencabutan akreditasi, baik sebagian atau keseluruhan dari lingkup akreditasi. Pelaksanaan akreditasi di Indonesia mengikuti peraturana dan persyaratan akreditasi yang berlaku secara internasional, yaitu peraturan dan persyaratan yang disusun dan ditetapkan oleh organisasi internasional atau regional di bidang standardisasi, misalnya peraturan dan persyaratan yang disusun dan ditetapkan oleh International Organization for Standardization (ISO), International Cooperation (IEC), Asia Pacific Laboratory Accreditation (APLAC), International Laboratory Accreditation (ILAC), International Accreditation Forum (IAF) dan sebagainya (Winarno,2002).

Jenis atau bidang akreditasi yang dicakup oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN) meliputi: (1) akreditasi lembaga sertifikasi sistem mutu; (2) akreditasi lembaga sertifikasi sistem HACCP; (3) akreditasi lembaga sertifikasi personel; (4) akreditasi lembaga sertifikasi produk; (5) akreditasi lembaga sertifikasi sistem manajemen lingkungan; (6) akreditasi lembaga sertifikasi sistem manajemen keamanan pangan; (7) akreditasi lembaga sertifikasi inspeksi teknis; (8) akreditasi laboratorium penguji; (9) akreditasi laboratorium kalibrasi; (10) akreditasi laboratorium kesehatan.

Rangkaian kegiatan dalam proses akreditasi dari Komite Akreditasi Nasional (KAN) terhadap Lembaga Sertifikasi Sistem HACCP yang berhak menerbitkan sertifikat Sistem HACCP bagi industri pangan ataupun Lembaga Sertifikasi Sistem Manajemen Keamanan Pangan yang berhak menerbitkan sertifikat ISO 22000 bagi industri pangan. Terdiri dari beberapa tahap awal dari proses tersebut adalah Lembaga sertifikasi yang membutuhkan akreditasi dari Komite Akreditasi Nasional (KAN) akan mengajukan permohonan kepada Komite Akreditasi Nasional (KAN), kemudian KAN akan menunjuk tim auditor yang terdiri dari 1 (satu) orang ketua tim auditor dan 1-3 (satu sampai dengan

tiga) orang anggota tim auditor yang akan melaksanakan asesmen terhadap Lembaga sertifikasi tersebut. Tim Auditor tersebut memberikan laporan asesmen Lembaga sertifikasi kepada KAN setelah semua ketidaksesuaian telah diperbaiki oleh Lembaga sertifikasi dan telah diverifikasi oleh Tim Auditor dari KAN. Langkah selanjutnya KAN akan membentuk Panitia Teknik yang terdiri dari para stakeholder, kemudian hasil laporan asesmen dikaji dan dievaluasi, yang kemudian akan menghasilkan suatu rekomendasi bahwa Lembaga sertifikasi layak untuk mendapatkan sertifikat akreditasi. Setelah sertifikat akreditasi didapat oleh suatu Lembaga sertifikasi, maka sertifikat akreditasi tersebut akan berlaku selama empat tahun, dan selama kurun waktu empat tahun tersebut KAN

akan melaksanakan surveillance terhadap Lembaga sertifikasi satu tahun satu

kali, untuk memastikan bahwa sistem yang telah diterapkan masih dijalankan secara konsisten. Rangkaian dari proses akreditasi tersebut lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 1 (Winarno,2002)

KAN

LEMBAGA-LEMBAGA SERT IFIKASI SIST EM HACCP

PAN I T I A

T EK N I K

T I M

AU DI T OR

REKOMENDASI

MENGAJUKAN

PERMOHONAN ASESMEN/ SURVAILEN

RE-ASESMEN P E M B E R I A N A K R E D I T A S I LAPORAN ASESMENI MENUNJUK AUDITOR MEMBENTUK 5 3 7 8 4 2 1 6

PROSES AKREDITASI

PROSES AKREDITASI

Implementasi sistem assesmen baik pada proses akreditasi lembaga sertifikasi oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN) maupun pada sertifikasi pada industri pangan dari suatu lembaga sertifikasi harus memenuhi standar-standar yang telah ditetapkan. Adapun perbedaan standar kesesuaian asemen yang digunakan dalam proses akreditasi dan sertifikasi sistem HACCP dibandingkan dengan standar yang digunakan dalam proses akreditasi dan sertifikasi sistem manajemen keamanan pangan adalah pada proses akreditasi dan sertifikasi sistem HACCP, Komite Akreditasi Nasional (KAN) harus mengimplementasikan Pedoman BSN 3-1999 agar dapat menjalankan tugasnya sebagai lembaga akreditasi yang independen, dalam melaksanakan tugasnya untuk melakukan akreditasi Komite Akreditasi Nasional (KAN) akan mengirimkan tim auditor yang kualifikasinya sesuai dengan Pedoman BSN 1002-1999, Lembaga sertifikasi sistem HACCP yang diaudit harus mengimplementasikan Pedoman BSN 1001- 1999 agar dapat mempunyai wewenang untuk menerbitkan sertifikat sistem HACCP. Bagi industri pangan yang sudah mengimplementasikan SNI 01 4852 1998 dan Pedoman BSN 1004-2002 maka berhak mengajukan dan mendapat sertifikat sistem HACCP dari Lembaga sertifikasi sistem HACCP setelah diaudit oleh tim auditor dari Lembaga sertifikasi sistem HACCP yang kualifikasinya sesuai dengan Pedoman BSN 1003-1999. Standar-standar kesesuaian asesmen baik proses akreditasi maupun sertifikasi sistem HACCP lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2 (Winarno,2002).

Untuk standar kesesuaian asesmen proses akreditasi dan sertifikasi sistem manajemen keamanan pangan, Komite Akreditasi Nasional (KAN) harus mengimplementasikan ISO/IEC 17011 agar dapat menjalankan tugasnya sebagai lembaga akreditasi yang independen. Dalam melaksanakan tugasnya untuk melakukan akreditasi, Komite Akreditasi Nasional (KAN) akan mengirimkan tim auditor yang kualifikasinya sesuai dengan Pedoman BSN 1002-1999, sedangkan Lembaga sertifikasi sistem manajemen keamanan pangan yang diaudit harus mengimplementasikan ISO/IEC 17021:2006 dan ISO/TS 22003:2007 agar dapat mempunyai wewenang untuk menerbitkan sertifikat ISO 22000. Bagi industri pangan yang sudah mengimplementasikan ISO 22000:2005 dan ISO 22004:2005 maka berhak mengajukan dan mendapat sertifikat ISO 22000 dari Lembaga

sertifikasi sistem manajemen keamanan pangan setelah diaudit oleh tim auditor dari Lembaga sertifikasi sistem manajemen keamanan pangan yang kualifikasinya sesuai dengan Pedoman BSN 1003-1999. Standar-standar kesesuaian asesmen baik proses akreditasi maupun sertifikasi sistem manajemen keamanan pangan lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 3 (Winarno,2002).

Gambar 2. Standar kesesuaian asesmen proses akreditasi dan sertifikasi lembaga sertifikasi sistem HACCP.

Gambar 3. Standar kesesuaian asesmen proses akreditasi dan sertifikasi lembaga sertifikasi sistem manajemen keamanan pangan.

K AN

LSSHACCP

LSSHACCP

LSSHACCP

LSSHACCP

LSSHACCP

Badan Usaha

A k red it as i S ert if ik as i Pedoman BSN 3-1999 Pedoman BSN 1002-1999 Pedoman BSN 1001-1999 Pedoman BSN 1003-1999 - SNI 01 - 4852 - 1998 - Pedoman BSN 1004 - 2002 Auditor Akreditasi HACCP Auditor Sertifikasi HACCP

K AN

LSSHACCP

LSSHACCPLSSMKP

LSSHACCP

LSSHACCP

Badan Usaha

A k red it as i S ert if ik as i ISO/IEC 17011 Pedoman BSN 1002-1999 ISO/IEC 17021:2006 ; ISO/TS 22003:2005 Pedoman BSN 1003-1999 ISO 22000:2005