• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.7 Metode Penelitian

1.7.4 Lokasi Penelitian

Tempat yang penulis pilih sebagai lokasi penelitian adalah Vihara Avalokistevara, Kompleks CPI Jl. Tengku Hasyim gang Saudara Kota Tebing Tinggi, tim barongsai HSS (Hong San See) yang berdiri pada tahun 2015 dan sudah beberapa kali memenangkan pertunjukan barongsai dan tim ini pernah menampilkan barongsai hingga ke Malaysia. Alasan penulis memilih Vihara ini sebagai lokasi penelitian adalah karena Vihara Avalokistevara merupakan tempat tim barongsai HSS dan merupakan tim barongsai yang terkenal dan sering diminta oleh masyarakat untuk dipertunjukan dalam acara ritual maupun hiburan yang ada di Kota Tebing Tinggi. Lokasinya juga yang tidak begitu jauh dari Kota Medan juga sangat memudahkan penulis dalam menghemat waktu dan biaya serta transportasi yang tidaklah sulit dijalani oleh penulis.

BAB II

KEBERADAAN MASYARAKAT TIONGHOA DI KOTA TEBING TINGGI

2.1 Geografis Kota Tebing Tinggi

Pada umumnya keadaan alam suatu wilayah ditentukan oleh letak geografis wilayah tersebut di mana kondisi dan tempat sangat menentukan. Letak wilayah tersebut dapat mencerminkan budaya yang berlaku di masyarakat setempat. Untuk dapat mengetahui ataupun mengenal budaya suatu tempat dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan etnografi. Etnografi dapat diartikan sebagai berikut

Etnografi merupakan studi deskriptif tentang masyarakat masyarakat yang sederhana, serta gambaran dari suku-suku bangsa yang hidup.

Etnografi merupakan ilmu yang melukiskan tentang kebudayaan dari setiap suku bangsa yang tersebar di muka bumi ini.

Etnografi adalah suatu gambaran tentang suku-suku bangsa dan bahan-bahan penyelidikannya yang telah dikumpulkan, kemudian diuraikan dalam suatu metode ilmiah tertentu dengan cara mempelajari bahan yang terkumpul (Ariyono Suyono 1985:113). Dengan pendekatan inilah penulis akan membahas bahan kajiannya dengan metode metode ilmiah yang terdapat dalam disipin etnomusikologi.

Kota Tebing Tinggi6 merupakan salah satu yang ada di Provinsi Sumatera Utara yang berkembang pesat dalam bidang perekonomian. Kota ini juga cepat menjadi maju karena didukung oleh perdagangan, pendidikan, komunikasi dan sarana yang lengkap.

Daratan yang terhampar di sepanjang pinggiran sungai Padang dan sungai Bahilang mulai dihuni sebagai tempat tinggal sekitar tahun 1864. Inilah

6 https://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Tebing_Tinggi#Sejarah

pernyataan resmi pertama yang dibuat oleh sejumlah tokoh masyarakat Kota Tebing Tinggi pada tahun 1987. Pernyataan ini terdapat dalam makalah berjudul "Kertas Kerja Mengenai Pokok-Pokok Pikiran Sekitar Hari Penetapan Berdirinya Kotamadya Daerah Tingkat II Tebing Tinggi". Makalah ini kemudian dijadikan sebagai Perda yang menetapkan bahwa awal berdirinya Kota Tebing Tinggi adalah 1 Juli 1917.

Posisi Kota Tebing Tinggi ada dibagian Utara Provinsi Sumatera Utara pada ketinggian tempat 26-34 m diatas permukaan laut dan kondisi wilayah relatif datar. Berjarak sekitar 78 km dari Kota Medan.

Berdasarkan sistem administratif, Letak Tebing Tinggi 3°19ʹ00ʺ 3°21ʹ00 ʺ Lintang Utara/North Latitude, 98°11ʹ - 98°21ʹ Bujur Timur/East Longitude.

Luas Wilayah/Area 38,438 km2 (termasuk perluasan wilayah sebesar 59,9 Ha di Kecamatan Rambutan). Ketinggian di atas permukaan laut : 18-34 m.

Berikut batas wilayah Kota Tebing Tinggi secara administrarif :

1. Sebelah Utara : PTPN III Kebun Rambutan Kecamatan Tebing Tinggi, Kabupaten Serdang Bedagai.

2. Sebelah Timur : PT. Socfindo Kebun Tanah Bersih Kecamatan Tebing Tinggi, Kabupaten Serdang Bedagai.

3. Sebelah Selatan : PTPN III Kebun Pabatu Kecamatan Tebing Tinggi, Kabupaten Serdang Bedagai.

4. Sebelah Barat : PTPN III Kebun Bandar Bejambu Kecamatan Tebing Tinggi, Kabupaten Serdang Bedagai.

Kota Tebing Tinggi terdiri dari 5 kecamatan dan 35 kelurahan dengan luas wilayah 38.438 km2. Kecamatan Padang Hilir merupakan kecamatan yang terluas dengan luas 11,441 km2 atau 29,76 persen dari luas Kota Tebing Tinggi.

2.2 Demografi

Kota Tebing Tinggi, didiami oleh berbagai suku bangsa (etnis). Dari beberapa suku bangsa yang ada, Suku Jawa merupakan suku yang paling besar jumlahnya 40,14%, Tapanuli/Toba 14,51%, Mandailing 10,47%, Simalungun 7,03%, Minangkabau 8,92%, Melayu 4,35%, Tionghoa 9,48% dan lainnya 5,08%.

Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin dan Kecamatan7 Kota Tebing Tinggi

Sumber : BPS, Kota Tebing Tinggi Dalam Angka 2014

Jumlah penduduk menurut kepercayaannya di Kota Tebing Tinggi :

Agama Jumlah penduduk

Islam 101.108 jiwa

7 https://kotatebingtinggi.files.wordpress.com/2015/10/ipm2013-kota-tebing-tinggi.pdf

Kristen Protestan 19.383 jiwa

Katolik 4.685 jiwa

Hindu 241 jiwa

Buddha 8.922 jiwa

2.3 Kedatangan Masyarakat Tionghoa Ke Kota Tebing Tinggi

Masyarakat Tionghoa yang ada di Indonesia sekarang, dulunya berasal dari provinsi-provinsi di Tiongkok Selatan, seperti Kwang Tung, Kwangsi, Swatow, Hainan, Fukien, Hunnan,Fu Chow dan Amoy adalah kampung halaman etnis Hakka (Khek), Canton, Hokkien, Hailokhongs, Hainan, Hailam, Teochew, Luchius, Choachow, Hock dan Macao (Eben, 2009 : 26).

Menurut Reid yang dikutip dari Yudhistira ( Yudhistira, 2012 : 22 ) Tionghoa merupakan suku minoritas dibandingkan suku suku lain yang ada di Indonesia.

Kedatangan masyarakat Tionghoa ke Indonesia diperkirakan ketika kedatangan bangsa Mongolia dibawah arahan Kubilai Khan masuk melalui daerah maritim Asia Tenggara di tahun 1293. Bangsa Mongol kemudian memperkenalkan kemajuan teknologi Tionghoa, yang pada saat itu mencakup teknologi pembuatan kapal dan dalam hal alat tukar, yakni uang berbentuk koin. Kedatangan mereka diyakini memicu timbulnya kerajaan baru, yaitu kerajaan Majapahit. Beberapa sumber mengindikasi bahwa para pedagang Tionghoa pertama kali tiba didaerah Ternate dan Tidore, di Kepulauan Maluku untuk membeli cengkeh, namun kemudian mereka diusir keluar oleh para pedagang Jawa seiring berkembangnya ekspansi yang dilakukan oleh Kerajaan Majapahit.

Sebelumnya sempat ada terjadi gejolak terkait pembauran dan perbedaan antara pribumi dan non pribumi, tetapi sejak reformasi keberadaan masyarakat Tionghoa dikota Tebing Tinggi telah diakui, dan hal ini merupakan berita baik bagi seluruh masyarakat Tionghoa yang ada di Indonesia. Hal ini dimanfaatkan oleh orang Tionghoa yang ada di kota Tebing Tinggi untuk berbenah dan memperbaiki nasib

mereka. Pedagang Tionghoa memilih untuk terlibat kerja sama dalam bisnis dengan orang melayu dan jawa ketimbang dengan orang Portugis.

2.4 Sistem Kekerabatan Masyarakat Tionghoa

Masyarakat di Indonesia memiliki sistem kekerabatan menurut suku bangsa masing- masing. Sistem kekerabatan merupakan sistem pertalian keluarga yang sedarah maupun yang masih memiliki hubungan keluarga. Sistem kekerabatan sangat penting dalam kehidupan masyarakat karena selalu diperlukan dalam segala aktivitas budaya masing-masing. Sama dengan suku bangsa yang ada di Indonesia, masyarakat Tionghoa juga memiliki sistem kekerabatan. Garis keturunan masyarakat Tionghoa, atau biasa disebut Klan Tionghoa menarik dari garis keturunan ayah (patrilinieal) atau biasa disebut dari garis keturunan laki-laki yang secara otomatis jika anak laki-laki dan perempuan lahir akan mengikuti garis keturunan ayah. Bentuk rumah tangga suku Tionghoa adalah keluarga luas yang terbagi dua, yaitu : bentuk keluarga luas viri lokal, keluarga orang tua dengan anak laki laki tertua serta istri dan anak-anaknya juga saudaranya yang belum menikah. Bentuk keluarga luas viri lokal, keluarga orang tua dan anak laki-lakinya serta keluarga batih mereka masing-masing.

Struktur kekerabatan8 dalam komunitas totok mengikuti tradisi patrilineal, patrilokal, dan patriarkal masyarakat Tionghoa, namun perkembangan telah memasuki komunitas Tionghoa bahwa masyarakat Tionghoa sudah banyak yang menikah dengan masyarakat pribumi dan kepada negara negara lain didunia yang

8 https://en.wikipedia.org/wiki/Chinese_Indonesians

disebut “peranakan”. Pola kekerabatan dalam keluarga pribumi telah memasukkan unsur-unsur matrilocal, matrilineal, dan tradisi matrifocal yang ditemukan dalam masyarakat Jawa. Dalam komunitas ini, baik laki-laki maupun perempuan dapat mewarisi kekayaan keluarga. Otoritas politik, sosial, dan ekonomi dalam keluarga peranakan lebih terdistribusi secara merata baik laki-laki maupun perempuan

dibandingkan dengan keluarga totok. Pengaruh Barat dalam masyarakat

"peranakan" dibuktikan oleh tingginya proporsi pasangan tanpa anak. Dalam masyarakat peranakan lebih sedikit memiliki anak daripada pasangan totok.

Meskipun mereka putus dari pola kekerabatan tradisional, keluarga peranakan lebih dekat dengan beberapa nilai tradisional Tionghoa daripada totok. Karena populasi pribumi telah kehilangan banyak koneksi dirumah leluhur mereka di provinsi-provinsi pesisir Cina, mereka kurang terpengaruh oleh pola modernisasi abad ke-20 yang mengubah kawasan. Peranakan memiliki sikap yang lebih ketat terhadap perceraian, meskipun tingkat pemisahan di antara keluarga di kedua segmen umumnya lebih rendah daripada kelompok etnis lainnya. Dalam pernikahan keluarga peranakan, umumnya pernikahan yang bebas memilih karena relasinya cenderung lebih terbuka. Perbedaan antara totok dan peranakan yaitu bahwa Tionghoa totok mempercayai ritual mereka kepada leluhur ke tingkat yang lebih tinggi, sedangkan pemuda Tionghoa peranakan cenderung lebih religius. Melalui pendidikan yang disediakan oleh sekolah-sekolah Katolik dan Protestan yang berkualitas tinggi, para pemuda Tionghoa lebih banyak memilih agama Kristen.

Pada abad ke-21, perbedaan konseptual totok dan peranakan Tionghoa perlahan-lahan menjadi ketinggalan zaman karena beberapa keluarga menunjukkan campuran karakteristik dari kedua budaya. Perkawinan antar ras dan asimilasi budaya sering mencegah pembentukan pengertian yang tepat dari orang Indonesia Tionghoa sejalan dengan kriteria rasial yang sederhana. Penggunaan nama keluarga Tionghoa, dalam beberapa bentuk atau keadaan, pada umumnya merupakan tanda identifikasi diri budaya sebagai etnis Tionghoa atau keselarasan dengan sistem sosial Tionghoa.

2.5 Bahasa

Bahasa adalah alat komunikasi yang dipakai oleh manusia untuk mengungkapkan dan mengemukakan apa yang dipikirannya terhadap orang lain.

Koentjaraningrat dalam bukunya yang berjudul Ritus Peralihan di Indonesia menulis “bahasa adalah sistem perlambangan manusia yang lisan maupun tulisan untuk berkomunikasi satu dengan yang lain” (1986:339). Melalui bahasa juga kebudayaan tiap bangsa dapat dikembangkan dan diwariskan kepada generasi yang akan datang. Suatu bahasa menentukan bagaimana ciri dan khas suatu masyarakat dan khususnya suatu kebudayaan, sehingga dapat dilihat peran bahasa yang digunakan suatu masyarakat.

Masyarakat Tionghoa memiliki bahasa yang disebut dengan bahasa mandarin,Pada periode Soeharto semua publikasi berbahasa Mandarin dilarang, kecuali dari surat kabar harian yang dikendalikan pemerintah Harian Indonesia.

Pencabutan larangan berbahasa Mandarin setelah tahun 1998 mendorong generasi

orang Indonesia Tionghoa yang lebih tua untuk mempromosikan penggunaannya kepada generasi muda; menurut peneliti Malaysia-Cina dari diaspora Cina, Chang-Yau Hoon, mereka percaya bahwa mereka akan "dipengaruhi oleh kebajikan budaya Tiongkok dan nilai-nilai Konfusian". Satu perdebatan terjadi di media pada tahun 2003, membahas bahasa Cina "mu yu" (母語, "bahasa ibu") dan bahasa Indonesia "guo yu" (國語, "bahasa nasional"). Nostalgia adalah tema umum dalam pers berbahasa Cina pada periode segera setelah pemerintahan Soeharto. Munculnya berdiri politik dan ekonomi Tionghoa pada pergantian abad ke-21 menjadi dorongan untuk upaya mereka untuk menarik pembaca yang lebih muda yang berusaha untuk menemukan kembali akar budaya mereka.

Banyak orang Indonesia, termasuk etnis Cina, percaya akan adanya dialek bahasa Melayu, Tionghoa Melayu, yang dikenal secara lokal sebagai Tionghoa Melayu atau Tionghoa Melayu. Pertumbuhan sastra peranakan pada paruh kedua abad ke-19 menimbulkan varian seperti itu, dipopulerkan melalui silat (seni bela diri) yang diterjemahkan dari bahasa Cina atau ditulis dalam Melayu, lidah umum jalan-jalan dan pasar Jawa, terutama kota-kotanya, diucapkan oleh semua kelompok etnis di lingkungan perkotaan dan multi-etnis.

Karena Cina adalah elemen yang dominan di kota-kota dan pasar, bahasa itu

dikaitkan dengan mereka, tetapi pejabat pemerintah, Eurasia, pedagang migran, atau orang-orang dari daerah bahasa yang berbeda, semuanya menggunakan bentuk Melayu ini untuk berkomunikasi. - Mary Somers Heidhues, The Encyclopedia of the Chinese Overseas Literatur akademis yang membahas Bahasa Melayu Cina umumnya mencatat bahwa etnis Tionghoa tidak berbicara dengan dialek bahasa Melayu yang sama di seluruh kepulauan. Selanjutnya, meskipun pemerintah kolonial Belanda pertama kali memperkenalkan ortografi Melayu pada tahun 1901, surat kabar Cina tidak mengikuti standar ini sampai setelah kemerdekaan. Karena faktor-faktor ini, etnis Tionghoa memainkan "peran penting" dalam pengembangan bahasa Indonesia modern sebagai kelompok terbesar selama periode kolonial untuk berkomunikasi dalam berbagai dialek Melayu.

Empat kelompok bahasa utama yang ada di Indonesia adalah Hokkien, Mandarin, Hakka dan Kanton, Sedangkan orang Tiochiu berbicara dengan dialek yang hampir sama dengan bahasa Hokkien. Tercatat sekitar 2 juta penutur asli bahasa dari ragam dialek Tionghoa yang berbeda terdapat di Indonesia pada tahun 1982 yakni, 700.000 penutur rumpun bahasa Min Nan (termasuk didalamnya bahasa Hokkien dan Tiochiu ); 640.000 penutur bahasa Hakka; 460.000 penutur bahasa Mandarin; 180.000 penutur bahasa Kanton, dan 20.000 penutur rumpun bahasa Dong Min (termasuk Xinghua). Sisanya, diperkirakan 20.000 berbicara dalam bahasa Indonesia (Yudhistira, 2012: 31).

Sedangkan suku suku Tionghoa yang ada di Kota Tebing Tinggi yaitu, Konghucu, Hokkien, Tiochiu, dan Henny-Hua.

2.6 Agama dan Kepercayaan

Ada sedikit karya ilmiah yang ditujukan untuk kehidupan beragama orang Indonesia Tionghoa. Buku Prancis 1977 Les Chinois de Jakarta: Temples et Vie Collective ("Orang Tionghoa Jakarta: Temples and Collective Life") adalah satu-satunya kajian utama untuk menilai kehidupan keagamaan etnis Tionghoa di Indonesia. Kementerian Agama memberikan status resmi kepada enam agama:

Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha, dan Konghucu. Undang-undang pencatatan sipil tahun 2006 tidak mengizinkan orang Indonesia untuk mengidentifikasi diri mereka sebagai anggota agama lain di kartu identitas mereka.

Menurut data sensus, hampir 80 persen orang Indonesia Tionghoa beragama Buddha atau Katolik. Orang Indonesia Tionghoa cenderung lebih beragama Kristen dari kelompok etnis Tionghoa lainnya di Asia Tenggara karena alasan historis yang rumit. Sepanjang abad ke-20 agama dan budaya Tionghoa dilarang dan dianiaya di Indonesia, memaksa banyak orang Tionghoa untuk masuk Kristen. Gelombang pertobatan pertama terjadi pada 1950-an dan 1960-an, dan jumlah umat Kristen Tionghoa selama periode ini meningkat empat kali lipat. Gelombang kedua diikuti setelah pemerintah menarik status kepercayaan Konghucu sebagai agama yang diakui pada tahun 1970-an. Soeharto mendukung kampanye sistematis pemberantasan agama Konghucu. Akibatnya, banyak orang Tionghoa di Jakarta dan bagian lain di pulau Jawa kebanyakan beragama Kristen, sementara di kota-kota non-Jawa seperti Medan, Pontianak, dan bagian lain di Pulau Sumatra dan Kalimantan masih patuh pada ajaran Buddha, dan beberapa

dari mereka masih berlatih Taoisme, Konfusianisme dan kepercayaan tradisional Cina lainnya.

Di negara di mana hampir 90 persen penduduknya beragama Islam, etnis Tionghoa Muslim membentuk minoritas kecil dari populasi etnis Tionghoa.

Sensus 2010 memperkirakan bahwa 3,6% orang Indonesia Tionghoa mengikuti agama Islam. Organisasi Muslim Cina Indonesia yaitu Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) telah ada pada akhir abad ke-19. PITI didirikan kembali pada tahun 1963 sebagai organisasi modern, tetapi kadang-kadang mengalami periode tidak aktif. Dewan Tertinggi untuk Agama Konghucu di Indonesia memperkirakan sekitar 95% agama Konghucu adalah suku Tionghoa dan sebagian besar sisanya yaitu 5% adalah suku Jawa yang berpindah ke agama Konghucu. Meskipun pemerintah telah memulihkan status Konfusianisme sebagai agama yang diakui, banyak penguasa lokal tidak mematuhinya dan menolak mengizinkan masyarakat Tionghoa mencantumkannya sebagai agama pada kartu identitas mereka. Sedangkan masyarakat Tionghoa yang ada di Kota Tebing Tinggi mayoritas memeluk agama Buddha, dan minoritas Tionghoa disana beragama Konghucu, Kristen dan Islam (BPS, 2013).

2.7 Mata Pencaharian

Masyarakat Tionghoa merupakan salah satu warga yang mempunyai pengaruh sangat besar dalam bidang perekonomian khususnya perdagangan.

Kedatangan masyarakat Tionghoa ke Indonesia dengan tujuan mencari nasib peruntungan yang baik karena keadaan ekonomi dan padatnya penduduk di

Tiongkok sehingga sedikit memberikan kemungkinan bagi usaha mata pencaharian mereka. Rata rata mata pencaharian mereka melakukan pengembangan usaha dagang dan masyarakat ini dikenal sebagai masyarakat yang tekun, ulet, dan memiliki etos kerja yang tinggi dalam bekerja.

Seperti dikutip dari Breman :

Sebelum matahari terbit, kuli ladang Cina sudah berada di luar untuk merawat tanaman tembakaunya yang masih muda, menyiram persemaian, mencari ulat daun tembakau, atau menyimpan lahan untuk ditanami, dia terus bekerja smapai matahari terbenam, dan hanya beristirahat satu-dua jam pada siang hari. Tidak jarang pada malam terang bulan, lama sesudah kerja keras di hari kerja biasa, mereka masih sibuk dengan tembakaunya. Orang Cina biasa saja merupakan pekerja yang tidak simpatik, karena kesukaanya berteriak dan ribut, tetapi setiap tuan kebun harus menghormati mereka karena ia memiliko tenaga kerja dan prestasi kerja yang luar biasa (Breman, 1997:95).

Awalnya masyarakat Tionghoa memulai usaha kecil seperti berdagang keliling, membuka kios-kios kecil dan bergerak di usaha barang mentah dan industri. Di pusat Kota Tebing Tinggi masyarakat Tionghoa lebih banyak memiliki bangunan-bangunan Ruko tersendiri yang merupakan tempat tinggal mereka dan sekaligus dijadikan sebagai tempat untuk berdagang. Namun tidak semua kebutuhan hidup yang mereka butuhkan dapat diperoleh dari barang-barang yang mereka dagangkan karena sebagian dari mereka juga melakukan usaha dagang melalui berdagang dipasar.

Ada banyak pasar di Kota Tebing Tinggi yang menjadi salah satu sumber mata pencaharian masyarakat yang ada disana salah satunya Pasar Hongkong yang merupakan pasar yang menyediakan segala bentuk kebutuhan sehari-hari bagi masyarakat Tionghoa di kota Tebing Tinggi serta mayoritas penjual dan pembeli yang lebih mendominasi dipasar Hongkong merupakan masyarakat Tionghoa (lubis ismalia, 2012: 2-4).

Sekarang mereka mampu bersaing dengan pengusaha pribumi dan bahkan

2.8 Kesenian

Kesenian adalah ekspresi manusia terhadap keindahan, dalam kebudayaan suku-suku bangsa yang pada mulanya bersifat deskriptif (Koentjaraningrat, 1982: 395-397). Seperti masyarakat yang ada di Indonesia, masyarakat Tionghoa juga memiliki kesenian yaitu : seni musik, tari, rupa, dan sastra. China pada zaman dahulu tidak ada penggunaan partitur musik di ensambel musik China pada saat pentas karena biasanya musik telah dihapal oleh pemusiknya dan dimainkan tanpa alat bantu. Tetapi seiring berjalannya waktu, jika jumlah pemusik banyak partitur atau konduktor sangat dibutuhkan (Raulina, 2012 : 60-61).

Masyarakat Tionghoa merupakan masyarakat yang cukup terkenal dengan kebudayaan yang beragam. Seperti seni tulis atau kaligrafi, seni menggunting kertas, pengobatan, seni bela diri,seni opera atau teater, seni musik tradisional, hingga tradisi pemujaan leluhur maupun dewa-dewi yang sampai saat ini masih dilakukan oleh sebagian besar masyarakat Tionghoa (Karina, 2017 : 20).

Opera Tiongkok yang cukup terkenal yaitu opera beijing yang merupakan Opera Nasional Tiongkok dan sangat berpengaruh di Tiongkok. Opera beijing meruapakan opera yang menggabungkan penampilan nyanyian dan seni bela diri, yang menceritakan tentang cerita rakyat, sejarah, komedi, tragedi, dan jenaka. Ada beberapa opera lain yang berasal dari Tiongkok yaitu, Opera Yu (Opera Henan Bangzi), Opera Kun, Opera Qingqiang yang juga menceritakan tentang cerita rakyat. Opera merupakan kesenian yang menggunakan musik, tari dan sastra.

BAB III

PERTUNJUKAN BARONGSAI DI KOTA TEBING TINGGI

3.1 Sejarah Barongsai

Masyarakat etnis Cina mempunyai suatu kesenian yang terkenal bernama Barongsai. Kesenian Barongsai diperkirakan masuk sekitar 500 tahun yang silam,

bersamaan dengan masuknya orang-orang Cina untuk berdagang ke Indonesia.

Masyarakat etnis Cina tersebut menyebar ke berbagai provinsi yang ada di Indonesia, dan kesenian Barongsai pun ikut menyebar sesuai dengan penyebaran etnis Cina. salah satu provinsi tempat penyebaran masyarakat etnis Cina dari Tiongkok untuk berdagang adalah provinsi Sumatera Utara, dengan ibukotanya adalah Medan.

Pada dasarnya singa bukanlah binatang asli China, tetapi digunakan kaisar sebagai hadiah dari generasi ke generasi. Berdasarkan hasil wawancara dengan informan, menurut kepercayaan9 masyarakat Tionghoa pada zaman dahulu, asal usul dari adanya pertunjukan barongsai ini bermula dari seekor singa berbulu emas yang dihadiahkan kerajaan Tokhara untuk mendoakan kejayaan Dinasti Han, dan mempererat kerajaan Tokhara dan Dinasti Han. Karena

masyarakat Tionghoa percaya dan menjadikan singa yang dijuluki raja hutan ini sebagai simbol keberanian dan kekuatan yang bisa mendatangkan keberuntungan dan keselamatan bagi mereka. Kerajaan Tokhara juga berharap supaya kerajaan

9 Menurut kepercayaan masyarakat Tionghoa, Ada banyak versi yang menceritakan tentang asal usul kesenian barongsai. Namun, kepercayaan masyarakat Tionghoa tentang barongsai tetap sama bahwa, keberadaan barongsai dapat memberikan kebahagiaan, kemakmuran, keberuntungan, dan kesuksesan oleh sebab itulah barongsai terkadang ada dalam acara acara penting seperti pembukaan restoran, memasuki

Dinasti Han dapat menjinakkan singa tersebut dan tidak mencelakai rakyat untuk

dipertunjukkan di hari Imlek ke-15. Akhirnya, kaisar Dinasti Han pun membuat pengumuman mencari seorang ksatria yang dapat menjinakkan singa tersebut.

Namun, tidak ada seorang pun yang berhasil menjinakkannya. Lalu, suatu hari adalah seorang ksatria yang hendak menjinakkan singa tersebut dengan cara memberikan wahan daging kepadanya tetapi, singa itu malah hendak menerkam ksatria itu. Oleh karena singa itu hendak memakan ksatria, pengawal Dinasti Han pun memukuli kepala singa itu sampai mati. Sebagai ganti singa yang sudah mati, salah satu pengawal pun membuat singa buatan dengan cara menguliti kulit singa dan memakaikannya untuk diperankan oleh manusia dan dipertunjukkan dihari imlek ke-15.

Ada versi yang mengatakan bahwa barongsai ada karena ada dalam salah satu wilayah di China Nian (monster) yang mengganggu penduduk yang menimbulkan kegelisahan dan ketakutan masyarakat. Lalu, singa datang untuk mengusir Nian (monster) dan monster itu kalah dan sangat ketakutan melihat

Ada versi yang mengatakan bahwa barongsai ada karena ada dalam salah satu wilayah di China Nian (monster) yang mengganggu penduduk yang menimbulkan kegelisahan dan ketakutan masyarakat. Lalu, singa datang untuk mengusir Nian (monster) dan monster itu kalah dan sangat ketakutan melihat

Dokumen terkait