• Tidak ada hasil yang ditemukan

Luka Itu M asih Terasa

Dalam dokumen Perempuan Muyu dalam Pengasingan pdf (Halaman 75-87)

SEPENGGAL SEJARAH ASAL-USUL DAN PERKEM BANGAN

2.2. Luka Itu M asih Terasa

Sepert i disinggung sebelumnya, bahw a kot a yang bersuasana t eduh, damai, dan dihuni oleh penduduk yang ramah bersahaja ini pernah mengalami sebuah perist iw a berdarah. Tragedi berdarah it u bermula dari gerakan memobilisasi secara paksa oleh sekelompok orang—kemudian biasa disebut organisasi Papua merdeka (OPM )—t erhadap penduduk Et nik M uyu ke sebuah w ilayah di t engah hut an—dekat perbat asan—

Negara PNG. Perist iw a pengungsian it u menimbulkan kengerian yang begit u luar biasa. Sebuah t ragedi yang hingga kini masih menyisakan luka. Luka yang begit u perih dan menyesakkan dada apabila mengingat nya. Luka it u masih t erasa.

Sejenak menoleh ke belakang, menurut cat at an Keuskupan Agung M erauke, pengungsian it u memiliki ket erkait an dengan gerakan unt uk memperjuangkan kemerdekaan w ilayah Papua Barat set elah int egrasi dengan negara Republik Indonesia t ahun 1963. Gerakan it u mulai nampak “ jejaknya” pada saat mengarahkan penduduk M uyu unt uk menyeberang, mengungsi di w ilayah PNG pada t ahun 1984. At au t epat nya, set elah mereka merayakan Yubelium 50 t ahun (1933-1983) masuknya agama Kat olik di daerah mereka.47

M asih mengut ip Keuskupan Agung M erauke, hampir semua penduduk M uyu, ant ara Sungai Kao dan perbat asan mengungsi ke PNG. Akibat nya, semua kampung kosong, kecuali M indipt ana dan Wanggat kibi. Penghuni kampung-kampung it u digiring keluar ke kamp penampungan pengungsi melalui perbat asan. Sebagian dengan sukarela, t et api sebagian besar karena t erpaksa, at au t epat nya dipaksa. Tercat at sekit ar 10.000 orang M uyu ikut arus pengungsian; ada yang menggabungkan diri dengan OPM , namun ada juga yang menunggu kesempat an unt uk kembali pulang ke kampung halamannya.

Kompas pada 21 Juni dan 17 Juli 1984, sebagaimana dikut ip Schoorl, mew art akan bahw a sekit ar 7.000 w arga48 dari Et nik M uyu menyeberang ke Papua New Guinea. M asih menurut cat at an it u pula, alasan pindah at au menyeberang t ersebut

47

Keuskupan Agung M erauke, 1999. Sejarah Gereja Kat olik di Irian Selatan, 227.

48

Terjadi perbedaan jum lah penduduk yang m engungsi antara cat at an milik Keuskupun Agung M erauke dengan Kom pas yang dikutip oleh Schoorl.

karena mereka t idak puas dengan keadaan di daerah mereka, mereka berharap menemukan kondisi kesejaht eraan yang lebih baik di pengungsian. Pada akhir t ahun 1992, hanya sebagian dari mereka yang kembali ke t empat asalnya it u, daerah M uyu at au sekit ar M erauke.49

Namun beberapa informan bercerit a berbeda t ent ang luka yang masih t erasa it u. M enurut mereka, sebenarnya sebagian besar dari mereka bukan pindah t et api dipaksa pindah, meninggalkan rumah. M ereka bukan menyebarang ke daerah perbat asan dengan Negara PNG, t et api dipaksa menyeberang. Bukt i pemaksaan it u adalah keharusan mengikut i perint ah, apabila menolak, mereka akan dibunuh. Akhirnya t idak ada lagi pilihan kecuali menurut i dan menyeberang, meninggalkan segala yang dimiliki di kampung halamannya.

Informan lain mencerit akan t ent ang pemaksaan dan kekejaman sekelompok orang it u. M enurut informan it u, salah sat u bukt i kekejaman it u menimpa kepala Kampung Sesnukt . Akibat menolak unt uk disuruh mengungsi, t elinga sebelah kiri kepala kampung it u dipot ong oleh mereka. Set elah dipot ong, t elinga it u dibakar dan disuruh memakannya50. Akibat nya, w arga lain t idak berani membant ah, dan menurut i penggiringan menuju lokasi pengungsian karena t idak ingin mengalami hal yang sama.

M obilisasi w arga ke t empat pengungsian oleh OPM it u, oleh beberapa informan digambarkan t idak ubahnya sepert i penggembala yang sedang menggiring t ernaknya ke t empat padang rumput . Di baw ah t ekanan dan ancaman, beribu-ribu

49

Schoorl, 1997. Kebudayaan dan Perubahan Suku M uyu, xii.

50

Rosa M ianip, 56 t ahun, pernah bert em u dengan kepala kam pung dim aksud di M indipt ana beberapa t ahun set elah perist iw a berdarah it u t erjadi. Hanya saja ia lupa t anggal, bulan, dan t ahunnya. Rosa mem ang m elihat telinga kam pung t ersebut , dalam kondisi daun telinga sebelah kiri habis t erpot ong, sedangkan daun telinga sebelah kanan, m asih tersisa separuhnya.

orang M uyu berjalan menyusuri jalan set apak di pedalaman hut an, menuju lokasi pengungsian.

Salah seorang di ant ara ribuan orang yang digiring secara paksa it u adalah Pius Birak, 69 t ahun. Saat perist iw a it u t erjadi, Pius Birak adalah Kaur Pemerint ahan sekaligus merangkap sebagai komandan plet on (Dant on) Linmas Kampung Aw ayanka51. Pius Birak t idak akan pernah melupakan perist iw a t ragis it u. Sambil menunjukkan giginya yang nampak t elah ront ok, ia mengat akan, “ ..mereka t idak segan-segan melukai bahkan membunuh, ini akibat kekejaman mereka! ” .

Ia lalu mencerit akan, saat it u hari masih pagi, ia baru bangun t idur. Namun di luar rumahnya sudah banyak orang berkumpul dan menggedor-gedor pint u rumahnya. Orang-orang it u menyuruhnya dan seluruh anggot a keluarganya keluar rumah. Ikut bersama mereka menuju lokasi pengungsian. Tidak ada pilihan baginya keculai menurut inya. Akhirnya, ia, ist ri, dan ket iga anaknya besert a orang-orang Aw ayanka mengikut i sekelompok orang it u, meninggalkan rumah, t empat t inggalnya menuju lokasi pengungsian.

Dibut uhkan w akt u lebih dari dari dua hari perjalanan kaki unt uk mencapai lokasi pengungsian it u. Di t empat it ulah siksaan demi siksaan hari demi hari ia alami. Akibat nya, hampir selama enam bulan ia menderit a sakit .

“ ..saya diint erogasi oleh pim pinan m ereka, Yoakim Yoah nam anya. Saya m asih ingat dan tidak akan bisa m elupakan dia orang punya nam a. Kat anya saya adalah m at a-m at a Indonesia, nasionalis... dan m enghalang-halangi orang yang m au m engungsi… karena saya punya

51

Saat st udi ini dilakukan, Pius Birak m enjabat kepala Kampung Aw ayanka, Dist rik M indipt ana sejak t ahun 1991. At as jabat annya it u, ia m em peroleh “ gaji” sebesar 500 ribu per bulan dan dibayarkan set iap t iga bulan sekali.

jabat an saat it u sebagai Kaur Pemerint ahan dan Dant on Keam anan kam pung. Tidak puas hanya m engint erogasi, m ereka kem udian m em ukul saya punya m ulut dengan balok kayu. Akibat nya saya punya gigi-gigi ront ok. Gigi-gigi saya punya ada ront ok di t anah yang berlum pur. Kem udian gigi-gigi saya yang ront ok it u dikum pulkan bersam a lum purnya dan disuruh m akan. Saya kat akan, saya akan m akan, saya anggap ini saya punya m akanan. Saya punya gigi-gigi bersam a lum pur it upun lalu saya m akan. Besuknya, saya dint erogasi kem bali, dan dipukuli kem bali. Sam pai-sam pai saya sakit ham pir enam bulan lam anya.”

Pius Birak t idaklah sendiri, selain beberapa keluarga di Kampung Aw ayanka, saat it u, juga bersamanya adalah saudara sepupunya, Barnabas Kalo, ist ri, dan t ujuh anak-anaknya. Barnabas Kalo, saat perist iw a it u t erjadi adalah salah seorang guru di SKKP M indipt ana. Sebagaimana Pius Birak, ia juga dit uduh sebagai mat a-mat a negara Indonesia dan (dianggap) menghalang-halangi guru-guru yang hendak mengungsi. Barnabas Kalo menut urkan,

“ ..saat it u m usim hujan. Kami dipaksa ikut m ereka.. m ereka adalah anak-anak ket urunan M uyu juga.. kalau m enolak.. mereka akan m em ukul dan m em anah kam i. Tidak ada pilihan, kecuali m engikut i m ereka, m enyeberang, dan m engungsi m enuju lokasi yang berada di zona bebas it u, ant ara w ilayah RI dan PNG. Saya ada dit uduh sebagai m at a-m at a Indonesia dan dianggap m enghalang-halangi guru-guru m engungsi” .

Sement ara, t ernyat a masih t ersisa juga sebagian w arga lokal yang t idak ikut mengungsi karena berhasil lolos dari penggiringan dan lari ke barak t ent ara yang berada di M indipt ana memint a perlindungan. It ulah mengapa, dua kampung (M indipt ana dan Wanggat kibi) t idak sepenuhnya kosong

dit inggalkan oleh penghuninya. Bersama w arga pendat ang yang ada di M indipt ana, mereka kemudian diangkut menggunakan helikopt er dit erbangkan ke M erauke.

Seorang informan, H. Najamuddin mengisahkan, “ ...saat it u bulan Ram adlan, t egang dan m encekam sekali suasananya. Saat w akt u m akan sahur, sem ua penduduk yang t idak ikut m enyeberang, kebanyakan w arga pendat ang… t api, di ant ara m ereka ada juga penduduk lokal yang berhasil m enyelam at kan diri karena lari ke m arkas t ent ara... diangkut m enggunakan pesaw at helikopt er yang t elah disediakan oleh pem erintah. Beberapa helikopt er nam pak m endarat di lapangan sebelah kant or dist rik dan m engangkut orang-orang dibaw a ke M erauke.”

Pasca penggiringan it u, suasana kampung-kampung di sekit ar M indipt ana berubah menjadi benar-benar lengang. Bagai sebuah kot a mat i, kosong t idak berpenghuni. Rumah-rumah kosong dit inggalkan pemiliknya dan t inggal menyisakan hew an-hew an t ernak peliharaan mereka. Kampung-kampung di sekit ar M indipt ana t iba-t iba berubah menjadi kot a m at i; sunyi, sepi, t idak berpenghuni!

Di t ambah lagi, bunyi t embakan, kont ak senjat a ant ara t ent ara (ABRI saat it u) dengan gerombolan OPM it u, hampir set iap hari t erdengar. “ Kot a ini sepi, hampir t idak ada yang t inggal, dan t embak-menembak t erjadi hampir set iap hari” , kenang M ukayyin (60 t ahun).52

52

Saat perist iw a it u t erjadi, M ukayyin adalah salah seorang t ent ara yang berdinas di M erauke. Kini, pensiunan t ent ara it u sudah lebih dari 20 t ahun t inggal di kot a M indipt ana bersam a keluarganya. Kini ia dan keluarganya m em buka w arung m akan Sari Jaya-M indipt ana dan juga m enyediakan barang-barang kebut uhan sehari-hari. Di sam ping itu, ia juga m em iliki sebuah penginapan yang berada persis di sebelah rum ahnya.

Oleh karena it u, bagi kebanyakan w arga M indipt ana, perist iw a it u benar-benar menyakit kan dan masih menyisakan luka. Sehingga, perist iw a it u masih dicat at sebagai sebuah t ragedi yang hingga kini masih menyisakan luka yang begit u perih. Luka yang begit u menyesakkan dada, t erut ama bagi orang-orang yang mengalaminya, apabila mengingat nya.

Selain Pius Birak dan Barnabas Kalo besert a keluarga, Rosa M ianip, 56 t ahun, juga ada di ant ara ribuan pengungsi it u. Rosa lupa menyebut kan t anggal kejadian yang menimpa dirinya it u. Ia hanya mengingat , bahw a perist iw a yang membuat nya t rauma hingga saat ini t ersebut t erjadi pada bulan Juni 1984, saat hari menjelang malam.

“ ...pagi it u, sekit ar jam set engah enam pagi saya ada ke Puskesm as karena ada pasien yang m au melahirkan. Sekit ar jam enam saya sudah sam pai di Puskesmas. Tidak ada seorang pet ugas kesehat an pun di Puskesmas, kecuali pasien yang sudah m enunggu saya. Saya m enunggu saat kelahiran pasien… sekit ar jam set engah em pat sore, pasien it u m elahirkan. Set elah selesai m enolong persalinan, set engah enam saya ada pulang ke rum ah di Kam pung Andopbit . Di sepanjang perjalanan pulang, jalanan sepi t idak ada orang yang saya jum pai. Begit u pula di kam pung saya, sepi... Saya berpikir, ada apa? Kem ana sem ua orang? Sam pai di rum ah saya lebih kaget lagi karena suam i dan dua orang saya punya anak, juga t idak ada. Saya pergi keluar rum ah, hendak m encari m ereka. Di ujung jalan m asuk kam pung, saya ada bert em u enam orang. M ereka ada m em baw a busur dan anak panah, parang, dan kapak. Saya t idak kenal m ereka.. kem udian m ereka m enangkap saya, dan bert anya, ibu ikut kah t idak? Saya t anya, ikut kem ana? M ereka t idak ada m enjaw ab... Kem udian mereka m em baw a saya sam bil m enut up m ulut saya. Saya

dibaw a ke arah Kali Oga yang t idak jauh dari rum ah saya. Di kali it u, sudah ada em pat perahu penuh dengan orang-orang. Saya disuruh naik perahu, t idak lam a kem udian perahu it u jalan. Saya bingung dan t akut… m au dibaw a kem ana? Kem udian perahu berhent i di kam pung Sesnukt . Orang-orang disuruh t urun, di saat it u saya bert em u dengan saya punya suami dan dua anak saya punya... anak saya yang pert am a perem puan umur lim a t ahun dan anak kedua laki-laki um ur set ahun... lalu kam i sem ua digiring m asuk ke hut an.. kami semua berjalan selama em pat hari em pat m alam... kam i berhent i di sebuah kam pung. Saya tidak t ahu nam a kam pungnya, hanya saja kam pung it u sudah ada penduduk t inggal, t api t idak banyak” .

Selama di perjalanan rombongan it u hanya makan dan minum apa yang dit emui di sepanjang perjalanan. “ …dalam perjalanan kami hanya makan apa yang kami t emui... kalau malam kami berhent i, ist irahat . Kalau hujan t iba, kami ada buat t empat bert eduh dan t idur dari pelepah sagu” . Di perkampungan it u, ia dan keluarganya “ t inggal” selama dua bulan. Set elah dua bulan it u, ia dan keluarganya “ pindah” ke Kampung Kuyu yang berada di w ilayah PNG. Di kampung ini, ia dan keluarganya besert a orang-orang yang digiring bersamanya t inggal selama dua t ahun.

“ ..kami t inggal di kam pung it u..saya lupa nam anya, selam a ham pir dua bulan. Pakaian yang kam i kenakan hanya yang m elekat di badan. Sam pai sobek-sobek kam i punya baju karena t idak punya gant i... M ereka suka bent ak-bent ak saya dan suam i. M ereka bilang, enak ya kam u m akan gaji but a… kam u orang m akan sogokan dari negara Indonesia! Saya diam saja t idak berani m enjawab dan t idak m engert i m aksudnya. Sam pai suat u saat saya punya suam i mereka ada siksa… dim asukkan kurungan

selam a seminggu karena saya punya suam i53 dianggap orang pem erint ah. Set elah sekit ar dua bulan it u, kam i ada pindah ke Kam pung Kuyu, sudah m asuk w ilayah Nugini. Di kam pung it u, kami ada t inggal selam a dua t ahun dan bikin rum ah dari gaba-gaba (pelepah sagu) unt uk t em pat t inggal.”

Di kampung dan negara orang lain it u, ia hidup mengandalkan belas kasihan orang lain, orang M uyu yang berada di negara PNG. Set elah menet ap sekit ar dua t ahun di negeri orang t ersebut , t epat t anggal 26 Januari 1987, ia dan keluarganya dipulangkan ke M indipt ana. “ ...di kampung Kuyu it u ada t inggal orang-orang dari Et nik M uyu t oh, jadi mereka suka kasih garam juga kasih pakaian kepada kami. Lalu, kami dipulangkan naik pesaw at Cesna, t urun di airport M indipt ana” .

Set elah kembali ke kampung halamannya, t idak lama kemudian, set elah menjalani pemeriksaan oleh pihak milit er Indonesia, ia kembali bekerja sepert i semula, sebagai peraw at sekaligus bidan di Puskesmas M indipt ana. Namun t ernyat a, cerit a sedih kembali menimpanya sekit ar sepuluh t ahun kemudian. Perist iw a t ahun 1993 it u benar-benar membuat nya semakin t rauma. Hanya saja, kali ini, pelakunya bukan OPM , t et api pihak milit er Indonesia.

“ …saya m asih suka m enangis kalau m engingat kejadian it u... saya lupa t anggal dan bulannya, t api t ahunnya ingat , t ahun 1993.. dua hari sebelum nya, ada t ent ara yang m enyam paikan ke saya… m am a, nant i kalau m am a dit anya, kalau m em ang bet ul m am a lakukan, m am a m engaku saja… Tapi, saat it u saya t idak paham m aksudnya. Baru set elah kejadian, saya jadi m engert i.. rupanya saya dianggap bagian dari orang-orang itu...

53

Saat peristiw a it u t erjadi, suam i Rosa M ianip adalah pet ugas kesehat an di Puskesm as M indipt ana.

(m aksudnya OPM , pen). Hari it u saya ada kerja di Puskesm as, lalu saya dibaw a t ent ara… saya dit anya sam bil mereka ada bent ak saya… m ama kenal Arnoldkah? Kam u juga anggot a Arnold kan? Saya bilang, … bapak saya m em ang t ahu orang it u punya nam a, tapi saya t idak kenal orangnya. Tent ara it u t idak percaya, sam bil t erus bent ak-bent ak saya... m ereka lalu kubur saya… saya dim asukkan ke galian t anah dan ada dit im bun sam pai sebat as saya punya leher... saya bilang, bapak… bapak kalau hukum saya, t olong sesuai saya punya salah... t et api m ereka t idak m endengarkan saya... m ulai jam sem bilan pagi saya dikubur.... sekit ar jam enam sore saya dilepaskan… saya boleh pulang… ada sekit ar enam orang yang dihukum sepert i saya. Saya ada t raum a sekali… sam pai t iga hari saya t idak bisa m akan... set iap m au m akan, rasanya ada yang m enut up saya punya kerongkongan… t api m eskipun t idak bisa m akan, saya t et ap m asuk ada kerja m em beri pelayanan di Puskesm as.”

Oleh sebab it u, t idaklah mengherankan, meskipun set elah puluhan t ahun t ragedi berdarah it u berlalu, ket ika dimint a unt uk mengingat dan (apalagi) berbagi cerit a, ibu empat anak ini akan langsung menangis dan menunjukkan rasa ket idak-senangannya. “ ..saya biasanya memilih pergi kalau ada orang-orang bicara-bicara t ent ang kejadian it u, saya sukan sedih dan menangis apabila mengingat nya… saya t idak mau mengingat nya…” .

Banyak pihak mengakui, bahw a pelarian it u dianggap sebagai sebuah langkah mundur dalam proses perkembangan masyarakat di daerah ini. Pengungsi menjadi t amu di rumah orang lain, meskipun penduduk PNG adalah keluarga karena t erdapat pula Et nik M uyu yang t inggal, menet ap, dan menjadi w arga negara t ersebut . Kondisi ini mengakibat kan sebagian besar para pengungsi it u merasa t idak bet ah t inggal dalam

pengungsian. M ereka t idak lagi bekerja, anak-anak t idak bersekolah, ruang gerak mereka t erbat as dan sangat t ergant ung dari kebaikan hat i si t uan rumah, w arga negara PNG.

Selama berada di t empat pengungsian t idak ada hal berart i yang dapat dikerjakan oleh para pengungsi. Tidak t ersedia rumah t inggal layak sepert i yang dijanjikan dan diharapkan. M ereka hanya t inggal di bevak-bevak yang dibangun secara darurat . Set iap hari mereka hanya menokok sagu, mencari pucuk nibung dan memancing ikan di raw a-raw a sekit ar lokasi pengungsian unt uk dimakan. Barnabas Kalo menut urkan,

“ Selam a berada di lokasi pengungsian, t idak ada yang dapat kam i buat ... kami selalu diaw asi oleh m ereka... kam i hanya m enokok sagu dan m encari pucuk nibung unt uk di m akan, pergi m em ancing di raw a-raw a sekit ar lokasi unt uk lauknya… anak-anak t idak ada pergi sekolah. Bagaim ana m au sekolah, sekolah pun t idak ada... Kondisinya benar-benar m enyedihkan. Kondisi ini pula kem udian yang m em buat sekolah di M indipt ana akhirnya t ut up karena t idak ada guru dan m uridnya.”

Set elah sekit ar dua t ahun di t empat pengungsian, 1987, Barnabas Kalo, Pius Birak, dan sekit ar lima keluarga kembali ke rumah dan kampung halamannya, di w ilayah M indipt ana. Pulang ke kampung halaman it u t idaklah ia lakukan sendiri, t et api bersama penduduk lain yang mau pulang bersamanya.

“ ..kami bisa pulang set elah lim a pim pinan kelom pok it u dit angkap oleh pihak m ilit er PNG at as kerjasam a dengan Indonesia pada bulan Novem ber 1985. M eskipun dem ikian, kam i t idak berani langsung pulang karena oleh pem erint ah Indonesia kami juga dianggap bagian dari OPM it u... Kami baru berani pulang karena kami ada m endengar presiden Soehart o sudah kasih kam i am nest i. Kami dipulangkan ke M indipt ana dengan

pesaw at yang t elah disediakan oleh PNG at as kerjasam a dengan Indonesia.”

Sebagaimana cat at an Keuskupan Agung M erauke, pada permulaan hanya beberapa orang saja yang kembali, t et api kemudian mereka kembali dalam rombongan, dit erbangkan dari Kiunga ke M indipt ana. Sesudah dit ampung beberapa hari di asrama, mereka diijinkan pulang ke kampung halamannya masing-masing. Sesudah sebelas t ahun berlalu, 1984-1995, kira-kira sebanyak 3.500 orang kembali dan bermukim di kampung halamannya. Kehidupan di M uyu pun lama kelamaan menjadi normal kembali.54

Namun, set elah lebih dari seperempat abad berlalu, menurut Barnabas Kalo dan Pius Birak, saat ini masih t erdapat sekit ar 10.000 orang yang t inggal di pengungsian it u. Sebagai w arga pengungsian, st at us kew arga-negaraan mereka t idak jelas. Unt uk sement ara ini mereka “ t ercat at ” sebagai w arga negara

Dalam dokumen Perempuan Muyu dalam Pengasingan pdf (Halaman 75-87)