• Tidak ada hasil yang ditemukan

7.1 Campur Kode dalam Penggunaan Bahasa Guyub Tutur Masyarakat Bali di Parigi

7.1.1 Macam-macam wujud campur kode

Berdasarkan unsur-unsur yang terlibat di dalamnya, campur kode dapat dibedakan menjadi beberapa macam.

(1) a. Penyisipan unsur bahasa berupa kata bahasa Indonesia: Data 24

K1 : Sampun sue deriki, Pak Wayan? „Sudah lama di sini, Pak Wayan?‟

K3 : Setelah nika mangkin ampun akeh nika umate. „Setelah itu sekarang sudah banyak umatnya.‟

Data 28

K1 : Jak liu ne, Pak?

„Dengan banyak orang, Pak?‟

K2 : Spontan kenten, anak jeg teka dadua, teka telu, teka papat, kenten! „Spontan begitu, kadang datang dua, datang tiga, datang empat,

begitu!‟

K3 : Jak liu nika, yab tiange datang.

„Banyak orang yang sebaya dengan saya datang.‟

Data 18

K8 : Yen hasilne luung, liu maan.

„Kalau hasilnya bagus, banyak dapat.‟

Data 24, khususnya pada K1 dan K3, dapat digolongkan sebagai fenomena campur kode. Masuknya serpihan-serpihan BI, yaitu kata /pak/

pada K1 dan kata /setelah/ pada K3 dalam pemakaian BB membuktikan bahwa pada kedua kalimat tersebut terdapat fenomena campur kode.

Kata /pak/ merupakan singkatan dari kata /bapak/ dan tergolong bentuk asal dengan kategori nomina, sedangkan kata /setelah/ merupakan kata turunan yang dibentuk oleh prefiks {se-} dan bentuk asal /telah/ dengan kategori adverbia. Berhubung kedua kata tersebut merupakan serpihan-serpihan bahasa Indonesia yang masuk dalam pemakaian BB, kedua kata tersebut dapat digolongkan sebagai fenomena campur kode. Dalam hal ini, campur kode tersebut termasuk campur kode ke dalam. Maksudnya, dilihat dari segi kekerabatan bahasa, campur kode tersebut terjadi pada bahasa serumpun, yaitu antara BB dan BI.

Data 28 pun demikian. Bercampurnya serpihan-serpihan kosakata BI ke dalam pemakaian BB dapat digolongkan sebagai fenomena campur kode. Maksudnya, bercampurnya kosakata /datang/ pada K3, kosakata /pak/, pada K1 dan kosakata /spontan/ pada K2 telah menyebabkan terjadinya fenomena campur kode. Berhubung kotakata BI yang masuk ke dalam pemakaian BB itu tergolong masih serumpun, fenomena kebahasaan tersebut dapat digolongkan sebagai campur kode ke dalam. Dalam hal ini, kata /datang/, /pak/, dan /spontan/ masing-masing termasuk bentuk asal dengan kategori nomina pada kata /pak/, adjektiva pada kata /spontan/, dan verba pada kata /datang/.

Demikian juga K8 pada data 18. Masuknya serpihan-serpihan kata /hasilne/ „hasilnya‟ pada K8 dapat digolongkan sebagai fenomena campur

kode. Dalam hal ini, telah terjadi campur kode dalam wujud kata kompleks. Kata kompleks adalah kata yang dibentuk oleh dua unsur bahasa atau lebih, seperti kata /hasilne/ „hasilnya‟. Kata /hasilne/ dibentuk oleh unsur BI /hasil/ dan unsur BB /-ne/. Dengan kata lain, kata /hasilne/ dibentuk oleh kata dasar /hasil/ dan sufiks {-ne}. Dengan demikian, masuknya kosakata BI, yaitu /hasil/ dalam pemakaian BB dapat digolongkan sebagai fenomena campur kode. Campur kode tersebut tergolong campur kode ke dalam karena terjadi pada bahasa yang serumpun.

b. Penyisipan unsur-unsur yang berwujud kata bahasa Bali: Data 25

K8 : Kalau teman-teman Kaili itu lebih banyak meniru ke teman-teman Bali dan teman-teman Bugis cara bercocok tanam atau mengerjakan lahan pertanian, kenten.

„Kalau teman-teman Kaili itu lebih banyak meniru teman-teman Bali dan teman-teman Bugis cara bercocok tanam atau mengerjakan lahan pertanian, begitu.‟

Data 26

K3 : Ada Pak, kadang liu. „Ada Pak, kadang banyak.‟

Data 27

K5 : Hari Senin itu ngajain agama dan seterusnya. „Hari Senin itu mengajar agama dan seterusnya.‟

K8 : Misalnya hari Jumat dikumpul 1x sing, tergantung jadwal. „Misalnya hari Jumat dikumpul 1x tidak, tergantung jadwal.‟

Data 30

K3 : Sapunapi bahasa Bali-nya? „Bagaimana bahasa Bali-nya?‟

K6 : Jadi, untuk bahasa, bahasa Bali yang tidak matata itu dipertahankan, tetap anak-anak tahu.

„Jadi, untuk bahasa, bahasa Bali yang tidak beraturan itu dipertahankan, tetap anak-anak tahu.‟

Data 28

K8 : Waktu pertama deriki, berapa KK, Pak? „Waktu pertama di sini berapa KK, Pak?‟

Data 18

K5 : Ya lumayanlah jani penghasilan coklat.

„Ya, lumayanlah sekarang penghasilan coklat.‟ K6 : Biasanya satu bulan maan satu juta.

Data 27

K10 : Ya, di SMP Negeri 1 siswane kira-kira ada 26 orang. „Ya, di SMP Negeri 1 siswanya kira-kira ada 26 orang.‟

Data 24

K10 : Artinya, pindah ke asalnya wenten 60-an KK. „Artinya, pindah ke asalnya ada 60-an KK.‟

Jika diperhatikan secara saksama K8 pada data 25, tampak sekali pemakaian BI tersebut telah bercampur dengan kosakata BB. Masuknya serpihan-serpihan BB, yaitu /kenten/ „begitu‟, telah menyebabkan terjadinya fenomena campur kode. Campur kode ini tergolong campur kode ke dalam karena terjadi pada bahasa yang serumpun. Penyebab campur kode tersebut tiada lain untuk menegaskan tuturan sebelumnya.

Kalimat 10 pada data 24 dapat juga digolongkan fenomena campur kode. Masuknya kosakata BB, /wenten/ „ada‟, dalam pemakaian BI telah menimbulkan terjadinya fenomena campur kode. Kata /wenten/ „ada‟ termasuk kata dasar dengan kategori verba.

Campur kode di atas dapat digolongkan sebagai campur kode ke dalam karena bahasa yang bercampur termasuk bahasa serumpun, yaitu antara BB dan BI. Maksudnya, percampuran bahasa itu terjadi pada bahasa-bahasa yang masih sekerabat.

Kata /jani/ „sekarang‟ pada K5 data 18 termasuk kosakata BB yang masuk dalam pemakaian BI. Kata /jani/ termasuk kata dasar dengan kategori

adverbial. Masuknya serpihan-serpihan BB ke dalam pemakaian BI menyebabkan terjadinya fenomena campur kode. Dalam hal ini, fenomena kebahasaan tersebut tergolong campur kode ke dalam karena bahasa yang bercampur termasuk dalam lingkungan bahasa yang sekerabat.

Selain K5, pada data 18 juga ditemukan fenomena campur kode, terutama pada K6. Kata /maan/ „dapat‟ pada K6 termasuk kata dasar dengan kategori verba. Kosakata BB, /maan/ „dapat‟ pada K6 masuk ke dalam pemakaian BI sehingga K6 dapat digolongkan sebagai campur kode. Dalam hal ini, campur kode itu tergolong campur kode ke dalam karena percampuran bahasa tersebut masih dalam keadaan serumpun.

Kalimat 6 pada data 26 juga dapat digolongkan sebagai fenomena campur kode. Masukya kosakata BB, /liu/ „banyak‟, ke dalam pemakaian BI telah menyebabkan terjadinya fenomena campur kode. Dalam hal ini, campur kode itu tergolong campur kode ke dalam karena fenomena kebahasaan tersebut masih serumpun. Kosakata BB /liu/ „banyak‟ pada K6 termasuk kata dasar dengan kategori adjektiva.

Kalimat 5 dan 8 pada data 27 juga dapat digolongkan sebagai fenomena campur kode. Mengapa demikian? Pertama, kosakata BB /ngajain/ „mengajarkan‟ masuk ke dalam pemakaian BI. Kedua, kosakata BB /sing/ „tidak‟ masuk ke dalam pemakaian BI. Dengan demikian, serpihan-serpihan BB yang masuk ke dalam pemakaian BI dapat digolongkan sebagai fenomena campur kode.

Kata /ngajain/ „mengajarkan‟ dalam BB tergolong kata kompleks. Kata tersebut dibentuk oleh kata dasar /ajah/ dan konfiks {ng-in}, sedangkan kata /sing/ „tidak‟ dalam BB merupakan singkatan dari kata /tusing/ „tidak‟. Dalam hal ini, telah terjadi penghilangan suku kata awal. Berhubung kedua kosakata BB itu masuk ke dalam pemakaian BI, muncullah fenomena campur kode, seperti tampak pada K5 dan K8. Campur kode ini tergolong campur kode ke dalam karena terjadi pada bahasa yang serumpun.

Data 30, terutama K3 dan K6, dapat digolongkan sebagai fenomena campur kode. Hal ini terjadi karena masuknya serpihan-serpihan BB dalam pemakaian BI. Masuknya kosakata BB /sapunapi/ „bagaimana‟ dapat digolongkan sebagai serpihan-serpihan BB yang masuk dalam pemakaian BI. Hal ini mengakibatkan terjadinya fenomena campur kode.

Demikian juga K6 pada data 30. Masuknya kata BB /matata/ „menurut aturan‟ ke dalam pemakaian BI dapat mengakibatkan terjadinya fenomena campur kode. Kata /matata/ „menurut aturan‟ pada K6 tergolong kata turunan karena kata itu dibentuk oleh kata dasar /tata/ „aturan‟ dan prefiks {ma-}. Gabungan kedua unsur bahasa inilah membentuk kata jadian /matata/ „menurut aturan‟.

Tuturan K8 pada data 28 juga dapat digolongkan sebagai fenomena campur kode. Campur kode ini terjadi karena masuknya serpihan BB, yaitu kata /deriki/ „di sini‟ dalam pemakaian BI. Kata /deriki/ „di sini‟ dalam bahasa Bali tergolong ragam bahasa Bali halus. Kosakata ini sering digunakan oleh penutur jika berbicara dengan mitra wicara yang status sosialnya lebih tinggi,

seperti halnya K8 pada data 28. Campur kode ini tergolong campur kode ke dalam karena percampuran bahasa tersebut masih dalam ruang lingkup bahasa serumpun.

Pada data 27, terutama K10, dapat digolongkan sebagai fenomena campur kode. Masuknya morfem {-ne} pada kata /siswa/ dalam pemakaian BI mengakibatkan terjadinya fenomena campur kode. Dalam hal ini, kata /siswane/ „siswanya‟ merupakan campuran antara kata /siswa/ dalam BI dan sufiks {-ne} dalam BB. Dengan demikian, masuknya serpihan BB berupa sufiks {-ne} dalam pemakaian BI dapat digolongkan sebagai fenomena campur kode.

(2) a. Penyisipan frasa bahasa Indonesia: Data 24

K2 : Sampun wenten minabang tiang 25 tahun lebih. „Sudah ada saya kira 25 tahun lebih.‟

Data 28

K4 : “Ne tetep ngoyong dini di kampung Bali niki tiang gen ba.” „Yang tetap tinggal di sini di kampung Bali ini saya saja.‟

Penyisipan unsur-unsur yang berwujud frasa dalam BI dapat dilihat pada data 24 pada K2. Masuknya unsur frasa BI, yaitu //25 tahun lebih//, dalam pemakaian BB pada K2 dapat digolongkan sebagai fenomena campur kode. Dalam hal ini, fenomena kebahasaan tersebut tergolong campur kode ke dalam. Mengapa demikian? Pertama, serpihan-serpihan frasa BI itu telah

masuk ke dalam pemakaian BB. Kedua, percampuran bahasa tersebut terjadi pada bahasa yang serumpun, yaitu antara BB dan BI.

Kalimat 4 pada data 28 pun demikian. Masuknya unsur-unsur frasa BI, yaitu //di kampung Bali//, dalam pemakaian BB dapat digolongkan sebagai fenomena campur kode. Fenomena kebahasaan ini pun tergolong campur kode ke dalam karena percampuran bahasa tersebut masih dalam satu rumpun.

b. Penyisipan unsur-unsur frasa dalam bahasa Bali: Data 26

K2 : Kadang-kadang ada masi kawin campur, Pak Nyoman? „Kadang-kadang ada juga kawin campur, Pak Nyoman?‟

Data 26 pada K2 juga menunjukkan terjadinya fenomena campur kode. Campur kode ini terjadi antara BB dan BI yang dapat dikatakan masih serumpun. Frasa BB, yaitu //ada masi// „ada juga‟, merupakan serpihan-serpihan yang masuk dalam pemakaian BI. Dengan demikian, fenomena kebahasan tersebut dapat digolongkan sebagai fenomena campur kode, dalam hal ini, sebagai campur kode ke dalam.

Macam-macam wujud campur kode tersebut diringkas seperti pada bagan di bawah ini.

Macam-macam Wujud Campur Kode

Penyisipan unsur-unsur berwujud frasa Penyisipan unsur-unsur

berwujud kata

Bagan 7.1

Macam-macam Wujud Campur Kode dalam Penggunaan Bahasa Guyub Tutur Masyarakat Bali di Parigi