• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR PUSTAKA

C. Macam-Macam Makanan

1. Makanan Halal

Kata halal berasal dari akar kata halla yang berarti lepas atau tidak terikat. Sesuatu yang halal adalah yang terlepas dari ikatan bahaya duniawi dan ukhrawi, karena itu kata halal juga berarti boleh. Dalam bahasa hukum, kata ini mencakup segala sesuatu yang dibolehkan agama, baik kebolehan itu bersifat sunnah (aturan untuk dilakukan), makruh (anjuran untuk ditinggalkan), maupun mubah (netral/boleh-boleh saja). Karena itu boleh jadi ada sesuatu hal, tetapi tidak dianjurkan atau dengan kata lain hukumnya makruh.10

Makanan halal adalah makanan yang tidak haram, yakni yang tidak dilarang oleh agama, namun tidak semua makanan yang halal otomatis baik. Makanan yang baik ialah makanan yang dibenarkan untuk dimakan oleh ilmu kesehatan. Makanan yang halal lagi baik inilah yang diperintahkan oleh Allah untuk memakannya. Makanan yang dibenarkan oleh ilmu kesehatan sangat banyak dan pada dasarnya dibolehkan memakannya.

9 As-Suyuti, Imam Jalaluddin al-Mahalli dan Imam Jalaluddin. 2011. Tafsir

Jalalain, Bandung: sinar Bara Algesindo,h. 87

bilamana Allah dan RasulNya mengharamkan. Tiap orang mukmin hendaknya mentaati ketentuan-ketentuan Allah jika benar-benar

menyembahNya, dia harus mentaati perintah dan menjauhi

laranganNya.Adapun pendapat para fuqaha’ tentang binatang yang boleh dimakan, mereka berpendapat, bahwa binatang tersebut dihubungkan dengan sembelihan syara’ ada 3 macam: binatang air, binatang darat serta binatang amfibi yaitu:

a. Adapun binatang air: binatang yang tidak bisa hidup di darat kecuali hanya di air.

Dalam hal ini ada 2 pendapat:

1. Pendapat Hanafiyah: seluruh binatang yang ada di air itu haram dimakan kecuali ikan. Ikan itu halal tanpa disembelih kecuali jika mengapung di air.

2. Pendapat jumhur selain Hanafiyah: binatang air seperti ikan, kepiting, ular air, anjing laut halal tanpa disembelih. Jika binatang tersebut mati dengan sendirinya atau dlohir seperti terhantam karang, mati akibat dibunuh, atau mati karena surut airnya, baik bergerak atau tidak ambillah dan sembelihlah. Namun jika ikan tersebut mati karena sakit atau diracun maka ikan tersebut haram karena membahayak.

b. Binatang darat: binatang yang tidak bisa hidup kecuali di daratan. Binatang tersebut ada 3 macam:

1. Binatang yang tidak mempunyai darah, seperti belalang, lalat, jankrik, tawon, semut, kalajengking serta serangga yang berbisa tidak halal kecuali hanya belalang, karena selain belalang binatang tersebut sangat menjijikkan.

2. Binatang yang tidak mempunyai darah yang mengalir, seperti ular yang tidak berbisa, seluruh binatang-binatang kecil, hama tanah, baik berupa tikus, landak, tupai, ataupun biawak. Binatang tersebut diharamkan karena termasuk binatang yang kotor dan beracun.

liar. Adapun binatang jinak yang dihalalkan seperti unta, sapi, dan kambing.

c. Binatang amfibi: binatang yang bisa hidup di air maupun di laut secara bersamaan seperti katak, kura-kura, kepiting, ular, air, buaya, anjing laut. Dalam hal ini ada 3 pendapat:

1. Pendapat Hanafiyah dan Syafi’iyah bahwa binatang tersebut hukumnya haram dimakan karena tergolong binatang kotor apalagi ular.

2. Pendapat Malikiyah memperbolehkan makan katak dan sejenisnya, karena tidak ada nash dalam alquran yang mengharamkannya.

3. Pendapat Hanabilah dalam hal ini merinci lebih lanjut bahwa tiap-tiap binatang yang hidup di darat dan di laut tidak halal, kecuali bila disembelih, seperti anjing laut, ular laut dan sejenisnya, kecuali kepiting karena tidak mempunyai darah sehingga boleh dimakan tanpa disembelih.

2. Makanan Haram

Sebagai lawan dari halal adalah haram, yaitu sesuatu atau perkara-perkara yang dilarang oleh syara’. Makanan yang haram itu berakibat terhalangnya doa kita sekaligus dapat menggelapkan hati kita untuk cenderung kepada hal-hal yang baik, bahkan dapat mencampakkan diri ke dalam neraka.. Setelah Allah menjelaskan makanan-makanan yang baik, kemudian Allah menjelaskan beberapa makanan yang diharamkan.

Adapun binatang yang diharamkan untuk dikonsumsi oleh kaum muslimin dapat digolongkan menjadi 6 bagian:

a. Bangkai, darah, daging babi, binatang yang disembelih dengan tidak disebut nama Allah.

b. Semua binatang yang dapat hidup lama di dua alam, seperti buaya, katak, penyu, dan sebagainya.

c. Binatang yang bertaring kuat, seperti harimau, anjing, srigala, kucing, kera dan sebagainya.

garuda, burung kakak tua, nuri, rajawali dan sebagainya.

e. Binatang yang diperintahkan untuk dibunuh, misalnya ular, anjing galak, kalajengking, burung elang, dan sebagainya.

f. Binatang yang dilarang dibunuh, seperti semut, tawon dan burung hud-hud.11

3. Penafsiran

Syukur adalah mengakui dengan tulus bahwa anugerah yang diperoleh semata-mata bersumber dari Allah sambil menggunakannya sesuai tujuan penganugerahannya, atau menempatkannya pada tempat semestinya.12 Di dalam ayat ini, khitab Allah ditujukan kepada orang-orang yang beriman secara khusus. Mereka ini akan lebih sensitif pemahamannya, disamping bias menerima hidayah. Karenanya, Allah memerintahkan kepada orang-orang beriman agar memakan barang-barang yang halal dan bersyukur kepada Allah atas karunia yang dilimpahkan kepada mereka. Kemudian

Allah menjelaskan makanan yang diharamkan. Sebagaimana

pemberitahuan, bahwa makanan yang diharamkan itu berjumlah sedikit, dan kebanyakan makanan yang merupakan ciptaan Allah itu dihalalkan.13

Allah telah menyeru orang-orang yang beriman agar menerima hukum syariat Allah, juga agar mengambil apa yang halal dan meninggalkan yang haram. Dan, Allah mengingatkan kepada mereka bahwa Dia sematalah pemberi rezeki dan membolehkan kepada mereka memanfaatkan makanan-makanan yang baik dari apa yang telah Dia rezekikan. Maka, Allah memberitahu mereka bahwa Dia tidak melarang untuk mengambil yang baik dari rezeki itu dan Allah melarang hambaNya agar meninggalkan sesuatu yang tidak baik dari rezeki itu.

Pelarangan ini bukan karena Allah menginginkan agar mereka mengalami kesulitan dan kesempitan dalam mencari rezeki, tetapi agar mereka sebagai hamba bisa mensyukuri apa-apa yang berasal dari Allah dan

11Shihab, Wawasan al-Qur’an, h. 148

12Mahmudiyah, Makanan Menurut, h.-48

penyekutuan.

Kemudian, Allah melanjutkan penjelasan tentang apa-apa yang diharamkan dari makanan dengan suatu bentuk nash yang dibatasi dengan penggunaan adatul qashri (perangkat pembatasan) yakni “innamaa”:

ﺎَﻤﱠﻧِإ َمﱠﺮَﺣ ُﻢُﻜْﯿَﻠَﻋ َﺔَﺘْﯿَﻤْﻟا َمﱠﺪﻟاَو َﻢْﺤَﻟَو ِﺮﯾِﺰْﻨِﺨْﻟا ﺎَﻣَو ﱠﻞِھُأ ِﮫِﺑ ِﺮْﯿَﻐِﻟ ِﱠﷲ

Artinya: “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai,

darah, daging babi dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah”.14

Bangkai ialah nama binatang yang mati, bukan karena disembelih secara syara’. Terkadang bangkai itu binatang yang mati dengan sendirinya bukan sebab manusia. Meskipun juga terkadang karena ulah manusia tetapi tidak melalui penyembelihan yang disyari’atkan. Yang dimaksud haramnya bangkai hanyalah soal memakannya. Adapun memanfaatkan kulit, tanduk, tulang atau rambutnya tidaklah terlarang. Rasulullah SAW bersabda:

اﻮُﻟﺎَﻘَﻓ ؟ْﻢُﺘْﻌَﻔَﺘْﻧﺎَﻓ ُهﻮُﻤُﺘْﻐَﺑَﺪَﻓ ﺎَﮭَﺑﺎَھِإ ْﻢُﺗْﺬَﺧَأ ﱠﻼَھ :

َلﺎَﻘَﻓ ٌﺔَﺘْﯿَﻣ ﺎَﮭﱠﻧِإ :

ﺎَﮭَﻠْﻛَأ َمﱠﺮَﺣ ﺎَﻤﱠﻧِإ

Artinya: “mengapa tidak kamu ambil kulitnya, kemudian kamu samak dan

memanfaatkan? Para sahabat menjawab, itu kan bangkai. Maka jawab Rasulullah, yang diharamkan itu hanyalah memakannya.”

Hadis tersebut menjelaskan bahwa menyamak kulit itu sama dengan menyembelih untuk menjadikan kulit itu menjadi halal.15

Darah yang mengalir sangat berbahaya, sebab darah itu kotor atau mengandung penyakit, sehingga pengharaman darah itu didasarkan pada kotornya darah atau mengandung penyakit.

Daging babi yaitu seluruh yang dapat dimakan daripada tubuh babi, baik daging, lemak, ataupun tulangnya yang dicincang bersama dagingnya.16Belakangan ini ada orang-orang yang memperdebatkan keharamannya. Mereka berpendapat cacing pita yang amat berbahaya, yang

14Ahmad Mustafa, 1993, Al Maragi, Semarang: PT Karya Toha Putra, h. 80

15

Mahmudiyah, Makanan Menurut…, h. 54

kemajuan ilmiah telah dapat dihilangkan. Oleh sebab itu, babi tidak lagi haram. Demikianlah pendapat mereka. Bukan merupakan suatu hal yang mustahil kalau masih terkandung bahaya-bahaya lain yang belum ditemukan di dalam babi. Maka, sudah sepatutnya kita memisahkan diri dari pendapat yang sesat dan kita beralih menuju kepada pendapat yang benar. Serta, kita mengharamkan apa yang diharamkan dan menghalalkan apa yang dihalalkan oleh Yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui.

Adapun keharaman suatu yang disembelih sambil menyebutkan nama selain Allah, tidaklah ini diharamkan karena zatnya tetapi disebabkan oleh ketidaktulusan jiwa dan tidak adanya kebulatan tujuan, maka zat tersebut tergolong kepada yang najis dan menyekutukan Allah.17

ِﮫْﯿَﻠَﻋ َﻢْﺛِإ ﻼَﻓ ٍدﺎَﻋ ﻻَو ٍغﺎَﺑ َﺮْﯿَﻏ ﱠﺮُﻄْﺿا ِﻦَﻤَﻓ ِ ﱠﷲ Barang siapa yang dalam keadaan terpaksa, maka memakan hal-hal yang telah Allah haramkan karena memang sudah tidak ada pilihan lain, dan jika tidak memakan barang tersebut akan mendapatkan kesukaran, bahkan kematian – maka hal itu dibolehkan. Tetapi dengan syarat, tidak menginginkan dan tidak melebihi kebutuhan yang selayaknya.18Sebenarnya mereka tidak ingin makan makanan yang diharamkan tetapi hanya sekedar untuk menyelamatkan jiwanya. Adapun memakan yang lebih dari itu hukumnya tetap haram. Ini kehendak Allah dan Allah tidak memberatkan seorang hamba lebih dari pada kesanggupannya.19

Abdullah bin Amr r.a. mengatakan, bahwa Rasulullah Saw pernah ditanya tentang buah yang tergantung di pohon. Jawab Nabi Saw:” siapa

yang makan daripadanya hanya karena lapar tanpa tujuan menyimpannya, maka tiada dosa dan tuntutan baginya.”

Masruq berpendapat, bahwa orang yang terpaksa kemudian ia bertahan tidak makan dan tidak minum, lalu ia mati, maka ia bisa masuk

17

Quthb, Tafsir Fi Dzilalil,… h. 186

18Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi,… h. 83

19Kementrian Agama RI, 2011, Al-Qur’an & Tafsirnya ,Jakarta: Widya Cahaya,h. 252

terpaksa hukumnya wajib dan bukan mubah.