• Tidak ada hasil yang ditemukan

Makanan

Dalam dokumen TASAUF MODEREN (Halaman 192-196)

L. Adil

3. Makanan

Makanan adalah asas hidup yang paling penting, anak-kunci kemuliaan dan kehinaan. Dia pun mempunyai 3 *tiga) martabat.

Paling rendah, sekadar perlu untuk menyang saja dan untuk jadi tangkal jangan mati atau lemah, supaya badan kuat beribadat. Dengan membiasakan dan melatih menahan selera, makanan itu boleh dibatasi. Menurut keterangan Imam Ghazali, orang-orang zahid di zaman dahulu, ada yang tahan tak makan sampai 10 hari atau 20 hari. Contoh demikian dapat kita saksikan pada puasanya pemimpin India Mahatma Gandhi. Kata setengah orang ada yang sampai 40 hari. Hal ini tidak perlu kita contoh, tidak pula menunjukkan bahwa perbuatan itu mesti dikerjakan sebab hal itu bergantung kepada pekercayaan masing-masing. Sebab derajat kemauan hati di antara manusia bartingkat-tingkat.

Derajat pertengahan adalah membahagi-bahagi perut jadi tiga bagian; sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk minuman dan sepertiga dikosongkan, untuk fikiran. Kalau dilebihi dari itu, akan membuat 'buncit perut', sehingga berat dibawa rukuk dan sujud menyembah Allah. Yang sebahagia-bahagia orang ialah mencukupkan apa yang ada, makannya karena untuk hidup, bukan hidup untuk makan. Kalau hidupnya hanya memikirkan makan saja, kadang-kadang dia lupa makan untuk hari ini, yang difikirkannya apa yang akan dimakannya besok, apa yang akan dimakan oleh anak cucunya 10 atau 40 tahun lagi, sehingga dia lupa bahwa anak-nak itu pun ada Tuhannya dan ada akalnya sendiri.

Nabi Muhammad SAW, telah bersabda tentang makanan dan kekayaan yang sejati ialah:

HAMKA :Tasauf Moderen

193 | M a l i n a l - F a d a n i

"Barangsiapa yang sentosa hatinya, sehat badannya, ada makanan untuk dimakannya sehari itu, seakan-akan telah terkumpul di tangannya dunia seisinya". (HR Tarmizi dan Abdullah bin Muhsin).

Dengan sabdanya ini nyata bahwa Nabi Muhammad SAW tidak menyuruh kurang dari itu. Kalau tidak ada yang akan dimakan sehari-hari, bagaimana hati dapat tenteram?

Penutup.

Menghadapi harta benda hendaklah dengan niat yang jujur. Jika bekerja mencari harta, hendaklah dengan niat untuk memperbanyakkan amal dan memperkuatkan iman. Jika harta ditinggalkan hendaklah lantaran harta banyak mengganggu langkah. Ingatlah perkataan Rasulullah SAW:

"Sesungguhnya tidaklah engkau nafkahkan harta engkau mengharapkan wajah Allah, melainkan diberi pahala engkau karenanya, harta nafkah yang engkau masukkan ke mulut isterimu sekalipun". (HR Bukhari dan Muslim).

Semuanya itu bergantung kepada niat. Maksud mukmin di sini, ialah yang mengetahui dasar segala perbuatan, tahu hakikat harta yang dinikmati Tuhan kepada hambaNya. Dari itu orang yang zuhud bukanlah yang tiak suka menyimpan harta, atau tak suka mencari harta, dan menolak harta sama sekali. Suhud ialah yang sudi miskin, sudi kaya, sudi tidak beruang sesen pun, sudi jadi jutawan, tetapi harta itu tidak menyebabkan ia melupakan Tuhan, atau lalai dari kewajiban.

Hendaklah gerak dan diammu, duduk dan jalanmu, karena Allah. Makan dan minum, melekatkan baju dan sebagainya, kalau dengan niat suci, boleh menjadi ibadat, sembahyang ialah ibadat, kalau perut lapar, ibadat tak kuat, sebab itu makan dahulu, baru sembahyang. Dengan ini nyata makan itu kalau hati tulus jadi ibadat pula. Dalam kaedah agama ada tersebut:

"Kalau suatu pekerjaan wajib tak dapat dilangsungkan kalau tidak dengan pekerjaan lain, pekerjaan lain itu jadi wajib pula".

Kehidupan dunia seperti mencari madu lebah. Pawang yang pintar dapat saja menguakkan lebah yang banyak dan mengambil madunya, dengan tidak tersinggung sengatnya. Adapun orang yang bukan pawang, hanyalah dapat sengatnya.

Atau seperti ular mengandung racun yang bisa, tetapi di samping racun itu ada obat. Laksana lebah, mempunyai sengat yang bisa, tetapi mempunyai madu juga. Laksana

HAMKA :Tasauf Moderen

194 | M a l i n a l - F a d a n i

orang buta tak dapat mendaki bukit dengan leluasa, si jahil pun tak dapat pla mendaki bukit dunia dengan tak membahayakan.

Rasulullah SAW pada suatu hari didatangi oleh Malaikat Jibril lalu disampaikan kepadanya pertanyaan Allah swt.

Manakah yang disukai, jadi nabi kaya raya seperti Nabi Sulaiman, atau jadi miskin seperti nabi Ayub.

Rasulullah menjawab, bahwa baginda lebih suka makan sehari dan lapar sehari. "Mengapa begitu?" Tanya Jibril.

"Di waktu kenyang saya bersyukur kepada Tuhan, dan di waktu lapar saya meminta ampun kepadaNya".

Bagi rasul-rasul kekayaan itu nikmat, kemiskinan itu pun nikmat. Di waktu senang dan susah, kaya dan miskin, sukar dan mudah, ada saja semuanya pintu untuk mengadap kepada Tuhan, menjunjung dan menyembahNya. Sebab itu, nabi-nabi dan wali-wali itu tidak dapat diikat dan dibelit, disengat dan digigit dunia.

Mereka telah tahu hakikat, tahu mudarat dan manfaatnya. Mereka tahu bahwa hidup manusia ini dilingkungi oleh tiga zaman, zaman dikandung iu, zaman dilingkung alam dan zaman tengah perjalanan, karena tujuan masih jauh. Bagi si arif bijaksana, dia singgah untuk persiapan di kampung yang asli, dibawanya bekal yang tahan lama, yang tak basi, yang tak rasan, dan ditinggalkannya mana yang akan memberati dan menghalang-halangi, supaya tidak terlalai menempuh kampung yang dekat itu, atau didahului oleh orang lain.

Golongan bebal dan dungu, disangkanya inilah wathan sejati, tanah air sebenarnya, di sini dia senang-senang berlalai, tidak dilepaskannya dunia dari hatinya, sebelum malaikul maut sendiri merebut dari tangannya.

Kata budiman juga dunia ini laksana sekuntum bunga yang dihidangkan oleh seorang tuan rumah yang memanggil tetamu kerumahnya, buat dicium baunya berganti-ganti. Seorang tetamu menyangka bahwa bunga itu dihadiahkan untuknya dan boleh dibawa pulang, sehingga tidak dilepaskannya dari tangannya. Akhirnya karena tetamu itu bodoh, tidak mengarti adat istiadat, tuan rumah mengambil dari tangannya dan memberikannya pula kepada orang lain, supaya dicium orang pula. Di waktu itu si tetamu booh tadi, merasa kesal karena tercerai dari bunga.

HAMKA :Tasauf Moderen

195 | M a l i n a l - F a d a n i

Tetapi tamu yang tahu guna bunga itu, diciumnya dengan hati senang, dan segera memberikannya pula kepada yang lain lagi untuk diciumnya pula, karena memang sudah demikian biasanya.

HAMKA :Tasauf Moderen

196 | M a l i n a l - F a d a n i

Dalam dokumen TASAUF MODEREN (Halaman 192-196)