BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
B. Pembahasan
Nilai budaya adalah konsep-konsep mengenai sesuatu yang ada dalam alam pikiran masyarakat yang mereka anggap bernilai, berharga, dan penting dalam hidup sehingga dapat berfungsi sebagai pedoman (Koentjaraningrat, 2009:153). Nilai budaya merupakan konsep abstrak mengenai permasalahan mendasar yang sangat penting dan bernilai dalam kehidupan manusia. Nilai budaya inilah yang menjadi identitas manusia.
Nilai adalah prinsip umum tingkah laku abstrak yang ada dalam pikiran anggota-anggota kelompok yang merupakan komitmen positif dan standar untuk mempertimbangkan tindakan dan tujuan tertentu (Rafiek 2011: 68). Bertolak dari asumsi tersebut penulis berpendapat bahwa nilai budaya Sirik na Pacce bagi orang Bugis/Makassar yang merupakan daya dorong untuk melakukan sesuatu yang lebih, bekerja keras, acuan dalam berbuat apakah perbuatan itu pantas atau tidak pantas dilakukan. Selain
125
sebagai motivasi pacce perasaan iba, kasih sayang serta keperihatinan yang terpatri dalam jiwa untuk berbuat dan turut merasakan derita orang lain.
Berdasarkan hasil penelitian Analisis Film TKVW dan BTA (Rep-resentasi Nilai Budaya Sirik Na Pacce) ditemukan adanya nilai sirik nipakasirik, sirik mappakasirik-sirik, tappelak sirik, nilai pacce, dan latar.
Beberapa peristiwa yang mendukung adanya konsep nilai budaya Sirik na Pacce pada kedua film tersebut akan diuraikan berikut .
1. Sirik Nipakasirik
Silariang merupakan salah satu bentuk budaya nipakasirik pada masyarakat Bugis/Makassar. Perbuatan tersebut dianggap menodai, menghina dan merendahkan kehormatan seseorang, khususnya keluarga perempuan. Silariang dianggap tabu atau sirik bagi keluarga perempuan.
Sesuai hukum adat bagi masyarakat Makassar pelaku silariang (tumannyala) mendapatkan sanksi bermacam-macam, mulai dari hu-kuman mati atau dibunuh, dibuang atau tidak diakui lagi oleh keluarga perempuan, dan juga dikucilkan dari masyarakat. Hal ini sejalan dengan pendapat Tika “Melakukan kawin silariang berarti melakukan suatu perbuatan siri’. Bilamana perbuatan tersebut dicap melanggar siri’ maka pihak keluarga perempuann yang disebut tumasiri’ oleh hukum adat punya hak untuk mengambil tindakan terhadap pelaku silariang yang disebut tumannyala” (Tika 2007: 38).
126
Perbuatan menghina atau menodai kehormatan seseorang dapat berujung pada pertikaian. Selain pertikaian atau permusuhan, dampak yang timbul dari akibat perbuatan menghina, menodai kehormatan.
Perbuatan ini misalnya silariang atau membawa lari anak gadis sese-orang. Orang yang melanggar budaya tersebut dapat dikucilkan dalam masyarakat, dimusuhi, dibuang atau dibunuh.
Sirik yang berhubungan dengan harga diri peribadi seseorang ditemukan pada Flm BTA silariang. Andi Tenri membuat malu keluarganya karena lari bersama laki-laki, perbuatan yang dilakukan Andi Tenri bersama Firman bukan saja membuat malu keluarga Karaeng Tiro tetapi lebih dari itu termasuk kerabat. Nipakasirik merupakan aib bagi keluarga, sejalan dengan pendapat Andaya (dalam Sugira 2010: 63) “Aib ada dua macam yaitu aib disebabkan oleh serangan orang lain dan nasib buruk yang menimpa seseorang”. Pendapat senada juga dikemukakan Daroeso dan Suyahmo (dalam Juliardi 2014: 143) “Nilai berfungsi sebagai daya dorong manusia (motivator). Nilai inilah yang mendorong manusia untuk berbuat sesuatu”.
Silariang adalah sesuatu yang tabu dan pantang dilakukan di ka-langan orang Bugis Makassar. Pelanggaran budaya nipaksirik taruhan-nya adalah taruhan-nyawa, keluarga yang dipermalukan lebih memilih menye-lesaikan dengan cara membunuh orang yang dianggap mempermalukan (mappakasirik). Sebagai contoh dalam hal ini adalah membawa lari seorang gadis (kawin lari). Maka, pelaku kawin lari, baik laki-laki maupun
127
perempuan, harus dibunuh, terutama oleh pihak keluarga perempuan (anak gadis yang dibawa lari) karena telah membuat malu keluarga.
Nipakasirik BTA Durasi 00.03.19 detik “Silariang ini punya risiko besar. Kamu Siap Tenri?”, Bukan hanya saya saja yang harus siap. Tapi kita Apa Kamu siap? Dari percakapan antara Andi Tenri dan Firman membuktikan budaya nipakasirik atau perbuatan menghina kehormatan keluarga Karaeng Tiro karena kedua orang itu sialariang. Perbuatan kedua orang itu membuat Keluarga perempuan mencari keduanya dan menyelesaikan secara adat untuk memulihkan harga diri pihak perempuan (Andi Tenri). Tujuan hidup yang paling tinggi untuk orang Bugis/Makassar adalah menjaga siriknya. Shelly Errington dalam (Sugira, 2010: 63) mengemukakan bahwa untuk Bugis/Makassar tidak ada tujuan hidup lebih tinggi daripada menjaga siriknya. Kalau mereka tersinggung, nipakasirik atau dipermalukan, mereka lebih senang mati dengan berkelahi untuk memulihkan atau menjaga siriknya. Dari pendapat tersebut dipahami bahwa sirik bagi orang Bugis/Makassar dianggap penting dan dijunjung tinggi. Oleh karena itu orang Makassar dikenal mudah berkelahi kalau dipermalukan , dan dihina.
Silariang dalam etnis Bugis/Makassar merupakan perbuatan yang dianggap tabu oleh pihak keluarga perempuan dan ganjarannya atau hukumannya adalah membunuh pelaku silariang. Keluarga perempuan merasa harga dirinya diinjak-injak, direndahkan atau dihina dan harus mencari pelaku untuk dibunuh. Budaya demikian masih dipegang teguh
128
oleh etnis Bugis/Makassar, khususnya etnis Makassar. Dalam hal ini dapat dilihat dari keluarga Andi Tenri yaitu Karaeng Tiro merasa diper-malukan oleh Firman karena anak perempuannya dibawa lari nilariang.
Merasa harga dirinya dihina atau dipermalukan, lalu meminta anak laki-lakinya Aso menyelesaikan secara adat orang Bugis/Makassar, mencari Tenri dan Firman dan membunuh keduanya.
Rasa malu bukan saja hanya tertuju bagi keluarga perempuan saja, tetapi kerabat keluarga perempuan pun merasa malu dan ingin membalas dendam perbuatan orang yang melarikan anak gadis atau anak perempuan kerabatnya. Hal ini dapat dilihat dari percakapan antara Karaeng Tiro dan Limpo atau permintaan Limpo, kepada Karaeng Tiro, (BTA Durasi 00.05. 12 detik) “....Saya siap menunggu printah Karaeng ” kata Limpo. Kalau perlu sekarang juga saya pergi ke keluarga laki-laki itu.
Limpo dengan Karaeng Tiro bukanlah keluarga dekat, Limpo hanya pekerja pada keluarga Karaeng Tiro. Tetapi karena ia merasa bahwa harga diri Karaeng Tiro dihina oleh Firman dengan membawa anak perempuannya maka ia pun turut merasakan malu yang ditanggung oleh keluarga Andi Tenri, lalu meminta Karaeng Tiro mengizinkannya untuk mencari Andi Tenri dan Firman dan membunuhnya di manapun ia temui keduanya..
Budaya dapat juga berbentuk benda atau simbol, salah satu simbol adalah badik sebagai lambang keperkasaan atau kekuasaan bagi orang Bugis/Makassar, masalah yang tidak bisa diselesaikan dengan
129
perundingan, musyawarah atau dengan cara kekeluargaan tidak menutup kemungkinan diselesaikan dengan cara keperkasaan atau kekerasan dengan menggunakan senjata tajam (badik) pada film BTA .
Penghinaan juga dapat dilihat dari film TKVW, nilai ini nampak dalam bentuk penghinaan yang dialamatkan kepada Zainuddin. Zainuddin dihina dan tidak diterima lamarannya kepada Hayati karena dianggap keturunanya lebih rendah derajatnya daripada Hayati. Zainuddin dianggap tidak bersuku karena bapaknya keturunan Minangkabau yang menikah dengan perempuan yang berasal dari daerah Makassar (Bulukumba).
Budaya Minang yang dipegang teguh oleh keluarga Hayati melihat garis keturunan dari Ibu bukan dari garis keturunan bapak, maka Zainuddin dianggap bukan lagi keturunan Minangkabau sekalipun bapak Zainuddin berasal dari daerah Minang. Zainuddin dipandang sebagai anak muda yang berasal dari daerah Makassar yang tidak pantas melamar atau meminang perempuan keturunan Minangkabau, yang lebih tinggi starata sosialnya.
Selain faktor keturunan, Zainuddin juga dihina karena bukan orang yang memunyai pekerjaan yang baik dan memunyai harta yang banyak atau keturunan orang kaya. Kedua penyebab itulah sehingga keluarga Hayati menerima lamaran Aziz yang memunyai pekerjan lebih baik, dan dia adalah keturunan asli Minangkabau, derajatnya lebih tinggi daripada Zainuddin, sekalipun Hayati dan Zainuddin masih saling mencintai.
Penghinaan kepada Zainddin, yang dipandang derajatnya lebih rendah
130
dan juga miskin tidak memunyai harta merupakan sirik bagi Bugis Makassar karena dipermalukan.
Budaya sirik dapat juga berupa kesetiaan dan keperihatinan kera-bat pada orang yang dipermalukan. Hal ini dapat dilihat dari keikutsertaan Limpo merasa terhina atas kelakuan Andi Tenri dan Firman (silariang).
Limpo bersumpah di depan orang tua Tenri akan mencari Andi Tenri dan Firman dan membunuh keduanya. Bentuk keprihatinan Limpo, dia pun mendatangi rumah orang tua Firman dan menantang orang tua Firman menyelesaikan secara adat, bahkan bersumpah untuk mencari dan membunuh kedua orang tersebut. Hal ini dibuktikan dengan ucapan Limpo
“….Saya siap menunggu printah Karaeng ” kata Limpo, Kalau perlu sekarang juga saya pergi ke keluarga laki-laki itu (BTA Durasi 00.05. 12 detik).
Mate Sirik adalah tidak memunyai rasa malu atau hilang harga diri dan tidak dapat memulihkan kembali, orang dipermalukan demikian bagaikan bangkai hidup. Orang Sulawesi Selatan khususnya orang Bugis Makassar yang merasa mati sirik akan melakukan perlawanan hingga ia mati. Orang Sulawesi Selatan khususnya orang Makassar lebih memilih mati mempertahankan harga dirinya daripada hidup tidak memunyai rasa malu (mate sirik). Banyak terjadi dalam masyarakat Sulawesi Selatan baik di daerah-daerah perkotaan maupun di daerah pedesaan terpencil peris-tiwa bunuh-membunuh dengan mempertahankan harga diri atau menjaga sirikna Secara lahiriyah sering tampak seolah-olah orang yang masuk
131
dalam kategori tersebut yang merasakan sirik yang sanggup membunuh atau dibunuh, memperbuat sesuatu yang fatal karena alasan-alasan sepele atau karena masalah perempuan yang sesungguhnya harus dipandang biasa-biasa saja. Akan tetapi pada hakikatnya apa yang kelihatan oleh orang luar sebagai hal yang sepele dan biasa bagi kelompok masyarakat tertentu sesungguhnya hanya merupakan salah satu alasan lahiriyah saja dari suatu kompleksitas dan sebab-sebab lain yang menjadikan ia merasa kehilangan harga diri yang juga menjadi identitas sosialnya.
Malu (mate sirik) tidak bisa memu-lihkan harga diri (sirik) keluarga Karaeng Tiro, Limpo pun malu dan dia menikam dirinya sendiri. Hal ini dilakukannya karena Limpo tidak dapat memulihkan martabat keluarga Karaeng Tiro. Limpo tidak membunuh Andi Tenri dan Firman yang telah melakukan perbuatan hina dan dianggap tabu oleh masyarakat Bugis/Makassar yaitu silariang. Pelaku silariang apabila bertemu dengan keluarga perempuan sebelum kembali baik (a’bajik) balasannya atau hukumannya adalah dibunuh oleh pihak keluarga atau kerabat perempuan.
Itulah sebabnya Limpo menikam dirinya sebagai wujud rasa malu tidak membunuh Andi Tenri dan Firman ketika datang di rumah Karaeng Tiro
132
sebelum dia a’bajik atau kembali baik dengan keluarga besar Karaeng Tiro.
Keluarga dan kerabat perempuan yang melanggar adat (silariang) merasa dipermalukan dan tidak dapat memulihkan harga dirinya apabila bertemu dengan orang yang kawin lari (silariang) dan tidak melakukan perbuatan balas dendam atau membunuh kepada pelaku silariang. Ini dibuktikan oleh Limpo, sekalipun dia tidak bunuh diri karena merasa malu tetapi dia menikam dirinya sebagai bentuk rasa malu tidak membunuh Andi Tenri dan Firman. Badik yang sudah dikeluarkan dari sarungnya, pantang dimasukkan kembali sebelum melaksanakan tugasnya,” tegas Daeng Limpo dengan mata menyala. Keadaan menjadi sangat tegang.
Tanpa rasa takut sekalipun, Andi Tenri maju menghadapi Badik yang terhunus di tangan sang kakak, siap menghadapi kondisi terburuk sebagai wujud tanggung jawab dan resiko atas perbuatannya.
Jika sepasang pria dan wanita kawin lari, maka mereka telah dianggap melakukan perbuatan appakasirik dan membuat aib bagi keluarga. Keluarga perempuan selanjutnya disebut tumasirik, yaitu orang-orang yang berhak menuntut sang pria secara hukum adat karena keluarganya dibawa kabur (kawin lari). Hukum adat bagi pelaku (silariang) bagi orang Bugis/Makassar adalah dibunuh. Hal ini sejalan dengan pendapat Zainal Abidin “Makna dan tujuan sirik dengan jalan meng-hilangkan nyawa atau melukai orang lain yang merusak atau menodai sirik keluarganya haruslah memenuhi syarat-syarat pembelaan terpaksa dan
133
pelampauan pembelaan terpaksa sesuai hukum Adat Sulawesi selatan”
(Zainal Abidin 1999: 195).
Sirik Nipakasirik/Ripakasirik adalah sesuatu yang berhubungan dengan harga diri pribadi seseorang, serta harga diri atau harkat dan martabat keluarga. Sirik jenis ini adalah sesuatu yang tabu dan pantang untuk dilanggar khususnya etnis Makassar. Pelanggaran budaya nipakasirik taruhannya adalah nyawa, keluarga yang dipermalukan lebih memilih menyelesaikan dengan cara membunuh orang yang dianggap mempermalukan (mappakasirik). Sebagai contoh dalam hal ini adalah membawa lari anak gadis (kawin lari). Maka, pelaku kawin lari, baik laki-laki maupun perempuan, harus dibunuh, terutama oleh pihak keluarga perempuan (gadis yang dibawa lari) karena telah membuat malu keluarga.
Selama belum kembali melakukan perdamaian, maka selama itu pula sang pria tidak diperkenankan bertemu keluarga pihak perempuan sebagai pasangan kawin larinya. Perdamaian hanya bisa dilakukan secara adat dengan kembali membawa sang perempuan ke rumahnya yang selanjutnya disebut a’bajik. Jika ini belum dilakukan, maka status tumasirik tetap melekat bagi keluarga perempuan. Namun jika sudah kembali baik (a’bajik) sudah dilaksanakan, maka pasangan kawin lari (silariang) tadi secara hukum adat sudah terlindungi. Siapa saja yang mengganggunya akan dicap sebagai pelanggar adat dan dikenakan hukum adat.
134
Silariang dan persinahan yang dilakukan Andi Tenri dan Firman bukan hanya membuat malu keluarga Karaeng Tiro, tetapi keluarga, dan sahabat pun turut menanggung malu dari perbuatan yang dilakukannya.
Apa yang dilakukan Andi Tenri membuat Karaeng Tiro malu bahkan tidak mau keluar rumah, tidak mau bertemu dengan tetangga dan kerabatnya.
Rasa malu yang ditanggung Karaeng Tiro membuatnya marah hingga jatuh sakit sampai meninggal dunia.
“Tidak Saya tidak mau pergi. Kita harus pergi Tetta, Karaeng Saguni kan masih terhitung keluarga kita. Apami kata orang kalau kita tidak ke sana. Ayo (Karaeng Caya memegangi Karaeng Tiro mengajak ke luar rumah untuk menghadiri pesta keluarga di kampung) Bagaimana kabarta Karaeng? ( seorang warga menyongsong Karaeng Tiro dan menanyakan mengenai Andi Tenri ) Waaah, lama sekaliki baru kulihat. Bagaimana dengan Andi Tenri Karaeng , apakah dia sudah kembali Karaeng ? Kapan ini pestanya Karaeng ? Kurang ajar! (sontak Karaeng Tiro marah sekali menunjuk-nunjuk dengan tongkatnya, dia merasa dihina dengan pertanyaan-pertanyaan itu dan bersiap-siap untuk menarik kerisnya yang terselip di pinggangnya) Kubunuh Kau ( dengan suara yang hampir tak terdengar karena Karaeng Tiro telah hampir tersungkur menahan sakit yang langsung menderanya). Ampun Karaeng ... ampuun Karaeng . Tidak ada maksudku menghina Karaeng , demi Allahh Demi Allahh Karaeng ...Karaeng ...(Karaeng Caya bersimpuh menangis sambil
135
memanngil di depan tubuh suaminya yang telah tersungkur ke tanah)”
BTA: 00.59.09
“Tetta sakit apa Daeng, apa perlu saya pulang? Kata ammakta tidak perlu Ndi. Tetta sakit karena banyak pikiran makanya saya datang ke mari.
Kita harus segera menemukan Andi Tenri’ Tetta ta sakit karena memikirkan masalah ini.” (BTA: 01.01 15 ). Karaeng Tiro akhirnya jatuh sakit karena kejadian itu dan akhirnya membawa pada kematiannya.
“Tetta sakit Fir, kedengarannya parah. Tenri, kita tidak bisa berbuat apa-apa selain, mendoakan Tettanu supaya cepat sembuh. Tetta sakit pasti karena saya, saya tidak bisa memaafkan diri saya kalau terjadi apa-apa pada Tetta. Ya Allah aku ingin melihat dia. Aku ingin ketemu Tetta, aku ingin Tetta tahu bahwa aku mencintainya sepenuh hati. Kau ingin ketemu Tettanu? Kau ingin pulang? Kita bisa pulang kalau kau mau. Tapi, bagaimana dengan kau? Saya akan minta maaf, mohon ampun pada Tetta, ammak, daeng Aso, pada semuanya meskipun saya harus mati menerima semua akibat itu. Saya akan terima dengan ikhlas, Tenri.
“ ( BTA 01.02 30 )
Tenri mendapat berita kalau Tettanya sakit, firasatnya mengatakan akan terjadi sesuatu yang mengkhawatirkan. Dan benar akhirnya Karaeng Tiro meninggal. Perbuatan yang dilakukan Andi Tenri membuat bapaknya meninggal dunia dan Andi Tenri pun menyesal dan bertekad pulang me-nemui keluarganya dan meminta maaf. Rasa penyesalan yang mendalam pada Andi Tenri dan Firman membuat mereka nekat untuk ingin pulang ke
136
kampung halamannya sekalipun jiwa mereka terancam, bahkan dibunuh pun tetap bersikukuh pulang bertemu keluarganya.
Kesiapan Firman menerima balasan dari perbuatan yang dia laku-kan dapat dilihat dari ucapannya “Meskipun aku harus mati menerima semua akibat itu. Saya akan terima dengan ikhlas Tenrih” (BTA 01. 02.50 detik). Andi Tenri menyadari bahwa silariang dan hubungan suami istri yang dia lakukan di luar nikah membuat keluarga dan kerabatnya malu.
Keluarga dan kerabat yang merasa terhina dan malu akan melakukan pembunuhan bagi orang orang menghinanya. Perbuatan atau pembalasan dilakukan bagi orang orang yang dihina atau dilecehkan martabatnya untuk mempertahankan dan memulihkan harga diri baik secara individu maupun kelompok atau keluarga yang dihina.
2. sirik mappaka sirik-sirik
Sirik mappaka sirik-sirik adalah sifat atau kebiasaan yang berhu-bungan dengan etos kerja, dan prinsip atau pegangan hidup orang Bu-gis/Makassar. Malu tidak melakukan yang terbaik untuk kemajuan diri baik berupa pekerjaan, mencari ilmu pengetahuan yang lebih tinggi, belajar lebih giat. Mappakasirik-sirik juga merupakan motivasi untuk berusaha melakukan dan mendapatkan yang lebih baik dari sebelumnya atau yang sudah ada, sudah dimiliki. Selain motivasi, mappakasirik juga mengan-dung makna sebagai pandangan dan prinsip bagi orang Bugis/Makassar.
137
Orang Bugis atau Makassar memandang sirik sebagai pegangan, perisai untuk tidak melakukan hal-hal yang melanggar etik, adat dan kebiasaan baik yang diyakini kebenarannya dalam masyarakat. Bagi yang melang-garnya dikucilkan di masyarakat di mana individu/orang itu hidup.
Pendapat senada dikemukan oleh Budidarmo dalam (Sugira 2010: 64)
“Sirik adalah pandangan hidup yang mengandung etik perbedaan antara manusia dengan binatang. Sirik mengajarkan kesesuaian yang berupa anjuran, larangan, hak, dan kewajiban yang mendominasi tindakan manusia untuk menjaga dan mempertahankan harga diri dan kehormatan tersebut”.
Dengan dimotori dan dimotivasi oleh semangat sirik sebagaimana ungkapan orang Makassar, “Takkunjunga bangun turuk naku gunciri’
gulingku kualleangngangi tallanga na towaliya.” Artinya, begitu mata terbuka (bangun di pagi hari), arahkan kemudi, tetapkan tujuan ke mana kaki akan melangkah, pasang tekad “Lebih baik tenggelam daripada balik haluan (pulang ke rumah) sebelum tercapai cita-cita.” Atau, sekali layar terkembang pantang biduk surut ke pantai, sebelum tercapai pulau harapan. Selain itu, Sirik Mappakasirik-sirik juga dapat mencegah se-seorang melakukan hal-hal yang bertentangan dengan hukum, nilai-nilai moral, agama, adat istiadat dan perbuatan-perbuatan lainnya yang dapat merugikan manusia dan kemanusiaan itu sendiri.
Data yang mengandung nilai mappakasirik-sirik berupa etos kerja, pandangan hidup atau prinsip, pantang menyerah, selalu berusaha
men-138
cari dan berbuat yang terbaik bagi kehidupan Bugis–Makassar yang terdapat dalam Film TKVW karya Hamka dan karya Taufik Daraming Tahir dkk.
Gambaran nilai budaya Sirik mappakasirik- sirik ini ditemui pada film TKVW yaitu bekerja atau berusaha keras pantang menyerah sebelum meraih hasil yang ingin dicapai adalah gambaran budaya orang Makassar malu tidak menyelesaikan pekerjaan atau amanah yang diberikan oleh orang lain. Sikap ini dicerminkan oleh Zainuddin yang bersusah payah menemui keluarganya di Padang. Sekalipun dia tahu bahwa dia tidak akan diterima dengan baik, tetapi ia tetap berusaha berangkat ke Padang menemui kerabat orang tuanya, sekaligus menjalankan amanah orang tuanya. Orang Bugis/Makassar selain pantang menyerah dalam berusaha juga memegang teguh amanah bila diberi amanah.
Zainuddin tidak diterima dengan baik oleh keluarga Pendekar Sutan di Padang atau Minangkabau. Karena Zainuddin dipandang bukan lagi keturunan orang Padang. Minangkabau mengambil garis keturunan perempuan sedangkan ibu Zainuddin orang Makassar. Kekhawatiran orang tua angkat Zainuddin tidak dihiraukan, dan Zainuddin tetap meminta izin kepada Mak Basse untuk berangkat ke Padang menemui keluarga bapaknya yaitu Mande Jamila salah satu dari keluarga Pendekar Sutan.
Selain keteguhan dalam bekerja, juga motivasi menghadapi rin-tangan atau tanrin-tangan. Rela meninggalkan kesenangan dan orang yang dicintai. Hal ini dialami oleh Zainuddin dan Hayati, Hayati memberikan
139
motivasi dan semangat kepada Zainuddin agar jangan ragu dalam menempuh hidup, meninggalkan Padang untuk mencari ilmu dan pekerja-an. Selain motivasi, Hayati juga mengamanatkan kepada Zainuddin untuk pergi mencari jalan penghidupan atau pekerjaan dan meninggalkan kota Padang. Sekalipun hati Zainuddin berat meninggalkan orang yang dia cintai, tetapi ia tetap teguh dalam pendiriannya meninggalkan Hayati.
Begitu pula dengan Hayati, bahkan bersumpah bahwa kelak nanti setelah Zainuddin sukses di perantauan dan bertemu kembali diri Hayati akan tetap suci, dan Hayati tetap setia menunggu Zainuddin.
Selanjutnya, untuk membuktikan kesetiaan antara Hayati dan Zainuddin sebelum meninggalkan kota Padang. Zainuddin meminta tanda mata kepada Hayati sebagai kenagan pengingat dalam perjalanan meninggalkan kampung halaman orang tuanya. “Berilah saya satu tanda mata, Azimat dalam hidup saya. Dan akan kuletakkan dalam kafanku kalau aku mati, walaupun barang itu murah “(TKVW durasi 00. 25. 10.
detik ). Mendengar ucapan Zainuddin, Hayati pun melapas kerudung yang dipakainya dan memberikan pada Zainuddin sebagai tanda ikatan per-sahabatan.
Kemauan yang kuat sebagai bentuk nilai budaya pantang menye-rah orang Bugis/Makassar ditunjukkan oleh Zainuddin, betapa pun berat hatinya meninggalkan Kota Padang ia tetap melangkahkan kaki meninggalkan Kota Padang, meninggalkan orang yang dicintainya yaitu
Kemauan yang kuat sebagai bentuk nilai budaya pantang menye-rah orang Bugis/Makassar ditunjukkan oleh Zainuddin, betapa pun berat hatinya meninggalkan Kota Padang ia tetap melangkahkan kaki meninggalkan Kota Padang, meninggalkan orang yang dicintainya yaitu