BAB III METODE PENELITIAN
E. Teknik Analisis Data
Adapun langkah-langkah dalam menganalisis data dalam penelitian ini adalah :
1. Mengidentifikasi data (dialog) representasi nilai budaya Sirik na pacce film TKVW karya Dony Dirgantoro dan film BTA karya Taufik Dara-ming Tahir.
2. Mengklasifikasi nilai Sirik na pacce film TKVW karya Dony Dirgantoro dan film BTA karya Taufik Daraming Tahir.
3. Setelah diklasifikasi dialog yang mengandung nilai sirik na pacce film TKVW karya Dony Dirgantoro dan film BTA karya Taufik Daraming Tahir. Selanjutnya peneliti menginterpretasi sesuai aspek klasifikasi budaya Sirik na pacce Masyarakat Bugis/Makassar.
4. Selanjutnya, mendeskripsikan dialog yang mengandung atau me-representasikan budaya sirik na pace pada film TKVW karya Dony Dirgantoro dan film BTA karya Taufik Daraming Tahir, dalam bentuk laporan penelitian dengan mengacu pada pendekatan metode her-meneutika F.D.E. Schleiermacher tentang interpretasi makna sebuah teks dialog yang mengandung nilai budaya Sirik na pace, “Meng-interpretasi makna teks dari peristiwa-peristiwa, dan persoalan pemamahaman interpretasi” (Palmer 2005: 8). Interpretasi dilakukan dengan memadukan teori nilai budaya Koentjaraningrat.
79
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Bab ini disajikan hasil penelitian berdasarkan fokus yaitu (1) Sirik Nipakasirik (berhubungan menghina kehormatan, harga diri, atau dipermalukan), (2) Sirik Mappakasirik-sirik (berhubungan dengan etos kerja, prinsip hidup, dan nilai agama), (3) Sirik Tappelak Sirik (berhubungan dengan hilangnya rasa malu, kehormatan seseorang), (4) Latar, dan (5) Pacce (rasa pedih, rasa iba, turut prihatin kepada sesama manusia).
1.Sirik Nipakasirik
Adapun data mengandung nilai sirik nipakasirik/ripakasirik yang ter-dapat dalam film TKVW karya Dony Dirgantoro dan film BTA karya Taufik Daraming Tahir dkk. Data sirik nipakasirik/ripakasirik pada film TKVW dan film BTA disimbolkan dengan SNS , dapat dilihat sebagai berikut:
SNS 1
“Gemetar tanganku ketika mulai menulis untukmu... Agaknya buruk saya berkirim surat ini dalam pandangan umum. Saya tahu sedikit adat negerimu yang kokoh. Di Makassar saya dianggap orang Padang di sini saya dianggap orang Makassar”
(TKVW Durasi 00:12:35 detik)
79
80 SNS 2
“Maaf, Zainuddin, ini urusan kami. Sebaiknya kamu tidak usah ikut-ikutan. Kau bukan anak Minang. Sebaiknya kau tinggalkan kami.”
(TKVW Durasi: 00.12.39 detik) SNS 3
“Kau itu kebanggaan keluarga, Zainuddin itu tidak bersuku. Bikin malu saja! Menjatuhkan nama besar. merusak Ninik-Mamak, merusak korong kampung. Meruntuhkan rumah tangga dan mencemarkan kampung halaman. Tidakkah kau tahu Gunung Merapi masih berdiri tegak kokoh menjulang. Adat masih berdiri tegak. Tak lapuk oleh hujan, tak akan lekang oleh panas.
Zainuddin hendak menempuh jalan yang lurui, niat hendak mengambi Ati jadi bininyo, Datuk. Ma bisa Ati, orang seperti dia indak bisa dijadikan tampe manggantuing hidui. Masa kini kalau kau hendak memilih lalaki. Paralu najale asal-usulnya. Jale mata pencahariannyo. Yang bisa menopang hidup. Kalau kau nikah sa Zainuddin dan punya anak kamana kau bawa bako”
(TKVW Durasi: 00.18.52 detik) Pada kutipan SNS 1, SNS 2, dan SNS 3 tampak nilai sirik nipaka-sirik dengan merendahkan derajat Zainuddin yang dianggap sebagai anak bersuku Makassar karena ibunya bersuku Makassar. Zainuddin tidak pan-tas duduk bersama anak-anak muda suku Minang karena dia dianggap bukan bersuku MInangkabau. Penolakan tajam terhadap Zainuddin juga dilontarkan oleh Datuk dijelaskan kepada Hayati bagaimana tingginya derajat adat Minangkabau diibaratkan pada pepatah “Adat yang tak lapuk oleh hujan, tak akan lekang oleh panas”.
81 SNS 4
“Orang miskin keturunan .... mau mempersunting... Pergi kau anak miskin. Negeri kami beradat. Bunga desa itu tak pantas untuk kamu”. Cerita ini seperti cerita budak Bugis itu. Saya curiga memang budak Bugis itu pengarangnya, saya lihat penerbitannya di Batavia. Bukankah dia merantau ke sanakan? Namanya Zainuddin Bang. Jangan terlalu dihina Zainuddin.
(TKVW Durasi 01.24. 32 detik) SNS 5
“Bukankah kau berjanji ketika saya diusir ninik mamak-mu....karena saya tidak jelas keturunanku, orang hina, bukan darah tulen Minangkabau ketika itu kau antarkan saya ke simpang jalan. …...Namun kamu memilih laki-laki yang lebih gagah, kaya raya, keturunan Minangkabau. Kamu kawin dengan dia. Kamu sendiri yang bilang padaku bahwa perkawinanmu, bukan dipaksa orang lain, tetapi atas kemauanmu sendiri.
(TKVW 02.00.70 detik).
SNS 6
“Siapakah diantara kita yang kejam. Hayati? Saya kirimkan surat-surat meratap menghinakan diri. Memohon dikasihani, tiba-tiba kamu balas surat itu dengan isi yang sangat kejam. Kamu katakan kita sama-sama miskin, hidup tidak akan bahagia kalau tidak ada uang. Karena itu kau pilih orang yang kaya, bangsawan, menteren, bergelimang dengan emas, bersayap dengan uang. Kamu kawin dengan lelaki itu. Siapakah di antara kita yang kejam Hayati? Tidak Hayati, saya tidak kejam,.
(TKVW 02.01. 16 detik).
Pada kutipan dialog SNS 4, SNS 5, SNS 6 tampak nilai sirik nipa-kasirik dalam bentuk penghinaan. Zainuddin dihina dan tidak diterima lamarannya kepada Hayati karena dianggap keturunannya lebih rendah derajatnya daripada Hayati. Zainuddin dianggap budak (anak biasa tanpa
82
derajat) karena bapaknya keturunan Minangkabau yang menikah dengan perempuan yang berasal dari daerah Makassar (Bulukumba). budaya Minang yang dipegang teguh oleh keluarga Hayati melihat garis keturunan dari Ibu bukan dari garis keturunan bapak, maka Zainuddin dianggap bukan lagi keturunan Minangkabau sekalipun bapak Zainuddin berasal dari daerah Minang. Zainuddin dipandang sebagai budak yang berasal dari daerah Makassar yang tidak pantas melamar atau meminang perem-puan keturunan Minangkabau, yang lebih tinggi starata sosialnya.
Selain faktor keturunan, Zainuddin juga dihina karena bukan orang yang memiliki pekerjaan yang baik dan memunyai harta yang banyak atau keturunan orang kaya. Kedua penyebab itulah sehingga keluarga Hayati menerima lamaran Aziz yang memunyai pekerjaan lebih baik, dan dia adalah keturunan asli Minangkabau, derajatnya lebih tinggi daripada Zainuddin, sekalipun Hayati dan Zainuddin masih saling mencintai. Peng-hinaan kepada Zainuddin, yang dipandang derajatnya lebih rendah juga miskin tidak memunyai harta merupakan sirik bagi Bugis Makassar karena dipermalukan.
Sirik adalah harga diri yang harus dijaga dan dipelihara, nipakasirik atau dirampas kehormatannya, dipermalukan baik secara individu maupun kelompok atau kerabatnya. Merasa terhina (nipakasirik) karena kehor-matannya dinodai maka keluarga yang dipermalukan akan melawan dan bahkan membunuh orang yang mempermalukan (appakasirik). Sirik nipa-kasirik atau direndahkan harkat dan martabat diri dan keluarga (silariang)
83
ini dapat dilihat pada kutipan dialog SNS 7, SNS 8, SNS 9, SNS 10, SNS 11, dan SNS 12 film BTA karya Taufik Daraming Tahir dkk.
SNS 7
“Silariang ini punya risiko besar. Kamu siap Tenri?”, Bukan hanya saya saja yang harus siap. Tapi kita. Apa kamu siap?
(BTA 00.03.19 detik).
SNS 8
“Aso pulang sekarang. Langsung ke terminal. Kau harus ada di rumah secepatnya. Tapi saya sibuk sekarang Tetta. ....Andiknu lari dari rumah, silariang”.
(BTA 00.04. 46 detik).
SNS 9
“….Saya siap menunggu printah Karaeng ” kata Limpo. Kalau perlu sekarang juga saya pergi ke keluarga laki-laki itu.
(BTA 00.05. 12 detik).
SNS 10
“Kalian berdua silariang” tanya Candra. “Ia Kak, baru kemarin ini kami menikah di sini, supaya tidak bertambah dosa”, jawab Tenri.
Terpaksa Kak...(Tenri mengusap perutnya memberikan isyarat kalau dia telah hamil). “ Berani sekali kalian melakukan hubungan seperti ini sebelum menikah, dan Kau Firman bukannya melindungi malah menodai”, bentak Candra. “Maaf Kak Candra ini ide saya” kata Tenri. Saya tidak mengerti Ndi Tenri, mengapa kamu jadikan dirimu hamil, kamu merasa dengan cara ini kamu bisa mendapat restu dari ammakmu. Karena itumi satu-satunya cara untuk merestui hubungan kita. Saya berharap dengan lahirnya seorang cucu akan meluluhkan hati mereka. ....Firman tidak mau, dia ingin saya minta izin telebih dahulu kepada Tetta.
Tapi saya tahu bagaimana kerasnya hati Tetta, Kak Candra.
(BTA 00.16. 41 detik).
84 SNS 11
Tetta panggil saya? Iya. Duduk Aso. Iye. Aso sejak Kau kecil Tetta selalu menasehatimu ten-tang pentingnya menjaga sirik.
Bukan hanya harkat dan marta-batmu sendiri tetapi harkat dan martabat keluargamu. Tenaja nu-kaluppai? Tidak Tetta, saya tidak mungkin lupa. Bagus! Sekarang Andiknu lari bersama laki-laki, silariang. Tindakannya mappakasirik, mempermalukan. Keluarga kita nipakasirik, dipermalukan oleh laki-laki itu. (Sambil menge-luarkan sebuah badik dari bungkusan kain merah) Seandainya keadaan Tetta memungkinkan, Tetta sendiri yang akan menye-lesaikan masalah ini. Aso , cari mereka! Semenye-lesaikan masalah ini sesuai adat kita. Ambillah! Ambillah Aso! Ambil! (Karaeng Tiro mengangkat Badik I La Sanrego penuh hikmad dengan kedua tangannya menyerahkan pada Aso dan diterima Aso dengan hati-hati)
(BTA 01. 22. 09 detik) SNS 12
Tetta, saya akan lakukan apa pun demi nama baik keluarga.
Bagus, bagus Aso! Aso kamu anak laki-laki jangan pernah ke-cewakan Tetta! Masalah keluarga ini harus diselesaikan dengan tuntas, untuk selama-lamanya.
(BTA 00.33.01 detik).
SNS 13
“Aso kamu satu-satunya anak laki-laki Tetta, sudah takdirnya bila I La Sangrego ini jatuh ke tanganmu. Tetta memberikan badik pada kau untuk mencari mereka. Mencari Andiknu Tenri, dan laki-laki yang membawanya pergi. Gunakan badik ini untuk menunaikan tugasmu, bukan untuk tujuan lain. Bukan untuk menghadapi orang-orang yang tidak ada urusannya, dengan tugasmu. ....Eeeegh bawa ILaSanrego....
(BTA 00.33.49 detik)
85
Masalah sirik bagi orang Makassar memunyai banyak segi, seba-gian orang beranggapan bahwa sirik erat kaitannya dengan pelanggaran adat perkawinan, misalnya silariang. Bentuk sirik ini terdapat pada kutipan SNS 7 dan SNS 8 adalah bentuk penghinaan kepada keluarga perem-puan yang dibawa lari anak gadisnya (silariang). Dalam hal ini, Karaeng Tiro merasa terhina karena anak perempuannya (Andi Tenri) dibawa lari (nilariang) oleh Firman. Perbuatan Tenri dan Firman kawin lari atau sila-riang membuat Karaeng Tiro dan kerabatnya merasa terhina dan diper-malukan oleh kedua orang tersebut. Karena Karaeng Tiro malu, lalu memanggil anak laki-lakinya untuk mencari Tenri dan Firman untuk menyelesaikan masalah itu secara adat Bugis Makassar yaitu membunuh mereka bila menemukan kedua orang tersebut. Perbuatan Andi Tenri dan Firman dianggap aib bagi keluarga Karaeng Tiro. Nipakasirik atau anak perempuan dibawa lari nilariang merupakan aib bagi keluarga perempuan.
Budaya sirik dapat juga berupa kesetiaan dan keperihatinan kera-bat pada orang yang dipermalukan. Hal ini dapat dilihat dari kutipan dialog SNS 9. Limpo merasa terhina atas kelakuan Andi Tenri dan Firman (sila-riang) bersumpah di depan orang tua Tenri akan mencari Andi Tenri dan Firman. Wujud keperihatinan Limpo, dia pun mendatangi rumah orang tua Firman dan menantang orang tua Firman menyelesaikan secara adat, bahkan bersumpah untuk mencari dan membunuh kedua orang tersebut.
Hal ini dibuktikan dengan ucapan Limpo “….Sekali lagi Kau hina keluarga Karaeng Tiro kubunuh Kau! (BTA Durasi 00.26. 60 detik).
86
Nilai budaya sirik nipakasirik dapat diwujudkan dalam bentuk me-wariskan kebiasaan meyelesaikan masalah yang secara turun temurun tumbuh dan berkembang di masyarakat. Kebiasaan ini dapat dilihat pada kutipan SNS 13 “ ...Tetta memberikan badik pada kau untuk mencari mereka (Tenri dan Firman). Mencari Andiknu Tenri, dan laki-laki yang membawanya pergi. Gunakan badik ini untuk menunaikan tugasmu....”
(BTA 00. 33. 01). Badik yang diberikan Karaeng Tiro pada Aso, merupa-kan salah satu bentuk budaya orang Bugis Makassar untuk menye-lesaikan masalah dengan menggunakan Badik. Badik merupakan sarana menyelesaikan masalah untuk menjaga kehormatan atau harga diri ke-luarga.
“I La Sanrego. Di ujungnya telah banyak darah yang mengalir. Darah musuh, darah penjajah dan darah penghianat. Dari generasi ke generasi badik ini selalu setia membela kehormatan keluarga”, penuturan pawang tentang badik itu kepada Andi Aso.
Orang Sulawesi Selatan yang merasa mate sirik akan melakukan perlawanan hingga ia mati untuk memulihkan siriknya. Orang Sulawesi Selatan khususnya orang Bugis Makassar lebih memilih mati memper-tahankan harga dirinya daripada hidup tidak memunyai rasa malu (mate sirik). Banyak terjadi dalam masyarakat Sulawesi Selatan baik di daerah-daerah perkotaan maupun di daerah-daerah pedesaan terpencil peristiwa bunuh-membunuh dengan mempertahankan harga diri atau menjaga sirikna.
Secara lahiriyah sering tampak seolah-olah orang yang masuk dalam
87
kategori tersebut yang merasakan sirik sanggup membunuh atau di-bunuh, memperbuat sesuatu yang fatal karena alasan-alasan sepele atau karena masalah perempuan yang sesungguhnya harus dipandang biasa-biasa saja. Akan tetapi pada hakikatnya apa yang kelihatan oleh orang luar sebagai hal yang sepele dan biasa bagi kelompok masyarakat tertentu sesungguhnya hanya merupakan salah satu alasan lahiriyah saja dari suatu kompleksitas dan sebab-sebab lain yang menjadikan ia merasa kehilangan harga diri yang juga menjadi identitas sosialnya.
Keluarga yang menanggung beban mate sirik, yaitu suasana hati yang dirasakan menurunkan martabat keluarga. Seluruh kerabat dekat merasakan tekanan tersebut dan ini harus segera dipulihkan, dengan jalan memberi sanksi kepada yang appakasirik. Misalnya pria yang melarikan anak gadis harus dibunuh atau diusir. Mereka yang merasa derajatnya telah direndahkan karena telah merasa aib, maka dia dituntut untuk menghilangkan ketidakadilan dan memulihkan harga dirinya, karena lebih baik mati dalam mempertahankan harga diri daripada hidup penuh aib. Seseorang akan dipandang mati siriknya apabila tidak berbuat apa-apa untuk mengembalikan siriknya, masyarakat menilainya orang yang tidak berguna.
Dialog yang mengandung nilai sirik mate sirik dapat dilihat dari kutipan dialog SNS 10, bagaimana Andi Tenri dan Firman telah melakukan perbuatan zina perbuatan melanggar agama, mencorengkan aib pada diri dan keluarganya sendiri. Orang yang tidak dapat memulihkan
88
siriknya, memperbaiki harga dirinya, kehormatannya maka akan disebut terkena mate sirik.
SNS 14
“Tetta sakit pasti karena saya, saya tidak bisa memaafkan diri saya kalau terjadi apa-apa pada Tetta. Ya Allah, aku ingin lihat dia, aku ingin ketemu Tetta, aku ingin Tetta tahu, aku mencintai sepenuh hati. Kamu ingin ketemu Tettamu, kamu ingin pulang? Kita bisa pulang kalau kamu mau. Tapi? Bagaimana dengan kamu? Saya akan minta maaf, mohon ampun, pada Tetta, pada ammak, daeng Aso. Pada semuanya meskipun aku harus mati menerima semua akibat itu. Saya akan terima dengan Ikhlas Tenri.
(BTA 01. 02.50 detik).
SNS 14 BTA digambarkan bagaimana rasa penyesalan Andi Tenri melakukan perbuatan yang melanggar adat orang Bugis Makassar, yaitu melakukan perbuatan yang bertentangan dengan nilai budaya sirik. Selain melakukan perbuatan yang membuat hina atau aib keluarga, juga bertentangan dengan nilai agama. Andi Tenri melakukan perbuatan yang layaknya dilakukan suami-istri sebelum mereka menikah. Perbuatan tersebut selain mencoreng nama baik keluarga juga bertentangan dengan ajaran agama khususnya agama Islam.
Perbuatan Silariang yang dilakukan Andi Tenri dan Firman bukan hanya membuat malu keluarga Karaeng Tiro, tetapi keluarga, dan saha-bat pun turut menanggung malu dari perbuatan yang dilakukannya. Apa yang dilakukan Andi Tenri membuat Karaeng Tiro malu bahkan tidak mau keluar rumah, tidak mau bertemu dengan tetangga dan kerabatnya. Rasa malu yang ditanggung Karaeng Tiro membuatnya marah hingga jatuh
89
sakit sampai meninggal dunia. Perbuatan yang dilakukan Andi Tenri membuat bapaknya sakit hingga meninggal dunia dan Andi Tenri pun menyesal dan bertekad pulang menemui keluarganya dan meminta maaf.
Rasa penyesalan yang mendalam pada Andi Tenri membuatnya nekat untuk ingin pulang ke kampung halamannya sekalipun jiwanya terancam, bahkan dibunuh pun Andi Tenri tetap bersikukuh pulang bertemu keluarganya.
Keberanian Firman untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya membuatnya siap untuk menerima balasan dari perbuatan yang dia lakukan. Dapat dilihat dari ucapannya “Meskipun aku harus mati mene-rima semua akibat itu. Saya akan temene-rima dengan Ikhlas, Tenri (BTA 01.
02.50 detik).
Andi Tenri menyadari bahwa silariang dan hubungan suami istri yang dia lakukan di luar nikah membuat keluarga dan kerabatnya malu.
Keluarga dan kerabat yang merasa terhina dan malu akan melakukan pembunuhan bagi orang yang menghinanya. Perbuatan atau pembalasan dilakukan oleh orang yang dihina atau dilecehkan martabatnya untuk mempertahankan dan memulihkan harga diri baik secara individu maupun kelompok atau keluarga yang dihina.
1. Sirik Mappakasirik-sirik
Sirik mappakasirik jenis ini berhubungan dengan etos kerja, malu tidak melakukan yang terbaik untuk kemajuan diri baik berupa pekerjaan, mencari ilmu pengetahuan yang lebih tinggi, belajar lebih giat dan
90
menjadikan ajaran agama sebagai prisnsip hidup. Mappakasirik-sirik juga merupakan motivasi untuk berusaha melakukan dan mendapatkan yang lebih baik dari sebelumnya atau yang sudah ada, sudah dimiliki. Selain motivasi, mappakasirik juga mengandung makna sebagai pandangan dan perinsip bagi orang Bugis/Makassar. Orang Bugis atau Makassar meman-dang sirik sebagai pegangan, perisai untuk tidak melakukan hal-hal yang melanggar etika, adat dan kebiasaan baik yang diyakini kebenarannya dalam masyarakat. Bagi yang melanggarnya dikucilkan di masyarakat di mana individu/orang itu hidup.
Dengan dimotori dan dimotivasi oleh semangat sirik sebagaimana ungkapan orang Makassar, “Takkunjunga bangun turuk naku gunciri’
gulingu kualleangngangi tallanga na towaliya.” Artinya, begitu mata ter-buka (bangun di pagi hari), arahkan kemudi, tetapkan tujuan ke mana kaki akan melangkah, pasang tekad “Lebih baik tenggelam daripada balik haluan (pulang ke rumah) sebelum tercapai cita-cita.” Atau, sekali layar terkembang pantang biduk surut ke pantai, sebelum tercapai pulau harapan. Selain itu, Sirik Mappakasirik-sirik juga dapat mencegah sese-orang melakukan hal-hal yang bertentangan dengan hukum, nilai-nilai moral, agama, adat istiadat dan perbuatan-perbuatan lainnya yang dapat merugikan manusia dan kemanusiaan itu sendiri.
Data yang mengandung nilai mappakasirik-sirik berupa etos kerja, pandangan hidup atau perinsip, pantang menyerah, selalu berusaha mencari dan berbuat yang terbaik bagi kehidupan Bugis/Makassar yang
91
terdapat dalam film TKVW dan film BTA. Data tersebut disimbolkan dengan SMSS , data yang mengandung nilai Sirik mappakasirik-sirik dapat dilihat dari ujaran film TKVW sebagai berikut:
SMSS 1
“... O Amma angrong katuwo, simpirik kurasa linoku punna ammantang kinjaa ri Mangkasarak. Narapimi kutaeng nipas-sukkuk pappasangna tau towaku, angciniki butta passolongan-na cerakku. Bata-bata a kusakring, kagassing ka bijangnu ri Padang tena natarima bajiko. Teamaki bata-batai, ka anak kalengnaka anne Pendekar Sutan tanntu natarima bajika. . Pammoporanga Amma, tabe Appala kanaa rong ri tau towa-ku.
(TKVW 00. 02. 00. detik ) SMSS 2
“Zainuddin jangan pernah bersedih, jangan putus asa. Cinta itu bukan melemahkan hati bukan membawa tangis, bukan mem-buat putus asa, sebaliknya cinta itu menguatkan hati meng-hidupkan harapan. Zainuddin, pergilah Semoga Tuhan mem-berikan perlindungan kepada kita berdua!
(TKVW 00. 21. 05 detik).
SMSS 3
“Saya tetap menunggu carilah kebahagian kita, ke mana pun kau pergi saya tetap untukmu. Dan jika bertemu nanti...saya tetap bersih, dan suci,untukmu kekasihku. Untukmu. Baiklah Hayati saya akan pergi dengan penuh harapan. Harapan yang sebelum kamu berdiri di sini sudah habis. Hayati kirimkan surat untukku, dan kalau tidak berhalangan maka surat itu akan saya balas pula. .... Berilah saya satu tanda mata, Azimat dalam hidup saya.
Dan akan kuletakkan dalam kafanku kalau aku mati, walaupun barang itu murah.
(TKVW 00. 25. 10. detik).
Gambaran nilai budaya Sirik mappakasirik- sirik yang diberi simbol SMSS 1 pada film TKVW adalah gambaran budaya orang Makassar yang
92
memegang teguh amanah yang diberikan kepadanya. Zainuddin me-megang amanah orang tuanya agar Zainuddin melihat dan mengunjungi kampung Pendekar Sutan di Padang. Selain mengunjungi kampung asal orang tua Zainuddin, juga menemui keluarga dan kerabat Pendekar Sutan yang ada di Padang. Dari percakapan antara orang tua angkat Zainuddin, Mak Basse, terlihat dengan jelas bagaimana kekhawatiran Mak Basse dengan penerimaan keluarga Zainuddin di Padang. Zainuddin tidak akan diterima dengan baik oleh keluarga Pen-dekar Sutan di Padang atau Minangkabau. Karena Zainuddin dipandang bukan lagi keturunan orang Padang. Minangkabau mengambil garis keturunan perempuan sedangkan ibu Zainuddin orang Makassar. Kekha-watiran orang tua angkat Zainuddin tidak dihiraukan, dan Zainuddin tetap meminta izin kepada Mak Basse untuk berangkat ke Minangkabau me-nemui keluarga bapaknya yaitu Mande Jamila salah satu dari keluarga Pendekar Sutan.
Keteguhan hati dan kesetiaan dapat dilihat dari percakapan antara Zainuddin dan Hayati pada kutipan SMSS 2, dan SMSS 3 Hayati mem-berikan motivasi semangat kepada Zainuddin agar jangan ragu dalam menempuh hidup. Selain motivasi, Hayati juga mengamanatkan kepada Zainuddin untuk pergi mencari jalan penghidupan atau pekerjaan dan meninggalkan Kota Padang. Sekalipun hati Zainuddin berat meninggalkan orang yang dia cintai, tetapi tetap teguh dalam pendiriannya mening-galkannya. Begitu pula dengan Hayati, bahkan bersumpah bahwa kelak
93
nanti setelah Zainuddin sukses di perantauan dan bertemu kembali diri Hayati akan tetap suci, dan Hayati tetap setia menunggu Zainuddin.
Selanjutnya, untuk membuktikan kesetiaan antara Hayati dan Zainuddin sebelum meninggalkan kota Padang. Zainuddin meminta tanda mata kepada Hayati sebagai kenangan pengingat dalam perjalanan mening-galkan kampung halaman orang tuanya. “Berilah saya satu tanda
Selanjutnya, untuk membuktikan kesetiaan antara Hayati dan Zainuddin sebelum meninggalkan kota Padang. Zainuddin meminta tanda mata kepada Hayati sebagai kenangan pengingat dalam perjalanan mening-galkan kampung halaman orang tuanya. “Berilah saya satu tanda