BAB V SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Kedua kajian analisis representasi nilai budaya sirik na Pacce film TKVW karya Dony Dirgantoro dan Film BTA karya Taufik Daraming Tahir, terdapat nilai budaya Bugis/Makassar sebagai berikut:
1. Representasi nilai budaya Makassar konsep (Sirik nipasirik) sebagai bentuk budaya sirik na pacce berupa penghinaan, merendahkan mar-tabat dan harga diri dan keluarga. Pada kedua Film TKVW karya Dony Dirgantoro dan film BTA karya Taufik Daraming Tahir. Hal tersebut
169
dibuktikan penghinaan film TKVW yang ditujukan kepada Zainuddin yang dipandang derajatnya lebih rendah daripada derajat Hayati, karena ibu Zainuddin orang Bugis Makassar sedangkan Hayati asli Padang, Zainuddin tidak layak melamar Hayati karena derajat Zainuddin lebih rendah daripada Hayati. Begitu juga pada Film BTA , terdapat penghinaan (nipakasirik) dalam bentuk budaya silariang/
annyala) ditujukan kepada keluarga Karaeng Tiro karena anak perem-puannya (Andi Tenri) dibawa lari oleh Firman (Andi Tenri Firma sila-riang/annyala). Silariang bagi orang Bugis Makassar dianggap per-buatan yang membuat malu keluarga, dan kerabat perempuan.
Hukuman bagi pelaku silariang (annyala) adalah dibunuh. Limpo malu dan menikam dirinya sendri karena dia merasa malu tidak bisa membunuh Andi Tenri dan Firman ketika kedua orang silariang tersebut datang di rumah Karaeng Tiro sebelum kembali baik (abbajik), padahal Limpo pernah bersumpah akan membunuh keduanya kalau ditemukan kelak.
2. Representasi nilai budaya Makassar konsep (Sirik Mappakasirik-sirik) sebagai bentuk budaya sirik na pacce berupa motivasi, etos kerja, prinsip hidup dan nilai ajaran agama . Kedua Film TKVW karya Dony Dirgantoro dan film BTA karya Taufik Daraming Tahir. Etos kerja berupa bekerja lebih giat demi mencapai cita-cita dan pantang menyerah sebelum meraih hasil yang diharapkan terdapat pada film TKVW, Zainuddin sebagai anak Bugis/
170
Makassar sekali merantau pantang pulang sebelum berhasil atau sukses. Hal ini dibuktikan dengan keinginan kuat merantau dari Makassar ke Padang, Batavia, dan ke Sura-baya. Di Surabaya Zainuddin menjadi penulis sukses, men-jadi orang terpandang, kaya memiliki rumah besar dan ken-daraan mewah, dan menjadi penulis terkenal. Film BTA kete-guhan Karaeng Tiro memegang prinsip yang tidak mudah dipengaruhi oleh orang lain. Hal ini dapat dilihat dari uca-pannya Karaeng Caya,“Tenri tidak ada karang di perairan Bira sam-pai di Selayar, yang bisa mengalahkan kekerasan hati Tettanu (Kara-eng Tiro). Kalau dia sudah berketetapan hati, dia tidak akan lunak dengan cara apa pun”.
Nilai Ketaatan menjalan ajaran agama Islam terdapat pada film BTA, hal ini ditunjukkan Karaeng Caya sebagai se-orang istri yang patuh pada suami, menaati semua keinginan suaminya, mendukung segala keputusan yang dimbil Kara-eng Tiro.Begitu pun Andi Aso, taat dan patuh melaksanakan keinginan orang tuanya sekalipun bertentangan dengan keinginannya dia tetap menjalankan perintah orang tuanya.
Tidak ingin berdosa karena tidak melaksanakan keinginan orang tua (tidak menuruti kemauan orang tua). Karaeng Caya membangunkan Andi Tenri pada waktu subuh untuk
melaksa-171
nakan sholat. Juga ucapan salam Andi Aso kepada ibunya saat akan kembali ke Makassar.
Selain itu, Film TKVW terdapat nilai keikhlasan, penye-rahan diri kepada Allah Swt, yang dilakukan Zainuddin dan Hayati. Hayati berpesan kepada Zainuddin agar selalu ber-doa dan memohon perlindungan Allah agar dalam perjalan-an selalu mendapat perlindungperjalan-an Allah Swt. Dperjalan-an berharap kelak dapat dipertemukan kembali, serta ikhlas menerima ke-putusan Allah Swt. Begitu pula permiohonan Hayati di akhir hayatnya agar Zainuddin membacakan dua kalimat syahadat di telinganya. Kalimat itu diucapkan tiga kali Hayati kepada Zainuddin, begitu pun Zainuddin membacakan kalimat sya-hadat tersebut sebanyak tiga kali di telinga Hayati sampai akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya.
3. Representasi nilai budaya Makassar konsep (Sirik Tappelak Sirik), sebagai bentuk budaya sirik na pacce yaitu hilang rasa malu karena tidak dapat menepati janji, diejek atau dihina. Perwu-judan nilai budaya tappelak sirik ditemukan pada Film BTA akibat perbuatan silariang Andi Tenri dan Firman, keluarga dan kerabat Karaeng Tiro malu. Sebagai kerabat, Limpo malu (tappelak sirik) karena tidak dapat membuktikan ucapannya mencari dan membunuh Firman dan Andi Tenri bila kelak menemukannya sebelebum kembali baik (abbajik) .
172
Sumpah yang diucapkan Limpo pun tidak dibuktikan, Andi Tenri, anak dan suaminya pulang ke rumah Karaeng Caya disaksikan oleh Limpo dan tidak dibunuh kedua orang itu.
Akibat rasa malu yang ditanggung Limpo tidak mampu mem-bunuh Andi Tenri dan Firman, maka dia menikam dirinya sendiri.
Representasi nilai teppelak sirik juga terdapat pada film TKVW. Hayati yang berjanji setia menunggu Zainuddin sampai kapan pun tidak dibuktikan. Hayati menerima lama-ran Aziz dan mengabaikan janjinya menunggu kedatangan Zainuddin melamar. Dalam budaya Bugis/Makassar keputus-an Hayati menikahi Azis adalah bukti kalau Hayati tidak dapat menepati janji, menghianati janji cintanya kepada Zainuddin.
4. Latar film TKVW terjadi di Makassar dan Padang, bahasa yang digunakan Zainuddin ketika berbicara ibu angkatnya Mak Basse menggunakan bahasa daerah Makassar “Oo am-ma! anjo butta Padang jai ampaka labbiriki, jai tau angkana anjo agama islam antama ri mangkasarak nakana tawua battu i ripadang.
Jai toi sikolah agama. (TKVW durasi 00. 03.01 detik).
Latar film BTA (BTA) di daerah Bira Kabupaten Bulu-kumba Sulawesi Selatan hal ini digambarkan pada aktifitas masyarakat membuat perahu pinisi. Bahasa yang digunakan
173
bahasa daerah Makassar, serta pakaian adat yang dipakai Karaeng Tiro dan Karaeng Caya jas tutup dan baju bodo sebagai adat Sulawesi Selatan.
5. Representasi nilai budaya Makassar konsep pacce yaitu rasa pedih, rasa iba kepada sesama manusia, turut merasakan derita orang lain. Nilai budaya Pacce Pada kedua Film TKVW karya Dony Dirgantoro dan film BTA karya Taufik Daraming Tahir. Pada Film TKVW rasa iba digambarkan Zainuddin kepada Hayati dan Aziz, walaupun Zainuddin pernah dihina dan di-sakiti Aziz dan Hayati, tetapi Zainuddin tetap ikhlas memban-tu Aziz dan hayati ketika kedua orang itu membutuhkan ban-tuan.
Bentuk bantuan yang diberikan Zainuddin adalah me-manggil keduanya tinggal di rumah Zainuddin dan menang-gung segala kebutuhan hidup Hayati dan Aziz. Setelah Hayati diceraikan oleh Aziz pun, Zainuddin siap menanggung biaya hidup Hayati sampai Hayati bersuami lagi.
Bentuk nilai budaya sirik na pacce atau rasa iba juga terapat pada Film BTA karya Taufik Daraming Tahir.. Hal ditun-jukkan oleh Karaeng Caya berani mengambil keputusan yang bertentangan dengan kebiasaan orang Bugis Makassar ka-rena Pacce (rasa iba) melihat anak, cucu, dan menantunya, sedih melihat Andi Tenri hendak dibunuh di depan mayat Karaeng Tiro. Ibu Andi Tenri memohon kepada anaknya
174
(Andi Aso) agar jangan membunuh adiknya sendiri (Andi Tenri dan Firman). Perasaan iba yang dalam mendorong orang tua Andi Tenri, memaafkan kesalahan besar yang mencoreng nama baik keluarga dan kerabat yang diperbuat Andi Tenri dan Firman (silariang).