ANALISIS FILM TENGGELAMNYA KAPAL VAN DER WIJCK KARYA DONY DIRGANTORO DAN FILM BADIK TITIPAN
AYAH KARYA TAUFIK DARAMING TAHIR
(Representasi Nilai Budaya Sirik Na Pacce)Analysis of Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck Movie by Hamka and Badik Titipan Ayah Movie by Daraming
(Representation of Sirik Na Pacce’s Cultural Values)
T E S I S Disusun oleh :
ST. MURNI Y.S.
1050411.017.16
PROGRAM PASCASARJANA
MAGISTER PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2019
ANALISIS FILM TENGGELAMNYA KAPAL VAN DER WIJCK KARYA DONY DIRGANTORO DAN FILM BADIK TITIPAN
AYAH KARYA TAUFIK DARAMING TAHIR
(Representasi Nilai Budaya Sirik Na Pacce)TESIS
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Magister
Program Studi
Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Disusun dan Diajukan oleh
ST. MURNI Y.S.
Nomor Induk Mahasiswa : 1050411.017.16
Kepada
PROGRAM PASCASARJANA
MAGISTER PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR MAKASSAR
2019
ABSTRAK
ST. MURNI Y.S. 2019, Analisis Film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Hamka dan Film Badik Titipan Ayah karya Taufik Daraming Tahir (Representasi Nilai Budaya Sirik Na Pacce). Tesis. Dibimbing oleh Abd.
Rahman Rahim dan Sitti Aida Azis
Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan nilai budaya sirik na pacce Film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Hamka dan Film Badik Titipan Ayah karya Taufik Daraming Tahir, berdasarkan representasi nilai (1) Sirik nipakasirik, (2) Sirik mappakasirik-sirik, (3) Tappelak sirik, (4) Pacce, dan (5) Latar. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Jenis penelitian yang digunakan yaitu kajian pustaka. Sumber data adalah Film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Hamka dan Film Badik Titipan Ayah karya Taufik Daraming Tahir.
Teknik pengumpulan data yang digunakan ada dua yaitu: 1) Data primer diperoleh dari Film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Hamka dan Film Badik Titipan Ayah karya Taufik Daraming Tahir. Peneliti mendengarkan dan memerhatikan dialog aktor secara cermat dan berulang-ulang kedua film tersebut, kemudian mengklasifikasikan data yang mengandung nilai budaya Sirik na pacce berdasarkan acuan yang telah ditentukan. 2) Data sekunder berupa pendapat ahli yang relevan dengan nilai budaya Sirik na pacce.
Hasil penelitian Film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Hamka dan Film Badik Titipan Ayah karya Taufik Daraming Tahir, menunjukkan adanya nilai budaya sirik na pacce masyarakat Bugis dan Makassar yang patut dijaga, dipelihara dan dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Baik yang berkaitan dengan prinsip, etos kerja, etika, pantas atau tidak pantas dilakukan, nilai agama, maupun rasa iba yang menjadi sumber inspirasi menolong sesama manusia.
Kata Kunci; Film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Film Badik Titipan Ayah dan nilai budaya sirik na pacce
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Rabbul Alamin yang telah memberikan taufik dan karunia-Nya sehingga penulisan tesis ini dapat diselesaikan.
Tesis yang berjudul Analisis Film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Dony Dirgantoro dan Film Badik Titipan Ayah karya Taufik DaramingTahir (Representasi Nilai Budaya Sirik Na pacce). Penulisan tesis ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, pada Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Makassar.
Dengan keberadaan tesis ini dapat menambah perbendaharaan keilmuan penulis sesuai dengan bidang ilmu yang ditekuni.
Keberhasilan penulis menyelesaikan tesis ini, memang melalui berbagai macam kesulitan dan hambatan yang kesemuanya itu dapat diatasi dengan ketekunan, kesabaran, dan kerja keras yang disertai doa, dan lebih utama adalah bantuan dari berbagai pihak yang tidak dapat dibalas penulis kecuali ucapan terima kasih. Karena itu, melalui kesempatan yang baik ini penulis mengucapkan terima kasih kepada: Dr.
Abd. Rahman Rahim, M. Hum. Pembimbing I, dan Dr. Siti Aida Azis. M.
Pd. Pembimbing II yang telah bersedia memberikan bimbingan, saran, arahan, dan dorongan sejak penyusunan proposal hingga penyelesaian tesis ini.
Terima kasih pula penulis sampaikan kepada seluruh dosen di lingkup Program Pascasarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Muhammadiyah Makassar yang telah memberikan ilmu dan pengabdiannya kepada penulis. Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang senantiasa memberikan dorongan dan motivasi. Direktur Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Makassar beserta staf yang senantiasa memberikan bantuannya, Rektor Universitas Muhammadiyah Makassar yang sudi menerima dan memberi
viii
kesempatan saya untuk melanjutkan pendidikan di Universitas yang dipimpinnya.
Ucapan terima kasih terkhusus kepada kedua orang tua saya, keluarga, dan ananda Muh. Rais Mukram Latif, Muh. Rayhan Zulfikrah, Aulia Rezki, Abd. Rahman, dan Muh. Haerul. Serta teman-teman seperjuangan Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Makassar khususnya Angkatan 2016.
Akhirnya dengan segala kerendahan hati penulis menyadari bahwa Tesis ini sifatnya masih sangat sederhana, namun penulis sudah ber- usaha semaksimal mungkin menyempurnakannya. Oleh karena itu, penulis senantiasa mengaharapkan saran dan kritikan yang bersifat konstruktif demi kesempurnaan Tesis ini, semoga bantuan dan partisi- pasinya mendapat rida dan pahala dari Allah Swt. Amin.
Makassar, Maret 2019
Penulis
MOTTO
Segala apa
Segala apa yang kuberikan pada ayah dan ibu Tidak pernah sebanding dengan
apa yang telah diberikan kepadaku, olehnya aku harus melakukan
yang terbaik buat mereka!
Selalu menjadi yang terbaik bagi keluargaku, ayah dan ibu, suami dan anak-anakku!
‘Reso temmangingngi malomo naletei pammase Dewata’
‘Sirik na Pacce, pangngaderang,
rappang to Ogi na Mangkasa uratna syarak
“Naiya tau deE sirikna, de lainna olok-olok”,
“Sirik emitu tariaseng tau, narekko dei sirikta
tania ni tau,
rupa gaung mani asenna”!
x
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL... i
HALAMAN SAMPUL DALAM... ii
HALAMAN PENGESAHAN TESIS... iii
HALAMAN PENERIMAAN PENGUJI... iv
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS ... v
ABSTRAK... vi
ABSTRACT... vii
KATA PENGANTAR... viii
MOTTO... x
DAFTAR ISI... xi
DAFTAR SINGKATAN... xiii
BAB I PENDAHULUAN... 1
A. Latar Belakang... 1
B. Fokus Penelitian... 10
C. Tujuan Penelitian... 10
D. Manfaat Penelitian... 11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR... 13
A. Kajian Pustaka... 13
1. Penelitian yang Relevan... 13
2. Pengertian Nilai Budaya Sirik... 20
3. Pendekatan Sosiologi Sastra... 30
4. Makna Sirik Na Pacce dalam Pandangan Bugis Makassar... 32
5. Film... 58
B. Kerangka Pikir... 68
BAB III METODE PENELITIAN... 72
A. Desain Penelitian... 72
B. Batasan Istilah... 72
C. Data dan Sumber Data... 74
D. Teknik Pengumpulan Data... 77
E. Teknik Analisis Data... 78 xi
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 79
A. Hasil Penelitian... 79
B. Pembahasan... 123
BAB V SIMPULAN DAN SARAN... 167
A. Simpulan ... 167
B. Saran... 172
DAFTAR PUSTAKA... 175
RIWAYAT HIDUP ...179
LAMPIRAN 1. KORPUS DATA... 181
2. IZIN PENELITIAN... 193
DAFTAR SINGKATAN (ISTILAH)
TKVW : Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck BTA : Badik Titipan Ayah
SNS : Sirik Nipakasirik
SMSS : Sirik Mappakasirik-Sirik TS : Tappelak Sirik
PC : Pacce LT : Latar
Q.S. : Quran Surah
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia merupakan makhluk sosial yang senantiasa berinteraksi dengan orang lain dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, oleh karena itu manusia cenderung hidup berkelompok dan bermasyarakat. Kelompok masyarakat tersebut kemudian bersepakat membuat aturan yang meng- atur tatanan sikap dan bertingkah laku dalam lingkungannya. Aturan ini kemudian berkembang menjadi prinsip, pedoman dan pandangan hidup sebuah masyarakat yang harus dipatuhi dan dijalankan oleh setiap individu. Selanjutnya pandangan hidup suatu kelompok masyarakat sangat mempengaruhi tingkah laku individu yang hidup dalam lingkungan masyarakat tersebut, sehingga apabila seseorang ingin bergaul dan bertahan hidup dalam kelompok masyarakat tertentu, maka harus dapat mengetahui dan mengenal kebiasaan (adat), pandangan (prinsip) hidup dan aturan-aturan (norma) yang berlaku dalam masyarakat itu (Kidam.
2012: 1).
Nilai adalah hal yang yang sangat dibutuhkan dalam setiap aspek kehidupan, Nilai menjadi salah satu acuan manusia dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat, nilai hidup dalam suatu masyarakat dan dijadikan pegangan atau falsafah hidup dalam masyarakat di mana individu atau kelompok masyarakat tertentu hidup atau mendiami suatu
1
wilayah. Begitu pula dengan masyarakat Bugis dan Makassar memunyai falsafah hidup yang sangat dijunjungnya yaitu sirik na pacce.
Sirik na pacce dalam masyarakat Bugis dan Makassar sangat dijunjung tinggi sebagai falsafah dalam segala aspek kehidupan, dan hal ini juga berlaku dalam aspek ketaatan masyakarat terhadap aturan tertentu dalam tatanan kemasyarakatan. Pemahaman terhadap sirik na pacce ini sangat memengaruhi masyarakat dalam kehidupannya sehari- hari, baik dalam kaitan pandangan hidup (sirik sebagai falsafah), sebagai pemacu motivasi dalam bekerja, rasa malu, dan kepatutan terhadap hukum atau aturan yang berlaku di dalam kehidupan masyarakat Bugis- Makassar. Budaya sirik na pacce merupakan alat kontrol bagi masyarakat Bugis Makassar di manapun mereka hidup untuk menghindari perbuatan tercela dan mengeratkan rasa kebersamaan yang kuat antara sesama (Ali.
2016).
Beberapa tahun terakhir terlihat jelas bagaimana perubahan pola pikir masyarakat yang ada di Sulawesi Selatan, utamanya di kalangan pemuda yang secara otomatis memengaruhi pola pikir mereka dalam mengaktualisasikan diri dalam kehidupan kesehariannya. Hal tersebut terlihat pada semakin maraknya fenomena bentrokan massal di antara para mahasiswa yang notabene mewakili kaum muda yang memiliki intelektualitas yang juga sebagai generasi pelanjut bangsa. Ada satu hal penting yang perlu digarisbawahi dalam hal ini. Fenomena bentrokan massal tersebut seringkali didasari atas sebuah perkara yang sangat
sepele dan bersifat personal. Namun hal tersebut kemudian menjadi sesuatu yang dahsyat ketika perkara tersebut kemudian dilarikan ke ranah yang tidak tepat, yakni menyangkut persoalan sirik na pacce yang kemudian disalahartikan oleh kaum intelektual muda.
Padahal jika merujuk pada makna asli dari kedua kata tersebut, Sirik itu sendiri sejatinya merupakan rasa malu yang terurai dalam dimensi-dimensi harkat dan martabat manusia atau dengan kata lain sebagai harga diri manusia itu sendiri. Sedangkan Pacce merupakan sebuah pemaknaan atas kolektivitas (solidaritas) moral bagi masyarakat Sulawesi Selatan secara umum. Namun, dalam konteks kekinian, pe- maknaan tersebut kemudian bergeser kearah yang cenderung negatif.
Makna sirik hanya sebatas rasa malu dari sifat ego diri para pemuda yang kemudian menjadikan pacce sebagai sebuah dampak dari sirik atau hanya sebatas sebagai sebuah simbol keegoisan semata. Pemberiaan makna seperti ini mendistorsi hakikat dari makna sirik na pacce sebenarnya. Hakikat sirik adalah konsep atas nilai kehormatan yang berasal dari sebuah kebaikan yang dijadikan sumber motivasi berbuat sesuatu lebih baik, etos kerja, prinsip untuk berbuat yang baik dan tidak melakukan kejelakan. Sedangkan pacce adalah perasaan simpati, iba, dan prihatin kepada sesama.
Ada ungkapan suku Makassar yang berbunyi “punna tena siri’nu, paccenu seng pakania” (kalau tidak ada sirik-mu pacce-lah yang kau pegang teguh) .Ungkapan ini menggambarkan bahwa antara sirik dan
pacce selalu seiring sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
Apabila sirik dan pacce sebagai pandangan hidup tidak dimiliki oleh seseorang, maka akan dapat berakibat orang tersebut bertingkah laku melebihi binatang (tidak punya malu/ sirik), tidak memiliki unsur kepedulian sosial dan hanya mau menang sendiri (tidak merasakan sedih/pacce).
Falsafah Sirik dipergunakan oleh orang Makassar untuk membela kehormatan terhadap orang-orang yang mau menghina atau meren- dahkan harga dirinya, keluarganya maupun kerabatnya. Falsafah pacce dipakai untuk membantu sesama anggota masyarakat yang berada dalam kesusahan atau mengalami penderitaan.
Pandangan masyarakat Bugis dan Makassar tentang konsep dan tujuan sirik dan pacce yang sebenarnya mulai terkikis, bahkan dalam beberapa contoh kasus telah terjadi penyalahgunaan maksud dan tujuan sirik. Misalnya ketika seorang pemuda yang tanpa sebab jelas (dalam keadaan mabuk) mengganggu orang yang lewat dan terjadi perkelahian yang menyebabkan si pemuda mengalami luka berat, maka teman-teman pemuda tersebut mengadakan pembalasan dengan alasan sirik (mem- pertahankan harga diri). Hal ini malah akan memperbesar masalah yang dapat berakibat pertikaian antarkelompok, sehingga timbul kesan pada orang Makassar itu “Pabbambangangi na tolo” (pemarah lagi bodoh) dan
“Eja tompi na doang” (nanti setelah merah baru terbukti udang), yaitu kebiasaan yang tidak mau memperhitungkan akibat yang akan ditimbulkan dari perbuatan yang akan dilakukan.
Ungkapan tersebut muncul sebab orang Makassar merasa bahwa harga dirinya direndahkan di depan umum, maka ia akan langsung memberikan pembalasan. Bahwa kalau sirik sudah dilanggar, maka harus langsung dibayar, nanti setelah itu baru dipikirkan akibatnya. Hal ini tidak sepenuhnya benar, karena tindakan balasan yang dilakukan bukan karena mereka bodoh, akan tetapi semata-mata hanya ingin membela harga dirinya dan mendorong untuk dapat menjaga kehormatan diri, namun yang terpenting ialah harga diri yang dibela memang benar dan patut untuk dibela dan dipertahankan.
Ada beberapa penyebab timbulnya sirik, misalnya: apabila ada seorang pria dan wanita yang menikah tanpa persetujuan keluarga mempelai wanita (kawin lari), maka hal tersebut dianggap sirik (mema- lukan/merusak harga diri keluarga perempuan); apabila ada orang yang ditampar di depan umum, maka hal tersebut termasuk sirik (diper- malukan); apabila ada seorang yang pergi merantau untuk memerbaiki kehidupannya, maka dia merasakan malu (sirik) apabila harus pulang tanpa hasil (gagal); dan apabila ada orang yang melanggar aturan agama (berzina), maka orang tersebut telah melanggar sirik (berbuat hal yang memalukan)
Selain sirik sebagai falsafah orang Makassar/Bugis, dalam ajaran Islam pun sirik sangat dijunjung tinggi karena berkaitan harga diri dan kehormatan, apabila mempertahankan harga diri dengan alasan yang jelas dan merasakan malu bila akan melakukan perbuatan yang salah
maka hal tersebut dapat dibenarkan. Apabila seseorang sudah tidak memiliki lagi perasaan malu untuk berbuat apa saja maka segala perbuatan yang melanggar aturan-aturan agama, adat, hukum dan norma- norma yang lain akan dilakukannya tanpa beban apapun. Sirik na pacce juga dapat bermakna turut merasakan kesedihan dan penderitaan, juga bermakna turut dan dapat membantu orang yang mengalami pen- deritaan. Pacce yang berarti: pedih, prihatin, merasa iba pada orang lain yang membutuhkan pertolongan (keras, kokoh pendirian). Jadi Pacce berarti semacam kecerdasan emosional untuk turut merasakan kepedihan atau kesusahan individu lain dalam komunitas (solidaritas dan empati).
Dari awal penulis tertarik untuk meneliti dengan mengangkat atau menyinggung sebuah permasalahan di sekitar kehidupan penulis yakni
“Silariang”. Silariang adalah satu masalah yang sering terjadi dan sangat berat sanksinya dalam tatanan kehidupan masyarakat Bugis dan Makassar karena dapat berujung pada kematian atau penghilangan nyawa. Di daerah sekitar penulis bertugas yakni SMPN 4 Biringbulu Desa Baturappe Kabupaten Gowa “ Silariang” ini masih sering terjadi bahkan selama penulis bertugas sejak tahun 2013 hingga sekarang setiap tahun ada siswa yang melakukan silariang. Sanksi penghilangan nyawa akan diterima oleh pihak yang mempermalukan (appakasirik) oleh pihak yang dipermalukan (tumasirik).
Penulis menjatuhkan pilihan pada Film Badik Titipan Ayah karya Taufik Daraming Tahir (selajutnya disingkat BTA) karena melihat bahwa
peristiwa silariang ini bukan sepenuhnya kesalahan dari pasangan remaja Andi Tenri dan Firman sepasang kekasih karena mungkin tidak bermoral atau tidak pernah dididik dengan agama melainkan disebabkan kejadian masa lalu antara dua orang bersahabat. Persahabatan kedua ayah dari sepasang kekasih ini yang kemudian bersiteru dalam sebuah bisnis yang dijalani bersama kemudian berubah menjadi bermusuhan sampai mati.
Dalam pertengkaran hebat kedua orang bersahabat ini dalam sebuah mobil melaju yang disetir oleh Karaeng Parapak (ayah Firman) terjadi kecelakaan yang menyebabkan mata Karaeng Tiro (ayah Andi Tenri dan Andi Aso) buta dan Karaeng Parapak meninggal dunia. Meskipun Karaeng Tiro tidak pernah lagi mengungkit masa lalunya tetapi Karaeng Caya sangat tahu kalau suaminya sangat tidak menghendaki lagi keluarganya berhubungan dengan keluarga Karaeng Parapa apalagi masuk menjadi bagian dari keluarganya. Demikianlah sebab mengapa hubungan antara Andi Tenri dan Firman tidak akan pernah direstui oleh kedua orang tuanya. Celakanya kejadian yang menjadi penyebab tidak direstuinya hubungan kekasih ini tidak pernah diutarakan dalam keluarga sehingga terjadilah wujud berontak seorang anak gadis pada kedua orang tuanya dengan menginginkan hamil sebelum nikah kemudian silariang dengan harapan hubungan mereka dapat direstui.
Selanjutnya diceritakan pada film BTA, Karaeng Tiro ayah dari Andi Aso merasa malu sirik karena Andi Tenri anak gadisnya telah men- coreng nama baik keluarga dengan melakukan (silariang) lari dengan laki-
laki dan kawin tanpa restu keluarga. Kemudian untuk menegakkan sirik, mengembalikan nama baik keluarga Karaeng Tiro memerintahkan Aso kakak Tenri untuk mencari Tenri dan menyelesaikan dengan adat Makassar dengan cara membunuh keduanya (Tenri dan suaminya). Rasa malu yang sangat besar dia rasakan hanya dapat dihapus dengan mengalirkan darah Tenri pada sebuah badik pusaka keluarga (ilasanrego).
Falsafah Sirik na pacce sebagai prinsip hidup dalam tatanan norma hidup masyarakat Bugis dan Makasar bukan hanya mengatur tentang bagaimana silariang dan sanksinya tetapi juga menyangkut hal yang lain, bagaimana seorang manusia menempuh hidup di dunia hingga meraih hidup bahagia dunia akhirat. Hal itu antara lain etos kerja dan falsafah hidup.
Penulis melihat falsafah sirik ini yang dijadikan prinsip oleh masya- rakat suku Bugis dan Makassar sejalan dengan ajaran atau falsafah yang terkandung dalam “Film Tenggelamnya Kapal Vander Wicjk” (selanjutnya disingkat TKVW) karya Hamka dan “Badik Titipan Ayah (selanjutnya disingkat BTA) karya Taufik Daraming Tahir dkk.
Film TKVW karya Buya Hamka ini yang kemudian difilmkan disutradarai oleh Sunil Soraya dan penulis naskah atau skenarionya adalah Dony Dirgantoro. Film TKVW menggambarkan petualangan imajinasi kepada manusia khususnya masyarakat Bugis dan Makassar bagaimana nilai-nilai budaya Sirik na pacce digambarkan dalam film tersebut. Film TKVW mengisahkan tentang perbedaan latar belakang
sosial yang menghalangi hubungan cinta sepasang kekasih hingga berakhir dengan kematian. Dari Makassar, Zainuddin berlayar menuju tanah kelahiran ayahnya di Padang Panjang. Hatinya terpikat pada seorang jelita bangsawan yang bernama Hayati. Tokoh Zainuddin sebagai seorang perantau dari tanah Makassar memegang teguh prinsip lelaki perantau Bugis dan Makassar, bahwa dia tidak akan kembali ke kampungnya sebelum menjadi orang yang berhasil sebagaimana falsafah
“Sirik”. Dia merasa malu untuk kembali ke tanah Makassar sebelum cita- cita tercapai atau pulang membawa keberhasilan.
Film TKVW ini diawali dengan konflik pertentangan antara budaya Makassar dengan Minang yang dikemas begitu hebat oleh penulis Buya Hamka. Zainuddin tokoh utama film TKVW dihadapkan pada situasi yang menyiksa batin dan pikirannya hingga merasa begitu menderita. Betapa tidak, di tanah kelahirannya dia tidak diakui sebagai orang Makassar karena ayahnya orang asli Padang dan di tanah Minang dia tidak diterima sebagai anak keturunan Minangkabau karena ibunya orang Makassar (Bulukumba). Perlakuan yang tidak adil atas diri Zainuddin di tanah Minang inilah menjadi awal penghinaan atas dirinya sebagai pribadi seorang Mangkasarak.
Penulis memilih kedua film ini sebagai objek penelitian karena keduanya memiliki kesamaan yakni setting atau latar peristiwanya ada yang terjadi di Makassar, tokoh Zainuddin dalam film TKVW berlatar sosial
sama dengan tokoh utama dalam film BTA yakni berlatar sosial suku Makassar dari Bulukumba.
Budaya Sirik na pacce yang dijadikan salah satu pegangan hidup orang Makassar yaitu malu melakukan hal-hal yang bertentangan dengan adat-istiadat, hukum, nilai agama, dan juga dijadikan pegangan sebagai etos kerja. Namun, pemahaman falsafah Sirik na pacce perlu diluruskan kembali maknanya dalam masyarakat Bugis/Makassar dewasa ini yang agak menyimpang dari makna dan tujuan sebenarnya.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka Sirik na pacce dijadi- kan permasalahan dalam penelitian ini dengan menetapkan judul Analisis Film Tenggelamnya Kapal Van Der Wicjk Karya Hamka dan Film Badik Titipan Ayah Karya Taufik Daraming Tahir (Repre- sentasi Budaya Sirik Na Pacce).
B. Fokus Penelitian
Fokus penelitian ini adalah representasi Sirik Na Pacce dalam Film TKVW dan Film BTA berupa: (1) Sirik Nipakasirik (berhubungan menghina kehormatan, harga diri, atau dipermalukan), (2) Sirik Mappakasirik-sirik (berhubungan dengan etos kerja, prinsip hidup, dan nilai agama),(3) Sirik Tappelak Sirik (berhubungan dengan hilangnya rasa malu, kehormatan seseorang), (4) Pacce (rasa pedih, rasa iba, turut prihatin kepada sesama manusia), dan (5) Latar.
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan bentuk refresentasi sirik na pacce dalam film TKVW karya Hamka dan BTA karya Taufik Daraming Tahir dkk. Mendeskripsikan Sirik na pacce berkaitan:
(1) Sirik Nipakasirik (berhubungan menghina kehormatan, harga diri, atau dipermalukan), (2) Sirik Mappakasirik-sirik (berhubungan dengan etos kerja, prinsip hidup, dan nilai agama), (3) Sirik Tappelak Sirik (berhubungan dengan hilang- nya rasa malu, kehormatan seseorang), (4) Pacce (rasa pedih, rasa iba, turut prihatin kepada sesama manusia), dan (5) Latar.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini sebagai berikut : 1. Manfaat Teoretis :
a. Menambah kajian khasanah sastra gambaran nilai Sirik na pacce yang terkandung dalam film TKVW karya Hamka dan film BTA karya Taufik Daraming Tahir dkk.
b. Untuk menambah pengetahuan dan pemahaman tentang nilai- nilai Sirik na pacce yang terkandung dalam film TKVW karya Hamka dan BTA karya Taufik Daraming Tahir dkk.
2. Manfaat Praktis:
a. Bagi calon peneliti, mahasiswa, guru, dosen atau pengkaji sastra lainnya sebagai salah satu bahan referensi bagi calon peneliti yang
ingin mengembangkan atau memperdalam kajian mengenai kajian sirik na pacce film TKVW karya Hamka dan film BTA karya Taufik Daraming Tahir dkk).
b. Bagi masyarakat, khususnya masyarakat Bugis/Makassar dapat mempelajari dan mencintai karya sastra lokal (film TKVW karya Hamka dan film BTA karya Taufik Daraming Tahir dkk.), memahami makna Sirik na pacce dengan baik, dan men- jadikan Srik na pacce sebagai motivasi, inspirasi berbuat lebih baik dan menjadikan alat perekat kepada sesama manusia.
c.Bagi remaja khususnya Bugis/Makassar senantiasa saling menghargai, peduli kepada sesama merupakan kebiasaan yang harus dijaga dan dilestarikan, silariang jalan perkawinan yang kurang baik dan seyogyanya dihindari.
d. Bagi masyarakat sekolah dan penikmat sastra, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu bahan bacaan atau referensi bagi guru dan siswa tentang nilai Sirik na pacce yang tumbuh dan berkembang pada masyarakat Makassar dan Bugis perlu dipelihara dan dijadikan acuan dalam kehidupan bermasyarakat.
Budaya Sirik na pacce sebagai cerminan karakter suku Bugis/
Makassar.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR
A. Kajian Pustaka
1. Penelitian yang Relevan
Penelitian yang relevan dilakukan oleh Rizal Darwis dan Asna Usman Dilo Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN Sultan Amai Gorontalo. yang berjudul Implikasi Siri Na Pacce pada Masyarakat Makassar di Kabupaten Gowa. Jurnal pada tahun 2011, pada penelitian tersebut terungkap bahwa Sirik ialah perasaan malu apabila melakukan perbuatan tercela atau sikap ingin mempertahankan harga diri terhadap orang yang melecehkannya dan upaya untuk bekerja atau berusaha memperoleh kehidupan yang lebih layak. Sedangkan pacce ialah perasaan yang timbul sebagai wujud solidaritas terhadap kerabat yang menimpa kesusahan dan diwujudkan dalam bentuk memberikan bantuan.
Falsafah sirik na pacce masih diperpegangi dan berusaha dilaksanakan oleh masyarakat suku Makassar di Kabupaten Gowa, namun pemahaman dan pelaksanaan budaya tersebut sudah mulai bergeser akibat pengaruh dan pengintegrasian budaya yang berasal dari luar Makassar.
Penelitian yang lain juga dilakukan Muhamad Khusni yang berjudul Nilai-Nilai Pendidikan Islam dalam RomanTenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau, Tesis 2010.
13
Pada penelitian ini disimpulkan nilai-nilai pendidikan Islam yang terkandung dalam roman tersebut adalah :
1. Nilai keimanan yaitu suatu kepercayaan terhadap Allah Swt yang terhujam kedalam hati dengan penuh keyakinan tanpa ada perasaan ragu-ragu.
2. Nilai kejujuran yaitu sesuatu yang sesuai dengan sebenarnya.
Kejujuran merupakan perbuatan yang sangat mulia melebihi dari segala-galanya.
3. Nilai tanggung jawab yaitu kewajiban terhadap segala sesuatu; fungsi menerima pembebanan sebagai akibat sikap tindak sendiri atau pihak lain.
4. Nilai keikhlasan yaitu suatu sikap atau prilaku merelakan, mem- berikan dengan tulus hati.
5. Nilai akhlak yaitu suatu sikap dalam jiwa yang darinya lahir berbagai perbuatan dengan mudah dan gampang tanpa perlu kepada pikiran dan pertimbangan.
Implikasi nilai-nilai pendidikan Islam dalam Roman Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck adalah sastra merupakan salah satu sarana ko- munikasi yang dapat menggugah perasaan pembaca. Tesis ini di- harapkan mampu mewarnai penyampaian sastra yang lebih menekankan pada pendidikan Islam sehingga dapat merubah paradigma dalam memahami nilai-nilai sastra dan para pendidik dapat menyampaikan pesan moral lewat karya sastra.
Penelitian yang dilakukan Virgo S. Lensun berjudul Tindak Ilokusi dalam Novel “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” Karya Hamka Uni- versitas Sam Ratulangi Fakultas Ilmu Budaya Manado 2016, Skripsi.
Disimpulkan ; Tindak Ilokusi berdasarkan fungsi yang ditemukan dalam novel ini terdiri dari; kompetititf (meminta), menyenangkan (menawarkan, mengajak/mengundang, menyapa, mengucapkan terima kasih, dan mengucapkan selamat), bekerja sama (menyatakan dan mengajarkan), bertentangan (menuduh, menyumpai, dan memarahi). Terdapat pula tindak ilokusi berdasarkan fungsi yang tidak ditemukan dalam novel ini, antara lain: kompetitif (memerintah, menuntut, dan mengemis) dan bertentangan (mengancam).
Tindak ilokusi berdasarkan kategori yang ditemukan dalam novel ini terdiri atas: asertif (menyatakan, mengusulkan, membual, dan menge- luh), direktif (memohon, menuntut, dan memberi nasihat), komisif (menjanjikan dan menawarkan), ekspresif (mengucapkan terima kasih, mengucapkan selamat, dan mengecam), deklarasi (memecat).
Terdapat pula tindak ilokusi berdasarkan kategori yang tidak ditemukan dalam novel ini, antara lain: asertif (mengemukakan pendapat dan melaporkan), direktif (memesan dan memerintah), komisif (bergaul), ekspresif (memberi maaf, memuji, dan mengucapkan belasungkawa), dan deklarasi (mengundurkan diri, membabtis, memberi nama, menja- tuhkan hukuman, mengucilkan atau membuang, dan mengangkat).
Tindak ilokusi yang sering digunakan oleh para tokoh dalam novel ini, antara lain: Tindak ilokusi berdasarkan fungsi yaitu bekerja
sama (menyatakan) sebanyak 17 ujaran dan bertentangan (memarahi) sebanyak 12 ujaran. Tindak ilokusi berdasarkan kategori yaitu asertif (menyatakan) sebanyak 15 ujaran.
Penelitian siri na pace juga pernah dilakukan oleh Tasrif Akib, dkk.
Berjudul Pengaruh Model Pembelajaran Siri’ na Pacce terhadap Kemam- puan Membuat Paragraf Deskriptif dalam Pembelajaran Bahasa Inggris di SMP Negeri 3 Sungguminasa Kab. Gowa, jurnal FKIP Unismuh 2016.
Dari hasil penelitian tersebut disimpulkan.
1. Hasil belajar Bahasa Inggris siswa kelas VIII SMPN 3 Sung- guminasa Kabupaten Gowa yang diajar dengan pembelajaran model pembelajaran Siri’ Na Pacce berada dalam kategori tinggi.
2. Hasil belajar Bahasa Inggris siswa kelas VIII SMPN 3 Sung- guminasa Kabupaten Gowayang diajar dengan pembelajaran langsung berada dalam kategori rendah.
3. Hasil belajar Bahasa Inggris siswa dalam menulis paragraf des- kriptif yang diajar dengan pembelajaran model pembelajaran Siri’
Na Pacce lebih efektif dibandingkan dengan hasil belajar Bahasa Inggris siswa yang diajar dengan pembelajaran langsung.
Penelitian lain, dilakukan oleh Riana Dwi Resky, 2014 yang ber- judul Film Televisi “Badik Titipan Ayah” Sebuah Studi Opini Mahasiswa Universitas Hasanuddin. Pada penelitian tersebut terungkap bahwa ; (1) Opini mahasiswa Universitas Hasanuddin terhadap film televisi “Badik Titipan Ayah” ini cukup baik. Pesan FTV sudah disampaikan dengan baik kepada penonton. Unsur sinematiknya pun sudah cukup bagus, diluar
banyaknya ditemukan kesalahan teknis, namun secara sinematik, film ini disajikan dengan baik. Simbol-simbol adat Bugis Makassar diperlihatkan dengan sesuai. Namun, masih banyak terdapat kekeliruan dalam penafsiran budaya lokal Bugis Makassar dalam film televisi ini. (2) sebagian masyarakat mengatakan film televisi ini cukup efektif dalam memperkenalkan budaya lokal Bugis Makassar, khususnya mengenai hukum Silariang dan nilai Sirik na Pacce.
Penelitian relevan juga dilakukan oleh Dedy Irawan berjudul
“Teknik Sinematografi dalam Menggambarkan Pesan Optimisme Melalui Film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” Fakultas Dakwah dan Ko- munikasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Skripsi 2016. Pada penelitian tersebut disimpulkan bahwa; dalam pengambilan gambar yang mem- visualkan pesan optimisme terdapat dalam beberapa adegan, berdasar- kan lima indikator sikap optimisme pengharapan tinggi pada adegan Zainuddin memutuskan berangkat ke Padang Panjang mencari keluarga Ayahnya, motivasi yang tinggi dari diri Zainuddin untuk menulis buku/
menjadi wartawan, Zainuddin dan Muluk percaya diri pada saat tiba di Batavia, Zainuddin mampu mencari dan menemukan solusi pada setiap masalah yang dihadapi dan tidak pasrah, Zainuddin dengan pendirian yang teguh menerima permintaan Mande Jamilah untuk meninggalkan Batipuh sekaligus berpisah Hayati.
Teknik sinematografi yang digunakan dalam film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck menggabungkan ketiga sudut pandang kamera, yaitu objektif, subjektif, dan point of view. Film Tenggelamnya Kapal Van der
Wijck lebih banyak menonjolkan sisi narasi dalam setiap adegan.
Penggunaan long shot, medium shot, dan medium close up, medium close up lebih banyak digunakan. Hal ini digunakan untuk memberikan informasi ruang, tempat, serta kejadian.
Penelitian serupa dilakukan oleh Jaquiline Melissa Renyoet berjudul “Pesan Moral Dalam Film To Kill A Mockingbird (Analisis Semi- otika Pada Film To Kill A Mockingbird)”. Skripsi 2014 Universitas Hasanuddin. Penelitian tersebut disimpulkan:
1. Film To Kill A Mockingbird menunjukkan bentuk-bentuk pesan moral yang kuat kepada penontonnya dengan menggunakan sejarah, instruksi moral dan perkembangan karakter dalam film.
a. film To Kill A Mockingbird memberikan petunjuk bagi penonton akan kesulitan finansial yang dihadapi orang-orang di selatan Amerika pada saat itu, khususnya petani kulit putih yang miskin. Selanjutnya To Kill A Mockingbird kemudian menetapkan pola pikir dan sikap dari kaum kulit putih selatan terhadap ras dan budaya lain, yang mewakili sentimen banyak orang Amerika pada saat itu.
b. Karakter-karakter dalam film seperti Atticus Finch dan kedua anaknya, Jem dan Scout Finch serta komunitas kota May- comb menunjukkan pesan moral yang dalam. Dengan mem- perlihatkan bagaimana orang tua, khususnya seorang ayah (Atticus), dalam memberikan instruksi dan saran moral terhadap anak-anaknya, film ini berusaha mendidik penontonnya tentang
tanggung-jawab moral yaitu bagaimana kita memperlakukan orang lain.
c. Film ini tidak hanya melibatkan karakter anak-anak, tetapi juga melihat dunia dari sudut pandang mereka. Pengalaman karakter anak-anak dalam film ini, seperti berbagai petualangan, rasa penasaran mereka terhadap tetangga dan orang-orang di sekitarnya, serta perjalanan mereka dalam memahami dan menghadapi konsekuensi dari rasisme mengajarkan dan men- didik penonton tentang bagaimana memperlakukan orang lain dengan hormat dan baik tanpa memikirkan perbedaan yang ada.
d. Film ini ingin menyampaikan pada penontonnya bahwa sese- orang bisa hidup di antara semua budaya dan ras tanpa rasa takut dan prasangka serta mendorong penontonnya untuk memi- kirkan penghakiman moral dan perlakuan mereka terhadap orang lain.
e. Struktur sosial sejarah sepanjang film. film ini mencoba meng- hilangkan struktur hirarkis dengan menunjukkan karakter se- perti Atticus yang tidak membeda-bedakan antara miskin dan kaya, atau hitam dan putih.
f. Film ini mendorong penonton untuk menganalisis masa lalu dan belajar dari kesalahan sehingga generasi di masa depan bisa hidup di dunia yang lebih damai.
g. Film To Kill A Mockingbird juga menggunakan berbagai simbol yang merupakan representasi dari karakter-karakternya.
2. Makna Pesan Moral dalam film To Kill A Mockingbird terdiri dari moral sopan santun, bersyukur, menghormati, kejujuran, pendidikan dan keberanian.
Penelitian relevan dilakukan oleh Yaninta Sani Sawitri berjudul Rasisme dalam Film Crash (Analisis Semiotik tentang Representasi Rasisme di Negara Multi Ras dalam Film Crash). Skripsi Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2009. Pada penelitian tersebut disimpulkan bahwa rasisme terjadi dari adanya prasangka, stereotip dan diskri- minasi yang menimbulkan terjadinya kekerasan rasial. Film ini mampu menyampaikan berbagai pesan atau tanda-tanda yang me- nunjukkan terjadinya rasisme antar ras yang lebih kompleks, tidak hanya melibatkan kulit hitam dan kulit putih, walau tidak dapat di- pungkiri porsi konflik yang terjadi antara kulit hitam dan kulit putih tetap lebih besar. Rasisme yang digambarkan dalam film Crash terjadi dalam bebagai taraf kehidupan, dalam berbagai profesi, mulai dari golongan kelas bawah hingga golongan atas. Rasisme yang terkandung dalam film Crash sifatnya lebih halus (terselubung), sederhana dan dekat dengan keseharian kita, namun tetap dapat menimbulkan akibat sangat fatal.
2. Pengertian Nilai Budaya Sirik
Kata Sirik, dalam bahasa Makassar atau Bugis, bermakna “malu”.
Sedangkan Pacce dapat berarti “tidak tega” atau “kasihan” atau “iba”.
Sirik dalam Budaya Bugis atau Makassar mempunyai empat kategori, yaitu (1) Sirik Nipakasirik (Bugis Ripakasirik), (2) Sirik Mappakasirik-sirik (Bugis: Masirik-sirik), (3) Sirik Tappelak Sirik (Bugis: Tallao Sirik), dan (4) Sirik Mate Sirik.
Sirik Ripakasirik adalah Sirik yang berhubungan dengan harga diri pribadi, serta harga diri atau harkat dan martabat keluarga. Sirik jenis ini adalah sesuatu yang tabu dan pantang untuk dilanggar karena taruhannya adalah nyawa. Sebagai contoh dalam hal ini adalah membawa lari seorang gadis (kawin lari). Maka, pelaku kawin lari, baik laki-laki maupun perempuan, harus dibunuh, terutama oleh pihak keluarga perempuan (gadis yang dibawa lari) karena telah membuat malu keluarga. Contoh lainnya adalah kasus kekerasan, seperti penganiayaan atau pembunuhan di mana pihak atau keluarga korban yang merasa terlanggar harga dirinya (Sirikna) wajib untuk menegakkannya kembali, kendati ia harus membunuh atau terbunuh. Hutang darah harus dibalas dengan darah, hutang nyawa harus dibalas dengan nyawa.
Dalam keyakinan orang Bugis dan Makassar bahwa orang yang mati terbunuh karena menegakkan Sirik matinya adalah mati syahid, atau yang mereka sebut sebagai Mate nisantangi atau Mate nigollai, yang artinya bahwa kematiannya adalah ibarat kematian yang terbalut santan atau gula.
Itulah sejatinya Kesatria.
Agar dapat mengetahui tentang bagaimana penting menjaga Sirik untuk kategori Sirik Nipakasirik, simaklah falsafah berikut ini. Sirikaji nanimmantang attalasa’ ri linoa, punna tenamo siriknu mate mako kaniak-
kangngami angga’na olo-oloka. Artinya, hanya karena Sirik kita masih tetap hidup (eksis), kalau sudah malu tidak ada maka hidup ini menjadi hina seperti layaknya binatang, bahkan lebih hina daripada binatang.
Dengan dimotori dan dimotivasi oleh semangat sirik sebagaimana ungkapan orang Makassar, “Takunjunga bangun turu’ naku gunciri’
gulingku kualleangngangi tallanga na towaliya.” Artinya, begitu mata terbuka (bangun di pagi hari), arahkan kemudi, tetapkan tujuan ke mana kaki akan melangkah, pasang tekad “Lebih baik tenggelam daripada balik haluan (pulang ke rumah) sebelum tercapai cita-cita.” Atau, sekali layar terkembang pantang biduk surut ke pantai, sebelum tercapai pulau harapan.
Selain itu, Sirik juga dapat mencegah seseorang melakukan hal-hal yang bertentangan dengan hukum, nilai-nilai moral, agama, adat istiadat dan perbuatan-perbuatan lainnya yang dapat merugikan manusia dan kemanusiaan itu sendiri.
Salah satu falsafah Bugis dalam kehidupan bermasyarakat adalah
“Mali’ siparampe, malilu sipakainga”, dan “Pada idi’ pada elo’ sipatuo sipatokkong” atau “Pada idi pada elo’ sipatuo sipatottong”. Artinya, ketika seseorang sanak keluarga atau kerabat tertimpa kesusahan atau musibah maka keluarga yang lain ikut membantu. Kalau seseorang cenderung terjerumus ke dalam kubangan nista karena khilaf maka keluarga yang lain wajib untuk memperingatkan dan meluruskannya.
Orang Bugis atau orang Makassar yang masih memegang teguh nilai-nilai Sirik, ketika berhutang tidak perlu ditagih. Karena, tanpa ditagih
dia akan datang sendiri untuk membayarnya. Sirik yang satu ber- hubungan dengan iman. Dalam pandangan orang Bugis/Makassar, orang yang mate sirikna adalah orang yang di dalam dirinya sudah tidak ada rasa malu (iman) sedikit pun. Orang seperti ini diapakan juga tidak akan pernah merasa malu, atau yang biasa disebut sebagai bangkai hidup yang hidup.
Betapa hina dan tercelanya orang seperti ini dalam kehidupan masyarakat. Aroma busuk akan tercium di mana-mana. Tidak hanya di lingkungan Istana, di Senayan, bahkan di tempat-tempat ibadah juga bau busuk akan terasa menyengat. Korupsi, kolusi dan nepotisme, jual beli putusan, mafia anggaran, mafia pajak serta mafia-mafia lainnya, akan senantiasa mewarnai pemberitaan media setiap harinya. Nauzubillahi min- dzalik.
Pacce adalah suatu tata nilai yang lahir dan dianut oleh masyarakat Bugis/Makassar. Pesse lahir dan dimotivasi oleh nilai budaya Sirik (malu).
Contoh, apabila seorang anak durhaka kepada orangtuanya (membuat malu keluarga) maka si anak yang telah membuat malu (sirik) tersebut dibuang dan dicoret dalam daftar keluarga. Namun, jika suatu saat, manakala orangtuanya mendengar, apalagi melihat anaknya menderita dan hidup terlunta-lunta, si anak pun diambilnya kembali. Malu dan tidak tega melihat anaknya menderita.
Punna tena siriknu pa’niaki paccenu. Artinya meski anda marah karena si anak telah membuat malu keluarga, lebih malulah jika melihat
anakmu menderita. Jika Anda tidak malu, bangkitkan rasa iba di hatimu (paccenu). Anak adalah amanah Allah, jangan Engkau sia-siakan.
Pacce dalam pengertian harfiahnya berarti pedih, dalam makna kulturalnya pacce berarti juga belas kasih, prikemanusiaan, rasa turut prihatin, berhasrat membantu. Jadi, pacce adalah perasaan yang muncul dari dalam hati yang dapat merangsang kepada suatu tindakan untuk menolong atau membantu seseorang. Pacce merupakan prinsip hidup orang Bugis/Makassar sebagai pernyataan moralnya untuk menolong atau membantu orang lain. Sirik dan Pacce inilah yang mendorong orang Bugis/Makassar menjaga harga diri, bekerja keras untuk meraih keber- hasilan, malu melanggar tatakrama (hukum) dan turut prihatin kepada orang lain atau membantu orang yang butuh pertolongan.
Dengan memahami makna dari sirik dan pacce, ada hal positif yang dapat diambil sebagai konsep pembentukan hukum nasional, di mana dalam falsafah ini betapa dijunjungnya nilai-nilai kemanusiaan, berlaku adil pada diri sendiri dan terhadap sesama bagaimana hidup dengan tetap memperhatikan kepentingan orang lain. Membandingkan konsep sirik dan pacce ini dengan pandangan keadilan Plato (428-348 SM) yang mengamati bahwa justice is but the interest of the stronger (keadilan hanya merupakan kepentingan yang lebih kuat).
Nilai adalah hal yang yang sangat dibutuhkan dalam setiap aspek kehidupan manusia, baik sebagai individu maupun masyarakat. Hal ini sejalan dengan pendapat (Sugira, 2016: 65) “Nilai-nilai itu diciptakan karena dimuliakan oleh leluhur mereka sebagai peletak dasar ke-
budayaan Makassar. Kemudian dialihkan turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dalam usaha mewariskannya, mereka mewaris- kannya dengan menasihatkan atau memesankannya”. Nilai ini hidup dalam suatu masyarakat dan menjadi falsafah hidup dalam masyarakat tertentu. Masyarakat Bugis/Makassar mempunyai falsafah hidup yang sangat dijunjungnya yaitu sirik na pacce. Sirik na pacce yang dijadikan nasihat dapat ditemukan dalam lontara-lontara yang disebut pasang.
Pendapat lain dikemukakan oleh M.Z. Lawang (dalam Budi Juliardi 2014:
141), “Nilai adalah gambaran mengenai apa yang diinginkan, yang pantas, barharga dan dapat memengaruhi perilaku sosial dari orang yang bernilai tersebut”.
Sesuatu dianggap bernilai apabila sesuatu itu memiliki sifat;
menyenangkan, berguna, memuaskan, menguntungkan, menarik, dan meyakinkan. Artinya sesuatu dipandang bernilai bagi manusia apabila dapat menyenangkan manusia, berguna bagi manusia, dapat memuaskan manusia, mempunyai nilai tarik serta dapat menimbulkan keyakinan bagi manusia terhadap nilai dari sesuatu itu.
Sirik na Pesse dalam masyarakat Bugis dipandang memiliki nilai dan dapat menarik, berguna bagi manusia. Maka sirik na pacce sangat di- junjung tinggi sebagai falsafah dalam segala aspek kehidupan Bugis/
Makassar, dan hal ini juga berlaku dalam aspek ketaatan masyarakat terhadap aturan tertentu (hukum), dengan pemahaman terhadap nilai (sirik na pacce) ini sangat mempengaruhi masyarakat dalam kehidupan hukumnya.
Sirik yang merupakan konsep kesadaran hukum dan falsafah masyarakat Bugis/Makassar adalah sesuatu yang dianggap sakral . Sirik na Pacce ( Bahasa Makassar ) atau Sirik na Pesse ( Bahasa Bugis ) ada- lah dua kata yang tidak dapat dipisahkan dari karakter orang Bugis/Makassar dalam mengarungi kehidupan di dunia ini. Begitu sak- ralnya kata itu, sehingga apabila seseorang kehilangan Sirik-nya atau De’ni gaga Sirikna, maka tak ada lagi artinya dia menempuh kehidupan sebagai manusia. Bahkan orang Bugis/Makassar berpendapat kalau mereka itu sirupai olo’ kolo’e (seperti binatang). Petuah Bugis berkata : Sirikmi narituo ( karena malu kita hidup ).
Dengan adanya falsafah dan ideologi Sirik na pacce, maka keter- ikatan dan kesetiakawanan di antara mereka mejadi kuat, baik sesama suku maupun dengan suku yang lain. Konsep Sirik na pacce bukan hanya dikenal oleh kedua suku ini, tetapi juga suku-suku lain yang menghuni daratan Sulawesi, seperti Mandar dan Tator. Hanya saja kosa katanya yang berbeda, tapi ideologi dan falsafahnya memiliki kesamaan dalam berinteraksi.
Nilai-nilai budaya menurut Rosyadi (1995:74) merupakan sesuatu yang dianggap baik dan berharga oleh suatu kelompok masyarakat atau suku bangsa yang belum tentu dipandang baik pula oleh kelompok masyarakat atau suku bangsa lain sebab nilai budaya membatasi dan memberikan karakteristik pada suatu masyarakat dan kebudayaannya.
Nilai budaya merupakan tingkat yang paling abstrak dari adat, hidup dan berakar dalam alam pikiran masyarakat, dan sukar diganti dengan
nilai budaya lain dalam waktu singkat. Uzey (2009: 1) berpendapat mengenai pemahaman tentang nilai budaya dalam kehidupan manusia diperoleh karena manusia memaknai ruang dan waktu. Makna itu akan bersifat intersubyektif karena ditumbuhkembangkan secara individual, namun dihayati secara bersama, diterima, dan disetujui oleh masyarakat hingga menjadi latar budaya yang terpadu bagi fenomena yang digambarkan.
Sistem nilai budaya merupakan inti kebudayaan, sebagai intinya ia akan mempengaruhi dan menata elemen-elemen yang berada pada struktur permukaan dari kehidupan manusia yang meliputi perilaku sebagai kesatuan gejala dan benda-benda sebagai kesatuan material.
Sistem nilai budaya terdiri dari konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat, mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai dalam hidup. Karena itu, suatu sisitem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia. Dapat disimpulkan dari pendapat tersebut sistem nilai budaya menempatkan pada posisi sentral dan penting dalam kerangka suatu kebudayaan yang sifatnya abstrak dan hanya dapat diungkapkan atau dinyatakan melalui pengamatan pada gejala-gejala yang lebih nyata seperti tingkah laku dan benda-benda material sebagai hasil dari pe- nuangan konsep-konsep nilai melalui tindakan berpola. Adapun nilai-nilai budaya yang terkandung dalam film dapat diketahui melalui penelaahan terhadap karakteristik dan perilaku tokoh-tokoh dalam cerita.
Poerwadarminta (2007: 801) nilai adalah sifat-sifat (hal-hal) pen- ting atau berguna bagi kemanusiaan. Sedangkan Soekanto (1983:161) menyatakan nilai-nilai merupakan abstraksi dari pengalaman-pengalaman pribadi seseorang dengan sesamanya. Nilai merupakan petunjuk umum yang telah berlangsung lama yang mengarahkan tingkah laku dan kepuasaan dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, nilai dapat dikaitkan sebagai sesuatu yang berharga, bermutu, menunjukkan kualitas, dan berguna bagi manusia. Sesuatu itu bernilai berarti sesuatu itu berharga atau berguna bagi kehidupan manusia. Persahabatan sebagai nilai (positif/baik) tidak akan berubah esensinya manakala ada pengkhianatan antara dua yang bersahabat. Artinya nilai adalah suatu ketepatan yang ada bagaimanapun keadaan di sekitarnya berlangsung.
Nilai adalah sesuatu yang berharga, menunjukkan kualitas, berguna bagi manusia. Sesuatu dianggap bernilai apabila berharga atau berguna bagi kehidupan manusia. Apa yang diinginkan manusia dan dicita-citakan manusia pada dasarnya bersumber dari nilai, misalnya seseorang meng- inginkan derajatnya di masyarakat lebih baik maka pastilah manusia itu berusaha sedemikian rupa agar lebih baik. Hal ini sejalan dengan pendapat (Rafiek 2011: 67) “Nilai berkaitan dengan cita-cita, harapan, keyakinan, dan hal-hal lain yang bersifat batiniah”.
Dari beberapa pendapat tersebut di atas pengertian nilai dapat disimpulkan sebagai sesuatu yang positif dan bermanfaat dalam kehidupan manusia dan harus dimiliki setiap manusia untuk dipandang
dalam kehidupan bermasyarakat. Nilai di sini dalam konteks etika (baik dan buruk), logika (benar dan salah), estetika (indah dan jelek).
Nilai-nilai budaya merupakan sesuatu yang dianggap baik dan berharga oleh suatu kelompok masyarakat atau suku bangsa yang belum tentu dipandang baik pula oleh kelompok masyarakat atau suku bangsa lain sebab nilai budaya membatasi dan memberikan karakteristik pada suatu masyarakat dan kebudayaannya. Nilai budaya merupakan tingkat yang paling abstrak dari adat, hidup dan berakar dalam alam pikiran masyarakat dan sukar diganti dengan nilai budaya lain dalam waktu singkat. (Rosyadi, 1995).
Bertolak dari beberapa definisi yang dikemukakan para ahli tentang nilai, peneliti memberikan definisi nilai budaya adalah kebiasaan yang tumbuh dan berkembang dalam kelompok individu atau masyarakat dan dipertahankan keberadaannya karena dianggap penting. Kebiasan tersebut dijaga dan dipelihara, kebiasaan ini meliputi norma adat, agama, perilaku dan kebiasaan lainnya. Aturan-aturan tersebut pantang dilanggar dan harus ditaati oleh seluruh anggota masyarakat. Hal senada dikemu- kakan Rahim (dalam Latif, 2012: 32). “Adat sebagai kebudayaan, meng- gariskan ketentuan bagi segenap sikap dan tingkah laku yang diketahui, dimiliki dan dipertahankan sebagai milik bersama. Mereka yang mematuhi- nya akan memperoleh penghargaan dan memperoleh hukuman bagi yang melanggar”.
Nilai budaya termasuk norma dan sikap tercermin dalam cara berpikir dalam bentuk kongkret, terlihat dalam bentuk pola perilaku anggota-
anggota masyarakat. Menurutnya, wujud nilai budaya tersebut meliputi nilai budaya hubungan manusia dengan Tuhan, dengan alam, dengan manusia, masyarakat, dan dengan dirinya sendiri. Contoh wujud nilai budaya hubungan manusia dengan Tuhan adalah budaya taat misalnya bernazar. Apabila seorang manusia bernazar sesuatu, maka dia harus menepatinya, melaksanakan nazarnya itu. Salah satu wujud nilai budaya hubungan manusia dengan alam adalah budaya menjaga lingkungan.
Adapun contoh wujud nilai budaya hubungan manusia dengan manusia adalah budaya mengantre. Selanjutnya wujud nilai budaya hubungan manusia dengan masyarakat adalah budaya bertanggung jawab. Terakhir, contoh wujud nilai budaya hubungan manusia dengan diri sendiri adalah budaya berusaha mengubah nasib.
3. Pendekatan Sosiologi Sastra
Sosiologi sastra merupakan pendekatan yang bertolak dari orientasi kepada semesta, namun bisa juga bertolak dari orientasi kepada pengarang dan pembaca. Menurut pendekatan sosiologi, karya sastra dilihat hubungannya dengan kenyataan. Kenyataan di sini mengandung arti yang cukup luas, yakni segala sesuatu yang berada di luar karya sastra dan yang diacu oleh karya sastra.
Pendekatan sosiologi sastra menaruh perhatian pada aspek dokumen, dengan landasan suatu pandangan bahwa sastra merupakan gambaran atau fenomena sosial. Pada hakikatnya fenomena sosial itu bersifat konkret, terjadi di sekeliling kita sehari-hari, bisa diobservasi, difoto,
dan didokumentasikan. Oleh pengarang, fenomena itu diangkat kembali menjadi wacana baru dengan proses kreatif (pengamatan, analisis, interpretasi, refleksi, imajinasi, evaluasi, dan sebagainya).
Sastra menyajikan gambaran kehidupan, maka sebagai peng- gambaran dunia dan kehidupan manusia, kriteria utama yang dikenalkan pada karya sastra adalah “kebenaran” penggambaran, atau yang hendak digambarkan. Gambaran kehidupan di sini mencakup hubungan antara masyarakat dengan orang-orang, antarmanusia, antarperistiwa yang terjadi dalam batin seseorang. Namun Wellek dan Warren mengingatkan, bahwa karya sastra memang mengekspresikan kehidupan, tetapi keliru kalau dianggap mengekspresikan selengkap-lengkapnya. Hal ini disebab- kan fenomena kehidupan sosial yang terdapat dalam karya sastra tersebut kadang tidak sengaja dituliskan oleh pengarang, atau karena hakikat karya sastra itu sendiri yang tidak pernah langsung mengungkapkan fenomena sosial, tetapi secara tidak langsung, yang mungkin pengarangnya sendiri tidak tahu.
Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra. Sosiologi berasal dari kata sos (Yunani) yang berarti bersama, bersatu, berkawan, teman, dan logi (logos) berarti sabda, perkataan, perumpamaan. Sastra dari akar kata sas (Sansekerta) berarti mengarahkan, mengajarkan, memberi petunjuk dan instruksi. Akhiran tra berarti alat, sarana.
Wellek dan Warren ( 1990:111) membagi sosiologi sastra sebagai berikut.
1. Sosiologi pengarang, profesi pengarang, dan institusi sastra, masalah yang berkaitan di sini adalah dasar ekonomi produksi sastra, latar belakang sosial status pengarang, dan idiologi pengarang yang terlibat dari berbagai kegiatan pengarang di luar karya sastra, karena setiap pengarang adalah warga masyarakat, ia dapat dipelajari sebagai makhluk sosial. Biogarfi pengarang adalah sumber utama, tetapi studi ini juga dapat meluas ke lingkungan tempat tinggal dan berasal.
Dalam hal ini, informasi tentang latar belakang keluarga, atau posisi ekonomi pengarang akan memiliki peran dalam pengungkapan masalah sosiologi pengarang (Wellek dan Warren, 1990:112)
2. Sosiologi karya sastra yang memasalahkan karya sastra itu sendiri yang menjadi pokok penelaahannya atau apa yang tersirat dalam karya sastra dan apa yang menjadi tujuannya. Pendekatan yang umum dilakukan sosiologi ini mempelajari sastra sebagai dokumen sosial sebagai potret kenyataan sosial. (Wellek dan Warren, 1990:122).
Beranggapan dengan berdasarkan pada penelitian Tho-mas Waron (penyusun sejarah puisi Inggris yang pertama) bahwa sastra mempunyai kemampuan merekam ciri-ciri zamannya. Bagi Warton dan pengikutnya sastra adalah gudang adat istiadat, buku sumber sejarah peradaban.
3. Sosiologi sastra yang memasalahkan pembaca dan dampak sosial karya sastra, pengarang dipengaruhi dan mempengaruhi masyarakat;
seni tidak hanya meniru kehidupan, tetapi juga membentuknya.
Banyak orang meniru gaya hidup tokoh-tokoh dunia rekaan dan diterapkan dalam kehidupannya.
4. Makna Sirik na Pacce dalam Pandangan Bugis/Makassar
a. Makna Budaya sirik
Secara harfiah pengertian sirik adalah sama dengan rasa malu. Dan, kata sirik ini akan berarti harkat (value), martabat (dignity), kehormatan (honour), dan harga diri (high respect) apabila dilihat dari makna kulturalnya. Jadi, perlu dibedakan pengertian harfiahnya dengan pengertian kulturalnya. Bagi orang Bugis-Makassar, pengertian kulturalnya itulah yang lebih menonjol dalam kehidupan sehari-hari apabila dia menyebut perkataan sirik karena sirik adalah dirinya sendiri. Sirik ialah soal malu yang erat hubungannya dengan harkat, martabat, kehormatan, dan harga diri sebagai seorang manusia.
Selain itu, pendapat senada dikemukakan (Faidi 2016: 95) kata “sirik dapat diartikan sebagai harkat, maratabat, kehormatan dan harga diri.
Dengan demikian, dapat dikatan kata sirik itu sendiri lebih merupakan sebuah perasaan malu dalam diri seseorang yang cukup erat kaitannya dengan persoalan harkat, martabat, kehormatan, dan harga diri manusia”.
Suku Makassar memandang sirik sebagai pegangan hidup yang menuntut setiap individu senantiasa menjaga harkat, martabat, kehormatan dan harga dirinya baik sebagai individu, keluarga, dan masyarakat. Selain itu, konsep sirik ini juga menjadi pendorong dalam menciptakan hubungan
sosial yang harmonis, saling menghormati dan menjaga antara individu, golongan dan lainnya dalam masyarakat.
Sirik lebih sebagai sesuatu yang dirasakan bersama dan merupakan bentuk solidaritas. Hal ini dapat menjadi motif penggerak penting ke- hidupan sosial dan pendorong tercapainya suatu prestasi sosial masya- rakat Bugis/Makassar. Itulah sebabnya mengapa banyak intelektual Bugis cenderung memuji sirik sebagai suatu kebajikan. Mereka hanya mencela apa yang mereka katakan sebagai bentuk penerapan sirik yang salah sasaran. Menurut mereka, sirik seharusnya dan biasanya, memang seiring sejalan dengan pacce’ (Makassar) pesse (Bugis).
Sirik yang merupakan konsep kesadaran hukum dan falsafah masyarakat Bugis/Makassar adalah sesuatu yang dianggap sakral . Sirik na Pacce adalah dua kata yang tidak dapat dipisahkan dari karakter orang Bugis/ Makassar dalam mengarungi kehidupan di dunia ini. Begitu sakralnya kata itu, sehingga apabila seseorang kehilangan Siriknya atau De’ni gaga Sirikna, maka tak ada lagi artinya dia menempuh kehidupan sebagai manusia. Bahkan orang Bugis/Makassar berpendapat kalau mereka itu sirupai olo’ kolo’e (seperti binatang). Petuah Bugis berkata Sirikmi Narituo (karena malu kita hidup).
Hamka dalam Andi Zaenal Abidin (1999:203-204) menguraikan makna sirik dipandang dari segi Islam sebagai berikut:
Dipandang dari sudut Islam, maka menjaga diri itu sama artinya dengan menjaga syariat. Menjaga harga diri dipandang dari segi ilmu akhlak adalah suatu kewajiban mulia yang paling tinggi, sehingga ada syair :”Jika tidak engkau pelihara hak dirimu, engkau me- ringankan dia, orang lain pun akan lebih meringankannya, sebab itu
hormatilah dirimu dan jika satu negeri sempit buat dia, pilih tempat lain yang lebih lapang. Jikalau orang yang memakai sirik Islam ini bertemu dengan perbuatan orang lain yang akan merendahkan martabatnya, jadi hina, dia pasti membalas, di sinilah pepatah yang terkenal : “Annaar lal aar”. Artinya biar bertikam daripada memikul malu. Tetapi sirik yang demikian itu menurut Islam harus dipelihara dari segala seginya. Pertama, meneguhkan iman dan tawakkal kepada Allah, sebab iman dan tawakkal kepada Allah, sebab iman dan tawakkal itu menimbulkan nur atau cahaya pada diri seorang mu’min, sehingga walaupun dia tidak bercakap sepatah jua pun, cahaya imannya telah memancar dari matanya, sehingga menimbulkan pengaruh kepada alam yang berada di sekelilingnya.
Sehingga orang yang tadinya ada berniat jahat kepada orang yang beriman baru melihat matanya sebentar saja, orang yang berniat jahat itu tidak dapat menentang lama, musti tunduk. Orang yang teguh imannya itu mempunyai akhlakul karimah, budi pekerti yang mulia. Menurut Imam Ghazali, sirik yang sejati ialah yang menengah atau Al Ausath... Malu itu termasuk iman, tegasnya orang yang tidak bermalu adalah orang tidak beriman. Dan sebuah hadits lain:”
Apabila engkau tidak malu, berbuatlah sesuka hatimu (diriwayatkan oleh Bukhari).
Selanjutnya, Sirik menurut pemahaman A. Moeing MG (1994: 91), yaitu:
bahwa orang Bugis dan Makassar, Mandar dan Toraja, adalah orang yang menjaga Maru-ah-nya: Memelihara harga diri baik di dalam sikap hormatnya kepada orang lain ataupun di dalam kerendahan hati dan tawadhu’. Dia bersedia memuliakan orang tetapi dia jangan dihinakan, dia mau memikul yang berat, menjinjing yang ringan tetapi dia jangan dianggap rendah. Tidak ada yang lebih berharga daripada dirinya sebagai manusia. Di sinilah timbul pepatah :”Ma tam papuang timukku, temmatampapuang gajakku”
(Mulutku bisa berkata tuan, tetapi kerisku tidak). Atau orang Makassar berucap: Bawaku ji akkaraeng, badikku tena nakkaraeng (Hanya mulutku yang bertuan, tetapi badikku tak mengenal tuan).
Sebab itu apabila keempat-empat suku bangsa ini menyisipkan badik pada pinggangnya bukan berarti dia akan menikam orang lain melainkan dia akan menjaga Siriknya, menjaga kehormatan dirinya.
Apalagi kehormatan itu yang diganggu oleh orang lain. Itu sebabnya
maka menjadi sirik atau pantang menyentak badik kalau tidak akan ditikamkan.
Badik sebagai lambang keperkasaan orang Bugis Makassar menurut Juma Darmapoetra (2014: 88) adalah:
Senjata khas Bugis-Makassar. Senjata tradisional masyarakat Bugis disebut Kawali atau Badik. Fungsi badik digunakan masya- rakat sebagai senjata, berburu dan sekaligus menjadi identitas diri sebuah kelompok. Orang Bugis meyakini adanya kekuatan magis dan mistik dalam diri badik. Kekuatan mistik tersebut dapat mem- pengaruhi kondisi, keadaan dan proses kehidupan pemiliknya.
Bahkan masyarakat Bugis percaya, badik dapat menimbulkan ketenangan, kedamaian, kesejahteraan dan ke-makmuran. Atau sebaliknya dapat pula membuat pemilliknya menjadi melarat, miskin dan penuh penderitaan. Semua pandangan ini berasal dari sebuah doktrin dan warisan leluhur yang melekat dalam masyarakat yang mempercayai kekuatan tersebut karena terkadang pusaka menim- bulkan nuansa batin tersendiri bagi pemeluknya.
Demikianlah badik sebagai lambang kekuasaan dan keperkasaan masyarakat Bugis/Makassar tidak dapat dipisahkan sehingga untuk menyelesaikan sebuah masalah menyangkut harga diri atau sirik, badik hampir selalu ada. Badik dijadikan alat untuk menyelesaikan masalah tersebut, yaitu dengan cara membunuh dengan menggunakan badik.
Andi Zainal Abidin (1999 :215) membagi Sirik, dalam dua jenis: Per- tama adalah Sirik Ripakasirik, yang terjadi bilamana seseorang dihina atau diperlakukan di luar batas kemanusiaan. Maka ia (atau keluarganya bila ia sendiri tidak mampu) harus menegakkan Siriknya untuk mengembalikan Dignity yang telah dirampas sebelumnya. Jika tidak ia akan disebut Mate Sirik (mati harkat dan martabatnya sebagai manusia). Kedua adalah Sirik Masirik, yang disebabkan oleh kesalahan orang sendiri atau keadaan.
Pemulihan jenis sirik ini dilakukan dengan membuat prestasi yang hebat.
Misalnya orang yang tidak lulus ujian, belajar dengan sekuat tenaga sehingga akhirnya lulus dengan predikat yang memuaskan. Orang yang miskin biasanya pergi merantau ke daerah lain dan di sana berusaha sekuat tenaga sampai berhasil menjadi kaya. Misalnya di kalangan suku Bugis menganut kepercayaan yang berbunyi: “Iapatu muita mellek laopo sompek, muallaku-laku mappalaong”. Artinya: Engkau dapat mengangkat dirimu dari lumpur kemiskinan kalau engkau pergi merantau, dan bekerja keras di sana! Dalam hal demikian bukan orang yang telah menghina harus dibunuh atau dianiaya, tetapi kemiskinan dan kebodohan.
Untuk orang Bugis/Makassar, tidak ada tujuan atau alasan hidup yang lebih tinggi daripada menjaga Sirikna, dan kalau mereka tersinggung atau dipermalukan (ripakasirik/nipakasirik) mereka lebih senang mati dengan perkelahian untuk memulihkan Sirik-nya dari pada hidup tanpa Sirik. Mereka terkenal di mana-mana di Indonesia dengan mudah suka berkelahi kalau merasa dipermalukan yaitu kalau diperlakukan tidak sesuai dengan derajatnya. Meninggal karena Sirik disebut Mate nigollai, Mate nisantangngi artinya mati diberi gula dan berlumpur santan atau mati secara manis dan gurih atau mati untuk sesuatu yang berguna.
Sugira (2016: 89) mengungkapkan konsep sirik dalam budaya Makassar:
1) sirik adalah sesuatu yang sangat tinggi, sangat berharga baik bagi individu maupun masyarakat,
2) sirik adalah modal perjuangan bagi setiap individu maupun sebagai anggota masyarakat untuk menyesuaikan diri bagi manusia pembangunan,
3) sirik dapat dijadikan sebagai sumber inspirasi perjunagan, dan pendorong serta pengarah bagi setiap individu dan anggota masyarakat dalam membangun diri dan masyarakat,
4) makin besar kuantitas sirik seseorang makin tinggi kualitas manusia tersebut kepada sesama,
5) sirik harus ditegakkan secara timbal balik.
Sebaliknya, hanya memarahi dengan kata-kata seorang lain, bukan karena Sirik melainkan dengan alasan lain dianggap hina. Begitu pula lebih-lebih dianggap hina melakukan kekerasan terhadap orang lain hanya dengan alasan politik atau ekonomi, atau dengan kata lain semua alasan perkelahian selain daripada Sirik dianggap semacam kotoran jiwa yang dapat menghilangkan kesaktian. Tetapi kita harus mengerti bahwa Sirik itu tidak bersifat menentang saja tetapi juga merupakan perasaan halus dan suci. Seseorang yang tidak mendengarkan orang tuanya kurang Sirik-nya.
Seorang yang suka mencuri, atau yang tiodak beragama, atau tidak tahu sopan santun semua kurang Sirik-nya”.
Yang kedua adalah : Sirik Masirik yaitu pandangan hidup yang bermaksud untuk mempertahankan, meningkatkan atau mencapai suatu prestasi yang dilakukan dengan sekuat tenaga dan segala jerih payah demi Sirik itu sendiri, demi Sirik keluarga dan kelompok. Ada ungkapan Bugis “Narekko sompe’ko, aja’ muancaji ana’guru, ancaji Punggawako”
(Kalau kamu pergi merantau janganlah menjadi anak buah, tapi ber- juanglah untuk menjadi pemimpin). Nenek moyang almarhum Tun Abdul Razak, Mantan Perdana Menteri Malaysia bernama Karaeng Haji, salah seorang putera Sultan Abdul Jalil Somba Gowa XIX yang merantau ke Pahang dan dikenal dengan Toh Tuan, meninggalkan Gowa pada abad
XVIII karena masalah Sirik, perebutan kekuasaan raja Gowa antar saudara.
Sirik jenis ini berhubungan dengan etos kerja. Dalam falsafah Bugis disebutkan, “Narekko degaga sirikmu, inrengko sirik.” Artinya, kalau Anda tidak punya malu maka pinjamlah kepada orang yang masih memiliki rasa malu (Sirik). Begitu pula sebaliknya, “Narekko engka sirikmu, aja’
mumapakasirik-sirik” Artinya, kalau Anda punya malu maka jangan membuat malu (malu-maluin).
Bekerjalah yang giat, agar harkat dan martabat keluarga terangkat.
Jangan jadi pengemis, karena itu artinya membuat keluarga menjadi malu- malu atau malu hati. Hal yang terkait dengan Sirik Mappakasiriksirik serta hubungannya dengan etos kerja yang tinggi adalah cerita-cerita tentang keberhasilan orang-orang Bugis dan Makassar di perantauan.
Dengan dimotori dan dimotivasi oleh semangat Sirik sebagaimana ungkapan orang Makassar, “Takunjunga bangun turu’ naku gunciri’ guling- ku kualleangngangi tallanga na towaliya.” Artinya, begitu mata terbuka (bangun di pagi hari), arahkan kemudi, tetapkan tujuan ke mana kaki akan melangkah, pasang tekad yang kuat “Lebih baik tenggelam daripada balik haluan (pulang ke rumah) sebelum tercapai cita-cita.” Atau, sekali layar terkembang pantang biduk surut ke pantai, sebelum tercapai harapan dan cita-cita yang diharapkan.
Selain itu, Sirik mappakasirik-sirik juga dapat mencegah seseorang melakukan hal-hal yang bertentangan dengan hukum, nilai-nilai moral,
agama, adat istiadat dan perbuatan-perbuatan lainnya yang dapat meru- gikan manusia dan kemanusiaan itu sendiri.
Salah satu falsafah Bugis dalam kehidupan bermasyarakat adalah
“Mali’ siparampe, malilu sipakainga”, dan “Pada idi’ pada elo’ sipatuo sipatokkong” atau “Pada idi pada elo’ sipatuo sipatottong”. Artinya, ketika seseorang sanak keluarga atau kerabat tertimpa kesusahan atau musibah maka keluarga yang lain ikut membantu. Dan, kalau seseorang cenderung terjerumus ke dalam kubangan nista karena khilaf maka keluarga yang lain wajib untuk memperingatkan dan meluruskannya.
Melalui latar belakang pokok hidup Sirik na pacce’ inilah yang menjadi pola-pola tingkah lakunya dalam berpikir, merasa, bertindak, dan melak-sanakan aktivitas dalam membangun dirinya menjadi seorang manusia. Juga dalam hubungan sesama manusia dalam masyarakat.
Antara sirik dan pacce’ saling terjalin dalam hubungan kehidupannya, saling mengisi, dan tidak dapat dipisahkan yang satu dari lainnya.
Dengan memahami makna dari sirik dan pacce’, ada hal positif yang dapat diambil sebagai konsep pembentukan hukum nasional, di mana dalam falsafah ini betapa dijunjungnya nilai-nilai kemanusiaan berlaku adil pada diri sendiri dan terhadap sesama, bagaimana hidup dengan tetap memperhatikan kepentingan orang lain.
Budaya Sirik na Pacce merupakan salah satu falsafah budaya Masyarakat Bugis/Makassar yang harus dijunjung tinggi. Apabila sirik na pacce tidak dimiliki seseorang, maka orang tersebut dapat melebihi tingkah laku binatang, sebab tidak memiliki rasa malu, harga diri, dan
kepedulian sosial. Mereka juga hanya ingin menang sendiri dan mem- perturutkan hawa nafsunya. Istilah sirik na pacce sebagai sistem nilai budaya sangat abstrak dan sulit untuk didefenisikan karena Sirik na pacce hanya bisa dirasakan oleh penganut budaya itu. Bagi masyarakat Bugis/Makassar, Sirik mengajarkan moralitas kesusilaan yang berupa anjuran, larangan, hak dan kewajiban yang mendominasi tindakan manusia untuk menjaga dan mempertahankan diri dan kehormatannya.
Sirik adalah rasa malu yang terurai dalam dimensi-dimensi harkat dan martabat manusia, sirik adalah sesuatu yang tabu bagi masyarakat Bugis/Makassar dalam berinteraksi dengan orang lain. Sedangkan, Pacce mengajarkan rasa kesetiakawanan dan kepedulian sosial tanpa mementingkan diri sendiri dan golongan ini adalah salah satu konsep yang membuat suku Bugis/Makassar mampu bertahan dan disegani diperantauan, pacce merupakan sifat belas kasih dan perasaan menanggung beban dan penderitaan orang lain, kalau istilah dalam bahasa Indonesia "Ringan sama dijinjing berat sama dipikul"
Sirik dalam sistem budaya adalah pranata pertahanan harga diri, yang meliputi:
1. Kesusilaan dan hukum serta agama sebagai salah satu nilai utamanya yang mempengaruhi dan mewarnai alam pikiran, perasa-an dan kemauan manusia. Sebagai konsep budaya, ia berke-dudukan regulator dalam mendinamisasi fungsi-fungsi struktrur dalam kebudayaan. Sirik dalam sistem sosial, adalah mendinamisasi keseimbangan eksistensi
2. Hubungan individu dan masyarakat untuk menjaga kesinam- bungan kekerabatan sebagai dinamika sosial terbuka untuk beralih peranan (bertransmisi), beralih bentuk (bertranformasi), dan ditafsir ulang (reinterpretasi) sesuai dengan perkembangan