• Tidak ada hasil yang ditemukan

Makrifat (Jawa: laku rasa, sembah rasa) adalah perjalanan

SUFSIME (GHAZALIANISME) NUSANTARA

B. Sunan Kalijaga

2.4. Makrifat (Jawa: laku rasa, sembah rasa) adalah perjalanan

menuju manusia sempurna yang paling tinggi. Secara harfiah makrifat berarti pengetahuan atau mengetahui sesuatu dengan seyakin-yakinnya.. Dalam tasawuf, makrifat berarti mengenal langsung atau mengetahui langsung tentang Tuhan dengan sebenar-benarnya atas wahyu atau petunjuk-Nya, meliputi zat dan sifatnya. Pencapaian tataran ini diperoleh lewat tataran tarekat, yaitu ditandai dengan mulai tersingkapnya tirai yang menutup hati yang merintangi manusia dengan Tuhannya. Setelah tirai tersingkap maka manusia akan merasakan bahwa diri manusia dan alam tidak ada, yang ada hanya Yang Ada. Dalam hal seperti ini zat Tuhan telah masuk menjadi satu pada manusia. Manusia telah merealisasikan kesatuannya dengan Yang Ilahi. Keadaan ini tidak dapat diterangkan (Jawa : tan kena kinaya ngapa), yang dirasakan hanyalah indah. Dalam masyarakat Jawa hal ini disebut dengan istilah manunggaling kawula Gusti, pamoring kawula Gusti, jumbuhing kawula Gusti, warangka manjing curiga curiga manjing warangka.

Pada titik ini manusia tidak akan diombang-ambingkan oleh suka duka dunia. Ia akan berseri bagaikan bulan purnama menyinari bumi, membuat dunia menjadi indah. Di dunia ia menjadi wakil Tuhan, menjalankan kewajiban-kewajiban-Nya dan memberi inspirasi kepada manusia yang lain. Ia mampu mendengar, merasa, dan melihat apa yang tidak dapat dikerjakan oleh manusia yang masih diselubingi oleh kebendaan, syahwat, dan segala kesibukan dunia yang fana ini. Tindakan diri manusia semata-mata menjadi laku karena Tuhan.

Keadaan yang dialami oleh Bima yang mencerminkan bahwa dirinya telah mencapai tahap makrifat, di antaranya ia merasakan: keadaan dirinya dengan Tuhannya bagaikan air dengan ombak, nikmat dan bermanfaat, segala yang dimaksud olehnya tercapai, hidup dan

mati tidak ada bedanya, serta berseri bagaikan sinar bulan purnama menyinari bumi.

c). Empat Nafsu Manusia

Bima melihat empat warna cahaya, yaitu: hitam, merah, kuning, dan putih. Isi dunia sarat dengan tiga warna yang pertama (hitam, merah, dan kuning). Ketiga warna yang pertama itu pengurung laku, penghalang cipta karsa menuju keselamatan, musuhnya dengan bertapa. Barang siapa tidak terjerat oleh ketiga hal itu, ia akan selamat, bisa manunggal, akan bertemu dengan Tuhannya (musyahadah). Oleh karena itu, perangai terhadap masing-masing warna itu hendaklah perlu diketahui.

Cahaya hitam lebih perkasa, perbuatannya marah, mengumbar hawa nafsu, menghalangi dan menutup kepada hal yang tidak baik. Cahaya merah menunjukkan nafsu yang tidak baik, iri hati dan dengki keluar dari sini. Hal ini menutup (membuat buntu) kepada hati yang selalu ingat dan waspada. Cahaya kuning pekerjaannya menghalangi kepada semua cipta yang mengarah menuju kebaikan dan keselamatan. Nafsu yang muncul dari warna hitam disebut nafsu al-Lawwamah, yang dari warna merah disebut nafsu al-Ammarah, dan yang muncul dari warna kuning disebut nafsu Shufiah (pola hidup erotis). Nafsu al-Lawwamah, al-Ammarah, dan al-Shufiah merupakan selubung atau penghalang (hijab) untuk bertemu dengan Tuhannya.

Hanya cahaya yang putih yang nyata. Hati tenang tidak macam-macam, hanya satu yaitu menuju keutamaan dan keselamatan. Namun, yang putih ini hanya sendiri, tiada berteman sehingga selalu kalah. Jika bisa menguasai yang tiga hal, yaitu yang merah, hitam, dan kuning, manunggalnya hamba dengan Tuhan terjadi dengan sendirinya; sempurna hidupnya.

d). Bima mencapai al-Hulul

Setelah Bima menjalankan banyak laku maka hatinya menjadi bersih. Dengan hati yang bersih ini ia kemudian dapat melihat Tuhannya lewat dirinya. Penglihatan atas diri Bima ini dilambangkan dengan masuknya tokoh utama ini ke dalam badan Dewaruci. Bima

masuk ke dalam badan Dewaruci melalui telinga kiri. Telinga kiri diyakini sebagian orang sebagai mengandung unsur ketuhanan. Bisikan Ilahi, wahyu, dan ilham pada umumnya diterima melalui telinga kanan. Dari telinga ini terus ke hati sanubari. Secara filosofis dalam masyarakat Jawa, “kiri” berarti ‘buruk, jelek, jahat, tidak jujur’, dan “kanan” berarti ‘baik dalam arti yang luas. Masuk melalui “telinga kiri” berarti bahwa sebelum mencapai kesempurnaan Bima hatinya belum bersih.

Setelah Bima masuk dalam badan Dewaruci, ia melihat berhadapan dengan dewa kerdil yang bentuk dan rupanya sama dengan Bima sewaktu kecil. Dewa kerdil yang bentuk dan rupanya sama dengan Bima waktu muda itu adalah Dewaruci; penjelmaan Yang Mahakuasa sendiri. Bima berhadapan dengan Dewaruci yang juga merupakan dirinya dalam bentuk dewa kerdil. Kisah Bima masuk dalam badan Dewaruci ini secara filosofis melambangkan bahwa Bima mulai berusaha untuk mengenali dirinya sendiri (’arafa nafsah). Dengan memandang Tuhannya di alam kehidupan yang kekal, Bima telah mulai memperoleh kebahagiaan. Pengenlan diri lewat simbol yang demikian secara filosofis sebagai realisasi bahwa Bima telah mencapai tahap hakikat.

Bima setelah masuk dalam badan dewaruci melihat dan merasakan bahwa dirinya tidak melihat apa-apa. Dia hanya melihat kekosongan pandangan yang jauh tidak terhingga. Ke mana pun ia berjalan yang ia lihat hanya angkasa kosong, dan samudra yang luas yang tidak bertepi. Keadaan yang tidak bersisi, tiada lagi kanan kiri, tiada lagi muka belakang, tiada lagi atas bawah, pada ruang yang tidak terbatas dan bertepi menyiratkan bahwa Bima telah memperoleh perasaan batiniahnya. Dia telah lenyap sama sekali dari dirinya, dalam keadaan kebakaan Allah semata (fana’ al-Baqa’). Segalanya telah hancur lebur kecuali Wujud Yang Mutlak. Dalam keadaan seperti ini manusia menjadi fana’ ke dalam Tuhan. Segala yang Ilahi dan yang alami walaupun kecil jasmaninya telah terhimpun menjadi satu, manunggal. Dzat Tuhan telah berada pada diri hambabnya, Bima telah sampai pada tataran hakikat.

Disebutkan bahwa Bima karena merasakan tidak melihat apa-apa, ia sangat bingung. Tiba-tiba ia melihat dengan jelas Dewaruci bersinar kelihatan cahayanya. Lalu ia melihat dan merasakan arah mata angin, utara, selatan, timur, barat, atas dan bawah, serta melihat matahari. Keadaan mengetahui arah mata angin ini menyiratkan bahwa ia telah kembali dalam keadaan sadar. Sebelumnya ia dalam keadaan tidak sadar karena tidak merasakan dan tidak melihat arah mata angin. Merasakan dalam keadaan sadar dan tidak sadar dalam rasa lupa-lupa ingat menyiratkan bahwa Bima secara filosofis telah sampai pada tataran hakikat.

Setelah mengalami suasana alam kosong antara sadar dan tidak sadar, ia melihat berbagai macam cahaya. Cahaya yang dilihatnya itu ialah: pancamaya, sinar tunggal berwarna delapan, empat warna cahaya, dan benda bagaikan boneka gading yang bersinar. Hal melihat berbagai macam cahaya seperti itu secara filosofis melambangkan bahwa Bima telah sampai pada tataran hakikat. Ia telah menemukan Tuhannya.

Pancamaya adalah cahaya yang melambangkan hati yang sejati, inti badan. Ia menuntun kepada sifat utama. Itulah sesungguhnya sifat. Oleh Dewaruci, Bima disuruh memperlihatkan dan merenungkan cahaya itu dalam hati, agar supaya ia tidak tersesat hidupnya. Hal-hal yang menyesatkan hidup dilambangkan dengan tiga macam warna cahaya, yaitu: merah, hitam, dan kuning.

Wujud Yang Sesungguhnya, yang meliputi segala yang ada di dunia, yang hidup tidak ada yang menghidupi, yang tidak terikat oleh waktu, yaitu Yang Ada telah berada pada Bima, telah menunggal menjadi satu. Jika telah manunggal penglihatan dan pendengaran Bima menjadi penglihatan dan pendengaran-Nya. Badan lahir dan badan batin (suksma) telah ada pada Bima, hamba dengan Tuhan bagaikan api dengan asapnya, bagaikan air dengan ombak, bagaikan minyak di atas air susu.

Namun, bagaimana pun juga hamba dengan zat Tuhannya tetap berbeda. Yang mendekati kesamaan hanyalah dalam sifatnya. Dalam keadaan manunggal manusia memiliki sifat-sifat Ilahi. Perumpamaan manusia dalam keadaan yang sempurna dengan Tuhannya, bagaikan air

dengan ombak ada kesamaannya dengan yang terdapat dalam kepercayaan agama Siwa. Dalam agama Siwa kesatuan antara hamba dengan dewa Siwa disebutkan seperti kesatuan air dengan laut, sehingga keduanya tidak dapat dibedakan lagi. Tubuh Sang Yogin yang telah mencapai kalepasan segera akan berubah menjadi tubuh dewa Siwa. Ia akan mendapatkan sifat-sifat yang sama dengan sifat dewa Siwa.

Bima setelah manunggal dengan Tuhannya tidak merasakan rasa khawatir, tidak berniat makan dan tidur, tidak merasakan lapar dan mengantuk, tidak merasakan kesulitan, hanya nikmat yang memberi berkah karena segala yang dimaksud dapat tercapai. Hal ini menyebabkan Bima ingin manunggal terus. Ia telah memperoleh kebahagiaan nikmat rahmat yang terkandung pada kejadian dunia dan akhirat. Sinar Ilahi yang melahirkan kenikmatan jasmani dan kebahagian rohani telah ada pada Bima. Oleh kaum filsafat, itulah yang disebut surga.6 Keadaan ini secara filosofis melambangkan bahwa Bima telah mencapai tahap ma’rifat.

C. Siti Jenar

Tasawuf masuk di Pulau Jawa di tandai dengan berdirinya kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa. Tepatnya di Demak Jawa Tengah pada tahun 1479 M. sekitar abad terakhir ke-XV M. Islam di Pulau Jawa dikembangkan melalui pendekatan mistik. Hal ini merupakan strategi pendekatan dan pembauran dengan masyarakat. Corak budaya yang begitu kental membuat sulit penyebaran Islam sehingga para wali berusaha mengadakan pendekatan dengan menggunakan kebudayaan lokal untuk mengislamkan masyrakat di Jawa, karena diketahui penduduk mempunyai latar belakang kebudayaan Hindu-Budha yang sangat kental. Cara ini ternyata sangat akomodaif dan persuasif karena banyak diminati oleh penduduk sehingga banyak yang memeluk agama Islam. Perkembangan tasawuf di Jawa lebih mudah dikenal setelah kemunculan tokoh bernama Syekh Siti Jenar yang mencoba mengadopsi faham al-Hulul yang

diciptakan al-Hallaj.

Pengaruh ajaran Siti Jenar dirasakan sangat membahayakan stabilitas pemerintahan Sultan Demak saat itu. Selain ajarannya dianut oleh masyarakat awam juga diminati oleh para pemuka masyarakat. Diantara murid-murid utama Syekh Siti Jenar/Syekh Lemah Abang adalah: Ki Ageng Pengging, Ki Ageng Tingkir (Banyubiru), Ki Ageng Tingkir (Ayahanda Sultan Hadiwijaya, Jaka Tingkir), Ki Ageng Butuh (sekarang termasuk salah satu wilayah Surakarta Solo), Ki Ageng Ngerang (menantu Bondan Kejawen putra Parbu Brawijaya V), Sunan Panggung (Putra Sunan Kalijaga) dan Ki Lontang.

Nasib Siti Jenar nyaris serupa dengan nasib al-Hallaj. Ia mati dengan cara dibunuh. Tetapi pembunuhan aajaran sang guru yang isebut-sebut sebagai benih lahirnya kejawen dan kebatinan itu tidak selesai sampai di situ. Murid-murid Jenar pun menjadi sasran para dewan Sali. Sunan Kudus adalah salah seorang anggota dewan wali yang bersemangat dalam mengemban amnata memberantas ajaran pantheisme Jenar. Salah satu murid Jenar yang mengakhiri kehidupannya di tangan Sunan Kudus adalah Ki Ageng Tingkir (Ayahanda Sultan Hadiwijaya, Jaka Tingkir).

1). Asal Usul

Syekh Siti Jenar lahir sekitar tahun 829 H./1426 M dilingkungan

Pakuwuan Caruban, pusat kota Caruban larang waktu itu, yang sekarang lebih dikenal sebagai Astana japura, sebelah tenggara Cirebon. Suatu lingkungan yang multi-etnis, multi-bahasa dan sebagai titik temu kebudayaan serta peradaban berbagai suku.7 Ia memiliki banyak nama:

7 Serat She Siti Jenar Ki Sasrawijaya; Atja, Purwaka Tjaruban Nagari (Sedjarah Muladjadi

Keradjan Tjirebon), Ikatan Karyawan Museum, Jakarta, 1972; P.S. Sulendraningrat, Purwaka Tjaruban Nagari, Bhatara, Jakarta, 1972; H. Boedenani, Sejarah Sriwijaya,

Terate, Bandung, 1976; Agus Sunyoto, Suluk Abdul Jalil Perjalanan Rohani Syaikh

Syekh Siti Jenar dan Sang Pembaharu, LkiS, Yogyakarta, 2003-2004; Sartono Kartodirjo

dkk, Sejarah Nasional Indonesia, Depdikbud, Jakarta, 1976; Babad Banten; Olthof, W.L., Babad Tanah Djawi. In Proza Javaansche Geschiedenis, ‘s-Gravenhage, M.Nijhoff, 1941; Raffles, Th.S., The History of Java, 2 vol, 1817.

1. San Ali (nama kecil pemberian orangtua angkatnya, bukan Hasan Ali Anshar seperti banyak ditulis orang)

2. Syekh ‘Abdul Jalil (nama yang diperoleh di Malaka, setelah menjadi ulama penyebar Islam di sana)

3. Syekh Jabaranta (nama yang dikenal di Palembang, Sumatera dan daratan Malaka)

4. Prabu Satmata (Gusti yang nampak oleh mata; nama yang muncul dari keadaan kasyf atau mabuk spiritual; juga nama yang diperkenalkan kepada murid dan pengikutnya)

5. Syekh Lemah Abang atau Lemah Bang (gelar yang diberikan masyarakat Lemah Abang, suatu komunitas dan kampung model yang dipelopori Syekh Siti Jenar; melawan hegemoni kerajaan. Wajar jika orang Cirebon tidak mengenal nama Syekh Siti Jenar, sebab di Cirebon nama yang populer adalah Syekh Lemah Abang); Syekh Siti Jenar (nama filosofis yang mengambarkan ajarannya tentang sangkan-paran, bahwa manusia secara biologis hanya diciptakan dari sekedar tanah merah dan selebihnya adalah roh Allah; juga nama yang dilekatkan oleh Sunan Bonang ketika memperkenalkannya kepada Dewan Wali, pada kehadirannya di Jawa Tengah/Demak; juga nama Babad Cirebon);

6. Syekh Nurjati atau Pangran Panjunan atau Sunan Sasmita (nama dalam Babad Cirebon, S.Z. Hadisutjipto)

7. Syekh Siti Bang, 8. Syekh Siti Brit

9. Syekh Siti Luhung (nama-nama yang diberikan masyarakat Jawa Tengahan)

10. Sunan Kajenar (dalam sastra Islam-Jawa versi Surakarta baru, era R.Ng. Ranggawarsita [1802-1873])

11. Syekh Wali Lanang Sejati 12. Syekh Jati Mulya dan

Selama ini, silsilah Syekh Siti Jenar masih sangat kabur. Kekurangjelasan asal-usul ini juga sama dengan kegelapan tahun kehidupan Syekh Siti Jenar sebagai manusia sejarah.

Pengaburan tentang silsilah, keluarga dan ajaran yang dilakukan oleh penguasa pada abad XVI hingga akhir abad XVII M. Penguasa merasa perlu untuk mengubur segala yang berbau Syekh Siti Jenar akibat popularitasnya di masyarakat yang mengalahkan dewan ulama serta ajaran resmi yang diakui Kerajaan Islam waktu itu. Hal ini kemudian menjadi latar belakang munculnya kisah bahwa Syekh Siti Jenar berasal dari cacing.

Dalam sebuah naskah klasik, cerita yang masih sangat populer tersebut dibantah secara tegas, Wondene kacariyos yen Lemahbang punika asal saking cacing, punika ded, sajatosipun inggih pancen manungsa darah alit kemawon, griya ing dhusun Lemahbang. [Adapun diceritakan kalau Lemahbang (Syekh Siti Jenar) itu berasal dari cacing, itu salah. Sebenarnya ia memang manusia berdarah kecil saja (rakyat jelata), bertempat tinggal di desa Lemah Abang.8

Syekh Siti Jenar adalah manusia lumrah hanya memang ia walau berasal dari kalangan bangsawan setelah kembali ke Jawa menempuh hidup sebagai petani, yang saat itu, dipandang sebagai rakyat kecil oleh struktur budaya Jawa, disamping sebagai wali penyebar Islam di Tanah Jawa.

Syekh Siti Jenar yang memiliki nama kecil San Ali dan kemudian dikenal sebagai Syekh ‘Abdul Jalil adalah putra seorang ulama asal Malaka, Syekh Datuk Shaleh bin Syekh ‘Isa ‘Alawi bin Ahmadsyah Jamaludin Husain bin Syekh ‘Abdullah Khannuddin bin Syekh Sayid ‘Abdul Malikal-Qasam. Maulana ‘Abdullah Khannuddin adalah putra Syekh ‘Abdul Malik atau Asamat Khan. Nama terakhir ini adalah seorang Syekh kalangan ‘Alawi kesohor di Ahmadabad, India, yang berasal dari Handramaut. Qasam adalah sebuah distrik berdekatan dengan kota Tarim di Hadramaut.

8 Serat Candhakipun Riwayat Jati, alih aksara, Semarang, Perpustakaan Daerah Propinsi Jawa Tengah, 2002, 1.

Syekh ‘Abdul Malik adalah putra Syekh ‘Alawi, salah satu keluarga utama keturunan ulama terkenal Syekh ‘Isa Muhajir Bashari al-‘Alawi, yang semua keturunannya bertebaran ke berbagai pelosok dunia, menyiarkan agama Islam. Syekh ‘Abdul Malik adalah penyebar agama Islam yang bersama keluarganya pindah dari Tarim ke India. Jika diurut keatas, silsilah Syekh Siti Jenar berpuncak pada Sayidina Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib, menantu Rasulullah. Dari silsilah yang ada, diketahui pula bahwa ada dua kakek buyutnya yang menjadi mursyid thariqah Syathariyah di Gujarat yang sangat dihormati, yakni Syekh Abdullah Khannuddin dan Syekh Ahmadsyah Jalaluddin. Ahmadsyah Jalaluddin setelah dewasa pindah ke Kamboja dan menjadi penyebar agama Islam di sana.

Adapun Syekh Maulana ‘Isa atau Syekh Datuk ‘Isa putra Syekh Ahmadsyah kemudian bermukim di Malaka. Syekh Maulana ‘Isa memiliki dua orang putra, yaitu Syekh Datuk Ahamad dan Syekh Datuk Shaleh. Ayah Syekh Siti Jenar adalah Syekh Datuk Shaleh adalah ulama sunni asal Malaka yang kemudian menetap di Cirebon karena ancaman politik di Kesultanan Malaka yang sedang dilanda kemelut kekuasaan pada akhir tahun 1424 M., masa transisi kekuasaan Sultan Muhammad Iskandar Syah kepada Sultan Mudzaffar Syah. Sumber-sumber Malaka dan Palembang menyebut nama Syekh Siti Jenar dengan sebutan Syekh Jabaranta dan Syekh ‘Abdul Jalil.

Pada akhir tahun 1425 M., Syekh Datuk Shaleh beserta istrinya sampai di Cirebon dan saat itu, Syekh Siti Jenar masih berada dalam kandungan ibunya tiga bulan. Di Tanah Caruban ini, sambil berdagang Syekh Datuk Shaleh memperkuat penyebaran Islam yang sudah beberapa lama tersiar di seantero bumi Caruban, besama-sama dengan ulama kenamaan Syekh Datuk Kahfi, putra Syehk Datuk Ahmad. Namun, baru dua bulan di Caruban, pada tahun awal tahun 1426, Syekh Datuk Shaleh wafat.

Sejak itulah San Ali atau Syekh Siti Jenar kecil diasuh oleh Ki Danusela serta penasihatnya, Ki Samadullah atau Pangeran Walangsungsang yang sedang nyantri di Cirebon, dibawah asuhan Syekh datuk Kahfi. Walaupun San Ali adalah keturunan ulama Malaka,

dan lebih jauh lagi keturunan Arab, namun sejak kecil lingkungan hidupnya adalah kultur Cirebon yang saat itu menjadi sebuah kota multikultur, heterogen dan sebagai basis antarlintas perdagangan dunia waktu itu.

Saat itu Cirebon dengan Padepokan Giri Amparan Jatinya yang diasuh oleh seorang ulama asal Makkah dan Malaka, Syekh Datuk Kahfi, telah mampu menjadi salah satu pusat pengajaran Islam, dalam bidang fiqih dan ilmu ‘alat, serta tasawuf. Sampai usia 20 tahun, San Ali mempelajari berbagai bidang agama Islam dengan sepenuh hati, disertai dengan pendidikan otodidak bidang spiritual.

2). Pengembaraan