• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VII AL-GHAZALIAL-GHAZALI

MAQAM PUNCAK SUFI

C. Wahdat al-Wujud

Dengan pemikiran bahwa alam semesta adalah aktuasasi entitas-entitas permanen yang ada dalam ilmu Tuhan, maka bagi Ibn Arabi,

seluruh realitas yang ada ini, meski tampak beragam, adalah hanya satu, yakni Tuhan sebagai satu-satunya realitas dan realitas yang sesungguhnya. Apapun yang selain Dia tidak bisa dikatakan wujud dalam makna yang sebenarnya. Jika demikian, bagaimana kedudukan ontologis al-khalq (alam ciptaan)? Apakah ia identik dengan Tuhan, atau alam ini tidak mempunyai wujud sama sekali? Kenyataannya alam dan kita ada secara konkrit.

Menghadapi persoalan tersebut, seperti sistem berfikirnya yang paradoksal, jawaban Ibn Arabi bersifat ambiguis, bahwa alam adalah Tuhan (al-Haqq) sekaligus bukan Tuhan, atau menurut istilah Ibn Arabi sendiri, alam adalah ‘Dia dan bukan Dia’ (Huwa lâ Huwa). Bagi Ibn Arabi, alam semesta adalah penampakan (tajalli) Tuhan, dan dengan demikian, segala sesuatu dan segala yang ada didalamnya adalah entifikasi-Nya. Karena itu, Tuhan dan semesta, keduanya tidak bisa difahami kecuali sebagai kesatuan antara kontradiksi-kontradiksi ontologis. Kontradiksi-kontradiksi ini tidak hanya bersifat horisontal tetapi juga vertikal. Hal ini tampak sebagaimana uraian al-Qur`an, bahwa Tuhan adalah Yang Tersembunyi (al-Bathîn) sekaligus Yang Tampak dzahîr), Yang Esa Wahîd) sekaligus Yang Banyak (al-Katsîr), Yang Terdahulu (al-Qadîm) sekaligus Yang Baru (al-Hadîts), Yang Ada (al-Wujûd) sekaligus Yang Tiada (al-`Adam).

Dalam pandangan Ibn Arabi, realitas adalah satu tetapi mempunyai sifat yang berbeda; sifat ketuhanan sekaligus sifat kemakhlukan, temporal sekaligus abadi, nisbi sekaligus permanen, eksistensi sekaligus non-eksistensi. Dua sifat yang bertentangan tersebut hadir secara bersamaan dalam segala sesuatu yang ada di alam. Disini Ibn Arabi menggunakan prinsip al-Jam’u bayn al-Addâd (kesatuan diantara pertentangan-pertentangan), atau yang dalam filsafat Barat disebut coincidentia oppositorum.

Untuk menjelaskan hubungan ontologis Tuhan dan semesta tersebut, Ibn Arabi, antara lain, menggunakan simbol cermin, alam semesta sebagai cermin bagi Tuhan. Simbol ini, pertama, untuk menjelaskan sebab penciptaan alam, yakni bahwa penciptaan ini adalah sarana untuk memperlihatkan diri-Nya. Dia ingin memperkenalkan

dirinya lewat alam. Dia adalah ‘harta simpanan’ (kanz makhfi) yang tidak bisa dikenali kecuali lewat alam, sesuai dengan hadis Rasul yang menyatakan hal itu. Kedua, untuk menjelaskan hubungan Yang Satu dengan yang banyak dan beragam dalam semesta. Yakni bahwa Tuhan yang bercermin adalah satu, tetapi gambar-Nya amat banyak dan beragam sesuai dengan jumlah dan model cermin tersebut. Apa yang tampak dalam cermin adalah Dia, sama sekali bukan selainnya, tetapi bukan Dia yang sesungguhnya.

Penggambaran diatas sejalan dengan penyatuan dua paradigma tasybîh dan tanzîh yang digunakan Ibn Arabi. Dari segi tasybîh, Tuhan sama dengan alam, karena alam tidak lain adalah perwujudan dan aktualiasi sifat-sifat-Nya; dari segi tanzîh Tuhan berbeda dengan alam, karena alam terikat oleh ruang dan waktu sedang Tuhan adalah absolut dan mutlak. Secara tegas, Ibn Arabi menyatakan ‘Huwa la Huwa’ (Dia bukan Dia —yang kita bayangkan). Sedekat-dekat manusia menyatu (ittihad) dengan-Nya, tetap tidak pernah benar-benar menyatu dengan Tuhan. Ia hanya menyatu dengan asma-asma-Nya, menyatu dengan ‘bayangan-Nya’, bukan dengan Zat-Nya. Tuhan terlalu tinggi untuk dicapai. Segala uraian tentang-Nya, adalah kebohongan, pengkerdilan dan pembatasan.

D. TAJALLI

Selanjutnya Ibn Arabi juga mengatakan: “ketahuilah bahwa yang ada hanya Allah beserta sifatNya, af ’alNya maka semuanya adalah Dia, denganNya, dariNya dan kepadaNya. Kalaulah ia terhijab dari alam ini walaupun sekejap maka binasalah alam ini secara keselurhan, kekalnya alam ini dengan penjagaanNYa dan penglihatanNya kepada alam. Akan tetapi jika sesuatu sangat tampak jelas dengan cahayaNya hingga pemahaman tidak mampu untuk mengetahuinya maka penampakan itulah yang disebut dengan hijab.”

Asma’ dan sifat itulah yang disebut dengan Haqiqat Muhammadiyah, dan alam muncul dari hakikat tersebut. Oleh sebab itu Ibn Arabi mengungkapkan: “Alam pada hakikatnya adalah satu namun yang hilang dan muncul adalah gambarnya saja”. Maksudnya

hakikat alam tadi berasal dari Zat Yang Satu, yang pada dasarnya gambaran alam tadi hilang dan muncul, artinya alam itu pada hakikatnya tiada berupa gambar saja. Dalam hal ini ia menyatakan: “Maha Suci Allah yang menciptakan segala sesuatu Dialah segala sesuatu tadi.” Artinya penampakannya tiada lain Dia juga, yang tampil dariNya adalah Dia juga. Lebih jelasnya Syaikh Abd Ar-Rauf Singkil menjelaskan dalam sebuah karyanya: “wujud alam ini tidak benar-benar sendiri, melainkan terjadi melalui pancaran. Yang dimaksud dengan memancar di sini adalah bagaikan memancarnya pengetahuan dari Allah Ta’ala. Seperti halnya alam ini bukan benar-benar Zat Allah, karena ia merupakan wujud yang baru, alam juga tidak benar-benar lain dariNya. Karena ia bukan wujud kedua yang berdiri sendiri disamping Allah.”

Alam bukanlah sebenarnya Allah namun pancarannNya dengan kata lain hijabnya. Hal ini dikuatkan oleh penjelasan Willian dalam salah satu karyanya mengenai Ibn Arabi: “Hanya satu wujud dan seluruh eksistensi tiada lain adalah pancaran dari Wujud Yang Satu.” Kesimpulannya yang tampak itulah makhluk cipatanNya sedang ZatNya tetaplah ghaib. Hal ini dijelaskan oelh Ibn Arabi sebagai berikut: “Allah nyata ditinjau dari penampakanNya pada cipatanNya dan batin dari segi Zatnya.” Untuk lebih jelasnya, Tajalliyat Allah pada lingkatan wujud adalah merupakan penampakan Allah berupa kesempurnaan dan keagungan yang abadi. Zatnya merupakan sumber pancaran yang tak pernah habis keindahan dan keagunganNya. Ia merupakan perbendaharaan yang tersembunyi yang ingin tampil dan dikenal. Allah sebagai keindahan ingin membuka perbendahataan tersembunyi tersebut dengan Tajalliyat (teofani) Haq tentunya yang merupakan penampakan-penampakan dari keagungan, keindahan dan kesempurnaanNya dalam pentas alam yang maha luas.

1. Tajalliyat Wujudiyah Zatiyah yaitu pernyataan dengan diriNya

untuk diriNya dari diriNya. Dalam hal ini Ia terbebas dari segala gambaran dan penampakan. Ini dikenal dengan Ahadiyat. Pada keadaan ini tampak Zat Allah terbebas dari segala sifat, nama, kualitas, dan gambaran. Ia merupakan Zat Yang Suci yang

dikenal dengan rahasia dari segala rahasia, gaib dari segala yang gaib, sebagaimana ia merupakan penampakan Zat, atau cermin yang terpantul darinya hakikat keberadaan yang mutlak.

2. Tajalliyat Wujudiyah Sifatiyah yang merupakan pernyataan

Allah dengan diriNya, untuk diriNya, pada penampakan kesempurnaanNya (asma) dan penampakan sifat-sifatNya yang azali. Keadaan ini dikenal dengan wahdah. Pada hal ini tampak hakikat keberadaan yang mutlah dalam hiasan kesempurnaan ini lah yang dikenal dedngan Haqiqat Muhammadiyah (kebenaran yang terpuji), setelah ia tersembunyi pada rahasia gaib yang mutlak denganjalan faid al-aqdas (atau limpahan yang paling suci karena ia langsung dari Zat Allah). Dalam keadaan ini tampillah al-A’yan as-Sabitah (esensi-esensi yang tetap) atau ma’lumat Allah.

3. Tajalliyat Wujudiyah Fi’liyah (af’aliyah) yaitu pernyataan

Haq dengan diriNya untuk diriNya dalam fenomena esensi-esensi yang luar (A’yan Kharijah) atau hakikat-hakikat alam semesta. Keadaan ini dikenal dengan mutlaq dengan ZatNya, sifatNya dan perbuatanNya dengan jalan limpahan yang suci (al-faid al-muqaddas). Allah pun tampak pada gambaran esensi-esensi luar (A’yan Kharijah), baik yang abstrak maupun yang kongkrit yang merupakan asal dari alam semesta seluruhnya. Ibn ‘Arabi berpendirian sebagaimana dinyatakan didalam salah satu Hadits Nabi SAW, bahwa “Allah mula-mula adalah ‘harta

tersembunyi kanz makhfiy, kemudian Dia ingin dikenal, maka

diciptakan-Nya makhluk, dan melalui makhluklah Ia dikenal”. Alam semesta adalah teofani nama dan pekerjaan Allah. Alam sebagai cermin yang didalamnya terdapat gambar Allah. Wujud alam bersatu dengan wujud Allah dalam ajaran wahdat al-Wujud, manunggaling kawulo-gusti. Allah Swt merupakan awal dari tajalliyat wujud segala fenomenanya dan dimensinya. Jadi Dia tidak berasal dari ketiadaan dan tidak berakhir kepada ketiadaan pula. Ia merupakan karya absolut yang berada pada lingkatan yang absolut, ia berasal dari yang Haq dengan Haq dan kepada

yang Haq, baik dalam tahap dzat, sifat dan af’al . Semuanya adalah penampakan dari Hakikat Yang Satu.

“Dalam hal ini ada sebagian golongan sufi yang terpeleset jatuh dalam kekhilafan dari yang sebenarnya, mereka berkata tidak ada kecuali apa yang engkau lihat bahwa alam adalah Allah dan Allah adalah alam tiada lain. Sebabnya kesaksian ini terjadi karena mereka belim benar benar mencapai apa yang dicapai oleh muhaqiqun. Kalau mereka mencapai apa yang dicapai oleh muhaqiqin maka meraka tidak akan berkata demikian dan menetapkan segala hakikat pada tempatnya dan mengetahuinya dengan ilmu dan penyingkapan (inkisyaf).” Disamping itu penyatuan antara manusia dan hamba adalah mustahil ataupun Allah bertempat adalah juga mustahil. Hal ini ia jelaskan dalam sebuah kitabnya: “Ittihad adalah mustahil karena dua zat menjadi satu, tidak akan mungkin bertemu antara hamba dan Tuhan pada satu wajah selamanya ditinjau dari ZatNya.”

Dari pernyataan ini jelas beliau tidak berpaham panteisme, jadi bagaimana menafsirkan wahdatulwujud tersebut? Sebagaimana yang diungkapkan sebelumnya bahwa Zat Allah adalah sumber segalanya. Jadi yang disebut eksistensi atau wujud adalah Zat tersebut. Sedangkan keadaan yang dikenal dngan Haqiqat Muhammadiyah (A’yan tsabitah, wahdah, tajalliyat wjudiyah sifatiyah) merupakan penampakan atau bayangan dari Zat Yang Suci yang bernama Allah. Kemudian keadaan yang bernama Wahdaniyat (tajalliyat wujudiyah fi’liyah atau a’yan kharijiyah) adalah bayangan dari wahdah atau Haqiqat Muhammadiyah. Jadi seluruhnya bayangan dari Zat Yang Suci. Lebih jelasnya alam ini (a’yan kharijiyah) penampakan atau bayangan dari Asma Allah yang dikenal dengan Haqiqat Muhammdiyah ataupaun A’yan Tsabitah. Sedangkan Asma adalah penampakan dari Zat Yang Maha Suci. Jadi bayangan adalah sesuatu yang pada hakikatnya tiada namun ia ada bergantung kepada Zat Allah, sebagaimana bayangan suatu benda.

Penjelasan diatas dikuatkan dengan perkataan Ibn Arabi dalam kitab Futuhat: Jika Engkau nyatakan: “Tiada sesuatupun yang setara denganNya maka hilanglah bayangan sementara bayangan terbentang maka hendaklah engkau memperhatikan lebih teliti.” Dalam kitab

Al-Jalalah beliau menjelaskan: “Segala sesuatu memiliki bayangan dan bayangan Allah adalah Arasy. Akan tetapi bukanlah setiap bayangan terbentang. Arasy bagi Tuhan adalah bayangan yang tidak terbentang, apakah engkau tidak memperhatikan bahwa jisim yang memiliki bayangan apabila diliputi oleh cahaya maka bayangannya ada padanya.” Bayanganyang dimaksud di sini adalah alam semesta. Manusia memiliki banyak bayangan jika dia disinari oleh beberapa cahaya yang datang dari berbagai arah, wajahnya akan muncul dalam berbagai cermin yang pada hakikatnya ia adalah satu namun dipatulkan oleh beraam cermin. Begitu pula Allah Esa dari segi ZatNya dan berbilang dari segi penampakanNya dalam gambaran serta bayanganNya dalam cahaya. Jadi jelas bahwa sebenarnya alam ini adalah bayangan yang hakikatnya tiada atau dikenal dengan batil. Ibn Arabi menjelaskan: “sebenar-benar ungkapan yang dikatakan oleh orang Arab bahwa; “segala sesuatu selain Allah adalah batil” karena siapa yang keberadannya tergantung kepada yang lain maka dia adalah tiada.”

Ia juga mengungkapkan bahwa, sesungguhnya engkau tidak pernah ada sama sekali dan bukan pula engkau ada dengan dirimu atau ada di dalamNya atau bersamaNya dan bukan pula engkau binasa ataupun ada. Untuk menjelaskan perkataan ini ia mengutip perkataan Abu Said al-Kharraj menyatakan: Aku mengenal Allah dengan menghimpun segala dua hal yang bertentangan. Artinya Dialah Yang Lahir dan Yang Batin tanpa keadaan yang lain. Dialah Yang Awal tanpa berawal, Yang Akhir tanpa berakhir, Yang Lahir tanpa jelas, Yang Batin tanpa tersembunyi.

Hal ini jika difahami berarti bahwa manusia tidak memiliki keberadaan yang independen dalam arti keberadaannya pada hakikatnya adalah bayangan dari keadaan Allah. Karena pada hakikatnya manusia tiada, yang ada hanya Allah. Jadi manusia adalah penampakan, bayangan atau ayat Allah yang pada hakikatnya adalah tiada atau khayal. Karena suatu yang sifatnya khayal berjumpa dengan khayal seolah kelihatan nyata.

Tidak ada dalam wujud ini selain Allah, kita walupun ada (mawjudun) maka sesungguhnya keberadaan kita denganNya, barang siap yang keberadaannya dengan selain Allah maka ia masuk dalam

hukum ketiadaan. Maksudnya ialah bahwa Allah ada dengan sendiriNya dan tidak mengambil keberadaannya dari yagn lain. Sedangkan alam adalah ada karena Allah mengadakannya. Jadi alam adalah keberadaanyang mungkin ada yang pada hakikatnya tiada. Di sini kita harus membedakan antara wujud dan maujud. Wujud merupakan isim masdar yang berarti keadaan dan Maujud merupakan isim maf’ul berarti sesuatu yang mengada karena pengaruh lain . Bisa ditafsirkan bahwa Allah adalah keberadaan itu sendiri atau Zat Yang Maha Ada, sedang maujud adalah sesuatu yang menjadi ada disebabkan hal lain. Maujud merupakan ‘objek’ yang berarti sesuatu yang menerima pengaruh perbuatan yang lain. Jadi sesuatu yang menjadi ada karena adanya keberadaan yang lain bukanlah keberadaan yang sejati namun keberadannya bergantung kepada Wujud Yang Sejati. Keberadaannya disebut dengan khayal, artinya ia ada karena bergantung pada Wujud Sejati. Namun jia sesuatu tidak bergantung kepada Wujud Sejati tentu dia tiada, karena siapa yang akan memberikannya keberadaan? Jadi jelas yang dimaksud dengan Wahdat al-Wujud adalah bahwa wujud yang sejati adalah satu. Bukan berarti alam adalah Allah dan tidak berarti bahwa Allah adalah alam.

Kesatuan wujud ini juga dapat difahami dari sebuah hadis yang sering dikutip Ibn Arabi dalam menerangkan masalah Wahdat al-Wujud yaitu: Kanallahu wala syai’a ma’ahu artinya ‘dahulu Allah tiada sesuatu apapun besertaNya’. Disempurnakan dengan perkataan wa huwa alAna ‘ala ma kana artinya ‘sekarang Ia sebagaimana keadaanNya dahulu’. Maksud dari kedua pernyataan ini tidak ada sesuatu apapun yang menyertai Allah selamanya dan segalaNya pada sisiNya adalah tiada. ‘Tiada Tuhan selain Allah’ artinya segala sesuatu berupa alam yang gaib dan nyata adalah bayangan Allah yang pada hakikatnya tiada. Karena segala sesuatu yang tiada bisa dijadikan Tuhan oleh manusia dan yang pada hakikatnya yang ada hanya Zat Allah Yang Maha Suci yang bernama Allah.

Yang dapat disimpulkan dari penjelasan di atas ialah, alam bisa dikatakan Allah dan bisa juga tidak. Dilihat dari keterbatasan alam dan hakikatnya yang merupakan khayal semata maka alam bukanlah

Allah. Namun jika dilihat bahwa alam tidak akan muncul dengan sendirinya dan mustahil ada wujid disamping Allah ataupun diataNya atau dibawahNya atau ditengahNya atau didalamNya atau diluarNya maka alam adalah penampakan Allah. Penampakan itu tiada lain allah jua adanya.

Dibalik itu semua dalam memahami hal ini bukanlah cukup dengan logika namun harus dibuktikan dengan penyaksian sebagaimana pernyataan Ibn Arabi: “Tauhid adalah penyaksian danbukan pengetahuan, barang siapa menyaksikan maka ia telah bertauhid barang siapa hanya mengetahui ia belum bertauhid.”

Jadi beginilah yang dapat difahami dari Wahdat al-Wujud. Permasalahan Tanzih dan Tasybih akan lebih menjelaskan konsep Wahdat Wujud.