• Tidak ada hasil yang ditemukan

H. INSAN KAMIL

I. WIHDAT AL-ADYAN

Adalah sebuah aksioma bahwa Abd al-Karim al-Jili bukanlah founding father konsep wihdat al-Adyan (unity of religions). Al-Hallaj, Ibn ‘Arabi dan Jajal al-Din al-Rumi telah mendahului al-Jili dalam menawarkan gagasan pluralis ini. Secara sosiologis, konsep inklusif para raksasa sufi klasik ini menemukan relevansinya dengan tantangan realitas kultural pada masa silam. Al-Hallaj amat prihatin menyaksikan

ekslusivisme kaum eksoterik dan intoleransi di tengah-tengah masyarakatnya. Di Baghdad, al-Hallaj melihat non-Muslim, sebagai masyarakat minoritas kelas dua, terus disubordinasikan oleh pemeluk Islam mayoritas. Untuk merespon fenomena itu, al-Hallaj menawarkan pluralisme agama sebagai solusi.

Pluralisme agama semakin niscaya untuk dipromosikan di masa Ibn Arabi dan Jalal al-Din al-Rumi. Perang Salib (1096-1270 M) dan ekpansi Mongol (1220-1300 M) membutuhkan respon filosofis untuk meminimalisir ketegangan-ketegangan yang terjadi. Namun, ketegangan dan ketidakharmonisan relasi antar umat beragama masih terus bergentayangan pada masa al-Jili. Pada titik nadir, relasi antar umat beragama terus diwarnai oleh sikap-sikap antagonis, bukan sinergis. Oleh karena itu, tak pelak jika al-Jili merasa terpanggil untuk meneguhkan kembali inklusivisme Islam.

Dalam konteks kekinian, ide-ide al-Jili masih relevan dipromosikan guna meredam konflik antar agama yang berkepanjangan dan untuk mengantisipasi dampak negatif yang ditimbulkan oleh tesis Samuel P. Huntington, yakni benturan antar peradaban (clash of civilization). Huntington memprediksikan bahwa masa depan politik dunia pasca runtuhnya komunisme ditandai dengan benturan sengit antara peradaban Barat vis a vis Islam. Tesis ini mendapatkan penolakan dari berbagai kalangan dan, sebagai jalan tengah, mereka mengajukan alternatif bahwa dialog antar agama adalah solusi produktif. Problem yang muncul kemudian adalah, sejauhmana dialog antar agama dapat dilakukan?

Al-Jili dan para sufi raksasa pendahulu, seperti al-Halaj, Ibn Arabi dan Rumi, telah menorehkan jejak dalam dialog spiritual dengan agama dan tradisi non-Islam. Seperti telah diuraikan sebelumnya, al-Jili memiliki pengalaman berinteraksi dengan tradisi non-Islam dalam ekspedisi ilmiahnya. Interaksi itu pula yang sejatinya ikut membentuk pandangan-pandangan pluralisnya. Dengan dialog spiritual, yang dibarengi dengan penghayatan esoteris terhadap doktrin-doktrin kepercayaan lain, al-Jili mampu melampaui sekat-sekat dan batas-batas formalisme agama.

Al-Jili, dalam al-Insan al-Kamil fi Ma’rifat al-AwAkhir wa al-Awa‘il, bab hakikat agama-agama, mengebolarasi pluralisme agama secara komprehensif. Baginya, Allah menciptakan semua makhluknya demi sebuah motif keberhambaan. Al-Jili bertendensi pada ayat al-Quran Surat al-Dzariyat: 56 yang menegaskan bahwa semua makhluk-Nya diciptakan hanya untuk menyembah. Penganut Islam, Yahudi, Kristen, Shabi’ah, para filosof naturalis, Majusi, pengikut paganisme, heretik dan penganut keyakinan lainnya adalah para penyembah Tuhan, karena sejatinya Tuhan adalah eksistensi yang menapasi seluruh alam semesta. Varian praktik ritus diantara mereka tak lain merupakan manifestasi dari varian nama dan atribut Tuhan. Para pengikut rasul-rasul adalah para penyembah Tuhan sebagai representasi manifestasi nama Tuhan al-Hadi, pemberi petunjuk. Sementara para pembangkang ajaran rasul-rasul juga merupakan penyembah Tuhan sebagai representasi manifestasi nama Tuhan al-Mudhil, pemberi kesesatan. Manifestasi dari dua nama Tuhan itulah yang menyebabkan munculnya perbedaan keyakinan.

Secara teoritis, pluralisme agama muncul sebagai konsekuensi konsep wihdat al-Wujud yang mengandaikan bahwa setiap entitas adalah manifestasi Tuhan. Tuhan adalah Sang Kekasih yang meresapi setiap objek yang dicintai dan disembah. Patung-patung bagi kaum pagan, bintang-bintang bagi kaum Shabiah, Yesus Kristus bagi umat Kristiani dan objek-objek sesembahan lainnya adalah manifestasi Tuhan. Tuhan dapat disembah melalui patung, Yesus, bintang-bintang dan lain sebagainya. Kesalahan orang Kristen, pagan dan Shabi’ah tidak terletak pada penyembahan terhadap objek-objek tersebut, melainkan terletak pada penyembahan yang dibatasi hanya pada objek-objek tertentu, padahal Tuhan sejatinya senantiasa mewujud dalam setiap eksistensi. Dalam al-Nadirat al-‘Ayniyyah, al-Jili menggubah syair untuk mengekspresikan pandangannya dalam persoalan ini. Tidak ada eksistensi di dunia ini kecuali Tuhan berada di belakangnya. Tidak ada eksistensi kecuali ia adalah Sang Terdengar sekaligus Sang Pendengar.

transendensi Tuhan dalam imanensi makhluk-Nya, bahkan transendensi-Nya terkesan tergerus. Pemikiran inilah yang membedakan antara Ibn Arabi dengan al-Jili, dimana panteisme mengambil bentuk yang sangat transparan dalam kerangka konsepsional al-Jili. Alih-alih tabu, panteisme al-Jili justru muncul sebagai amukan-amukan esoteris yang vulgar.

BAB II

DZU AL-NUN AL-MISRI

(W. 245 H. 877 M.); PENCIPTA TEORI MA’RIFAT

Abu al-Faydh Tsawban bin Ibrahim bin Ibrahim bin Muhammad al-Anshari (...–245 H./772-877 M.) yang dijuluki Shahib al-Hut (pemilik ikan). Ia dikenal sebagai sufi yang mengembangkan teori tentang ma’rifat. Ma’rifat dalam terma sufistik memiliki pengertian yang berbeda dengan istilah ‘ilm, yakni sesuatu yang bisa diperoleh melalui jalan usaha dan proses pembelajaran. Sedangkan ma’rifat dalam terma sufi lebih merujuk pada pengertian salah satu metode yang bisa ditempuh untuk mencapai tingkatan spiritual. Sebagaimana diketahui bahwa kalangan sufi membedakan jalan sufistik kedalam tiga macam yaitu: makhafah (jalan kecemasan dan penyucian diri, mahabbah (jalan cinta, pengorbanan dan penyucian diri dan ma’rifah (jalan pengetahuan).

Menurutnya, ma’rifah adalah keutamaan atau anugerah semata dari Allah. Dan ini hanya bisa dicapai melalui jalan pengetahuan. Semakin seseorang mengenal Allahnya, maka semakin pula ia dekat, khusyu’ dan mencintai-Nya. Ia termasuk meyakini bahwa ma’rifat sebenarnya adalah puncak dari etika baik vertical maupun horizontal. Jadi, ma’rifat terkait erat dengan syari’at, sehingga ilmu batin tidak menyebabkan seseorang dapat membatalkan atau melecehkan kewajiban dari ilmu zahir yang juga dimuliakan oleh Allah. Demikian

pula, dalam kehidupan sesame, seorang ‘arif akan senantiasa mengedepankan sikap kelapangan hati dan kesabaran dibanding ketegasan dan keadilan.

Hakikat ma’rifat bagi Dzun al-Nun al-Misri adalah al-Haq itu sendiri. Yakni, cahaya mata hati seorang ‘arif dengan anugerah dari-Nya sanggup melihat realitas sebagaimana al-Haq melihatnya. Pada tingkatan ma’rifat, seorang ‘arif akan mendapati penyingkapan hijab (kasyf al-hijab). Dengan pengetahuan inilah, segala gerak-gerik sang ‘arif senantiasa dalam kendali dan campur tangan Allah. Ia menjadi mata, lidah, tangan dan segala macam perbuatan dari Allah. Dzunun menegaskan bahwa, “Aku ma’rifat pada Allahku sebab Allahku, andaikata bukan karena Allahku, niscaya aku tidak akan ma’rifat kepada-Nya.”

Ia membagi ma’rifat menjadi tiga macam. Pertama, ma’rifat al-tauhid, yakni doktrin bahwa seorang mu’min bisa mengenal Allahnya karena memang demikian ajaran yang telah dia terima. Kedua, ma’rifat al-Hujjah wa al-Bayan, yakni ma’rifat yang diperoleh melalui jalan argumentasi, nalar dan logika. Bentuk kongkritnya, mencari dalil atau argument penguat dengan akal sehingga diyakini adanya Allah. Tetapi, ma’rifat kaum teolog ini belum bisa merasakan lezatnya ma’rifat tersebut. Ketiga, ma’rifat sifat al-Wahdaniyah wa al-Fardhiyah, yakni ma’rifat kaum muqarrabin yang mencari Allahnya dengan pedoman cinta. Sehingga yang diutamakan adalah ilham atau fadhl (limpahan karunia Allah) atau kasyf (ketersingkapan tabir antara Allah dengan manusia). Karena pada tingkatan ini, sebenarnya yang lebih berbicara adalah hati dan bukannya akal.

BAB III

ABU YAZID AL-BUSTHAMI (200-261 H/815-874 M)