Bab 8 Manajemen Konflik Dan Negoisasi
8.2 Manajemen Konflik Dan Dampak Yang Ditimbulkan
Konflik dapat terjadi kapanpun dan dimanapun serta dapat melibatkan berbagai pihak, karena dalam kehidupan sosial sehari-hari selalu terjadi pertentangan yang diakibatkan oleh perbedaan tujuan. Artinya, konflik terjadi apabila ada perbedaan pemahaman antara dua orang atau lebih terhadap berbagai perselisihan, ketegangan, kesulitan-kesulitan di antara para pihak yang tidak sepaham sehingga bisa memicu terganggunya upaya tercapainya tujuan. Banyaknya penyebab terjadinya konflik, seperti perbedaan latar belakang, perbedaan kepentingan antara individu dalam kelompok/ masyarakat yang saling terkait dalam realita sosial yang kompleks.
Pruitt dan Rubin (2009) mendefinisikan konflik sebagai sebuah persepsi mengenai perbedaan kepentingan (perceived divergence of interest), atau suatu kepercayaan beranggapan bahwa aspirasi pihak-pihak yang berkonflik tidak dapat menemui titik temu yang sepaham. Konflik dapat didefinisikan sebagai peristiwa sosial yang mengandung penentangan atau ketidaksetujuan (Lestari, 2012). Muliana, dkk (2020) menyatakan konflik dapat terjadi jika salah satu pihak memiliki aspirasi yang berbeda dengan situasi yang ada sehingga timbulnya ketidakpuasan. Apabila tidak ada penyelesaian dari ketidakpuasan tersebut, maka akan menimbulkan masalah yang lebih dalam sehingga akan semakin sulit dalam mengatasinya.
Aspirasi juga dapat mengakibatkan terjadinya konflik, bila aspirasi yang terlalu realistis dan idealis sehingga sulit diterima yang akan berdampak timbulnya konflik. Konflik dapat dipahami sebagai suatu pertentangan yang terjadi antara apa yang diharapkan oleh seseorang terhadap dirinya, orang lain, organisasi dengan kenyataan dan apa yang diharapkan (Muspawi, 2014). Sedangkan, Widyastuti, dkk. (2020) menyatakan terjadinya konflik menunjukkan indikasi adanya unsur ketidakberesan, adanya prinsip-prinsip atau aturan-aturan yang tidak dilaksanakan dengan baik. Berdasarkan pernyataan tersebut dapat dinyatakan konflik merupakan suatu keadaan dari akibat adanya pertentangan antara kehendak, nilai atau tujuan yang ingin dicapai dari individu atau anggota kelompok sehingga menyebabkan suatu kondisi tidak nyaman baik di dalam diri individu maupun antar kelompok. Ungkapan tentang dampak yang ditimbulkan konflik seakan-akan ingin membenarkan berbagai mitos yang telah berkembang lama, yaitu konflik harus dihindarkan; konflik terjadi karena salah pengertian;
konflik merupakan isyarat memudarnya hubungan antarpribadi; konflik dapat selalu dipecahkan, dan konflik adalah sesuatu yang buruk (Beebe, Beebe and Redmond. 1996). Pernyataan ini mengisyaratkan bahwa ada konflik yang bersifat negatif yang harus segera diselesaikan dengan cepat, karena bila tidak terselesaikan akan memberikan dampak yang akan dapat merugikan organisasi, yaitu merusak lingkungan kerja dan komunikasi orang-orang yang terlibat dalam organisasi tersebut.
Bila terjadi suatu konflik dalam suatu organisasi, pasti akan memberikan keuntungan di satu pihak dan kerugian di lain pihak, atau sebaliknya. Menurut Purba, dkk (2020), konflik secara langsung maupun tidak langsung akan memberikan dampak pada organisasi. Dampak konflik yang terjadi berdasarkan manfaatnya terbagi atas dua bagian, yaitu konflik yang bersifat fungsional yang memberikan dampak positif dan bermanfaat, dan konflik disfungsional yang memberikan dampak negatif atau merugikan. Hal ini didukung pernyataan dari Azhari, Jihadi, dan Setyawan (2013) yang menyebutkan berdasarkan pandangan tradisional bahwa konflik hanya memberikan akibat negatif sehingga perlu dihilangkan. Pandangan ini juga menyebutkan bahwa konflik hanya merugikan organisasi, karena itu konflik harus dihindari. Sedangkan dalam pandangan modern, konflik dapat memberikan manfaat baik maupun buruk bagi organisasi. Namun, bila konflik disikapi oleh pihak-pihak yang berkonflik dengan dewasa dan percaya diri, maka apapun yang menjadi sumber masalah akan dapat diselesaikan dengan baik. Artinya, konflik harus dapat di manage atau dikelola agar dapat memberikan manfaat bagi organisasi. Agar konflik dapat terkelola dengan baik maka diperlukan manajemen konflik.
Wirawan (2010) mendefinisikan manajemen konflik sebagai proses pihak yang terlibat atau pihak ketiga menyusun strategi konflik dan menerapkannya untuk mengendalikan konflik agar menghasilkan resolusi yang diinginkan. Moore (2004) mengatakan bahwa manajemen konflik atau lazim disebut mengelola konflik adalah kecenderungan seseorang dalam menata atau mengatur pertentangan dalam wujud sikap dan perilaku. Sebab masalah yang lahir dari pertentangan merupakan sesuatu yang menghambat, merintangi, atau mempersulit seseorang mencapai maksud dan tujuan tertentu. Sedangkan, Davidoff (1991) menjelaskan bahwa manajemen konflik adalah kecenderungan pilihan sikap dalam menghadapi, mengenali, mengidentifikasi, dan menempatkan kondisi-kondisi yang dilakukan sebagai reaksi terhadap berbagai tuntutan dan tekanan lingkungan tempat ia hidup. Berdasarkan pendapat tersebut dapat dinyatakan bahwa manajemen konflik adalah proses
Bab 8 Manajemen Konflik dan Negoisasi 105
pengkoordinasian yang digunakan individu dalam menata atau mengatur pertentangan dalam wujud sikap dan pola perilaku dalam menghadapi situasi konflik.
Sunarta (2010) menyatakan konflik yang terjadi dalam suatu organisasi akan dapat mengganggu kelancaran hubungan antar individu anggota organisasi. Apabila hubungan antar individu terganggu akibat adanya konflik, maka pribadi-pribadi yang berkonflik akan merasakan suasana kerja dan suasana psikologis tertekan. Orang-orang yang bekerja di bawah tekanan psikologis dapat mengakibatkan menurunnya tingkat motivasi kerja dan akan berakibat prestasi kerja akan berkurang sehingga secara luas akan mengakibatkan produktivitas kerja pribadi dan organisasi atau perusahaan akan menurun. Wijono (1993) menyatakan bila konflik tidak segera diatasi dan cenderung membiarkan konflik tumbuh subur maka akan dapat memberikan dampak munculnya keadaan-keadaan yang dapat merugikan, yaitu:
1. Meningkatkan jumlah absensi karyawan dan seringnya karyawan mangkir pada waktu jam-jam kerja berlangsung, seperti ngobrol berjam-jam pada waktu jam kerja, berjalan mondar-mandir menyibukkan diri, dan bermalasan selama pimpinan tidak ada ditempat, pulang lebih awal atau datang terlambat dengan berbagai alasan yang tak jelas;
2. Banyaknya karyawan yang mengeluh karena sikap atau perilaku teman kerjanya yang dirasakan kurang adil dalam membagi tugas dan tanggung jawab;
3. Seringnya terjadi perselisihan antar karyawan yang bisa memancing kemarahan, ketersinggungan yang akhirnya dapat memengaruhi pekerjaan, kondisi psikis dan keluarganya;
4. Banyak karyawan yang sakit, sulit untuk konsentrasi dalam pekerjaannya, muncul perasaan kurang aman, merasa tidak dihargai hasil pekerjaannya, menimbulkan stress yang berkepanjangan; 5. Seringnya karyawan melakukan pertahanan diri bila memperoleh
teguran dari atasan, misalnya mengadakan sabotase dengan cara merusak mesin-mesin atau peralatan kerja, mengadakan provokasi terhadap rekan kerja, membuat sesuatu yang merugikan orang lain;
6. Meningkatnya kecenderungan yang keluar masuk dan ini disebut labor turn over, yang bisa menghambat kelancaran dan kestabilan organisasi, kehilangan karyawan potensial, dan dapat muncul pemborosan dalam cost benefit.
Ambarita, Purba, dan Ambarita (2016) menyatakan akibat dampak konflik bila tidak diselesaikan dengan baik akan dapat berakibat, yaitu:
1. Kehilangan karyawan yang berharga dan memiliki keahlian teknis atau dapat juga karyawan tersebut mengundurkan diri;
2. Menahan atau mengubah informasi yang diperlukan agar rekan sekerja yang berpikiran positif tetap dapat mencapai prestasi;
3. Keputusan yang lebih buruk diambil oleh perseorangan atau tim karena terlalu sibuk memusatkan perhatian pada orangnya, bukan pada masalahnya;
4. Kemungkinan sabotase terhadap pekerjaan atau peralatan sehingga membuat pengeluaran yang sangat besar;
5. Sabotase terhadap hubungan pribadi dan reputasi anggota tim melalui gossip;
6. Menurunkan moral, semangat dan motivasi kerja sehingga dapat meracuni seluruh anggota tim yang berakibat tidak bekerja secara optimal;
7. Masalah yang berkaitan dengan stress, efisiensi yang berkurang dan kebiasaan membolos kerja.
Soekanto (2007) menyatakan konflik yang terjadi dapat memberikan dampak, yaitu:
1. Bertambahnya solidaritas in-group, yaitu solidaritas dalam kelompok tersebut akan bertambah erat apabila terjadi pertentangan suatu kelompok dengan kelompok yang lain;
2. Hancurnya atau retaknya kesatuan kelompok, yaitu mengakibatkan pecahnya persatuan dalam kelompok;
3. Perubahan kepribadian para individu;
4. Hancurnya harta benda dan jatuhnya korban manusia; 5. Akomodasi, dominasi dan takluknya salah satu pihak.
Bab 8 Manajemen Konflik dan Negoisasi 107
Walaupun konflik dapat memberikan dampak yang kurang baik, akan tetapi konflik tidak perlu harus dihindari, karena konflik juga dapat memberikan dampak positif bila dikelola dengan baik. Seperti yang disampaikan Wahyudi (2015) menyatakan konflik bukanlah sesuatu yang harus dihindari, dianggap momok yang menakutkan dalam kehidupan berorganisasi tapi harus dipandang sebagai dinamisator dalam setiap aktivitas organisasi itu sendiri, tanpa konflik organisasi akan mati dan dengan adanya konflik organisasi akan hidup dan berkembang.
Lebih lanjut, Wahyudi (2015) menambahkan bahwa dampak konflik secara positif akan dapat membawa perubahan dan perbaikan yang lebih baik, yaitu: 1. Membuat organisasi tetap hidup dan harmonis;
2. Berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungan;
3. Melakukan adaptasi, sehingga dapat terjadi perubahan dan perbaikan dalam sistem dan prosedur, mekanisme, program, bahkan tujuan organisasi;
4. Memunculkan keputusan-keputusan yang bersifat inovatif;
5. Memunculkan persepsi yang lebih kritis terhadap perbedaan pendapat. Dengan demikian, konflik harus dapat di manage atau dikelola dengan baik agar dapat meningkatkan kinerja organisasi. Untuk itu, para manajer harus mampu mengelola konflik agar dapat sebagai dinamisator dan mendukung untuk kemajuan organisasi.