• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertumbuhan aktivitas usaha Bank BHI yang semakin meningkat setiap tahunnya menyadarkan Bank akan pentingnya menerapkan pengelolaan manajemen risiko secara lebih luas dalam

perusahaan (Enterprise Risk

Management). Oleh karena itu, Bank BHI senantiasa mengikuti perkembangan manajemen risiko, dan selalu diupayakan berpedoman kepada Peraturan Bank Indonesia tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum, serta implementasi Basel khususnya konsep Basel New Capital Accord (Basel II).

Penerapan manajemen risiko yang dilakukan sejalan dengan PBI No.11/25/

PBI/2009 dan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 13/23/DPNP tertanggal 25 Oktober 2011 perihal perubahan atas Surat Edaran No. 5/21/

DPNP perihal Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum, maka pengelolaan risiko yang dikelola terdiri dari 8 (delapan) jenis risiko, yaitu risiko kredit, risiko pasar, risiko likuiditas, risiko operasional, risiko hukum, risiko reputasi, risiko stratejik dan risiko kepatuhan.

Pengelolaan manajemen risiko di Bank BHI merupakan proses yang berkelanjutan dan berkesinambungan serta dilakukan pengembangan dan penyempurnaan pada setiap aktivitas fungsional, yang didasarkan pada keseimbangan antara fungsi Unit bisnis dengan pengelolaan risikonya, sehingga dapat memberikan informasi secara dini guna mengambil langkah-langkah perbaikan dalam memperkecil risiko. Mekanisme pengelolaan risiko secara day to day dengan berdasarkan prinsip kehati-hatian telah dituangkan dalam beberapa kebijakan dan prosedur, antara lain Kebijakan Umum Manajemen Risiko yang merupakan aturan acuan dalam implementasi manajemen risiko pada seluruh kegiatan bisnis Bank BHI yang meliputi kebijakan, strategi, organisasi, sistim informasi manajemen risiko, pengawasan risiko, pengelolaan produk dan aktivitas baru, serta Business Continuity Plan ( BCP ).

Kualitas penerapan manajemen risiko yang terdiri dari tata kelola risiko, kerangka manajemen risiko, proses

manajemen risiko, sistem informasi, dan sumber daya manusia, serta pengendalian intern diupayakan untuk selalu ditingkatkan melibatkan semua unsur dalam bank dimana Dewan Komisaris dan Direksi mempunyai tugas memastikan penerapan manajemen risiko telah memadai sesuai dengan kompleksitas dan profil risiko bank serta memahami dengan baik jenis dan tingkat risiko yang melekat pada kegiatan bisnis bank.

Proses identifikasi, pengukuran, dan monitoring risiko dilakukan oleh Satuan Kerja Manajemen risiko yang independen terhadap Unit Kerja Operasional/Bisnis maupun Satuan Kerja Audit Internal.

Sedangkan tiap-tiap Unit Kerja (risk taking unit) bertanggung jawab atas pengelolaan risiko-risiko yang melekat dalam aktivitas fungsional yang dilakukannya. Komite Manajemen Risiko berperan aktif dalam memberikan pertimbangan-pertimbangan terhadap risiko yang melekat pada kebijakan yang akan ditetapkan Direksi maupun memberikan evaluasi terhadap ketentuan-ketentuan yang kurang sesuai dengan perkembangan terkini dan perlu dilakukan penyesuaian. Komite Manajemen Risiko terlibat secara aktif dalam melakukan penilaian risiko yang melekat pada setiap produk dan/atau jasa/aktivitas baru sehingga Bank dapat melakukan langkah-langkah mitigasi yang diperlukan.

Budaya risiko yang ditanamkan di Bank BHI berdasarkan prinsip manajemen risiko Bank, dimana proses pengelolaan manajemen risiko menjadi tanggung jawab bersama seluruh karyawan dan kesadaran akan risiko (risk awareness) sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya Bank.

Dengan menggunakan pendekatan Three Lines of Defense, fungsi pengelolaan risiko dilakukan secara komprehensif oleh semua lini organisasi, yang dimulai dengan oversight yang dilakukan oleh Dewan Komisaris dan Direksi. Top management, seluruh unit bisnis (frontline businesses), dan seluruh unit pendukung (supports) berfungsi sebagai First Line of Defense yang melaksanakan pertumbuhan usaha dengan tetap mempertimbangkan aspek risiko dalam setiap pengambilan keputusan. Satuan Kerja Manajemen risiko dan Satuan Kerja

Kepatuhan berfungsi sebagai Second Line of Defense yang mengelola risiko secara independen bersama-sama dengan Satuan Kerja Audit Internal sebagai Third Line of Defense yang bertugas melaksanakan risk assurance dan melakukan pengawasan serta evaluasi secara berkala.

1. Risiko Kredit

Risiko kredit adalah risiko akibat kegagalan debitur dan/atau pihak lain dalam memenuhi kewajiban kepada Bank.

Pada Bank BHI, pemberian kredit merupakan sumber risiko kredit yang terbesar. Selain kredit, Bank BHI menghadapi risiko kredit dari berbagai instrumen keuangan seperti surat berharga, transaksi antar Bank, transaksi pembiayaan perdagangan, serta kewajiban komitmen dan kontinjensi.

Pengelolaan risiko kredit di Bank BHI selain merujuk pada ketentuan BMPK yang diberlakukan oleh Bank Indonesia, juga meliputi risiko konsentrasi kredit yang terdiri dari pengelolaan kredit kepada Debitur inti, kredit per sektor ekonomi, kredit per kategori portofolio, dan kredit kepada UMKM.

Bank BHI memiliki komitmen yang tinggi dalam mengelola risiko konsentrasi kredit, dan dituangkan dalam risk appetite statement dengan mengatur batasan limit yang dapat diberikan kepada Pihak terkait dan Pihak Tidak terkait baik secara individu maupun kelompok sesuai dengan ketentuan BMPK yang berlaku. Bank BHI

juga menentukan batasan limit kredit yang dapat diberikan terhadap Debitur inti, sektor ekonomi, dan kredit terhadap UMKM. Sedangkan untuk mengelola konsentrasi kredit per kategori portofolio secara lebih efektif, maka dalam kebijakannnya Bank BHI membagi produk kredit berbasis Smart Simple Solution untuk segmen kredit retail dan Costumer Solution untuk segment kredit komersial.

Bank BHI menyadari bahwa kualitas penerapan manajemen risiko kredit masih perlu ditingkatkan. Oleh karena itu dalam menjalankan tata kelola risiko kredit, Bank BHI merumuskan risk appetite dan risk tolerance yang secara periodik ditinjau ulang agar selalu sejalan dengan sasaran strategis dan strategi bisnis Bank secara keseluruhan. Hal ini didukung oleh kecukupan pengawasan aktif dari Dewan Komisaris dan Direksi termasuk pelaksanaan kewenangan dan tanggung jawab Dewan Komisaris dan Direksi. Hal itu dilakukan baik melalui Komite Pemantau Risiko dan Komite Audit yang berada di bawah Dewan Komisaris, maupun melalui Komite Kredit dan Komite Manajemen Risiko yang berada di bawah Direksi.

Peringkat Profil Risiko Bank BHI posisi akhir tahun 2014, dari penggabungan tingkat risiko inherent dan tingkat kualitas penerapan manajemen risiko berada pada Peringkat Komposit 2 (DUA) atau “Low to Moderate”.

Jenis Risiko Inherent Risk Risk Control

System Peringkat Risiko

Risiko kredit Moderate Fair 3

Risiko pasar Low to moderate Satisfactory 2

Risiko likuiditas Moderate Fair 3

Risiko operasional Moderate Fair 3

Risiko hukum Moderate Satisfactory 2

Risiko stratejik Moderate Satisfactory 2

Risiko kepatuhan Moderate Satisfactory 2

Risiko reputasi Low to moderate Satisfactory 2

Peringkat Profil Risiko 2

Productivity and Efficiency Annual Report 2014

31

Dalam menjaga Bank dari timbulnya risiko kredit berupa menurunnya kualitas kredit, dan meningkatnya NPL (Non Performing Loan), maka Bank BHI melaksanakan manajemen risiko perkreditan sesuai dengan ketentuan yang telah dirumuskan agar kualitas kredit yang ada terjaga secara baik. Untuk mendukung hal itu maka secara berkesinambungan Bank BHI melalui Divisi SDM mengadakan pelatihan-pelatihan manajemen perkreditan terhadap personel Bisnis Unit (Divisi Loan & Funding) dan Divisi Credit Risk & Review sebagai risk taking unit, memperkuat unit kerja Credit Quality Control yang memonitor kualitas kredit debitur dan pemenuhan covenant sejak kredit dicairkan, dan mengupayakan penyelesaian kredit NPL secara efektif yang dilakukan oleh Credit Recovery secara independen. Sedangkan Satuan Kerja Manajemen Risiko secara independen mengambil peran dalam scope bank wide yakni dengan memberikan masukan kepada risk taking unit mengenai trend perekonomian nasional khususnya sub-sektor ekonomi yang dinilai dalam kondisi tertentu sehingga Bank BHI harus lebih hati-hati dalam menyalurkan dananya dalam bentuk kredit atau hal-hal khusus lainnya yang perlu mendapat perhatian di dalam pemberian kredit, serta memantau risk appetite setiap kategori yang telah ditetapkan oleh Komite Kebijakan Perkreditan.

Risiko kredit juga dapat terjadi karena adanya pengaruh faktor eksternal yaitu perubahan kondisi ekonomi, teknologi ataupun regulasi yang mempengaruhi tingkat suku bunga, nilai tukar, siklus usaha debitur dan berdampak pada kemampuan debitur untuk membayar kembali pinjamannya. Hal ini terlihat dari meningkatnya NPL dan jumlah tunggakan bunga. Oleh karena itu, secara berkala Bank BHI melakukan stress testing pengaruh kondisi eksternal terhadap kualitas perkreditan dan kecukupan modal Bank BHI dan menginformasikan/

melaporkan kepada pengawas dalam hal ini OJK (Otoritas Jasa Keuangan).

Kedepannya Bank BHI akan membuat system forward looking terhadap portfolio (Portfolio Management) dan eksposur risiko kredit bank yang dijalankan

dengan berkolaborasi antara Unit Bisnis, Credit Risk & review, dan Satuan Kerja Manajamen Risiko sehingga dapat dijadikan dasar melakukan stress testing dan perbaikan manajemen perkreditan.

Bank BHI menuangkan pedoman mengenai Penurunan Nilai Kredit pada KPB BHI (Kebijakan Perkreditan Bank BHI), dimana dalam mengukur dan membentuk Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) Bank memperhatikan hal-hal berikut :

CKPN dibentuk berdasarkan selisih antara nilai tercatat kredit dan nilai kini dari estimasi arus kas masa datang yang didiskonto mempergunakan suku bunga efektif.

Bank tidak diperbolehkan membentuk CKPN melebihi jumlah yang dapat dikaitkan pada kredit yang dievaluasi secara individual atau secara kolektif dan didukung dengan bukti obyektif penurunan nilai.

CKPN dibentuk sesuai dengan mata uang denominasi kredit yang diberikan.

Dalam hal dan kondisi tertentu, Bank mungkin tidak perlu membentuk CKPN, apabila nilai wajar agunan yang diperhitungkan dalam estimasi arus kas lebih besar dari total kewajiban Peminjam.

Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) Individual dibentuk dari kredit-kredit yang dikelompokkan ke dalam kredit-kredit yang dievaluasi secara Individual yaitu :

Total plafond kredit diatas IDR 5.000.000.000

Kredit yang direstrukturisasi

Penyelesaian kredit dengan pengambil alihan agunan

Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) Kolektif dibentuk dari kredit-kredit yang dikelompokkan ke dalam kredit yang dievaluasi secara Kolektif yaitu :

Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) secara kolektif dibentuk dari kredit-kredit yang dikelompokan kedalam kredit yang dievaluasi secara kolektif yaitu total plafond Kredit sampai dengan IDR.5.000.000.000.

Besarnya CKPN yang harus dibentuk didasarkan pada Peraturan Bank Indonesia mengenai Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum.

Saat ini Bank menerapkan Standardized Approach dalam pengukuran risiko kredit.

Pengukuran Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) risiko kredit sudah dilakukan secara penuh menggunakan metode pendekatan standar (Standardized Approach) sesuai dengan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 13/6/DPNP tanggal 18 Februari 2011. Pada pendekatan standar bobot risiko ditetapkan berdasarkan peringkat debitur atau pihak lawan, sesuai kategori portofolio atau persentase tertentu untuk jenis tagihan tertentu. Portofolio kelompok tagihan dibagi dalam kategori tagihan kepada pemerintah, tagihan kepada entitas sektor publik, tagihan kepada bank, tagihan kepada korporasi dan tagihan yang telah jatuh tempo. Bobot risiko menggunakan ketentuan yang telah ditetapkan oleh regulator. Apabila terdapat tagihan yang telah memiliki peringkat, maka Bank menggunakan lembaga pemeringkat yang diakui oleh regulator sesuai ketentuan lembaga pemeringkat dalam negeri yang diakui, yaitu Pefindo, sedangkan untuk pemeringkat internasional dapat menggunakan S&P, Moody’s dan Fitch.

Dalam menghitung ATMR risiko kredit berdasarkan Standardized Approach, Bank BHI dapat mengakui keberadaan agunan, garansi, penjaminan, atau asuransi kredit sebagai teknik mitigasi risiko kredit (Teknik MRK). Bank memiliki kebijakan bahwa nilai agunan kredit berfungsi sebagai Secondary Way Out, yaitu apabila Debitur tidak mampu membayar seluruh kewajibannya yang bersumber dari usaha yang dibiayai, maka agunan yang diserahkan kepada Bank akan menjadi sumber pembayaran untuk menutupi sisa kewajiban dari Debitur. Agunan dapat berupa tangible asset atau intangible asset. Bank mengutamakan agunan yang memenuhi kriteria dan syarat (eligible) untuk dapat diperhitungkan sebagai faktor pengurang dalam pembentukan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP) mengacu kepada peraturan regulator yang berlaku dan juga Pedoman Akuntansi Perbankan Indonesia (PAPI) serta Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK).

Kedepannya Bank BHI tetap berkomitmen untuk mengembangkan infrastruktur kredit secara berkesinambungan yang bertujuan mempercepat proses kredit dan meningkatkan kualitas portofolio kredit.

Credit Rating System (CRS) merupakan salah satu infrastruktur yang akan dikembangkan untuk mendukung pengukuran kualitas kredit. Sedangkan di segmen retail, Bank sedang mengembangkan aplikasi melalui Divisi IT untuk mempercepat proses pengambilan keputusan. Dan hal ini juga akan diterapkan pada segmen konsumer, dimana Bank menjalankan konsep one day approval untuk plafond kredit sampai dengan Rp. 3.000.000.000.

2. Risiko Pasar

Risiko Pasar adalah Risiko pada posisi neraca dan rekening administratif termasuk transaksi derivatif, akibat perubahan secara keseluruhan dari kondisi pasar, termasuk Risiko perubahan harga option.

Bank BHI tidak mempunyai eksposure risiko Bank yang berasal dari aktivitas trading karena Bank termasuk dalam kelompok Bank Umum dengan Kegiatan Usaha ( BUKU ) I, Rasio aset keuangan dengan sisa jatuh tempo diatas 1 tahun terhadap kewajiban keuangan dengan sisa jatuh tempo diatas 1 tahun masih berada pada tingkat yang bisa dikendalikan jauh di atas 100%. Eksposur IRRBB berdasarkan gap report (perspektif pendapatan dan perspektif nilai ekonomis) melalui analysis sensitivity to market risk dengan menggunakan lima skenario penurunan/peningkatan suku bunga maka rasio exess modal terhadap potensial loss berada pada level peringkat satu atau dengan tingkat risiko rendah. Selain itu Bank BHI juga tidak mempunyai potensi risiko dari sisi rasio Unrealized Loss Surat Berharga (AFS) terhadap Modal.

Startegi dan kebijakan bisnis yang dilakukan menyesuaikan dengan ketentuan yang berlaku dalam Bank BUKU I, sehingga Bank BHI tidak memliki aktivitas trading. Hal ini berkonsekuensi pada jangkauan strategi bisnis bank dalam industri menjadi terbatas. Nasabah utama bank adalah nasabah individual yang cukup sensitif dengan perubahan tingkat suku bunga. Namun,

Productivity and Efficiency Annual Report 2014

33

berdasarkan analisis tingkat loyalitas yang telah dilakukan dengan data historikal selama 5 tahun kebelakang, Nasabah utama Bank BHI adalah Nasabah dalam Kategori Sangat Loyal, Loyal, dan Cukup Loyal.

Pemantauan atas eksposur bank terhadap risiko pasar dilakukan oleh Asset and Liability committee ( ALCO ) dengan melakukan kontrol (pengelolaan aset dan liabilitas (ALMA)) atas eksposur risiko pasar dalam parameter yang dapat diterima serta memaksimalkan tingkat pengembalian atas risiko. Pengelolaan Risiko Pasar pada Trading Book dengan mengukur risiko spesifik dan risiko umum yang terekspos suku bunga, sedangkan Banking Book difokuskan pada upaya pengelolaan sensitivitas pada risiko suku bunga. Risiko suku bunga yang berasal dari perbedaan atas tanggal penyesuaian harga (repricing gap) untuk aktiva dan kewajiban Bank BHI yang sensitive terhadap pergerakan suku bunga. Risiko suku bunga juga muncul akibat adanya perbedaan penetapan harga, yaitu penetapan suku bunga tetap (fixed rate) atau suku bunga mengambang (floating rate), antara sumber dan penggunaan dana.

Bank melakukan pengukuran risiko suku bunga dengan menggunakan metodologi yang dapat mengidentifikasi risiko suku bunga dari portofolio asset dan liabilities yang sensitive terhadap perubahan suku bunga. Pengukuran risiko suku bunga dilaksanakan dengan menggunakan interest rate risk model dengan metodologi repricing profile gap, sehingga dapat diketahui pergerakan tingkat suku bunga yang dapat mempengaruhi stabilitas pendapatan bunga bersih. Dalam rangka memitigasi risiko suku bunga, penempatan dana pada aktiva produktif dilaksanakan lebih selektif pada portofolio yang dapat memberikan tingkat pengembalian yang optimal, dan dilakukan dengan mereview suku bunga sisi aktiva dan kewajiban secara periodik.

3. Risiko Likuiditas

Risiko Likuiditas adalah Risiko akibat ketidakmampuan Bank untuk memenuhi kewajiban yang jatuh tempo dari sumber pendanaan arus kas dan/atau dari aset

diagunkan, tanpa mengganggu aktivitas dan kondisi keuangan Bank.

Bank mengelola risiko likuiditas untuk memastikan kemampuan dalam memenuhi liabilitas kepada nasabah atau counterpart yang jatuh tempo. Bank mengelola risiko likuiditas dengan memantau perencanaan arus kas atau arus dana berdasarkan prediksi pembiayaan dan prediksi pertumbuhan dana termasuk mencermati tingkat fluktuasi dana, ketepatan dalam mengatur struktur dana termasuk kecukupan dana (primary reserve, secondary reserve dan tertiary reserve).

Pengelolaan kelebihan dana likuiditas yang tidak terserap penyaluran kredit teroptimalisasi melalui pengelolaan treasury. Sebagian besar kelebihan dana likuiditas tersalurkan melalui instrument aset likuid yang tepat untuk menjamin tingkat likuiditas yang terkendali.

Sebagai antisipasi timbulnya risiko likuiditas, Bank memiliki kebijakan contingency funding plan, yang memperlihatkan langkah-langkah yang akan diambil dalam mengantisipasi dan menghadapi kondisi kesulitan likuiditas, guna senantiasa dapat tetap memenuhi liabilitas keuangan yang sudah diperjanjikan secara tepat waktu, menjaga kelangsungan proses bisnis dalam kondisi yang terburuk, serta turut menjaga stabilitas dunia perbankan.

Bank melakukan pengukuran risiko likuiditas dengan menggunakan perkiraan arus kas, maturity profile, dan rasio keuangan. Selain itu Bank juga melakukan stress testing dalam rangka mengetahui tingkat kemampuan Bank dalam menghadapi tekanan likuiditas pada kondisi pasar yang tidak normal. Upaya Bank dalam mengantisipasi meningkatnya risiko likuiditas yaitu dengan melakukan pengelolaan secondary reserve Bank secara lebih hati-hati sejalan dengan kondisi Loan to Deposit Ratio (LDR) sehingga kondisi likuiditas secara keseluruhan dapat tetap terjaga dan terkendali.

Unit Kerja Treasury telah secara konsisten memantau kondisi likuiditas Bank dan menyiapkan sumber dana likuid sesuai dengan kebutuhan. Rapat ALCO

konsisten, memantau perkembangan kondisi likuiditas bank, terutama pemantauan komposisi sumber-sumber dana penting. Akses terhadap pasar uang dipelihara dengan menjaga reputasi Bank, akses terhadap sumber pendanaan khususnya deposito dilakukan dengan menjaga loyalitas nasabah dan tercermin pada kestabilan dana pihak ketiga (DPK).

4. Risiko Operasional

Risiko Operasional adalah Risiko akibat ketidakcukupan dan/atau tidak berfungsinya proses internal, kesalahan manusia, kegagalan sistem, dan/atau adanya kejadian-kejadian eksternal yang mempengaruhi operasional Bank.

Untuk meminimalisasi risiko operasional pada setiap aktivitas fungsional, maka Bank menyusun kebijakan dan prosedur serta penetapan limit yang ditujukan untuk memantau secara intensif kerugian risiko operasional pada seluruh aspek operasional Bank.

Penerapan Risk and Control Self Assessment ( RCSA ) pada seluruh satuan kerja di Bank ditujukan untuk membantu satuan kerja sebagai langkah pertahanan awal (first line of defense) dalam mengidentifikasi dan mengukur secara independent risiko operasional pada aktivitas fungsionalnya, melakukan pemantauan dan penentuan langkah-langkah perbaikan atau rencana tindak lanjut kedepan. Setiap kejadian atau indikasi dari terjadinya Risiko Operasional atau kelemahan yang diidentifikasi oleh alat-alat risiko operasional akan ditindaklanjuti melalui perbaikan-perbaikan. Proses pelaporan dan eskalasi dilakukan mulai dari setiap unit bisnis dan pendukung sampai dengan Komite Manajemen Risiko Operasional melalui Risk Event Report yang dikembangkan.

Adapun standar proses pengelolaan risiko operasional dilakukan melalui beberapa tahapan sebagai berikut:

Risk Identification, Setiap unit kerja mengidentifikasi kejadian yang telah terjadi maupun yang berpotensi dapat terjadi dikemudian hari, yang menimbulkan ekposur kerugian terhadap Bank baik yang bersifat finansial maupun non finansial.

Risk Assessment, Setiap kejadian yang telah diidentifikasi dilakukan assessment untuk mengetahui apakah dampak yang ditimbulkannya tinggi, sedang atau rendah. Standard tabel/matrik penilaian digunakan sebagai panduan dalam menentukan tingkat risiko yang muncul.

Risk Evaluation, Rencana perbaikan atau mitigasi dibuat berdasarkan analisa penyebab masalah. Rencana perbaikan dibuat untuk memperbaiki kelemahan pada penyebab masalah agar kejadian yang sama tidak terulang kembali.

Risk Management, Memonitor perkembangan dari pelaksanaan rencana perbaikan yang sudah ditentukan dalam memitigasi kejadian risiko sekaligus memonitor hambatan-hambatan yang mungkin terjadi.

Satuan Kerja Manajemen Risiko sebagai second line of defense bertanggung jawab dalam memonitor pelaksanaan pengelolaan manajemen risiko operasional oleh seluruh unit, dan membuat suatu alat pengukuran risiko operasional serta pedoman penerapan manajemen risiko untuk mendukung satuan kerja operasional dalam mengembangkan kepedulian dan kepatuhan terhadap prinsip-prinsip manajemen risiko. Dalam hal ini Satuan Kerja Manajemen risiko juga memanfaatkan hasil penilaian terhadap konsistensi pelaksanaan proses dan kecukupan pengendalian internal dalam penerapan risiko operasional yang dilakukan oleh satuan kerja audit internal (SKAI).

Dalam menghadapi berbagai faktor eksternal maupun internal yang dapat mempengaruhi kegiatan operasional dan meningkatkan risiko operasional, maka Bank menjalankan langkah-langkah antisipasi yang secara umum diatur dalam kebijakan BCP (Business Continuity Plan) Bank BHI. Selain itu, Bank BHI telah memiliki Pedoman dan Kebijakan Pelaporan Pelanggaran (Whistleblower System) untuk mengantisipasi setiap potensi kecurangan (fraud) serta mendukung penegakan prinsip Good Corporate Governance sehingga tercipta situasi kerja yang bersih dan

Kedepannya Satuan Kerja Manajemen Risiko akan terus mengembangkan format pelaporan risiko operasional melalui Risk Event Report yang dijalankan oleh Kantor Cabang dan setiap Unit Kerja yang digunakan sebagai data pengukuran risiko operasional dan bahan evaluasi untuk preventif action oleh Satuan kerja Manajemen risiko dan direkomendasikan kepada Komite Manajemen Risiko Operasional. Risk Event Report diselaraskan dengan metode BIA (Basic Indicator Approach) untuk menghitung besarnya risiko operasional di Bank BHI.

Sehingga melalui Risk Event Report tersebut risk awareness setiap jenjang organisasi dan setiap karyawan di Bank BHI akan semakin meningkat dan budaya risiko bertambah kuat.

5. Risiko Hukum

Risiko Hukum adalah Risiko akibat tuntutan hukum dan/atau kelemahan aspek yuridis. Risiko yang disebabkan oleh adanya kelemahan aspek yuridis, yang antara lain berupa tuntutan hukum, ketiadaan peraturan perundang-undangan yang mendukung atau kelemahan perikatan seperti tidak tepenuhinya syarat sah kontrak dan pengikatan agunan yang tidak sempurna.

Risiko Hukum adalah Risiko akibat tuntutan hukum dan/atau kelemahan aspek yuridis. Risiko yang disebabkan oleh adanya kelemahan aspek yuridis, yang antara lain berupa tuntutan hukum, ketiadaan peraturan perundang-undangan yang mendukung atau kelemahan perikatan seperti tidak tepenuhinya syarat sah kontrak dan pengikatan agunan yang tidak sempurna.