• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1. PENDAHULUAN

1.4 Manfaat Penelitian

1.4 Manfaat Penelitian

1. Menambah referensi Ilmiah tentang evaluasi ekonomi kesehatan dengan menggunakan tehnik analisis biaya manfaat (CBA).

2. Sebagai bahan masukan dan rekomendasi bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Langkat dalam melakukan advokasi, menyusun kebijakan publik berbasis UKBM, menyusun rencana pengembangan dan penganggaran program desa siaga aktif.

3. Sebagai pengembangan keilmuan dalam bidang kesehatan masyarakat.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ekonomi Kesehatan

2.1.1 Pengertian dan Ruang Lingkup

Ilmu Ekonomi menurut Samuelson (1995) adalah ilmu mengenai pilihan yang mempelajari bagaimana orang memilih sumber daya produksi yang langka/terbatas, untuk memproduksi berbagai komoditi dan mendistribusikannya keanggota masyarakat untuk dikonsumsi saat ini atau dimasa mendatang. Ilmu ini mengakaji semua biaya dan manfaat dari perbaikan pola alokasi sumber daya yang ada. Kegiatan yang dilaksanakan juga harus memenuhi kriteria efisiensi (Cost Effective).

Tjiptoherijanto (1994), menjelaskan ekonomi kesehatan merupakan ilmu ekonomi yang diterapkan dalam topik – topik kesehatan. Mills dan Gillson (1999) mendefenisikan ekonomi kesehatan sebagai penerapan teori, konsep dan teknik ilmu ekonomi dalam sektor kesehatan. Ekonomi kesehatan berhubungan dengan:

(1) alokasi sumber daya diantara berbagai upaya kesehatan; (2) jumlah sumber daya yang dipergunakan dalam pelayanan kesehatan; (3) pengorganisasian dan pembiayaan dari berbagai pelayanan kesehatan; (4) efisiensi pengalokasian dan penggunaan berbagai sumber daya serta (5) dampak upaya pencegahan, pengobatan dan pemulihan kesehatan pada individu dan masyarakat.

Klarman (1968) menjelaskan bahwa ekonomi kesehatan itu merupakan aplikasi ekonomi dalam bidang kesehatan. Secara umum ekonomi kesehatan akan berkonsentrasi pada industri kesehatan. Ada empat bidang yang tercakup dalam ekonomi kesehatan, yaitu : (1) peraturan (regulation;, (2) perencanaan (planning);

(3) pemeliharaan kesehatan (the health maintenance) dan (4) analisis biaya (cost) dan manfaat (benefit).

Mengutip tulisan Lubis (2009) tentang Ekonomi Kesehatan, PPEKI (1989) menyatakan bahwa ilmu ekonomi kesehatan adalah penerapan ilmu ekonomi dalam upaya kesehatan dan faktor – faktor yang mempengaruhi kesehatan untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal. Menyikapi keterbatasan sumber daya yang ada, mendorong masuknya disiplin ilmu ekonomi dalam perencanaan, manajemen dan evaluasi sektor kesehatan. Ekonomi kesehatan akan menjawab petanyaan – pertanyaan berikut : (1) pelayanan kesehatan apa yang perlu diproduksi; (2) berapa besar biaya produksinya; (3) bagaimana mobilisasi dana kesehatan (siapa yang mendanai); (4) bagaimana utillisasi dana kesehatan (siapa penggunanya dan berapa banyak) serta (5) berapa besar manfaat (benefit) investasi pelayanan kesehatan tersebut.

2.1.2 Karakteristik Komoditi Kesehatan

Menurut Tjiptoherijanto (1994), Gani (1994) dan Lubis (2009), aplikasi ilmu ekonomi pada sektor kesehatan perlu mendapat perhatian terhadap karakteristiknya. Karakteristik tersebut menyebabkan asumsi – asumsi tertentu

dalam ilmu ekonomi tidak berlaku atau tidak seluruhnya berlaku apabila diaplikasikan untuk sektor kesehatan, yaitu :

a. Kejadian penyakit tidak terduga, tidak ada orang yang dapat memprediksi penyakit apa yang akan menimpanya dimasa yang akan datang, oleh karena itu tidak mungkin dapat dipastikan pelayanan kesehatan apa yang dibutuhkan.

Ketidakpastian (uncertainty) ini berarti seseorang menghadapai suatu resiko akan sakit dan oleh karena itu ada juga resiko untuk mengeluarkan biaya untuk mengobati penyakit tersebut.

b. Consumer ignorance, artinya konsumer sangat tergantung pada penyedia (provider) pelayanan kesehatan. Ini disebabkan karena umumnya konsumen tersebut tidak tahu banyak tentang jenis penyakit, jenis pemeriksaan dan jenis pengobatan yang dibutuhkannya. Dalam hal ini penyedialah yang menentukan jenis dan volume pelayanan kesehatan yang perlu dikonsumsi oleh konsumen.

c. Sehat dan pelayanan kesehatan sebagai hak. Makan, pakaian, tempat tinggal dan hidup sehat adalah elemen kebutuhan dasar manusia yang harus senantiasa diusahakan untuk dipenuhi, terlepas dari kemampuan seseorang untuk membayarnya. Hal ini menyebabkan distribusi pelayanan kesehatan sering kali dilakukan atas dasar kebutuhan (need) dan bukan atas dasar kemampuan membayar (demand).

d. Eksternalitas, efek eksternal dalam penggunaan pelayanan kesehatan adalah dampak positif atau negatif yang dialami orang lain sebagai akibat perbuatan seseorang. Misalnya imunisasi dari penyaki menular akan memberikan

manfaat kepada masyarakat banyak atau social marginal benefit yang diperoleh lebih besar dari private margial benefit. Pelayanan kesehatan yang tergolong pencegahan akan mempunyai eksternalitas yang besar, sehingga dapat digolongkan sebagai “komoditi masyarakat” atau public goods. Oleh karena itu program ini sebaiknya mendapat subsidi atau bahkan disediakan oleh pemerintah secara gratis. Sedangkan untuk pelayanan kesehatan yang bersifat kuratif akan mempunyai ekternalitas yang rendah atau “private good”hendaknya dibayar atau dibiayai sendiri oleh penggunanya atau pihak swasta.

e. Motif non-profit, umumnya pelayanan kesehatan diselenggarakan dengan motif sosial, namun sekarang terjadi perubahan orientasi, terutama setelah pemilik modal dan dunia bisnis melihat sektor kesehatan sebagai peluang investasi yang menguntungkan. Pendapat yang dianut adalah “Orang tidak layak memperoleh keuntungan dari penyakit orang lain”.

f. Padat karya, terdapat kecenderungan spesialis dan superspesialis menyebabkan komponen tenaga dalam pelayanan kesehatan semakin besar.

Komponen tersebut bisa mencapai 40 – 60% dari keseluruhan biaya.

g. Mixed output, paket pelayanan merupakan konsumsi pasien, yaitu sejumlah pemeriksaan diagnosis, perawatan, terapi dan nasehat kesehatan. Paket tersebut bervariasi antar individu dan sangat tergantung kepada jenis penyakit.

h. Upaya kesehatan sebagai konsumsi dan investasi. Pembangunan sektor kesehatan sesungguhnya adalah investasi jangka pendek maupun panjang karena orientasi pembangunan pada akhirnya adalah pembangunan manusia.

i. Restriksi berkompetisi, artinya terdapat pembatasan praktek berkompetisi. Hal ini menyebabkan mekanisme pasar dalam pelayanan kesehatan tidak bisa sempurna seperti mekanisme pasar untuk komoditi lain. Pada sektor kesehatan tidak pernah terdengar adanya promosi discount atau bonus dalam pelayanan kesehatan.

2.1.3 Teori Demand For Health Capital (Grossman, 1972)

Tjiptoherijanto, dkk.(1994), menyebutkan bahwa teori ini mengacu pada pendekatan investment models dan mengasumsikan bahwa masing – masing individu melakukan penilaian manfaat atas pengeluaran untuk kesehatan yang diperbandingkan dengan pengeluaran untuk komoditi – komoditi lainnya dalam rangka memutuskan status kesehatannya yang optimal. Dalam hal ini, konsumen diasumsikan mempunyai pengetahuan tentang status kesehatannya sendiri, tingkat depresiasi status kesehatannya dan fungsi produksi yang mengaitkan antara perbaikan kesehatan dengan pengeluaran untuk pelayanan kesehatan.

Sejalan dengan kerangka fikir teori keputusan investasi yang umum, diasumsikan bahwa setiap individu akan memaksimumkan fungsi utilitinya yang dibentuk dari flow jasa pelayanan kesehatan dan dari konsumsi barang lainnya untuk setiap tahun kehidupannya. Maksimasi ini akan menyebabkan individu tadi

menyamakan the marginal return on the asset dengan marginal

costnya. Return kepada individu dari terdiri atas marginal physical return dan marginal monetary return. Monetary return ditentukan oleh tiga komponen, yaitu : upah harian, produk marginal kesehatan yang dihitung dalam jumlah hari sehat yang dihasilkan oleh satu unit stok kesehatan dan biaya marginal dari „gross investment‟ dibidang kesehatan yang dibeli pada periode sebelumnya, termasuk biaya waktu dan uang.

Prinsipnya, Grossman mendukung asumsi ekonomi makro, dimana produk marginal kesehatan menurun secara asimtomatis menuju nol sejalan dengan peningkatan kesehatan. Hal ini ditunjukkan oleh Grossman pada return kesehatan yang diukur dengan hari sehat (healthy days) dan mempunyai batas 365 hari pertahunnya. Return tersebut akan bisa menjawab persoalan debility (Cullis JG and West PA, 1979, hal.29-32) yang akan mempengaruhi tingkat upah.

Dengan stok kapital kesehatan yang optimal dapat dilakukan uji pengaruh usia dan income terhadap stok kesehatan. Pertama dengan memperhatikan aspek usia dan mengasumsikan bahwa tingkat upah, marginal product dari stok kesehatan dan biaya marginal dari gross investmen adalah independen terhadap usia. Pengaruh yang diasumsikan dari kenaikan usia adalah meningkatnya tingkat depresiasi kesehatan. Ini tidak berarti bahwa orang yang lebih tua akan kurang sehat dibandingkan yang muda usia, tetapi untuk orang tertentu tingkat depresiasi kesehatannya pertahun akan menjadi lebih besar ketika usianya lebih tua.

Implikasi asumsi Grossman adalah peningkatan depresiasi menyebabkan konsumen memilih stok kesehatan yang lebih rendah dalam rangka meningkatkan

produk marginal kesehatan, juga menyamakan hasil marginal dengan biaya yang lebih tinggi (telah diasumsikan bahwa besarnya produk marginal kesehatan akan lebih kecil pada tingkat stok kesehatan yang lebih tinggi). Dengan demikian ketika dihadapkan kepada depresiasi kesehatan yang diketahui sudah cenderung naik, model Grossman mengatakan bahwa seseorang akan memilih suatu status kesehatan yang lebih rendah pada setiap tahun berurutan (successive year). Hal ini akan mendorong orang tersebut terpaksa harus memilih usia hidupnya sendiri, mengingat stok kesehatannya yang optimal pada akhirnya akan turun hingga dibawah life-supporting minimal yang dia perlukan, dan kalau hal itu sudah tercapai berarti dia akan mati.

Pengaruh tingkat upah kepada stok kesehatan dan demand pelayanan kesehatan akan terdiri dari dua unsur. Produk marginal kesehatan, dihitung dari healthy days, jelas akan lebih berharga pada tingkat upah yang lebih tinggi. Tetapi waktu yang dimiliki konsumen juga merupakan input bagi pelayanan kesehatan, jika tingkat upah naik maka biaya pelayanan akan naik.

Penekanan public policy yang dapat ditunjukkan oleh model pendekatan Grossman ini adalah perlunya penyediaan informasi kesehatan yang memadai bagi konsumen dan sekaligus para penyedia pelayanan kesehatan tentang pengaruh masing-masing input pelayanan kesehatan dan juga tentang efisiensi dari mengkombinasikan input kesehatan yang diinginkan dari pada jika hanya informasi tentang pelayanan kesehatan saja.

2.1.4 Evaluasi Ekonomi dalam Pelayanan Kesehatan

Lubis (2009) menyebutkan bahwa teknik evaluasi ekonomi mampu menyediakan berbagai cara untuk menanggulangi masalah dengan menggunakan berbagai pertimbangan pilihan masyarakat. Evaluasi ekonomi mempunyai peranan penting dalam menanggulangi berbagai masalah manajemen, penekanannya terletak pada penentuan bagaimana penyediaan pelayanan kesehatan yang terbaik, bukan penentuan prioritas dalam investasi.

Masalah teknis yang selalu terjadi dalam evaluasi ekonomi adalah kurangnya informasi dan satuan dari dampak pelayanan kesehatan. Masalah lain yang timbul adalah adanya perbedaan pendapat mengenai teknik yang digunakan dan perbedaan tentang strategi Primary Health Care (PHC). Secara selektif, PHC dianggap pelayanan yang paling efektif dari segi biaya dengan menggunakan teknik CBA.

Langkah – langkah yang harus dilalui dalam evaluasi ekonomi dalam pelayanan kesehatan adalah : (1) identifikasi berbagai biaya dan berbagai konsekuensinya sehingga tidak menimbulkan kesalahan dalam memperhitungkan kebutuhan kesehatan masyarakat dan konsekuensinya; (2) perhitungan biaya dan konsekuensi tersebut. Hal ini berkaitan dengan dampak terhadap status kesehatan dan faktor – faktor yang mempengaruhinya. Pendekatan yang biasa dipakai adalah penggunaan indikator kesehatan secara umum, yaitu tahun penyesuaian hidup berkualitas (quality adjusted life years) dan hari kehilangan hidup dalam keadaan sehat ( healthy days of life lost) dan pemilihan unit of effect yang sesuai dengan

luaran antara; (3) penilaian dan pengukuran biaya tersebut serta konsekuensinya dengan konsep opportunity cost dan teknik shadow pricing dan (4) penyesuaian biaya dan konsekuensi untuk waktu yang berbeda, misalnya program pencegahan yang memiliki dampak yang lama, hasilnya tidak dapat dilihat langsung seperti program pengobatan penyakit. Untuk itu dilakukan metode discounting dengan asumsi bahwa orang lebih menyukai manfaat yang cepat diperoleh dari pada yang lama.

Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam mengambil keputusan berdasarkan langkah tersebut adalah: (1) jumlah sumber daya yang tersedia untuk diteliti; (2) adanya suatu pilihan yang jelas dalam penggunaan sumber daya yang akan dievaluasi; (3) penggunaan teknologi yang cukup dikenal sebagai dasar dalam menentukan pilihan; (4) tersedianya waktu yang cukup untuk penelitian dan (5) pengambil keputusan diharapkan dapat menerima hasil penelitian dan tidak berubah – ubah fikiran.

2.2 Analisis Biaya Manfaat (Cost Benefit Analisis) 2.2.1 Sejarah dan Pemanfaatannya

Analisis biaya manfaat merupakan bagian dari analisis ekonomi kesejahteraan modern, dibangun oleh Hicks (1943) dan Kaldor (1939).

Sebelumnya Pareto menyatakan kelayakan proyek dierima jika kesejahteraan sosial masyarakat meningkat (social improvement) dengan beberapa orang merasa baik (better off) dan tidak ada yang merasa dirugikan (worse off). Kondisi tersebut

dikenal sebagai Pareto Improvement. Prinsip kompensasi Hicks-Kaldor mengemukakan gainer dapat mengkompensasi loser untuk mencapai pareto improvement potensial, karena tidak mungkin seseorang atau masyarakat akan kembali pada keadan semula setelah ada proyek (Hafidh, 2010).

Kebanyakan ekonom menyatakan bahwa suatu penilaian kurang lengkap bila usaha untuk melihat penggunaan sumber daya dan hasil yang didapatnya

tidak dinyatakan dalam nilai uang. Analisis biaya manfaat (CBA) merupakan suatu alat yang paling penting untuk membantu pengambilan keputusan dalam

menentukan pilihannya, atau lazimnya metode ini akan menjamin pengambilan keputusan untuk dapat melakukan allocative efficiency (Mooney, 1986). Sugiyono (2001) menyebutkan bahwa pemerintah mempunyai banyak program yang harus dilaksanakan, sedangkan biaya yang tersedia sangat terbatas. Analisis ini dapat membantu pemerintah dalam memilih program – program yang memenuhi kriteria efisiensi dengan pertimbangan kesejahteraan masyarakat. Ada dua pihak yang menaruh perhatian pada analisis ini. Pertama praktisi teknis dan ekonom yang berperan dalam mengembangkan metode analisis, pengumpulan data dan membuat analisis serta rekomendasi. Kedua, pemegang kekuasaan eksekutif yang berwenang untuk membuat peraturan dan prosedur untuk melaksanakan keputusan publik.

Pada dasarnya CBA menawarkan perbandingan antara seluruh biaya dan manfaat dari suatu program yang dibiayai dari dana masyarakat. Biaya yang dikeluarkan termasuk juga rencana pengeluaran yang terlihat dalam anggaran.

Sedangkan manfaat diperoleh jika kerugian dimasa datang dapat dicegah karena keberhasilan program tersebut. Manfaat dari program-program kesehatan tidak lain dari biaya yang bisa dicegah bila program tersebut berhasil, beberapa penulis menyarankan bahwa nilai manfaat mungkin saja diperoleh dengan menghitung biaya ekonomi dari suatu penyakit. Oleh karena efek atau dampak dari suatu program itu baru dapat terlihat setelah beberapa lama, maka nilai-nilai biaya dan manfaat program tersebut harus disesuaikan mengingat nilainya berubah menurut perjalanan waktu. Dalam hal ini digunakan cara discounting. Discounting adalah cara penyesuaian nilai atau uang dengan menghitung berapa nilai uang saat ini dikemudian hari dengan memperhitungkan bunga pada akhir setiap tahun.

Untuk ini dipergunakan discount rate. Biaya discount rate disesuaikan dengan interest rate atau suku bunga yang berlaku dalam peminjaman uang.

(Tjiptoherijanto,dkk.1994).

2.2.2 Langkah – Langkah Analisis Biaya Manfaat

Lubis (2009) menjelaskan secara ringkas, langkah-langkah yang dilakukan dalam CBA adalah sebagai berikut :

a. Identifikasi para pengambil keputusan

Langkah ini bertujuan untuk menetapkan siapa yang akan dilibatkan dalam proses CBA, terutama untuk memberikan penilaian terhadap dampak suatu program atau alternativ kebijaksanaan secara menyeluruh.

b. Identifikasi alternatif

Langkah ini bertujuan untuk mengetahui secara jelas alternative-alternatif apa yang tersedia dihadapan pengambilan keputusan, sehingga dapat dibandingkan baik biaya maupun manfat dari masing-masing alternatif tersebut.

c. Identifikasi biaya

Biaya (cost) adalah pengorbanan sumber ekonomis yang diukur dalam satuan uang, yang telah terjadi atau mungkin akan terjadi. Biaya suatu program mencakup biaya itu sendiri dan dampak yang tidak diharapkan (dis-benefit, maupun “benefit yang hilang” oleh karena sumber daya tidak dialokasikan kepada alternative lain (opportunity cost). Terdiri atas biaya langsung dan biaya tidak langsung. Biaya langsung adalah biaya yang melekat pada kegiatan dan operasional desa siaga aktif dan poskesdes, seperti pembentukan, pendirian Poskesdes dan penyediaan alat kesehatan dan pelatihan bidan desa. Sedangkan biaya tidak langsung meliputi biaya rapat berkala yang diselenggarakan oleh pengurus desa siaga. Jadi biaya total kegiatan tersebut bertindak sebagai pengukur untuk manfaat yang didapatkan. Dalam suatu perhitungan manfaat-biaya, perbandingannya adalah antara pengeluaran tambahan yang ditujukan untuk pelayanan kesehatan dan antisipasi penurunan dari biaya – biaya yang ada.

d. Identifikasi manfaat

Manfaat juga terdiri atas manfaat langsung dan tidak langsung. Manfaat langsung adalah manfaat yang dapat dirasakan masyarakat secara langsung setelah program desa siaga aktif berjalan, misalnya menurunnya angka kesakitan dan

pengurangan biaya operasional. Sedangkan manfaat tidak langsung adalah manfaat yang dirasakan masyarakat dalam jangka panjang (5-10 tahun) setelah program ini dijalankan, misalnya peningkatan pendapatan dan produktifitas, karena hari sehatnya lebih banyak. Untuk menghitung biaya langsung atau manfaat langsung suatu program, biasanya tidak begitu sulit.

e. Transformasi dampak kedalam nilai moneter

Semua biaya dan manfaat selanjutnya ditransformasi kedalam bentuk uang. Dalam hal ini diperlukan data – data pendukung, seperti harga satuan perobatan dan UMR, sehingga nilai moneternya dapat diestimasi.

f. Discounting

Oleh karena efek (dampak) suatu program biasanya berlangsung lama, maka nilai-nilai biaya dan manfaat tadi harus disesuaikan. Oleh karena nilainya memang berubah menurut perjalanan waktu. Hal ini dilakukan dengan tindakan discounting, yakni dengan menggunakan discount rate yang sesuai. Dalam hal ini mengacu pada tingkat inflasi Mei 2012, berkisar 12 % - 15 % (Waspada, 2012).

g. Penafsiran hasil cost benefit analysis

Hasil perhitungan biaya dan manfaat selanjutnya ditafsirkan dengan melakukan perhitungan lebih lanjut. Ada dua cara yang lazim dipakai, yakni menghitung rasio manfaat biaya (benefit cost ratio) dan menghitung manfaat bersih (net benefit) program bersangkutan dengan menghitung Net Persent Value ( NPV ) atau menghitung Internal Rate of Return (IRR ).

2.2.3 Metode Analisis Biaya Manfaat

Pelaksanaan analisis pada proyek yang mempunyai umur ekonomis yang relatif panjang dan memberikan manfaat serta menimbulkan biaya pada saat yang berbeda-beda harus memperhatikan konsep uang. Analisis harus dilakukan dengan menghitung seluruh manfaat dan biaya dari suatu proyek selama umur proyek yang bersangkutan dan dihitung dalam nilai sekarang.

Adanya faktor ketidak pastian tentang hal yang terjadi dimasa datang dan diskonto, maka perlu ditentukan konsep uang yang akan datang ( future value) dan nilai uang sekarang (present value) karena hampir semua proyek mempunyai umur yang lebih panjang dari satu tahun dan manfaat proyek tersebut tidak diterima seluruhnya pada suatu saat. Biaya proyek juga dikeluarkan dalam waktu yang berbeda-beda selama umur proyek yang bersangkutan. Diskonto biasanya disamakan dengan tingkat bunga, meskipun dalam analisis manfaat dan biaya faktor diskonto tidak selalu sama dengan suku bunga.

Konsep nilai uang yang akan datang dapat dihitung dengan menggunakan rumus berikut :

Pt =Po ( 1+ i )t Dimana ;

Pt : nilai uang dimasa datang Po : nilai uang sekarang i : tingkat diskonto t : tahun

Sedangkan konsep nilai uang sekarang, dapat dihitung dengan rumus : Po = Pt / (1+ i )

Pada dasarnya untuk menganalisis efisiensi suatu proyek langkah-langkah yang harus diambil adalah : (1) Menentukan semua manfaat dan biaya dari proyek yang akan dilaksanakan; (2) Menghitung manfaat dan biaya dalam nilai uang dan (3) Menghitung masing-masing manfaat dan biaya dalam nilai uang sekarang.

Ada tiga metode untuk menganialisis manfaat dan biaya suatu proyek yaitu nilai bersih sekarang (NPV =Net Present Value), Internal Rate of Return (IRR) dan perbandingan manfaat biaya (BCR = Benefit Cost Ratio)

Proyek yang efisien adalah proyek yang manfaatnya lebih besar dari pada biaya yang diperlukan. Nilai bersih suatu proyek (NPV) merupakan seluruh nilai dari manfaat proyek dikurangkan dengan biaya proyek pada tahun yang bersangkutan dan didiskontokan dengan tingkat diskonto yang berlaku.

Berdasarkan metode ini, proyek yang mempunyai NPV tertinggi adalah proyek yang mendapat prioritas untuk dilaksanakan. Pemilihan proyek tergantung dari tingkat diskonto yang dipilih. Pemilihan tingkat diskonto haruslah mencerminkan biaya oportunitas penggunaan dana.

Metode IRR dapat mencari tingkat diskonto, sehingga menghasilkan nilai sekarang suatu proyek sama dengan nol. Sedangkan metode BCR memilih proyek dengan kriteria perbandingan lebih besar dari satu. Metode BCR akan memberikan hasil yang konsisten dengan metode NPV, apabila BCR >1 berarti pula NPV>0.

Perbandingan ketiga metode ini dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 2.1 Perbandingan Metode Analisis Biaya Manfaat

Undang – Undang RI No. 17 tahun 2007 tentang Rencanan Pembangunan Jangka Panjang Nasional tahun 2005 – 2025 menyebutkan Visi Pembangunan Nasional adalah “INDONESIA YANG MANDIRI, MAJU, ADIL DAN MAKMUR”. Salah satu arah pembangunan jangka panjang tersebut adalah mewujudkan bangsa yang berdaya saing dengan mengedepankan pembangunan sumber daya manusia yang ditandai dengan meningkatnya IPKM. Unsur – unsur penting bagi peningkatan IPKM adalah derajat kesehatan, tingkat pendidikan dan pertumbuhan ekonomi. Derajat kesehatan dan tingkat pendidikan pada hakikatnya adalah investasi bagi terciptanya sumber daya manusia yang berkualitas, yang

selanjutnya akan mendorong pertumbuhan ekonomi dan menurunkan tingkat kemiskinan.

Undang – Undang RI No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, juga mengamanatkan bahwa pembangunan kesehatan harus ditujukan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat masyarakat yang setinggi – tingginya sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis. Setiap orang berhak atas kesehatan dan setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan dan setiap orang juga tidak luput dari kewajiban – kewajiban di bidang kesehatan.

Pemerintah pernah berhasil menggalang peran aktif dan memberdayakan masyarakat di bidang kesehatan melalui gerakan Pembangunan Kesehatan Masyarakat Desa (PKMD) pada dasawarsa 1970 – 1980-an. Pada saat itu, seluruh sektor pemerintahan terkait, organisasi kemasyarakatan, dunia usaha serta para pengambil keputusan dan pemangku kepentingan (stakeholders), bahu membahu menggerakkan, memfasilitasi dan membantu masyarakat di desa dan kelurahan untuk membangun kesehatan mereka sendiri. Akibat terjadinya krisis ekonomi dan faktor – faktor lain, gerakan pemberdayaaan masyarakat di bidang kesehatan itu berangsur melemah. Semangat yang tersisa adalah Posyandu yang digerakkan melalui kegiatan Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK).

Masa kejayaan PKMD itu hendak diulang dan dibangkitkan kembali melalui gerakan pengembangan dan pembinaan Desa Siaga yang sudah dimulai

tahun 2006. Sampai tahun 2009, tercatat 42.295 desa dan kelurahan (56,1%) dari 75.410 desa dan kelurahan di Indonesia telah memulai upaya mewujudkan Desa/kelurahan Siaga ini. Namun, banyak diantaranya yang belum aktif. Dapat difahami, kegiatan yang menganut konsep pemberdayaan masyarakat seperti ini memang memerlukan proses panjang (Kemenkes RI, 2011).

2.3.2 Konsep Dasar Desa Siaga Aktif

Desa Siaga Aktif adalah bentuk pengembangan dari Desa Siaga yang telah dimulai sejak Tahun 2006. Desa atau Kelurahan Siaga Aktif adalah desa atau

Desa Siaga Aktif adalah bentuk pengembangan dari Desa Siaga yang telah dimulai sejak Tahun 2006. Desa atau Kelurahan Siaga Aktif adalah desa atau