BAB I PENDAHULUAN
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Bagi Peneliti, penelitian ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman peneliti dalam hal uji ekstrak terhadap biakan jamur di laboratorium Mikrobiologi dan bagaimana proses pengolahan datanya.
1.4.2 Bagi Pendidikan, Penelitian ini bermanfaat guna menambah pengetahuan
tentang cara pengujian bagian tanaman seperti kulit buah durian (Durio zibethinus Murray ) sebagai antijamur.
1.4.3 Bagi Masyarakat, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi mengenai pengaruh pemberian ekstrak kulit buah durian (Durio zibethinus Murray) terhadap pertumbuhan jamur Candida albicans sehingga masyarakat dapat mengetahui bahwa limbah kulit durian dapat dimanfaatkan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DURIAN (Durio zibethinus Murray)
Durian (Durio zibethinus Murray) merupakan salah satu tumbuhan tropis asli Asia Tenggara dan populer sebagai raja buah (Feng et al, 2016). Pulau Kalimantan dikenal sebagai pusat keanekaragaman durian di Indonesia. Durian termasuk dalam famili Bombaceae yang dikenal sebagai buah tropis musiman di Asia Tenggara (Malaysia, Thailand, Filipina dan Indonesia) (Leontowicz et al, 2011). Tanaman ini merupakan buah asli Indonesia, menempati posisi ke-4 buah nasional dengan produksi, lebih kurang 700.000 ton per tahun. Musim panen umumnya berlangsung tidak serentak dari bulan September sampai Februari dengan masa paceklik bulan April sampai Juli (Dang dan Nguyen, 2015).
Durian (Durio zibethinus Murray) merupakan buah-buahan tropika asli Asia Tenggara, terutama Indonesia. Sumber diversifikasi genetik tanaman durian terletak di Kalimantan dan Sumatera. (Nurbani, 2012).
2.1.1 Klasifikasi Tanaman Durian
Klasifikasi durian menurut ITIS Catalogue of Life 2020 adalah Kingdom : Plantae
Subkingdom : Viridiplantae Super Divisio : Spermatophytina Divisi : Tracheophyta Kelas : Magnoliopsida Subkelas : Magnoliidae Ordo : Malvales Famili : Malvaceae Genus : Durio
Spesies : Durio zibethinus Murray
2.1.2 Nama Lain Tanaman Durian
Indonesia kaya dengan sumber plasma nutfah dan keanekaragaman jenis Durio (Durio spp.). Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan di Herbarium Bogoriense terhadap 270 nomor spesimen herbarium kerabat durian (Durio spp.) di Indonesia telah ditemukan 20 jenis Durio. Delapan belas jenis diantaranya ditemukan di Kalimantan, 7 jenis di Sumatera, dan hanya 1 jenis masing-masing di Jawa, Bali, Sulawesi, dan Maluku. Empat belas dari 18 jenis Durio di Kalimantan merupakan jenis-jenis endemik. Sembilan jenis diantaranya dilaporkan sebagai buah-buahan yang bisa dimakan (edible fruits), yaitu Durio dulcis (lahong), Durio exelcus (apun), Durio grandifloras (durian munyit), Durio graveolens (tuwala), Durio kutejensis (lai), Durio oxleyanus (kerantungan), Durio lowianus (teruntung), Durio testudinarum (sekura), dan Durio zibethinus (durian) (Uji, 2005).
Indonesia merupakan salah satu dari 8 pusat keanekaragaman genetika khususnya jenis buah-buahan tropik seperti durian, rambutan dan bacang.
Dilaporkan ada sekitar 30 jenis durian di seluruh dunia dan 14 jenis diantaranya endemik di Borneo yang sebagian besar masih tumbuh liar di hutan. Sedikitnya di Kalimantan Timur terdapat 5 jenis durian (Kimman, 2002). Selain Durio zibethinus Murray, jenis-jenis yang memiliki potensi besar untuk dikembangkan antara lain adalah Durio kutejensis, Durio dulcis, Durio grandiflorus, Durio graveolen, Durio oxleyanus, dan Durio lowiana (Mansur, 2007).
2.1.3 Morfologi Tanaman Durian
Morfologi buah durian pada umumnya bervariasi tergantung dari tempat tumbuhnya. Terdapat tujuh variasi bentuk buah durian yang ditemukan yaitu bulat ujung datar, bulat, bulat telur, lonjong, bulat panjang, ovoid dan obovoid (Gambar 2.1). Warna kulit buah umumnya hijau sampai coklat (Gambar 2.2) buah durian juga bervariasi pada ukuran dan bobot buah (Gurbilek, 2013). Ada berbagai macam jenis bentuk dan warna durian yang dijual di pasar, bentuk kulit durian memiliki duri yang tajam, tebal dan berbentuk heksagonal (Gambar 2.3) (Ho dan Bhat, 2015).
Ada beberapa Jenis durian yang populer dan memiliki aroma yang menyenangkan serta warna daging yang menarik, seperti Ang Heh (Durian Udang Merah), Chaer Phoy-15 (Durian Kulit Hijau) dan Durian Khun Poh. Durian Ang Heh memiliki kulit berwarna cokelat keemasan dengan duri berbentuk bulat dan pendek dibandingkan dengan Chaer Phoy-15 yang berkulit hijau (Gambar 2.2).
2.1.4 Kandungan Kimia Kulit Durian
Durian (Durio zibethinus Murray) merupakan salah satu tanaman yang mengandung fitokimia. Kulit buah Durian mengandung senyawa fenolik, flavonoid, saponin, dan tanin (Setyowati et al, 2013). Komponen yang terdapat dalam ekstrak metanol kulit durian dianalisis golongan senyawanya dengan tes uji warna dengan beberapa pereaksi untuk golongan senyawa alkaloid, flavonoid,
Gambar 2.1 Variasi Bentuk Buah Durian Sumber: Koleksi Pribadi (Gurbilek, 2013).
Gambar 2.2 Variasi Warna Kulit Durian Sumber: Koleksi Pribadi (Ho dan Bhat, 2015)).
Gambar 2.3 Bentuk Kulit Durian Sumber: Koleksi Pribadi (Ho dan Bhat, 2015).
terpenoid, steroid, tanin dan saponin dinyatakan positif terdapat pada kulit durian (Tabel 2.1) (Setyowati et al., 2014).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan (Anggraeni dan Anam, 2016) bahwa hasil dari penapisan fitokimia menunjukkan serbuk kulit durian mengandung saponin, flavonoid, tanin, kuinon, dan terpenoid sedangkan ekstrak etanol kulit durian mengandung saponin, flavonoid, tanin, kuinon, terpenois, dan alkaloid (Tabel 2.2).
Durian merupakan salah satu tanaman yang mengandung fitokimia. Senyawa fitokimia dapat berkhasiat sebagai antijamur seperti alkaloid, saponin, tanin, fenolik, flavonoid dan terpenoid sedangkan kulit buah durian mengandung senyawa fenolik, flavonoid, saponin, dan tanin. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak kulit buah Durian dapat digunakan sebagai antijamur. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Setyowati et al (2013) dapat disimpulkan bahwa ekstrak kulit buah Durian yang diformulasikan dalam bentuk sediaan krim memiliki aktivitas antijamur terhadap spesies Candida albicans yang mana krim dengan konsentrasi ekstrak 25% memiliki diameter zona hambat terbesar dibanding krim dengan konsentrasi 15% dan 20%.
Selain mengandung kandungan kimia yang dapat digunakan sebagai obat, Limbah kulit durian juga mengandung berbagai vitamin dan juga mengandung karbohidrat, lemak, protein, serat, kalsium, fosfor, asam folat, magnesium, potasium atau kalium (K), zat besi (Fe), zinc, mangan (Mn), tembaga (Cu), karoten, tiamin, niasin, dan riboflavin (Nugraha, 2011). Jika kebanyakan orang hanya mengetahui bahwa jelly durian hanya dapat dibuat dari daging buah yang mahal, tetapi sebetulnya jelly durian juga dapat dibuat dari bagian dalam (albedo) kulit durian karena albedo kulit durian masih mempunyai aroma khas durian dan kandungan pektinnya yang tinggi yaitu 17% (Wijayanti, 2011).
Banyak penelitian yang membahas tentang kandungan dari kulit durian, salah satunya adalah hasil penelitian Hatta (2007) menunjukkan bahwa kulit durian mengandung unsur selulosa yang tinggi (50-60%) dan kandungan lignin (5%) serta kandungan pati yang rendah (5%) sehingga dapat diindikasikan sebagai campuran bahan baku pangan olahan serta produk lainnya yang dimampatkan.
Tabel 2.1 Hasil skrining fitokimia ekstrak metanol kulit Durian (Setyowati et al, 2014).
Uji Fitokimia Pereaksi Hasil Kesimpulan
Alkaloid
Mayer Terbentuk endapan putih Positif
Wagner Terbentuk warna coklat kemerahan
Positif Dragendorff Terbentuk warna jingga Positif Flavonoid Mg + HCl pekat Terbentuk warna jingga Positif
Saponin Air + HCl Terbentuk Busa stabil Positif
Steroid Tanin FeCl3 1% Terbentuk warna hijau kehitaman Positif
Tabel 2.2 Hasil Penapisan Fitokimia Serbuk dan Ekstrak Etanol Kulit Durian (Anggraeni dan Anam, 2014).
2.1.4 Manfaat Kulit Durian
Tanaman durian (Durio zibethinus Murray), merupakan salah satu jenis buah-buahan yang produksinya melimpah. Buah durian disebut juga the king of fruit sangat digemari oleh berbagai kalangan masyarakat karena rasanya yang khas.
Bagian buah yang dapat dimakan (persentase bobot daging buah) tergolong rendah yaitu hanya 20,52%. Hal ini berarti ada sekitar 79,08 % yang merupakan bagian yang tidak termanfaatkan untuk dikonsumsi seperti kulit dan biji durian (Heruwidarto, 2009).
Terpenoid
Kulit durian secara proporsional mengandung unsur selulosa yang tinggi (50-60 %) dan kandungan lignin 5% serta kandungan pati yang rendah 5% sehingga dapat diindikasikan bahan tersebut bisa digunakan sebagai campuran bahan baku papan olahan serta produk lainnya yang dimanfaatkan. Produk papan partikel dari limbah kulit durian yang menggunakan perekat mineral (semen) adalah sebesar 360 kg/ cm2 dengan nilai keteguhan patah sebesar 543 kg/cm2. Kandungan kimia kulit durian yang dapat dimanfaatkan adalah pektin. Pektin merupakan senyawa yang baik digunakan sebagai pengental dalam makanan, sehingga pektin yang diperoleh dari kulit durian dapat dimanfaatkan sebagai pengental dalam pembuatan cendol atau dapat dijadikan sebagai tepung (Amaliyah, 2014).
Kulit durian dapat digunakan untuk menghilangkan bau durian yang menempel di tangan, mengusir nyamuk, mengatasi sembelit, sakit perut, nyeri saat haid, mengobati bisul, menguatkan sistem kekebalan tubuh dan pengental makanan yang alami dan mengobati jerawat. Kegunaan tersebut dikarenakan kulit durian memiliki sifat antimikroba (Amaliyah, 2014)
Selama ini kulit durian hanya dibuang begitu saja tanpa dimanfaatkan menjadi lebih berguna. Padahal jika dilihat persentase buah durian, bagian dagingnya termasuk rendah yaitu hanya 20-35%, sedangkan kulit nya mencapai 60-75%, dan
biji sebesar 5-15% belum termanfaatkan secara maksimal (Djaeni dan Prasetyaningrum, 2010).
2.2 CANDIDA ALBICANS
Candida adalah flora normal pada saluran pencernaan, selaput mukosa, saluran pernafasan, vagina, uretra, kulit, dan di bawah kuku. Candida dapat menjadi patogen dan menyebabkan infeksi seperti septikemia, endokarditis, atau meningitis (Simatupang, 2008). Infeksi Candida pertama kali ditemukan di dalam mulut sebagai thrush yang dilaporkan oleh Francois Valleix (1836). Langenbach (1839) menemukan jamur penyebab trush, kemudian Berkhout (1923) memberi nama organisme tersebut Candida (Kuswadji, 2007)
Lebih dari 150 spesies Candida telah diidentifikasi (Anaissie, 2007).
Sebanyak paling sedikit tujuh puluh persen infeksi Candida pada manusia
disebabkan oleh Candida albicans sisanya disebabkan oleh Candida tropicalis, Candida parapsilosis, Candida guilliermondii, Candida krusei dan beberapa
spesies Candida yang lebih jarang (Jawetz, 2018). Candida albicans juga diproduksi oleh American Type Culture Collection (ATCC) salah satu diantaranya yaitu Candida albicans (ATCC® 10231™). Candida albicans (ATCC® 10231™) jenis ini hanya ditujukan untuk penelitian bukan untuk tujuan diagnostik ataupun terapeutik (Carey, 2015).
2.2.1 Klasifikasi Candida albicans
Klasifikasi Candida albicans menurut Integrated Taxonomic Information System (ITIS) Catalogue of Life 2020 adalah
Kingdom : Fungi
Subdivisi : Saccharomycotina Divisi : Ascomycota Kelas : Saccharomycetes Ordo : Saccharomycetales Famili : Saccharomycetaceae
Genus : Candida
Spesies : Candida albicans
2.2.2 Morfologi Candida albicans
Candida albicans ditemukan memiliki tiga bentuk, yaitu ragi, hifa atau pseudohifa sebagai bentuk intermediet (Musrati, 2008). Beberapa ahli mengelompokkan hifa dan pseudohifa sebagai satu kelompok, sehingga Candida albicans sering disebut sebagai jamur dimorfik (Jawetz et al, 2018). Sel jamur Candida albicans adalah uniseluler dengan bentuk bulat atau lonjong dan biasanya membentuk koloni berwarna putih dengan permukaan yang halus (Samaranayake, 2012). Reproduksi sel jamur dilakukan dengan cara membelah diri secara mitosis atau budding, dimana dari satu sel induk membelah diri menjadi dua sel anak (Meurman et al, 2007). Selain itu, Candida albicans juga memiliki
kemampuan untuk membentuk spora seperti blastospora dan klamidospora (Musrati, 2008).
Candida albicans merupakan jamur dimorfik karena kemampuannya untuk tumbuh dalam dua bentuk yang berbeda yaitu sebagai sel tunas yang akan berkembang menjadi blastospora dan akan membentuk hifa semu. Perbedaan
bentuk ini tergantung pada faktor eksternal yang mempengaruhinya.
Candida albicans memperbanyak diri dengan membentuk tunas yang akan terus memanjang. Hifa semu terbentuk dengan banyak kelompok blastospora berbentuk bulat atau lonjong di sekitar septum. Pada beberapa strain, blastospora berukuran besar, berbentuk bulat dan dalam jumlah sedikit (Gambar 2.4). Sel ini dapat berkembang menjadi klamidospora yang berdinding tebal dan bergaris tengah sekitar 8-12 μm (Tjampakasari, 2009). Pada sediaan apus, Candida tampak sebagai ragi lonjong, bertunas, gram positif, berukuran 2-3 x 4-6 µm, dan sel-sel bertunas yang memanjang menyerupai hifa (pseudohifa) (Brooks, 1996).
Morfologi koloni Candida albicans pada medium padat Sabouraud's dextrose agar yang dikultur pada temperatur 37°C, umumnya berbentuk bulat seperti pasta, berwarna krem dengan permukaan sedikit cembung, halus, licin dan kadang-kadang sedikit berlipat-lipat terutama pada koloni yang lebih tua (Gambar 2.5). Umur biakan mempengaruhi besar kecil koloni. Warna koloni putih kekuningan dan berbau asam seperti aroma tape (Tjampakasari, 2009).
Dinding sel Candida albicans berfungsi sebagai pelindung jamur dan sebagai target dari beberapa obat antifungal. Selain itu, dinding sel juga berperan dalam proses penempelan dan kolonisasi serta bersifat antigenik. Fungsi utama dari dinding sel adalah memberi bentuk pada sel dan melindungi sel dari lingkungannya.
Candida albicans mempunyai struktur dinding sel yang kompleks dengan tebal 100-400 µm. Komposisi primer terdiri dari glukan, manan dan khitin. Manan dan protein berjumlah sekitar 15,2-30% dari berat kering dinding sel, 1,3-D-glukan dan β-1,6- D-glukan sekitar 47-60%, khitin sekitar 0,6-9%, protein 6-25% dan lipid 1-7%.
Segal dan Bavin (1994) memperlihatkan dinding sel Candida albicans terdiri dari lima lapisan yang berbeda (Gambar 2.6) (Tjampakasari, 2006).
Membran sel Candida albicans terdiri dari lapisan fosfolipid ganda. Membran protein ini memiliki aktivitas enzim seperti manan sintase, khitin sintase, glukan sintase, Adenosine Triphosphatase (ATPase), dan protein yang mentransport fosfat.
Selain itu, terdapat membran sterol pada dinding sel yang berfungsi menghasilkan ergosterol, yang berperan sebagai target beberapa obat antifungal. Mitokondria merupakan pembangkit daya sel. Dengan menggunakan energi dari penggabungan oksigen dengan makanan, organel memproduksi Adenosine Triphosphatase (ATP) (Tjampakasari, 2006).
Gambar 2.6 Lapisan dinding sel Candida albicans Sumber: Koleksi Pribadi (Tjampakasari, 2006).
Gambar 2.4 Bentuk Mikroskopis Candida albicans Sumber: Koleksi Pribadi (Anonymous, 2008).
Gambar 2.5 Candida albicans pada media SDA Sumber: Koleksi Pribadi (Jumanti, 2014).
2.2.3 Patogenesis Infeksi Candida albicans
Infeksi Candida sp. dapat dikelompokkan menjadi tiga meliputi; candidiasis superfisial, candidiasis mukokutan, dan candidiasis sistemik. Infeksi candidiasis superfisial dapat mengenai mukosa, kulit, dan kuku. Candidiasis mukokutan melibatkan kulit dan mukosa rongga mulut atau mukosa vagina. Pada candidiasis sistemik dapat melibatkan traktus respirasi bawah dan traktus urinarius dengan menyebabkan candidemia. Lokasi yang sering pada endokardium, meninges, tulang, ginjal, dan mata. Penyebaran penyakit yang tidak diterapi dapat berakibat fatal (Samaranayake, 2002). Antijamur azol merupakan obat yang aktif secara oral dan bermanfaat untuk terapi pada infeksi jamur setempat atau sistemik luas. Semua antijamur azol bekerja melalui penghambatan biosintesis ergosterol jamur (Amelia, 2011)
Infeksi Candida albicans pada umumnya merupakan infeksi oportunistik, dimana penyebab infeksinya dari flora normal host atau dari mikroorganisme penghuni sementara ketika host mengalami kondisi immunocompromised (Levinson, 2004). Dua faktor penting pada infeksi oportunistik adalah adanya paparan agen penyebab dan kesempatan terjadinya infeksi. Faktor predisposisi meliputi penurunan imunitas yang diperantarai oleh sel, perubahan membran mukosa dan kulit serta adanya benda asing (Mclane dan Timothy, 1999).
Semua mikroorganisme mengembangkan mekanisme yang memungkinkan kolonisasi dan infeksi terhadap host dapat berhasil. Termasuk Candida albicans mengembangkan faktor virulen dan strategi khusus supaya dapat berkolonisasi pada jaringan host. Faktor virulensi yang dibutuhkan candida dalam menyebabkan infeksi dapat bervariasi tergantung jenis infeksi misalnya infeksi pada superfisial, sistemik, lokasi, tahap infeksi dan respon host. Tampak jelas bahwa faktor virulensi terlibat dalam proses infeksi, tetapi tidak ada faktor virulensi tunggal pada Candida albicans dan tidak semua ekspresi faktor virulensi diperlukan untuk tahap infeksi tertentu. Banyak faktor yang berperan dalam patogenesis infeksi Candida albicans sebagai faktor virulensi seperti; phenotypic switching, dimosfisme morfologi, adhesi, sekresi enzim hidrolitik, dan lainnya (Gambar 2.7) (Naglik, 2003).
a. Phenotypic switching
Phenotypic switching merupakan sinyal proses perubahan beberapa sifat molekuler dan biokimia pada patogen, yang berguna untuk pertahanan hidup jamur dalam organisme host (Kuleta, 2009). Contoh yang paling umum pada perubahan koloni adalah koloni berwarna putih berubah menjadi kusam. Koloni berwarna putih, berbentuk oval dan halus juga dapat berubah menjadi koloni yang berwarna abu-abu dan kasar (Slutsky, 1987).
b. Dimorfisme Morfologi
Kemampuan untuk berubah bentuk antara sel yeast uniseluler dengan sel berbentuk filamen yang disebut hifa dan pseudohifa dikenal sebagai dimorfisme morfologi.
Transisi diantara bentuk morfologi yang berbeda ini merupakan respon terhadap rangsangan yang beragam dan sangat penting bagi patogenisitas jamur (Chaffin, 1998). Morfologi dapat berubah mengikuti berbagai kondisi lingkungan, termasuk respon terhadap suhu fisiologis 37 °C, pH sama atau lebih tinggi dari 7, konsentrasi CO2 5,5 %, adanya serum atau sumber karbon yang merangsang pertumbuhan hifa. Produksi bentuk uniseluler dirangsang oleh suhu yang lebih rendah dan pH yang lebih asam, dan tidak adanya serum dan konsentrasi glukosa tidak tinggi. Sel yeast dianggap bertanggung jawab untuk penyebaran ke dalam lingkungan dan menemukan host baru, sedangkan hifa diperlukan untuk merusak jaringan dan invasi (Kuleta et al, 2009).
c. Adhesi
Adhesi adalah interaksi antara sel Candida albicans dengan sel pejamu yang merupakan syarat berkembangnya infeksi. Kemampuan melekat pada sel inang merupakan tahap penting dalam merusak sel dan penetrasi (invasi) ke dalam sel inang. Enzim fosfolipase yang dimiliki oleh Candida albicans akan memberikan kontribusi dalam mempertahankan infeksi. Iritasi fisik karena penetrasi terus menerus dapat menyebabkan luka lokal yang dapat digunakan sebagai jalan masuk jamur (Komariah, 2012).
d. Pembentukan biofilm
Candida albicans memiliki kemampuannya untuk membentuk biofilm pada abiotik atau biotik permukaan. Bentuk Biofilm dalam proses berurutan termasuk
keterikatan sel-sel ragi ke substrat selanjutnya sel-sel ragi ini membentuk sel-sel hifa di bagian atas biofilm lalu akumulasi bahan matriks ekstraseluler dan akhirnya, dispersi sel-sel ragi dari kompleks biofilm (Finkel, 2011).
e. Faktor virulensi lainnya
Kemampuan mikroorganisme patogen untuk mendapatkan zat besi dari lingkungan selama infeksi merupakan faktor virulen yang sangat penting. Kemampuan untuk mengatasi sistem host dihubungkan dengan transport dan akumulasi zat besi yang sangat penting untuk bertahan hidup selama invasi pada aliran darah. Pada anggota Candida albicans membutuhkan hemoglobin dan hemin untuk memperoleh zat besi. Tanpa protein hemoglobin dan hemin metabolisme zat besi Candida albicans sangat terganggu (Kuleta et al, 2009). Ekspresi beberapa faktor virulensi sering tergantung pada kondisi lingkungan, oleh karena itu jamur harus memiliki sensor terhadap perubahan lingkungan. Kemungkinan calcineurin berperan seperti sensor dan regulasi. (Blankenship, 2003).
Gambar 2.7 Patogenesis Infeksi Candida albicans Sumber: Koleksi Pribadi (Mayer et al, 2013).
2.3 EFEK SENYAWA KIMIA KULIT DURIAN
Pengujian fitokimia pada ekstrak etanol kulit durian (Durio zibethinus Murray) menunjukkan hasil positif untuk golongan senyawa saponin, flavonoid, tanin, kuinon, terpenoid, dan alkaloid. Keenam senyawa metabolit sekunder tersebut berfungsi sebagai antijamur. Terpenoid, fenilpropanoid, flavonoid, dan alkaloid merupakan kelompok senyawa metabolit sekunder. Metabolit sekunder merupakan
molekul kecil yang dihasilkan oleh suatu organisme tetapi tidak secara langsung dibutuhkan dalam mempertahankan hidupnya (Dewatisari, 2016).
Senyawa flavonoid dan tanin yang terkandung dalam ekstrak kulit buah durian termasuk golongan senyawa fenolik. Senyawa fenolik dan saponin bersifat larut dalam air dan mengandung gugus fungsi hidroksil (- 6 OH), sehingga lebih mudah masuk ke dalam sel dan membentuk kompleks dengan protein membran sel.
Senyawa fenolik berinteraksi dengan protein membran sel melalui proses adsorpsi yang melibatkan ikatan hidrogen dengan cara terikat pada bagian hidrofilik dari membran sel. Kompleks protein-senyawa fenolik terbentuk dengan ikatan yang lemah, sehingga akan segera mengalami peruraian kemudian diikuti penetrasi senyawa fenolik ke dalam membran sel yang menyebabkan presipitasi dan terdenaturasinya protein membran sel. Kerusakan pada membran sel menyebabkan perubahan permeabilitas pada membran, sehingga mengakibatkan lisisnya membran sel jamur(Parwata dan Dewi, 2008)
Saponin berkontribusi sebagai antijamur dengan mekanisme menurunkan tegangan permukaan membran sterol dari dinding sel C. albicans, sehingga permeabilitasnya meningkat. Permeabilitas yang meningkat mengakibatkan cairan intraseluler yang lebih pekat tertarik keluar sel sehingga nutrisi, zat-zat metabolisme, enzim, protein dalam sel keluar dan jamur mengalami kematian.
Saponin merupakan golongan senyawa yang dapat menghambat atau membunuh mikroba dengan cara berinteraksi dengan membran sterol. Efek utama saponin terhadap mikroba adalah adanya pelepasan protein dan enzim dari dalam sel (Hardiningtyas, 2009).
Terpenoid, termasuk triterpenoid dan steroid merupakan senyawa bioaktif yang memiliki fungsi sebagai antijamur. Senyawa senyawa ini dapat menghambat pertumbuhan jamur, baik melalui membran sitoplasma maupun mengganggu pertumbuhan dan perkembangan spora jamur. Mekanisme penghambatan oleh senyawa terpenoid masih belum diketahui dengan jelas. Namun dengan adanya sifat hidrofobik atau lipofilik pada senyawa terpenoid kemungkinan menyebabkan kerusakan sitoplasmik membran, koagulasi sel, dan terjadinya gangguan proton pada sel jamur (Natta et al. 2008).
Alkaloid merupakan senyawa yang memiliki aktivitas antimikroba, yaitu menghambat enzim esterase beserta DNA dan RNA polimerase, juga menghambat respirasi sel dan berperan dalam interkalasi DNA (Aniszewki, 2007). Senyawa alkaloid bekerja dengan menghambat biosintesis asam nukleat jamur, sehingga jamur tidak dapat berkembang dan akhirnya mati (Suparni dan Wulandari, 2012).
Fenol adalah senyawa yang bersifat fungistatik yang dapat mendenaturasi protein.
Terdenaturasinya protein dinding sel jamur akan menyebabkan kerapuhan pada dinding sel jamur tersebut sehingga mudah ditembus zat aktif lainnya yang bersifat fungistatik. Jika protein yang terdenaturasi adalah protein enzim maka enzim tidak dapat bekerja, akan menyebabkan metabolisme dan proses penyerapan nutrisi terganggu (Septiadi et al, 2013).
Tanin memiliki aktivitas antijamur dengan cara menghambat sintesis kitin yang digunakan untuk pembentukan dinding sel pada jamur dan merusak membran sel sehingga pertumbuhan jamur terhambat (Wu et al, 2008). Naftokuinon yang merupakan senyawa golongan kuinon diduga memiliki komponen antijamur, mekanisme kerja dari naftokuinon adalah dengan cara mengganggu permeabilitas membran dari sel jamur, permeabilitas yang terganggu ini mengakibatkan terjadinya kebocoran ion K+ dari dalam sel jamur dan juga mengakibatkan terjadinya kebocoran pada substansia intraseluler yang penting bagi pertumbuhan sel jamur (Tian et al, 2012)
2.4 EKSTRAKSI
Ekstraksi merupakan proses pemisahan zat berkhasiat atau zat aktif yang terdapat dalam suatu bahan alam menggunakan pelarut dan metode yang sesuai, sehingga diperoleh ekstrak (Dirjen POM, 2000). Tujuan ekstraksi bahan alam adalah menarik komponen kimia yang terdapat di dalamnya. Ekstraksi didasarkan pada perpindahan massa komponen ke dalam pelarut yang dipengaruhi oleh kelarutan komponen di dalam pelarut. Proses perpindahan massa komponen
dimulai dari lapisan antar muka kemudian berdifusi ke dalam pelarut (Emilan, et al., 2011).
Etanol merupakan pelarut yang banyak digunakan untuk ekstraksi karena selain selektif dan tidak beracun, juga dapat mencegah pertumbuhan kapang dan kuman pada konsentrasi di atas 20%, dapat bercampur dengan air serta mudah diuapkan.
Etanol mampu melarutkan berbagai senyawa antara lain alkaloid, minyak atsiri, glikosida, kurkumin, kumarin, antrakinon, flavonoid, steroid, klorofil serta sedikit lemak dan tanin (Taroreh et al, 2015).
Pembuatan serbuk simplisia merupakan proses awal pembuatan ekstrak. Serbuk simplisia dibuat dari simplisia utuh atau potong-potongan halus simplisia yang sudah dikeringkan melalui prose pembuatan serbuk dengan suatu alat tanpa menyebabkan kerusakan atau kehilangan kandungan kimia yang dibutuhkan dan
diayak hingga diperoleh serbuk dengan derajat kehalusan tertentu (Farmakope, 2016).
Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif
Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif