• Tidak ada hasil yang ditemukan

UJI DAYA HAMBAT EKSTRAK KULIT BUAH DURIAN (Durio zibethinus Murray) TERHADAP PERTUMBUHAN JAMUR Candida albicans SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "UJI DAYA HAMBAT EKSTRAK KULIT BUAH DURIAN (Durio zibethinus Murray) TERHADAP PERTUMBUHAN JAMUR Candida albicans SKRIPSI"

Copied!
92
0
0

Teks penuh

(1)

UJI DAYA HAMBAT EKSTRAK KULIT BUAH DURIAN (Durio zibethinus Murray) TERHADAP PERTUMBUHAN

JAMUR Candida albicans

SKRIPSI

Oleh :

SYIFA SARI SIREGAR 170100090

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DAN PROFESI DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2021

(2)

UJI DAYA HAMBAT EKSTRAK KULIT BUAH DURIAN (Durio zibethinus Murray) TERHADAP PERTUMBUHAN

JAMUR Candida albicans

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

Oleh :

SYIFA SARI SIREGAR 170100090

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DAN PROFESI DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2021

(3)
(4)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan berkat-Nya penulis mampu menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya. Skripsi ini berjudul “Uji Daya Hambat Ekstrak Kulit Buah Durian (Durio zibethinus Murray) terhadap Pertumbuhan Jamur Candida albicans”, yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan pendidikan sarjana kedokteran program studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Dalam penyusunan dan penyelesaian skripsi ini, penulis mendapat banyak dukungan dan bantuan baik secara moril maupun materil dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih sebesar-besarnya kepada :

1. Dr. dr. Aldy Safruddin Rambe, Sp.S(K), selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan untuk mengikuti Program Studi Pendidikan Dokter di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

2. dr. Cut Adeya Adella, Sp.OG(K), selaku dosen pembimbing yang dengan sepenuh hati bersedia meluangkan waktu untuk memberikan arahan, masukan, ilmu dan motivasi kepada penulis selama penyusunan skripsi ini.

3. dr. Dwi Faradina, M.Ked (OG), Sp.OG(K) selaku ketua penguji dan dr.

Lokot Donna Lubis, M.Ked(PA), Sp.PA selaku anggota penguji yang telah memberikan kritik dan saran yang membangun selama proses pembuatan skripsi ini.

4. dr. Riana Miranda Sinaga, Sp.KK, M.Ked(DV) selaku dosen pembimbing akademik yang senantiasa membimbing dan memberikan motivasi selama masa perkuliahan 7 semester.

5. dr. Sri Amelia, M.Kes dan seluruh laboran Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara atas bantuan dan dukungan serta pengarahan dalam proses penelitian ini.

(5)

6. Seluruh asisten Laboratorium Terpadu Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah mendukung dalam proses penyelesaian penelitian ini.

7. Seluruh staf pengajar dan civitas akademika Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara atas bimbingan dan ilmu yang diberikan dari mulai awal perkuliahan hingga penulis menyelesaikan skripsi ini.

8. Pihak keluarga yang selalu mendukung, memberikan semangat, kasih sayang, bantuan dan rasa kebersamaan yang tidak pernah berhenti sampai penulis menyelesaikan skripsi ini.

9. Sahabat-sahabat penulis yang tak bisa disebut satu per satu saling bahu membahu menolong satu sama lain dari awal perkuliahan sampai selesainya skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, baik dari segi konten maupun cara penulisannya. Oleh sebab itu, kritik dan saran sangat diharapkan agar penulis dapat menyempurnakan skripsi ini.

Akhir kata penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat dan mampu memberikan sumbangsih bagi bangsa dan Negara terutama dalam bidang pendidikan terkhususnya ilmu kedokteran.

Medan, 22 Januari 2021

Penulis,

Syifa Sari Siregar 170100090

(6)

DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Pengesahan ... i

Kata Pengantar ... ii

Daftar Isi ... iii

Daftar Gambar ... iv

Daftar Tabel ... v

Daftar Singkatan ... vi

Abstrak ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 3

1.3.1 Tujuan Umum ... 3

1.3.2 Tujuan Khusus... 3

1.4 Manfaat Penelitian ... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1 Durian (Durio zibethinus Murray) ... 5

2.1.1 Klasifikasi Tanaman Durian ... 5

2.1.2 Nama Lain Tanaman Durian... 6

2.1.3 Morfologi Tanaman Durian ... 6

2.1.4 Kandungan Kimia ... 7

2.1.5 Manfaat Kulit Durian ... 9

2.2 Candida albicans ... 10

2.2.1 Klasifikasi Candida albicans ... 11

2.2.2 Morfologi Candida albicans ... 11

2.2.3 Patogenesis Infeksi Candida albicans ... 14

2.3 Efek Senyawa Kimia Kulit Durian ... 16

2.4 Ekstraksi ... 18

2.4.1 Prinsip Ekstraksi ... 19

2.4.2 Metode Ekstraksi ... 20

2.4.2.1 Metode ekstraksi cara dingin ... 20

2.4.2.2 Metode ekstraksi cara panas ... 22

2.5 Pengukuran Aktivitas Antijamur ... 23

2.5.1 Metode difusi ... 23

2.5.2 Metode dilusi ... 27

2.6 Kerangka Teori... 29

2.7 Kerangka Konsep ... 29

2.8 Hipotesis ... 30

2.8.1 Hipotesis Mayor ... 30

2.8.2 Hipotesis Minor ... 30

BAB III. METODE PENELITIAN ... 31

3.1 Rancangan Penelitian ... 31

3.2 Lokasi Penelitian ... 31

3.2.1 Waktu Penelitian ... 31

3.2.2 Tempat Penelitian ... 31

(7)

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian ... 31

3.3.1 Populasi ... 31

3.3.2 Sampel ... 32

3.3.3 Kriteria Inklusi dan Kriteria Eksklusi ... 33

3.3.3.1 Kriteria Inklusi ... 33

3.3.3.2 Kriteria Eksklusi ... 34

3.4 Metode Pengumpulan Data ... 34

3.4.1 Alat dan Bahan Penelitian... 34

3.4.1.1 Alat Penelitian... 34

3.4.1.2 Bahan Penelitian ... 34

3.4.2 Determinasi Tanaman ... 34

3.4.3 Pembuatan Ekstrak ... 35

3.4.4 Pembuatan Seri Konsentrasi Ekstrak ... 35

3.4.5 Pembuatan Suspensi Jamur ... 36

3.4.6 Identifikasi Jamur ... 36

3.4.6.1 Identifikasi Makroskopis ... 36

3.4.6.2 Identifikasi Mikroskopis ... 36

3.4.6.3 Pewarnaan Gram ... 36

3.4.6.4 Uji Biokimia ... 37

3.4.7 Pembuatan Sabouraud dextrose agar ... 37

3.4.8 Uji Potensi Antijamur ... 38

3.4.9 Penentuan KHM ... 38

3.4.10 Penentuan KBM (Uji Penegasan) ... 39

3.5 Metode Analisis Data ... 39

3.6 Variabel Penelitian ... 40

3.6.1 Variabel Independen ... 40

3.6.2 Variabel Dependen ... 40

3.7 Definisi Operasional... 41

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 42

4.1 Ekstrak Kulit Durian ... 43

4.2 Identifikasi Jamur ... 45

4.3 Zona Hambat (Uji Potensi) ... 46

4.4 Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) ... 49

4.5 Konsentrasi Bunuh Minimum (KBM) ... 51

4.6 Keterbatasan Penelitian ... 53

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 54

5.1 Kesimpulan... 54

5.2 Saran ... ... 54

DAFTAR PUSTAKA ... 55

LAMPIRAN... ... 61

(8)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

Gambar 2.1 Variasi Bentuk Buah Durian ... 7

Gambar 2.2 Variasi Warna Kulit Durian ... 7

Gambar 2.3 Bentuk Kulit Durian ... 7

Gambar 2.4 Bentuk Mikroskopis Candida albicans ... 13

Gambar 2.5 Candida albicans pada media SDA ... 13

Gambar 2.6 Lapisan dinding sel Candida albicans ... 14

Gambar 2.7 Patogenesis Infeksi Candida albicans ... 16

Gambar 2.8 Peletakkan kertas saring pada media uji ... 26

Gambar 2.9 Kerangka Teori ... 29

Gambar 2.10 Kerangka Konsep ... 29

Gambar 3.1 Alur Penelitian ... 42

Gambar 4.1 Hasil ekstraksi pertama ... 43

Gambar 4.2 Hasil ekstraksi kedua ... 43

Gambar 4.3 Hasil seri konsentrasi ekstrak ... 44

Gambar 4.4 Identifikasi Makroskopis ... 43

Gambar 4.5 Identifikasi Mikroskopis ... 43

Gambar 4.6 Zona Hambat Ekstrak Kulit Durian Konsentrasi 50%, 25%, 12,5% dan 6,25% ... 46

Gambar 4.7 Zona hambat kontrol positif ketoconazole dan kontrol negatif DMSO ... 46

Gambar 4.8 Hasil Dilusi kontrol negatif SDB, konsentrasi 12,5%, 6,25%, 3,125%, 3%, 1,56%, 0,78% dan kontrol positif Formalin ... 50

Gambar 4.9 Hasil uji penegasan konsentrasi 12,5%, 6,25%, 3,125%, 3%, 1,56% dan 0,78%... 51

Gambar 4.10 Hasil uji penegasan kontrol negatif dan positif ... 51

(9)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

Tabel 2.1 Hasil skrining fitokimia ekstrak metanol

Kulit Durian ... 9 Tabel 2.2 Hasil Penapisan Fitokimia Serbuk dan Ekstrak Etanol

Kulit Durian ... 9 Tabel 2.3 Klasifikasi respon hambatan pertumbuhan jamur

Menurut Ardiansyah (2005) ... 26 Tabel 2.4 Klasifikasi respon hambatan pertumbuhan jamur

Menurut David dan Stout (1971) ... 26 Tabel 3.1 Definisi Operasional ... 41 Tabel 4.1 Hasil Pengukuran Diameter Zona Hambat berbagai

Konsentrasi ekstrak kulit buah durian terhadap

Pertumbuhan jamur Candida albicans ... 47 Tabel 4.2 Hasil pengamatan kekeruhan dilusi ekstrak kulit buah

durian terhadap pertumbuhan jamur

Candida albicans. ... 50 Tabel 4.3 Hasil Pengamatan pertumbuhan koloni Candida albicans

pada uji penegasan ... 51

(10)

DAFTAR SINGKATAN

AIDS : Acquired Immune Deficiency Syndrome

ASPETRI : Asosiasi Pengobat Tradisional Ramuan Indonesia ATP : Adenosin Triphosphate

ATCC : American Type Culture Collection

CFU : Colony Forming Unit

cm : Centimeter

Depkes RI : Departemen Kesehatan Rakyat Indonesia DMSO : Dimethyl Sulfoxide

DNA : Deoxyribonucleic Acid dpl : Diatas Permukaan Laut Kemenkes : Kementrian Kesehatan

KHM : Kadar Hambat Minimal

kg : Kilogram

KBM : Kadar Bunuh Minimal

pH : Power of Hydrogen

RI : Republik Indonesia

RNA : Ribonucleic acid

RSCM : Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo SDA : Sabouraud dextrose agar

SUMUT : Sumatera Utara

WHO : World Health Organization

(11)

ABSTRAK

Latar Belakang. Candida albicans adalah jamur dimorfik yang merupakan anggota famili Saccharomycetacea. Jamur ini secara normal berada di organ reproduksi dan dapat berubah menjadi patogen apabila jumlahnya di dalam tubuh melebihi batas normal. Pilihan terbaik untuk menanggulangi masalah ini adalah penggunaan antijamur. Penggunaan antijamur yang relatif tinggi dan kejadian resistensi antijamur telah menjadi permasalahan besar sehingga diperlukan adanya inovasi baru untuk mengembangkan tanaman obat yang diduga memiliki khasiat antijamur.

Kulit durian (Durio zibethinus Murray) memiliki kandungan senyawa terpenoid, alkaloid, flavonoid, kuinon, tanin, dan saponin yang terbukti berpotensi sebagai antijamur. Tujuan.

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak kulit durian (Durio zibethinus Murray) terhadap daya hambat pertumbuhan jamur Candida albicans. Metode. Uji antijamur menggunakan metode difusi cara sumuran. Sumuran dibuat menggunakan alat pelubang gabus dengan diameter 7 mm. Kulit durian dikumpulkan dari kebun buah durian di Desa Sinda Raya Kabupaten Simalungun. Kulit durian diekstrak dengan metode maserasi menggunakan pelarut etanol 70%. Dilakukan enam perlakuan, yaitu dengan konsentrasi 50%, 25%, 12,5%, dan 6,25%, kontrol positif ketokonazol dan kontrol negatif DMSO. Setiap perlakuan dilakukan pengulangan sebanyak enam kali . Setelah dilakukan uji difusi didapati konsentrasi yang paling efektif adalah konsentrasi 6,25% kemudian untuk mendapatkan KHM dan KBM dilakukan metode dilusi cair dengan konsentrasi 3,125%, 3%, 1,56% dan 0,78%. Hasil. Data diameter zona hambat dianalisis menggunakan uji statistik One Way ANOVA. Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan pada semua perlakuan (p<0,05). Kesimpulan. Ekstrak etanol kulit durian memiliki daya antijamur terhadap pertumbuhan Candida albicans, dengan konsentrasi 6,25% adalah konsentrasi yang paling efektif dalam menghambat jamur secara difusi dan memiliki KHM pada konsentrasi 0,78% serta KBM pada konsentrasi 3,125%.

Kata kunci : daya hambat, DMSO, ekstrak kulit durian, ketokonazol.

(12)

ABSTRACT

Background. Candida albicans is a dimorphic shaped fungus that is a member of the Saccaharomycetacea family. This fungus is normally in the reproductive organs and can turn into pathogens if the amount in the body exceeds normal limits. The best option for dealing with this problem is the use of antifungals. The use of relatively high antifungals and the incidence of antifungal resistance has become a major problem, so new innovations are needed to develop medicinal plants that are suspected of having antifungal properties. Durian skin (Durio zibethinus) contains terpenoids, alkaloids, flavonoids, quinones, tannins, and saponins which have proven antifungal potential. Aim. This study was conducted to determine the effect of giving durian (Durio zibethinus) skin extracts to the inhibitory power of the fungus Candida albicans. Method.

Antibacterial tests use the diffusion method in the well method. The well is made using a cork pit with a diameter of 7 mm. Durian skin is collected from the waste from the durian traders around the city of Medan. Durian skin was extracted by maceration method using 96% ethanol solvent. Six treatments were carried out, with concentrations of 6.25%, 12.5%, 25%, and 50%, positive control of ketoconazole and negative control of DMSO. Each treatment was repeated six times. After the diffusion tests was carried out, it was found that the most effective concentration was the concentration of 6.25%. Then to obtain MIC and KBM, the liquid dilution method was carried out with a concentration of 3.125%, 3%, 1.56% and 0.78%. Result. The inhibition zone diameter data were analyzed using the One Way ANOVA statistical test. The results showed that there were significant differences in all treatments (p <0.05). Conclusion. Durian peel ethanol extract has antifungal power against the growth of Candida albicans, with a concentration of 6.25% being the most effective concentration in inhibiting fungi by diffusion and having MIC at a concentration of 0.78% and MBC at a concentration of 3.125%.

Keywords : inhibitory, DMSO, durian skin extract, ketoconazole

(13)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Kesehatan reproduksi adalah keadaan sejahtera fisik, mental dan sosial yang utuh yang tidak semata-mata bebas dari penyakit, dalam semua hal yang berkaitan dengan sistem reproduksi serta fungsi dan prosesnya. Sistem reproduksi wanita seperti vagina merupakan daerah yang penting untuk dirawat dan butuh perhatian lebih karena letaknya yang tertutup. Banyak dampak yang ditimbulkan apabila seorang wanita tidak memperhatikan kebersihan daerah genitalnya, antara lain timbulnya infeksi oleh mikroorganisme baik itu jamur, bakteri, parasit, maupun virus, dan akan menyebabkan munculnya berbagai macam keluhan seperti keputihan, bau tidak sedap dan lain-lain (Manan, 2011).

Kandidiasis adalah infeksi yang sering terjadi pada organ reproduksi.

Kandidiasis adalah infeksi yang disebabkan oleh jamur, jamur yang paling banyak menyebabkan infeksi adalah Candida terutama spesies Candida albicans Manifestasi klinisnya sangat bervariasi dari akut, subakut dan kronis episodik.

Kelainan dapat lokal di mulut, tenggorokan, kulit, kepala, vagina, jari-jari tangan, kuku, bronkus, paru, saluran pencernaan, atau menjadi sistemik seperti septikemia, endokarditis dan meningitis. Candida albicans merupakan spesies endogen, maka penyakitnya disebut sebagai infeksi oportunistik (Suyoso et al, 2013).

Berdasarkan data dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) angka kejadian Infeksi Saluran Reproduksi (ISR) tertinggi di dunia adalah pada usia remaja (35%-42%) dan dewasa muda (27%-33%). Prevalensi ISR pada remaja di dunia tahun 2012 untuk kandidiasis adalah 25%-50% (Sandriana et al, 2014). Data Kemenkes RI angka prevalensi kandidiasis di Indonesia tahun 2010 mencapai 25%-50%. Infeksi genital seperti vulvovaginal kandidiasis juga mengalami peningkatan prevalensi sebanyak 30%-35% selama tahun 2011-2013 (Kemenkes RI, 2013).

Penyakit Kandidiasis terjadi di seluruh dunia dan dapat menyerang berbagai jenis kelamin, baik laki-laki maupun wanita, tetapi data menunjukkan bahwa 70%

penderitanya adalah wanita. Berdasarkan data tahun 2013 di RSCM dilaporkan

(14)

bahwa 26,4% penderita AIDS menderita kandidiasis, menandakan bahwa kandidiasis adalah penyakit oportunistik. Kandidiasis juga merupakan penyakit yang berbahaya terbukti bahwa kasus kematian yang disebabkan kandidiasis berada di kisaran 30-40% per tahun (Colombo et al, 2004).

Data epidemiologi terbaru menunjukkan meningkatnya infeksi yang disebabkan oleh spesies jamur resisten, terutama spesies Candida yang resisten terhadap flukonazol. Dengan meluasnya infeksi jamur dan masih sedikit pilihan terapi yang tersedia, resistensi antijamur dapat menjadi masalah serius di masa yang akan datang, masalah lainnya penelitian terhadap antijamur juga masih tertinggal dibandingkan dengan antibakteri (Canuto et al, 2002).

Banyak kasus resistensi antijamur yang telah terjadi contohnya seperti resistensi terhadap nistatin sebesar 2,95% untuk Candida albicans dan 7,14% untuk Candida non albicans. Kasus resistensi Candida albicans terhadap flukonazol sebesar 34,07%, 10,99% resisten terhadap vorikonazol, 7,69% resisten terhadap ketokonazol, 6,59% resisten terhadap itrakonazol, 2,19% resisten terhadap klotrimazol dan 1,09% resisten terhadap amfoterisin B (Sharma et al, 2013).

Pemberian terapi ketokonazol pada kandidiasis juga menimbulkan efek samping seperti mual dan muntah sehingga perlu dipikirkan alternatif terapi pada kandidiasis (Bahry et al, 2011). Oleh karena itu perlu adanya inovasi baru untuk menghindari semakin banyaknya resistensi antijamur. Salah satunya dengan pengembangan tanaman-tanaman obat yang diduga ataupun telah diteliti memiliki khasiat sebagai antijamur.

Durian (Durio zibethinus Murray) merupakan salah satu tanaman yang mengandung fitokimia. Kulit buah Durian mengandung berbagai senyawa diantaranya; fenolik, flavonoid, saponin, dan tanin, sehingga ekstrak kulit buah durian dapat digunakan sebagai antijamur (Setyowati et al, 2013). Penelitian yang dilakukan oleh (Setyowati et al, 2013) yaitu Uji Daya Hambat Ekstrak Kulit Buah Durian terhadap Jamur Candida albicans menggunakan konsentrasi 15%, 20%, dan 25% memberikan hasil bahwa pada konsentrasi ekstrak 25% memiliki daya hambat paling optimal terhadap Candida albicans. Konsentrasi 25% memiliki diameter zona hambat 1,15 cm, konsentrasi 15% 0,69 cm dan konsentrasi 20% 0,82 cm.

(15)

Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang Uji Daya Hambat Ekstrak Kulit Buah Durian (Durio zibethinus Murray) terhadap Pertumbuhan Candida albicans, dalam rangka mencari pengobatan alternatif terhadap kandidiasis.

1.2 RUMUSAN MASALAH

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: “Bagaimanakah aktivitas ekstrak kulit buah durian (Durio zibethinus Murray) sebagai antijamur terhadap biakan jamur Candida albicans?”

1.3 TUJUAN PENELITIAN 1.3.1 Tujuan Umum

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui aktivitas ekstrak kulit buah durian (Durio zibethinus Murray) sebagai antijamur terhadap biakan jamur Candida albicans

1.3.2 Tujuan Khusus

Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui konsentrasi ekstrak kulit buah durian (Durio zibethinus

Murray) yang paling efektif menghambat pada metode difusi.

2. Untuk mengetahui Kadar Hambat Minimum (KHM) dan Kadar Bunuh Minimum (KBM) dari hasil uji mikroba kulit buah durian (Durio zibethinus Murray) terhadap jamur Candida albicans secara in vitro.

1.4 MANFAAT PENELITIAN

1.4.1 Bagi Peneliti, penelitian ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman peneliti dalam hal uji ekstrak terhadap biakan jamur di laboratorium Mikrobiologi dan bagaimana proses pengolahan datanya.

(16)

1.4.2 Bagi Pendidikan, Penelitian ini bermanfaat guna menambah pengetahuan

tentang cara pengujian bagian tanaman seperti kulit buah durian (Durio zibethinus Murray ) sebagai antijamur.

1.4.3 Bagi Masyarakat, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi mengenai pengaruh pemberian ekstrak kulit buah durian (Durio zibethinus Murray) terhadap pertumbuhan jamur Candida albicans sehingga masyarakat dapat mengetahui bahwa limbah kulit durian dapat dimanfaatkan.

(17)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DURIAN (Durio zibethinus Murray)

Durian (Durio zibethinus Murray) merupakan salah satu tumbuhan tropis asli Asia Tenggara dan populer sebagai raja buah (Feng et al, 2016). Pulau Kalimantan dikenal sebagai pusat keanekaragaman durian di Indonesia. Durian termasuk dalam famili Bombaceae yang dikenal sebagai buah tropis musiman di Asia Tenggara (Malaysia, Thailand, Filipina dan Indonesia) (Leontowicz et al, 2011). Tanaman ini merupakan buah asli Indonesia, menempati posisi ke-4 buah nasional dengan produksi, lebih kurang 700.000 ton per tahun. Musim panen umumnya berlangsung tidak serentak dari bulan September sampai Februari dengan masa paceklik bulan April sampai Juli (Dang dan Nguyen, 2015).

Durian (Durio zibethinus Murray) merupakan buah-buahan tropika asli Asia Tenggara, terutama Indonesia. Sumber diversifikasi genetik tanaman durian terletak di Kalimantan dan Sumatera. (Nurbani, 2012).

2.1.1 Klasifikasi Tanaman Durian

Klasifikasi durian menurut ITIS Catalogue of Life 2020 adalah Kingdom : Plantae

Subkingdom : Viridiplantae Super Divisio : Spermatophytina Divisi : Tracheophyta Kelas : Magnoliopsida Subkelas : Magnoliidae Ordo : Malvales Famili : Malvaceae Genus : Durio

Spesies : Durio zibethinus Murray

(18)

2.1.2 Nama Lain Tanaman Durian

Indonesia kaya dengan sumber plasma nutfah dan keanekaragaman jenis Durio (Durio spp.). Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan di Herbarium Bogoriense terhadap 270 nomor spesimen herbarium kerabat durian (Durio spp.) di Indonesia telah ditemukan 20 jenis Durio. Delapan belas jenis diantaranya ditemukan di Kalimantan, 7 jenis di Sumatera, dan hanya 1 jenis masing-masing di Jawa, Bali, Sulawesi, dan Maluku. Empat belas dari 18 jenis Durio di Kalimantan merupakan jenis-jenis endemik. Sembilan jenis diantaranya dilaporkan sebagai buah-buahan yang bisa dimakan (edible fruits), yaitu Durio dulcis (lahong), Durio exelcus (apun), Durio grandifloras (durian munyit), Durio graveolens (tuwala), Durio kutejensis (lai), Durio oxleyanus (kerantungan), Durio lowianus (teruntung), Durio testudinarum (sekura), dan Durio zibethinus (durian) (Uji, 2005).

Indonesia merupakan salah satu dari 8 pusat keanekaragaman genetika khususnya jenis buah-buahan tropik seperti durian, rambutan dan bacang.

Dilaporkan ada sekitar 30 jenis durian di seluruh dunia dan 14 jenis diantaranya endemik di Borneo yang sebagian besar masih tumbuh liar di hutan. Sedikitnya di Kalimantan Timur terdapat 5 jenis durian (Kimman, 2002). Selain Durio zibethinus Murray, jenis-jenis yang memiliki potensi besar untuk dikembangkan antara lain adalah Durio kutejensis, Durio dulcis, Durio grandiflorus, Durio graveolen, Durio oxleyanus, dan Durio lowiana (Mansur, 2007).

2.1.3 Morfologi Tanaman Durian

Morfologi buah durian pada umumnya bervariasi tergantung dari tempat tumbuhnya. Terdapat tujuh variasi bentuk buah durian yang ditemukan yaitu bulat ujung datar, bulat, bulat telur, lonjong, bulat panjang, ovoid dan obovoid (Gambar 2.1). Warna kulit buah umumnya hijau sampai coklat (Gambar 2.2) buah durian juga bervariasi pada ukuran dan bobot buah (Gurbilek, 2013). Ada berbagai macam jenis bentuk dan warna durian yang dijual di pasar, bentuk kulit durian memiliki duri yang tajam, tebal dan berbentuk heksagonal (Gambar 2.3) (Ho dan Bhat, 2015).

(19)

Ada beberapa Jenis durian yang populer dan memiliki aroma yang menyenangkan serta warna daging yang menarik, seperti Ang Heh (Durian Udang Merah), Chaer Phoy-15 (Durian Kulit Hijau) dan Durian Khun Poh. Durian Ang Heh memiliki kulit berwarna cokelat keemasan dengan duri berbentuk bulat dan pendek dibandingkan dengan Chaer Phoy-15 yang berkulit hijau (Gambar 2.2).

2.1.4 Kandungan Kimia Kulit Durian

Durian (Durio zibethinus Murray) merupakan salah satu tanaman yang mengandung fitokimia. Kulit buah Durian mengandung senyawa fenolik, flavonoid, saponin, dan tanin (Setyowati et al, 2013). Komponen yang terdapat dalam ekstrak metanol kulit durian dianalisis golongan senyawanya dengan tes uji warna dengan beberapa pereaksi untuk golongan senyawa alkaloid, flavonoid,

Gambar 2.1 Variasi Bentuk Buah Durian Sumber: Koleksi Pribadi (Gurbilek, 2013).

Gambar 2.2 Variasi Warna Kulit Durian Sumber: Koleksi Pribadi (Ho dan Bhat, 2015)).

Gambar 2.3 Bentuk Kulit Durian Sumber: Koleksi Pribadi (Ho dan Bhat, 2015).

(20)

terpenoid, steroid, tanin dan saponin dinyatakan positif terdapat pada kulit durian (Tabel 2.1) (Setyowati et al., 2014).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan (Anggraeni dan Anam, 2016) bahwa hasil dari penapisan fitokimia menunjukkan serbuk kulit durian mengandung saponin, flavonoid, tanin, kuinon, dan terpenoid sedangkan ekstrak etanol kulit durian mengandung saponin, flavonoid, tanin, kuinon, terpenois, dan alkaloid (Tabel 2.2).

Durian merupakan salah satu tanaman yang mengandung fitokimia. Senyawa fitokimia dapat berkhasiat sebagai antijamur seperti alkaloid, saponin, tanin, fenolik, flavonoid dan terpenoid sedangkan kulit buah durian mengandung senyawa fenolik, flavonoid, saponin, dan tanin. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak kulit buah Durian dapat digunakan sebagai antijamur. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Setyowati et al (2013) dapat disimpulkan bahwa ekstrak kulit buah Durian yang diformulasikan dalam bentuk sediaan krim memiliki aktivitas antijamur terhadap spesies Candida albicans yang mana krim dengan konsentrasi ekstrak 25% memiliki diameter zona hambat terbesar dibanding krim dengan konsentrasi 15% dan 20%.

Selain mengandung kandungan kimia yang dapat digunakan sebagai obat, Limbah kulit durian juga mengandung berbagai vitamin dan juga mengandung karbohidrat, lemak, protein, serat, kalsium, fosfor, asam folat, magnesium, potasium atau kalium (K), zat besi (Fe), zinc, mangan (Mn), tembaga (Cu), karoten, tiamin, niasin, dan riboflavin (Nugraha, 2011). Jika kebanyakan orang hanya mengetahui bahwa jelly durian hanya dapat dibuat dari daging buah yang mahal, tetapi sebetulnya jelly durian juga dapat dibuat dari bagian dalam (albedo) kulit durian karena albedo kulit durian masih mempunyai aroma khas durian dan kandungan pektinnya yang tinggi yaitu 17% (Wijayanti, 2011).

Banyak penelitian yang membahas tentang kandungan dari kulit durian, salah satunya adalah hasil penelitian Hatta (2007) menunjukkan bahwa kulit durian mengandung unsur selulosa yang tinggi (50-60%) dan kandungan lignin (5%) serta kandungan pati yang rendah (5%) sehingga dapat diindikasikan sebagai campuran bahan baku pangan olahan serta produk lainnya yang dimampatkan.

(21)

Tabel 2.1 Hasil skrining fitokimia ekstrak metanol kulit Durian (Setyowati et al, 2014).

Uji Fitokimia Pereaksi Hasil Kesimpulan

Alkaloid

Mayer Terbentuk endapan putih Positif

Wagner Terbentuk warna coklat kemerahan

Positif Dragendorff Terbentuk warna jingga Positif Flavonoid Mg + HCl pekat Terbentuk warna jingga Positif

Saponin Air + HCl Terbentuk Busa stabil Positif

Steroid Liebermann-

burchard

Terbentuk warna Hijau Positif Terpenoid Liebermann-

burchard

Terbentuk warna coklat kemerahan

Positif Tanin FeCl3 1% Terbentuk warna hijau kehitaman Positif

Tabel 2.2 Hasil Penapisan Fitokimia Serbuk dan Ekstrak Etanol Kulit Durian (Anggraeni dan Anam, 2014).

2.1.4 Manfaat Kulit Durian

Tanaman durian (Durio zibethinus Murray), merupakan salah satu jenis buah- buahan yang produksinya melimpah. Buah durian disebut juga the king of fruit sangat digemari oleh berbagai kalangan masyarakat karena rasanya yang khas.

Bagian buah yang dapat dimakan (persentase bobot daging buah) tergolong rendah yaitu hanya 20,52%. Hal ini berarti ada sekitar 79,08 % yang merupakan bagian yang tidak termanfaatkan untuk dikonsumsi seperti kulit dan biji durian (Heruwidarto, 2009).

Terpenoid

(22)

Kulit durian secara proporsional mengandung unsur selulosa yang tinggi (50- 60 %) dan kandungan lignin 5% serta kandungan pati yang rendah 5% sehingga dapat diindikasikan bahan tersebut bisa digunakan sebagai campuran bahan baku papan olahan serta produk lainnya yang dimanfaatkan. Produk papan partikel dari limbah kulit durian yang menggunakan perekat mineral (semen) adalah sebesar 360 kg/ cm2 dengan nilai keteguhan patah sebesar 543 kg/cm2. Kandungan kimia kulit durian yang dapat dimanfaatkan adalah pektin. Pektin merupakan senyawa yang baik digunakan sebagai pengental dalam makanan, sehingga pektin yang diperoleh dari kulit durian dapat dimanfaatkan sebagai pengental dalam pembuatan cendol atau dapat dijadikan sebagai tepung (Amaliyah, 2014).

Kulit durian dapat digunakan untuk menghilangkan bau durian yang menempel di tangan, mengusir nyamuk, mengatasi sembelit, sakit perut, nyeri saat haid, mengobati bisul, menguatkan sistem kekebalan tubuh dan pengental makanan yang alami dan mengobati jerawat. Kegunaan tersebut dikarenakan kulit durian memiliki sifat antimikroba (Amaliyah, 2014)

Selama ini kulit durian hanya dibuang begitu saja tanpa dimanfaatkan menjadi lebih berguna. Padahal jika dilihat persentase buah durian, bagian dagingnya termasuk rendah yaitu hanya 20-35%, sedangkan kulit nya mencapai 60-75%, dan

biji sebesar 5-15% belum termanfaatkan secara maksimal (Djaeni dan Prasetyaningrum, 2010).

2.2 CANDIDA ALBICANS

Candida adalah flora normal pada saluran pencernaan, selaput mukosa, saluran pernafasan, vagina, uretra, kulit, dan di bawah kuku. Candida dapat menjadi patogen dan menyebabkan infeksi seperti septikemia, endokarditis, atau meningitis (Simatupang, 2008). Infeksi Candida pertama kali ditemukan di dalam mulut sebagai thrush yang dilaporkan oleh Francois Valleix (1836). Langenbach (1839) menemukan jamur penyebab trush, kemudian Berkhout (1923) memberi nama organisme tersebut Candida (Kuswadji, 2007)

Lebih dari 150 spesies Candida telah diidentifikasi (Anaissie, 2007).

Sebanyak paling sedikit tujuh puluh persen infeksi Candida pada manusia

(23)

disebabkan oleh Candida albicans sisanya disebabkan oleh Candida tropicalis, Candida parapsilosis, Candida guilliermondii, Candida krusei dan beberapa

spesies Candida yang lebih jarang (Jawetz, 2018). Candida albicans juga diproduksi oleh American Type Culture Collection (ATCC) salah satu diantaranya yaitu Candida albicans (ATCC® 10231™). Candida albicans (ATCC® 10231™) jenis ini hanya ditujukan untuk penelitian bukan untuk tujuan diagnostik ataupun terapeutik (Carey, 2015).

2.2.1 Klasifikasi Candida albicans

Klasifikasi Candida albicans menurut Integrated Taxonomic Information System (ITIS) Catalogue of Life 2020 adalah

Kingdom : Fungi

Subdivisi : Saccharomycotina Divisi : Ascomycota Kelas : Saccharomycetes Ordo : Saccharomycetales Famili : Saccharomycetaceae

Genus : Candida

Spesies : Candida albicans

2.2.2 Morfologi Candida albicans

Candida albicans ditemukan memiliki tiga bentuk, yaitu ragi, hifa atau pseudohifa sebagai bentuk intermediet (Musrati, 2008). Beberapa ahli mengelompokkan hifa dan pseudohifa sebagai satu kelompok, sehingga Candida albicans sering disebut sebagai jamur dimorfik (Jawetz et al, 2018). Sel jamur Candida albicans adalah uniseluler dengan bentuk bulat atau lonjong dan biasanya membentuk koloni berwarna putih dengan permukaan yang halus (Samaranayake, 2012). Reproduksi sel jamur dilakukan dengan cara membelah diri secara mitosis atau budding, dimana dari satu sel induk membelah diri menjadi dua sel anak (Meurman et al, 2007). Selain itu, Candida albicans juga memiliki

(24)

kemampuan untuk membentuk spora seperti blastospora dan klamidospora (Musrati, 2008).

Candida albicans merupakan jamur dimorfik karena kemampuannya untuk tumbuh dalam dua bentuk yang berbeda yaitu sebagai sel tunas yang akan berkembang menjadi blastospora dan akan membentuk hifa semu. Perbedaan

bentuk ini tergantung pada faktor eksternal yang mempengaruhinya.

Candida albicans memperbanyak diri dengan membentuk tunas yang akan terus memanjang. Hifa semu terbentuk dengan banyak kelompok blastospora berbentuk bulat atau lonjong di sekitar septum. Pada beberapa strain, blastospora berukuran besar, berbentuk bulat dan dalam jumlah sedikit (Gambar 2.4). Sel ini dapat berkembang menjadi klamidospora yang berdinding tebal dan bergaris tengah sekitar 8-12 μm (Tjampakasari, 2009). Pada sediaan apus, Candida tampak sebagai ragi lonjong, bertunas, gram positif, berukuran 2-3 x 4-6 µm, dan sel-sel bertunas yang memanjang menyerupai hifa (pseudohifa) (Brooks, 1996).

Morfologi koloni Candida albicans pada medium padat Sabouraud's dextrose agar yang dikultur pada temperatur 37°C, umumnya berbentuk bulat seperti pasta, berwarna krem dengan permukaan sedikit cembung, halus, licin dan kadang-kadang sedikit berlipat-lipat terutama pada koloni yang lebih tua (Gambar 2.5). Umur biakan mempengaruhi besar kecil koloni. Warna koloni putih kekuningan dan berbau asam seperti aroma tape (Tjampakasari, 2009).

Dinding sel Candida albicans berfungsi sebagai pelindung jamur dan sebagai target dari beberapa obat antifungal. Selain itu, dinding sel juga berperan dalam proses penempelan dan kolonisasi serta bersifat antigenik. Fungsi utama dari dinding sel adalah memberi bentuk pada sel dan melindungi sel dari lingkungannya.

Candida albicans mempunyai struktur dinding sel yang kompleks dengan tebal 100- 400 µm. Komposisi primer terdiri dari glukan, manan dan khitin. Manan dan protein berjumlah sekitar 15,2-30% dari berat kering dinding sel, β-1,3-D-glukan dan β- 1,6- D-glukan sekitar 47-60%, khitin sekitar 0,6-9%, protein 6-25% dan lipid 1-7%.

Segal dan Bavin (1994) memperlihatkan dinding sel Candida albicans terdiri dari lima lapisan yang berbeda (Gambar 2.6) (Tjampakasari, 2006).

(25)

Membran sel Candida albicans terdiri dari lapisan fosfolipid ganda. Membran protein ini memiliki aktivitas enzim seperti manan sintase, khitin sintase, glukan sintase, Adenosine Triphosphatase (ATPase), dan protein yang mentransport fosfat.

Selain itu, terdapat membran sterol pada dinding sel yang berfungsi menghasilkan ergosterol, yang berperan sebagai target beberapa obat antifungal. Mitokondria merupakan pembangkit daya sel. Dengan menggunakan energi dari penggabungan oksigen dengan makanan, organel memproduksi Adenosine Triphosphatase (ATP) (Tjampakasari, 2006).

Gambar 2.6 Lapisan dinding sel Candida albicans Sumber: Koleksi Pribadi (Tjampakasari, 2006).

Gambar 2.4 Bentuk Mikroskopis Candida albicans Sumber: Koleksi Pribadi (Anonymous, 2008).

Gambar 2.5 Candida albicans pada media SDA Sumber: Koleksi Pribadi (Jumanti, 2014).

(26)

2.2.3 Patogenesis Infeksi Candida albicans

Infeksi Candida sp. dapat dikelompokkan menjadi tiga meliputi; candidiasis superfisial, candidiasis mukokutan, dan candidiasis sistemik. Infeksi candidiasis superfisial dapat mengenai mukosa, kulit, dan kuku. Candidiasis mukokutan melibatkan kulit dan mukosa rongga mulut atau mukosa vagina. Pada candidiasis sistemik dapat melibatkan traktus respirasi bawah dan traktus urinarius dengan menyebabkan candidemia. Lokasi yang sering pada endokardium, meninges, tulang, ginjal, dan mata. Penyebaran penyakit yang tidak diterapi dapat berakibat fatal (Samaranayake, 2002). Antijamur azol merupakan obat yang aktif secara oral dan bermanfaat untuk terapi pada infeksi jamur setempat atau sistemik luas. Semua antijamur azol bekerja melalui penghambatan biosintesis ergosterol jamur (Amelia, 2011)

Infeksi Candida albicans pada umumnya merupakan infeksi oportunistik, dimana penyebab infeksinya dari flora normal host atau dari mikroorganisme penghuni sementara ketika host mengalami kondisi immunocompromised (Levinson, 2004). Dua faktor penting pada infeksi oportunistik adalah adanya paparan agen penyebab dan kesempatan terjadinya infeksi. Faktor predisposisi meliputi penurunan imunitas yang diperantarai oleh sel, perubahan membran mukosa dan kulit serta adanya benda asing (Mclane dan Timothy, 1999).

Semua mikroorganisme mengembangkan mekanisme yang memungkinkan kolonisasi dan infeksi terhadap host dapat berhasil. Termasuk Candida albicans mengembangkan faktor virulen dan strategi khusus supaya dapat berkolonisasi pada jaringan host. Faktor virulensi yang dibutuhkan candida dalam menyebabkan infeksi dapat bervariasi tergantung jenis infeksi misalnya infeksi pada superfisial, sistemik, lokasi, tahap infeksi dan respon host. Tampak jelas bahwa faktor virulensi terlibat dalam proses infeksi, tetapi tidak ada faktor virulensi tunggal pada Candida albicans dan tidak semua ekspresi faktor virulensi diperlukan untuk tahap infeksi tertentu. Banyak faktor yang berperan dalam patogenesis infeksi Candida albicans sebagai faktor virulensi seperti; phenotypic switching, dimosfisme morfologi, adhesi, sekresi enzim hidrolitik, dan lainnya (Gambar 2.7) (Naglik, 2003).

(27)

a. Phenotypic switching

Phenotypic switching merupakan sinyal proses perubahan beberapa sifat molekuler dan biokimia pada patogen, yang berguna untuk pertahanan hidup jamur dalam organisme host (Kuleta, 2009). Contoh yang paling umum pada perubahan koloni adalah koloni berwarna putih berubah menjadi kusam. Koloni berwarna putih, berbentuk oval dan halus juga dapat berubah menjadi koloni yang berwarna abu- abu dan kasar (Slutsky, 1987).

b. Dimorfisme Morfologi

Kemampuan untuk berubah bentuk antara sel yeast uniseluler dengan sel berbentuk filamen yang disebut hifa dan pseudohifa dikenal sebagai dimorfisme morfologi.

Transisi diantara bentuk morfologi yang berbeda ini merupakan respon terhadap rangsangan yang beragam dan sangat penting bagi patogenisitas jamur (Chaffin, 1998). Morfologi dapat berubah mengikuti berbagai kondisi lingkungan, termasuk respon terhadap suhu fisiologis 37 °C, pH sama atau lebih tinggi dari 7, konsentrasi CO2 5,5 %, adanya serum atau sumber karbon yang merangsang pertumbuhan hifa. Produksi bentuk uniseluler dirangsang oleh suhu yang lebih rendah dan pH yang lebih asam, dan tidak adanya serum dan konsentrasi glukosa tidak tinggi. Sel yeast dianggap bertanggung jawab untuk penyebaran ke dalam lingkungan dan menemukan host baru, sedangkan hifa diperlukan untuk merusak jaringan dan invasi (Kuleta et al, 2009).

c. Adhesi

Adhesi adalah interaksi antara sel Candida albicans dengan sel pejamu yang merupakan syarat berkembangnya infeksi. Kemampuan melekat pada sel inang merupakan tahap penting dalam merusak sel dan penetrasi (invasi) ke dalam sel inang. Enzim fosfolipase yang dimiliki oleh Candida albicans akan memberikan kontribusi dalam mempertahankan infeksi. Iritasi fisik karena penetrasi terus menerus dapat menyebabkan luka lokal yang dapat digunakan sebagai jalan masuk jamur (Komariah, 2012).

d. Pembentukan biofilm

Candida albicans memiliki kemampuannya untuk membentuk biofilm pada abiotik atau biotik permukaan. Bentuk Biofilm dalam proses berurutan termasuk

(28)

keterikatan sel-sel ragi ke substrat selanjutnya sel-sel ragi ini membentuk sel-sel hifa di bagian atas biofilm lalu akumulasi bahan matriks ekstraseluler dan akhirnya, dispersi sel-sel ragi dari kompleks biofilm (Finkel, 2011).

e. Faktor virulensi lainnya

Kemampuan mikroorganisme patogen untuk mendapatkan zat besi dari lingkungan selama infeksi merupakan faktor virulen yang sangat penting. Kemampuan untuk mengatasi sistem host dihubungkan dengan transport dan akumulasi zat besi yang sangat penting untuk bertahan hidup selama invasi pada aliran darah. Pada anggota Candida albicans membutuhkan hemoglobin dan hemin untuk memperoleh zat besi. Tanpa protein hemoglobin dan hemin metabolisme zat besi Candida albicans sangat terganggu (Kuleta et al, 2009). Ekspresi beberapa faktor virulensi sering tergantung pada kondisi lingkungan, oleh karena itu jamur harus memiliki sensor terhadap perubahan lingkungan. Kemungkinan calcineurin berperan seperti sensor dan regulasi. (Blankenship, 2003).

Gambar 2.7 Patogenesis Infeksi Candida albicans Sumber: Koleksi Pribadi (Mayer et al, 2013).

2.3 EFEK SENYAWA KIMIA KULIT DURIAN

Pengujian fitokimia pada ekstrak etanol kulit durian (Durio zibethinus Murray) menunjukkan hasil positif untuk golongan senyawa saponin, flavonoid, tanin, kuinon, terpenoid, dan alkaloid. Keenam senyawa metabolit sekunder tersebut berfungsi sebagai antijamur. Terpenoid, fenilpropanoid, flavonoid, dan alkaloid merupakan kelompok senyawa metabolit sekunder. Metabolit sekunder merupakan

(29)

molekul kecil yang dihasilkan oleh suatu organisme tetapi tidak secara langsung dibutuhkan dalam mempertahankan hidupnya (Dewatisari, 2016).

Senyawa flavonoid dan tanin yang terkandung dalam ekstrak kulit buah durian termasuk golongan senyawa fenolik. Senyawa fenolik dan saponin bersifat larut dalam air dan mengandung gugus fungsi hidroksil (- 6 OH), sehingga lebih mudah masuk ke dalam sel dan membentuk kompleks dengan protein membran sel.

Senyawa fenolik berinteraksi dengan protein membran sel melalui proses adsorpsi yang melibatkan ikatan hidrogen dengan cara terikat pada bagian hidrofilik dari membran sel. Kompleks protein-senyawa fenolik terbentuk dengan ikatan yang lemah, sehingga akan segera mengalami peruraian kemudian diikuti penetrasi senyawa fenolik ke dalam membran sel yang menyebabkan presipitasi dan terdenaturasinya protein membran sel. Kerusakan pada membran sel menyebabkan perubahan permeabilitas pada membran, sehingga mengakibatkan lisisnya membran sel jamur(Parwata dan Dewi, 2008)

Saponin berkontribusi sebagai antijamur dengan mekanisme menurunkan tegangan permukaan membran sterol dari dinding sel C. albicans, sehingga permeabilitasnya meningkat. Permeabilitas yang meningkat mengakibatkan cairan intraseluler yang lebih pekat tertarik keluar sel sehingga nutrisi, zat-zat metabolisme, enzim, protein dalam sel keluar dan jamur mengalami kematian.

Saponin merupakan golongan senyawa yang dapat menghambat atau membunuh mikroba dengan cara berinteraksi dengan membran sterol. Efek utama saponin terhadap mikroba adalah adanya pelepasan protein dan enzim dari dalam sel (Hardiningtyas, 2009).

Terpenoid, termasuk triterpenoid dan steroid merupakan senyawa bioaktif yang memiliki fungsi sebagai antijamur. Senyawa senyawa ini dapat menghambat pertumbuhan jamur, baik melalui membran sitoplasma maupun mengganggu pertumbuhan dan perkembangan spora jamur. Mekanisme penghambatan oleh senyawa terpenoid masih belum diketahui dengan jelas. Namun dengan adanya sifat hidrofobik atau lipofilik pada senyawa terpenoid kemungkinan menyebabkan kerusakan sitoplasmik membran, koagulasi sel, dan terjadinya gangguan proton pada sel jamur (Natta et al. 2008).

(30)

Alkaloid merupakan senyawa yang memiliki aktivitas antimikroba, yaitu menghambat enzim esterase beserta DNA dan RNA polimerase, juga menghambat respirasi sel dan berperan dalam interkalasi DNA (Aniszewki, 2007). Senyawa alkaloid bekerja dengan menghambat biosintesis asam nukleat jamur, sehingga jamur tidak dapat berkembang dan akhirnya mati (Suparni dan Wulandari, 2012).

Fenol adalah senyawa yang bersifat fungistatik yang dapat mendenaturasi protein.

Terdenaturasinya protein dinding sel jamur akan menyebabkan kerapuhan pada dinding sel jamur tersebut sehingga mudah ditembus zat aktif lainnya yang bersifat fungistatik. Jika protein yang terdenaturasi adalah protein enzim maka enzim tidak dapat bekerja, akan menyebabkan metabolisme dan proses penyerapan nutrisi terganggu (Septiadi et al, 2013).

Tanin memiliki aktivitas antijamur dengan cara menghambat sintesis kitin yang digunakan untuk pembentukan dinding sel pada jamur dan merusak membran sel sehingga pertumbuhan jamur terhambat (Wu et al, 2008). Naftokuinon yang merupakan senyawa golongan kuinon diduga memiliki komponen antijamur, mekanisme kerja dari naftokuinon adalah dengan cara mengganggu permeabilitas membran dari sel jamur, permeabilitas yang terganggu ini mengakibatkan terjadinya kebocoran ion K+ dari dalam sel jamur dan juga mengakibatkan terjadinya kebocoran pada substansia intraseluler yang penting bagi pertumbuhan sel jamur (Tian et al, 2012)

2.4 EKSTRAKSI

Ekstraksi merupakan proses pemisahan zat berkhasiat atau zat aktif yang terdapat dalam suatu bahan alam menggunakan pelarut dan metode yang sesuai, sehingga diperoleh ekstrak (Dirjen POM, 2000). Tujuan ekstraksi bahan alam adalah menarik komponen kimia yang terdapat di dalamnya. Ekstraksi didasarkan pada perpindahan massa komponen ke dalam pelarut yang dipengaruhi oleh kelarutan komponen di dalam pelarut. Proses perpindahan massa komponen

dimulai dari lapisan antar muka kemudian berdifusi ke dalam pelarut (Emilan, et al., 2011).

(31)

Etanol merupakan pelarut yang banyak digunakan untuk ekstraksi karena selain selektif dan tidak beracun, juga dapat mencegah pertumbuhan kapang dan kuman pada konsentrasi di atas 20%, dapat bercampur dengan air serta mudah diuapkan.

Etanol mampu melarutkan berbagai senyawa antara lain alkaloid, minyak atsiri, glikosida, kurkumin, kumarin, antrakinon, flavonoid, steroid, klorofil serta sedikit lemak dan tanin (Taroreh et al, 2015).

Pembuatan serbuk simplisia merupakan proses awal pembuatan ekstrak. Serbuk simplisia dibuat dari simplisia utuh atau potong-potongan halus simplisia yang sudah dikeringkan melalui prose pembuatan serbuk dengan suatu alat tanpa menyebabkan kerusakan atau kehilangan kandungan kimia yang dibutuhkan dan

diayak hingga diperoleh serbuk dengan derajat kehalusan tertentu (Farmakope, 2016).

Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan (Istiqomah, 2013).

Berdasarkan sifatnya, ekstrak dikelompokkan menjadi beberapa, yaitu :

1. Ekstrak encer adalah sediaan yang memiliki konsistensi semacam madu dan dapat dituang.

2. Ekstrak kental adalah sediaan yang dilihat dalam keadaan dingin dan tidak dapat dituang. Kandungan airnya berjumlah sampai 30%. Tingginya kandungan air menyebabkan ketidakstabilan sediaan obat oleh karena cemaran jamur.

3. Ekstrak kering adalah sediaan yang memiliki konsistensi kering dan mudah dituang, sebaiknya memiliki kandungan lembab tidak lebih dari 5%.

4. Ekstrak cair adalah ekstrak yang dibuat dengan sedemikiannya sehingga 1 bagian simplisia sesuai dengan 2 bagian ekstrak cair (Voight, 1995).

2.4.1 Prinsip Ekstraksi

Pada prinsipnya ekstraksi adalah melarutkan dan menarik senyawa dengan menggunakan pelarut yang tepat. Ada tiga tahapan proses pada waktu ekstraksi yaitu:

1. Penetrasi pelarut ke dalam sel tanaman dan pengembangan sel

(32)

2. Disolusi pelarut ke dalam sel tanaman dan pengembangan sel 3. Difusi bahan yang terekstraksi ke luar sel

Proses diatas diharapkan terjadinya kesetimbangan antara larutan dan pelarut.

Kecepatan untuk mencapai kesetimbangan umumnya tergantung pada suhu, pH, ukuran partikel dan gerakan partikel. Prinsip yang utama adalah yang berkaitan dengan kelarutan, yaitu senyawa polar lebih mudah larut dalam pelarut polar dan senyawa non polar akan mudah larut dalam pelarut non polar (Emilan et al., 2011).

2.4.2 Metode Ekstraksi

Berdasarkan energi yang digunakan, cara melakukan ekstraksi terbagi menjadi ekstraksi cara panas dan ekstraksi cara dingin. Ekstraksi cara panas antara lain refluks, sokhlet, destilasi, infus, dekok. Sedangkan ekstraksi cara dingin antara lain pengocokan, maserasi, perkolasi (Emilan et al., 2011)

2.4.2.1 Metode ekstraksi cara dingin

Terdapat sejumlah metode ekstraksi, yang paling sederhana adalah ekstraksi dingin, dengan cara ini bahan kering hasil gilingan diekstraksi pada suhu kamar secara berturut-turut dengan pelarut yang kepolarannya semakin tinggi.

Keuntungan ekstraksi cara ini adalah metodenya mudah karena ekstrak tidak dipanaskan sehingga memperkecil terjadinya kerusakan pada senyawa termolabil yang terdapat pada sampel (Istiqomah, 2013).

Beberapa metode ekstraksi cara dingin, yaitu:

a. Maserasi atau dispersi

Menurut Depkes RI tahun 2000 dalam (Istiqomah, 2013), maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan. Maserasi bertujuan untuk menarik zat-zat berkhasiat yang tahan pemanasan maupun yang tidak tahan pemanasan. Secara teknologi, maserasi termasuk ekstraksi dengan prinsip metode pencapaian konsentrasi pada keseimbangan. Maserasi dilakukan dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan.

(33)

Maserasi berasal dari bahasa latin Macerace berarti mengairi dan melunakkan.

Maserasi merupakan cara ekstraksi paling sederhana. Dasar dari maserasi adalah melarutnya bahan kandungan simplisia dari sel yang rusak, yang terbentuk pada saat penghalusan, ekstraksi (difusi) bahan kandungan dari sel yang masih utuh.

Setelah selesai waktu maserasi, artinya keseimbangan antara bahan yang diekstraksi pada bagian dalam sel dengan masuk ke dalam cairan telah tercapai, maka proses difusi segera berakhir. Selama maserasi atau proses perendaman dilakukan pengocokan berulang-ulang. Upaya ini menjamin keseimbangan konsentrasi bahan ekstraksi yang lebih cepat di dalam cairan. Sedangkan keadaan diam selama maserasi menyebabkan turunnya perpindahan bahan aktif. Secara teoritis pada suatu maserasi tidak memungkinkan terjadinya ekstraksi absolut.

Semakin besar perbandingan simplisia terhadap cairan pengekstraksi, akan semakin banyak hasil yang diperoleh (Voigh, 1995).

Metode maserasi adalah metode sederhana untuk mendapatkan ekstrak.

Pemilihan pelarut etanol karena merupakan pelarut untuk memperoleh ekstrak, bersifat inert, banyak digunakan untuk mengekstraksi bahan aktif sehingga tidak bereaksi dengan komponen lainnya dan aman untuk dikonsumsi manusia (Agoes, 2007). Suatu senyawa fenol dengan gugus hidroksil yang memiliki sifat polar, sehingga untuk mengekstrak senyawa fenol dipilih pelarut polar. Pelarut etanol 70% merupakan pelarut polar, sehingga tepat digunakan untuk mengekstrak senyawa fenolik (Robinson, 2005)

Kerugiannya adalah pengerjaannya lama dan penyaringan kurang sempurna.

Secara teknologi termasuk ekstraksi dengan prinsip metode pencapaian konsentrasi pada keseimbangan. Maserasi kinetik berarti dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama dan seterusnya (Depkes RI, 2000).

b. Perkolasi

Istilah perkolasi berasal dari kata percolare, artinya penetesan. Perkolasi merupakan metode ekstraksi yang dilakukan dengan penetesan cairan pelarut dalam wadah silinder atau kerucut yang disebut perkolator yang memiliki jalan masuk dan keluar (Pratiwi, 2010).

(34)

Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru dan sempurna (Exhaustiva extraction) yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Prinsip perkolasi adalah dengan menempatkan serbuk simplisia pada suatu bejana silinder yang bagian bawahnya diberi sekat berpori. Proses terdiri dari tahap pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak) kemudian terus menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat) yang jumlahnya 1-5 kali bahan (Depkes RI, 2000).

Prosedur metode ini, yaitu bahan direndam dengan pelarut kemudian pelarut baru dialirkan secara terus-menerus sampai warna pelarut tidak lagi berwarna atau tetap bening yang artinya sudah tidak ada lagi senyawa yang terlarut. Kelebihan dari metode ini adalah tidak diperlukan proses tambahan untuk memisahkan padatan dengan ekstrak, sedangkan kelemahan metode ini adalah jumlah pelarut yang dibutuhkan cukup banyak dan proses juga memerlukan waktu yang cukup

lama serta tidak meratanya kontak antara padatan dengan pelarut (Chandra dan Novalia, 2014).

2.4.2.2 Metode ekstraksi cara panas

Kelebihan ekstraksi cara panas lebih cepat untuk mendapatkan senyawa yang diinginkan karena panas akan memperbesar kelarutan suatu senyawa. Sedangkan untuk ekstraksi cara dingin dikhususkan untuk senyawa yang tidak tahan terhadap pemanasan (Emilan et al., 2011).

Kelemahan ekstraksi cara panas terkadang akan terbentuk suatu senyawa baru akibat peningkatan suhu menjadi senyawa yang berbeda. Maka daripada itu untuk senyawa yang diperkirakan tidak stabil maka digunakanlah ekstraksi cara dingin (Emilan et al., 2011).

Beberapa metode ekstraksi cara panas, yaitu:

a. Refluks

Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses pada residu pertama sampai 3-5 kali sehingga dapat termasuk proses ekstraksi sempurna.

(35)

b. Sokletasi

Sokletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Biomassa ditempatkan dalam wadah soklet yang dibuat dengan kertas saring, melalui alat ini pelarut akan terus direfluks. Alat soklet akan mengosongkan isinya ke dalam labu dasar bulat setelah pelarut mencapai kadar tertentu. Setelah pelarut segar melewati alat ini akan melalui pendingin refluks, ekstraksi berlangsung sangat efisien dan senyawa dari biomassa secara efektif ditarik ke dalam pelarut karena konsentrasi awalnya rendah dalam pelarut .

c. Digesti

Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada temperatur ruangan (kamar), yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40-50°C.

d. Infus

Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air (bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur 96-98°C selama waktu tertentu (15-20 menit).

e. Dekok

Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama (suhu lebih dari 30°C) dan temperatur sampai titik didih air (Depkes RI, 2000).

2.5 PENGUKURAN AKTIVITAS ANTIJAMUR

Penentuan kepekaan patogen terhadap antimikroba dapat dilakukan dengan salah satu dari dua metode dasar, yaitu difusi dan dilusi. Metode standar sangat penting digunakan untuk mengendalikan semua faktor yang mempengaruhi aktivitas antimikroba (Brooks et al., 2020).

2.5.1 Metode Difusi

Metode difusi merupakan metode kuantitatif yang dapat digunakan untuk mengukur zona hambat pertumbuhan jamur terhadap suatu antijamur. Metode ini

(36)

merupakan metode yang paling sering digunakan karena mudah, tidak mahal dan pengukurannya tidak sulit (Brooks et al., 2020). Metode difusi menggunakan cakram kertas saring yang mengandung sejumlah tertentu obat yang diletakkan di permukaan media padat yang sebelumnya telah diinokulasi dengan jamur yang ingin diuji. Setelah inkubasi, diameter zona hambatan sekitar cakram digunakan sebagai suatu ukuran daya hambat obat terhadap organisme uji. Metode ini dipengaruhi beberapa faktor fisik dan kimia di samping faktor interaksi obat dan organisme uji (misalnya sifat medium dan kemampuan difusi, ukuran molekul, dan stabilitas obat). Walaupun demikian, standarisasi faktor-faktor tersebut dapat menentukan kepekaan organisme tersebut (Pradani, 2012).

Metode difusi dengan cakram didasarkan pada proses difusi senyawa dari disk yang berisi obat ke lempeng agar. Ketika antimikroba diletakkan pada lubang sumuran atau disk pada lempeng agar, obat mulai berdifusi dengan segera. Tes menggunakan cakram memiliki sejarah yang panjang, dan telah dikembangkan salah satunya dengan metode sumuran. Cara yang bervariasi menyebabkan metode ini menjadi populer, di samping harganya yang lebih murah dibanding metode lain.

Hal ini menimbulkan berbagai variasi di seluruh dunia. Dengan metode difusi dapat ditentukan zona hambat namun tidak dapat menentukan KHM dan KBM (Lorian, 2005).

Metode ini memiliki beberapa modifikasi, yaitu:

a. Cara Kirby Bauer

Cara ini dilakukan dengan melakukan coretan inokulum standar organismenya pada permukaan medium Sabouraud dextrose agar (SDA) dalam lempeng gelas (patri disk), kemudian cakram antijamur yang terimpregnasi dengan agen antijamur ditempelkan pada permukaannya dan diinkubasi dengan suhu 35-37°C selama 24 jam. Setelah itu, dilakukan pengukuran diameter zona hambat pertumbuhan jamur di sekitar cakram antijamur. Diameter zona hambat diukur menggunakan mistar.

Jarak kertas saring antara satu dengan yang lainnya sebesar 3 cm dari tepi media sebesar 2 cm. Skema peletakan kertas saring dapat dilihat pada Gambar 2.8 (Waluyo, 2007).

(37)

b. Cara Sumuran

Mirip dengan cara Kirby Bauer. Perbedaannya adalah fungsi cakram antijamur digantikan dengan sumuran yang diisi dengan larutan antijamur yang terimpregnasi dengan agen antijamur. Kemudian diinkubasi dengan suhu 35-37°C selama 24 jam.

Setelah itu, dilakukan pengukuran diameter zona hambat pertumbuhan jamur di sekitar sumuran. Hasil penelitian Prayoga (2013) menunjukan bahwa rata-rata aktivitas mikroba dengan metode difusi Kirby Bauer lebih rendah dibandingkan dengan metode sumuran, oleh karena itu menggunakan metode sumuran lebih baik dibandingkan dengan metode difusi.

c. Cara Pour Plate

Metode ini tidak dilakukan coretan, tetapi dengan mencampurkan bahan kuman dengan agar base 1,5% pada suhu 50°C sampai homogen kemudian dituangkan pada media Sabouraud dextrose agar (SDA). Setelah membeku, diletakkan cakram antibiotik di permukaannya lalu diinkubasi pada suhu 35-37°C selama 15-20 jam.

Kemudian dilakukan pengukuran diameter zona hambat pertumbuhan jamur di sekitar cakram antijamur (Pradani, 2012).

Metode cakram dilakukan dengan menggunakan kertas cakram berdiameter 7 mm dan media agar yang sudah disterilkan sebagai media pertumbuhan jamur.

Jamur diinokulasikan pada cawan petri (petri dish) yang telah diisi media agar.

Selanjutnya kertas cakram dicelupkan pada fraksi ekstrak jernang kemudian ditempelkan pada media agar. Setelah diinkubasi selama 48 jam maka diukur diameter zona hambat yaitu daerah yang tidak terserang jamur dengan menggunakan jangka sorong (Gambar 2.8). Pengujian aktivitas ini dilakukan dengan dua kali ulangan. Zona hambat merupakan rata-rata hasil dua kali pengukuran diameter zona hambat aktivitas jamur (Kartono dan Pasaribu, 2015).

Pengukuran diameter zona hambat dilakukan dengan menggunakan jangka sorong untuk menentukan kekuatan daya hambat ekstrak terhadap pertumbuhan jamur Candida albicans. Penentuan kategori respon hambatan pertumbuhan dapat dilihat pada Tabel 2.3 (Ardiansyah, 2005). Menurut Davis dan Stout (1971), kriteria kekuatan daya antijamur dapat dilihat pada Tabel 2.4.

(38)

Gambar 2.8 Peletakkan kertas saring pada media uji, (A) kertas cakram; (B) cawan petri Sumber: Koleksi Pribadi (Waluyo, 2007).

Tabel 2.3 Klasifikasi respon hambatan pertumbuhan jamur menurut Ardiansyah (2005)

Diameter Zona Bening Respon Hambatan Pertumbuhan

> 2 cm Sangat Kuat

1,6 – 2 cm Kuat

1 – 1,5 cm Sedang

< 1 cm Lemah

Tabel 2.4 Klasifikasi respon hambatan pertumbuhan jamur menurut David dan Stout (1971)

Diameter Zona Bening Respon Hambatan Pertumbuhan

> 20 mm Sangat Kuat

10 – 20 mm Kuat

5– 10 mm Sedang

< 5 mm Lemah

(39)

2.5.2 Metode Dilusi

Metode ini menggunakan antimikroba dengan kadar yang menurun secara bertahap, baik dalam media cair ataupun media padat. Media kemudian diinokulasikan dengan jamur yang akan diuji dan diinkubasi. Pada tahap akhir dilarutkan zat antimikroba dengan kadar yang menghambat atau mematikan jamur yang diuji. Uji kepekaan dengan cara dilusi agar cukup memakan waktu dan penggunaannya dibatasi pada keadaan tertentu saja (Brooks et al., 2020).

Terdapat dua macam metode dilusi yaitu dilusi padat dan dilusi cair. Kedua metode ini memiliki prinsip yang sama, yang membedakan hanyalah media yang digunakan. Penentuan KHM pada metode dilusi padat ditetapkan dari larutan uji dengan kadar terkecil yang terlihat jernih tanpa adanya pertumbuhan mikroba uji.

Konsentrasi larutan uji yang telah ditetapkan sebagai KHM dikultur ulang pada media baru dan diinkubasi selama 18-24 jam, jika media tersebut tidak terdapat pertumbuhan mikroba setelah inkubasi maka ditetapkan sebagai KBM (Pratiwi, 2008).

a. Dilusi Broth (Dilusi Cair)

Pada metode ini, penentuan Kadar Hambat Minimal (KHM) dengan dilusi broth berbagai konsentrasi agen antijamur diinokulasikan dengan suspensi standar jamur uji (suspensi McFarland). Setelah diinkubasi semalam dengan suhu 35°C, KHM ditentukan dengan mengamati konsentrasi terendah dari agen yang dapat menghambat pertumbuhan jamur uji secara visual. Uji KHM yang lengkap terdiri dari 1-3 konsentrasi agen antijamur yang kemudian menunjukkan rentang kemampuan terapi agen antijamur yang diuji.

b. Dilusi Agar ( Dilusi Padat)

Pada teknik ini berbagai konsentrasi agen antijamur diletakkan pada Sabouraud dextrose agar. Berbagai konsentrasi ini diinokulasikan dengan sebuah inokulum organisme uji yang setara dengan larutan McFarland. Inokulasi dilakukan dengan alat replikasi inokulum (replikator). Plate diinkubasi semalam pada suhu 35°C dan dibaca dengan menentukan konsentrasi agen antijamur terendah yang menghambat pertumbuhan jamur secara visual.

(40)

2.5.3 Metode Penanaman Jamur

Pada penanaman jamur perlu diperhatikan kebutuhan nutrisi untuk jamur tersebut sehingga dapat tumbuh dengan baik. Isolasi jamur atau teknik untuk menanam jamur adalah sebagai berikut:

a. Spread plate method (cara tebar/sebar)

Teknik spread plate merupakan teknik isolasi mikroba dengan cara menginokulasi kultur mikroba dengan cara dipulas atau disebar pada permukaan media agar padat. Metode ini dilakukan dengan mengencerkan biakan kultur mikroba.

b. Streak plate method (cara gores)

Teknik isolasi koloni jamur dengan cara ini dilakukan dengan cara menggoreskan suspensi bahan yang mengandung jamur pada permukaan media agar padat.

c. Pour plate method (cara tabur)

Teknik ini dilakukan menginokulasi medium agar yang sedang mencair pada temperatur 45-50oC dengan suspensi bahan yang mengandung jamur, dan menuangkannya ke dalam cawan petri steril.

(41)

2.6 KERANGKA TEORI

Gambar 2.9 Kerangka Teori

2.7 KERANGKA KONSEP

Berdasarkan kerangka teori yang dibuat, maka kerangka konsep penelitian adalah sebagai berikut:

Variabel Independen Variabel Dependen

Gambar 2.10 Kerangka Konsep Ekstrak Kulit Durian

Flavonoid Terpenoid

Alkaloid

Merusak Sitoplasma sel Merusak

dinding sel Merusak

membrane sel

Ekstrak kulit durian (Durio zibethinus) dengan konsentrasi 50%, 25%, 12,5%

dan 6,25%

1. Diameter zona hambat pertumbuhan jamur Candida albicans

2. Nilai KHM dan KBM ekstrak kulit buah durian terhadap pertumbuhan jamur Candida albicans

Menghambat pertumbuhan Candida albicans Saponin Tanin

Kuinon n

Hambat sintesis asam nukleat

Referensi

Dokumen terkait

The coupled pyruvate kinase and lactate dehydrogenase reaction is made especially complicated by these LDH initial effects and by the spontaneous NADH decomposition reaction,

Stanton adalah suatu sistem keseluruhan dari kegiatan-kegiatan bisnis yang ditujukan untuk merencanakan, menentukan harga, mempromosikan, dan mendistribusikan barang

Wawancara adalah suatu metode yang dipergunakan untuk mengumpulkan data, dimana peneliti mendapatkan keterangan atau informasi secara lisan dari seseorang sasaran

Dengan melihat ayat-ayat diatas maka dapat disimpulkan bahwa hakekat ilmu hukum yang berketuhanan ( Islam ) adalah ilmu hukum yang menerapkan prinsip- prinsip keadilan

1) Tesis Ijazah Doktor Falsafah karya Mahmood Zuhdi bin Abdul Majid dari Akademi Pengajian Islam Universiti Malaya (APIUM) tahun 1993. Tajuk tesis ialah; “Bidang kuasa

Jumlah Saham yang ditawarkan 412.981.464 Saham Biasa Atas Nama dengan Nilai Nominal Rp.

Proaktif dari aparatur yang ada di kecamatan ini akan dapat dilihat dari pertama sikap aparatur yang selalu sigap dan bertanggung jawab terhadap tugasnya dalam memberikan

Akta Pengangkutan Jalan, 1987 (Akta 333) dan Akta Pengangkutan Awam Darat, 2010 (Akta 715) tidak menyentuh keperluan-keperluan dari sudut kategori, lokasi dan jarak,