• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I. PENDAHULUAN

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Sebagai bahan pertimbangan bagi pengambil keputusan, terutama yang berkaitan dengan kebijakan pengembangan sektor ekonomi kreatif.

2. Sebagai tambahan literatur ilmiah mengenai perkembangan sektor ekonomi kreatif.

3. Sebagai referensi bagi penelitian selanjutnya mengenai analisis perkembangan sektor ekonomi kreatif, potensi dan faktor-faktor yang memengaruhi perkembangannya.

10 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

1. Pembangunan Ekonomi Daerah

Daerah merupakan kesatuan geografis dan segenap unsur yang terkait di dalamnya, dimana batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek fungsionalitasnya. Perencanaan pembangunan ekonomi daerah dilakukan untuk memperbaiki tata cara dalam memanfaatkan berbagai sumber daya milik bersama yang tersedia di suatu daerah tersebut dan untuk mengoptimalkan peran sektor swasta dalam penciptaan nilai tambah ekonomi secara bertanggung jawab. Melalui perencanaan pembangunan ekonomi daerah, suatu daerah dilihat secara keseluruhan sebagai suatu unit ekonomi (economic entity) yang di dalamnya terdapat berbagai unsur yang berinteraksi satu sama lain (Kuncoro, 2004:46; dalam Bachtiar).

Pembangunan ekonomi selain dilihat dari segi sektoralnya juga dilihat dari segi perwilayahnya. Pembangunan ekonomi daerah merupakan suatu proses dengan pola kemitraan antara pemerintah daerah, masyarakat, dan pihak swasta untuk mengelola semua sumber daya yang tersedia, sehingga mampu mencapai tujuan pembangunan, seperti terciptanya lapangan kerja baru dan mendorong tumbuhnya perekonomian di suatu daerah tersebut. Selain itu, dalam pelaksanaannya, perlu diperhatikan juga aspek ruang (space) atau lokasi, sehingga selain dapat mencapai pertumbuhan ekonomi yang optimal, tetapi juga disertai adanya dampak yang merata (Arsyad, 1999:108; dalam Astiartie, 2010).

Menurut Blakely (1989), terdapat 6 tahap dalam proses perencanaan pembangunan ekonomi di suatu daerah: (1) mengumpulkan dan menganalisis data; (2) menentukan strategi pembangunan daerah; (3) memilih proyek-proyek pembangunan; (4) membuat rencana tindakan; (5) merumuskan rincian proyek;

dan (6) mempersiapkan perencanaan secara keseluruhan dan juga tahap implementasinya (Kuncoro, 2004:49; dalam Bachtiar).

Masalah pokok dalam pembangunan daerah terletak pada penekanan terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan yang didasarkan pada kekhasan daerah yang bersangkutan (endogenous development) dengan menggunakan

11 sumber daya manusia, kelembagaan, dan sumber fisik secara lokal. Secara umum, tujuan pembangunan ekonomi daerah adalah sebagai berikut. Pertama, menciptakan lapangan kerja bagi penduduk yang ada sekarang, ketimbang menarik para pekerja baru. Kedua, mencapai pertumbuhan dan stabilitas ekonomi daerah. Pembangunan ekonomi akan berhasil jika mampu menyediakan fasilitas bagi dunia usaha, seperti ketersediaan lahan, bantuan modal usaha, infrastruktur yang memadai, dan sebagainya. Ketiga, mengembangkan sektor-sektor basis ekonomi. Hal ini penting untuk mengatisipasi adanya kemungkinan fluktuasi ekonomi secara sektoral, yang dapat memengaruhi kesempatan kerja bagi masyarakat (Arsyad, 1999:122, dalam Astiartie, 2010).

Dalam proses pembangunan daerah, diperlukan usaha untuk memperluas/

ekspansi dalam aktivitas ekonomi daerah dan juga stabilitasnya, dengan cara memperkuat peranan sektoral dan memodernkan seluruh aktivitas ekonomi.

Tujuannya adalah untuk menjaga agar jenis ekspor diperbanyak sehingga dapat mengurangi goncangan yang ditimbulkan oleh perubahan-perubahan yang terjadi di luar daerah terhadap perekonomian di dalam daerah tersebut, terutama faktor-faktor yang dapat memengaruhi kinerja ekspor. Dengan adanya perkembangan perekonomian daerah tersebut, maka efek multiplier yang diciptakan oleh sektor ekspor akan bertambah besar. Hal ini berarti, pertambahan pendapatan yang diakibatkan oleh pertambahan ekspor akan menjadi lebih besar pula. Selain itu, untuk memperbesar efek multiplier sektor ekspor adalah dengan memperbesar partisipasi dari modal daerah tersebut dalam pengembangan sektor ekspor, karena hal itu dapat mengurangi pengaliran pendapatan dan keuntungan ke luar daerah, dan pada akhirnya akan memperbesar pendapatan masyarakat daerah tersebut (Sukirno, 1976: 147, dalam Astiartie, 2010).

2. Daya Saing Daerah

Kebijakan pembangunan daerah pada akhirnya diharapkan agar dapat meningkatkan daya saing daerahnya. Umumnya, daerah-daerah yang memiliki sumber daya alam bawaan (resources endowment) yang berlimpah, cenderung menerapkan teori keunggulan komparatif dengan pendekatan Ricardian (1817),

12 yang menekankan pada spesialisasi daerah dalam memproduksi barang dan jasa yang memiliki produktivitas dan efisiensi tinggi (Tsoulfidis, 2010; dalam Soebagyo et.al, 2013).

Porter (1995) mengartikan daya saing sebagai kemampuan usaha perusahaan di suatu industri dalam menghadapi berbagai lingkungan. Biasanya keunggulan bersaing suatu perusahaan ditentukan dan sangat tergantung pada sumber daya relatif yang dimilikinya. Konsep keunggulan sumber daya relatif (kompetitif) adalah suatu cara yang dilakukan oleh perusahaan untuk memperkuat posisinya dalam menghadapi pesaing dan mampu menunjukkan keunikannya. Suatu daerah sangat perlu memerhatikan daya saing daerahnya agar dapat mendorong produktivitas, sehingga daerahnya bisa mandiri, mampu meningkatkan kapasitas dan pertumbuhan ekonomi, serta tingkat efisiensi tercipta melalui mekanisme pasar (dalam Qomaruzzaman dan Ratih).

Daya saing daerah (dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No. 54 Tahun 2010) adalah kemampuan suatu daerah dalam mencapai pertumbuhan tingkat kesejahteraan yang tinggi dan berkelanjutan dengan tetap terbuka pada persaingan dengan provinsi dan kabupaten/ kota lainnya yang berdekatan, nasional atau internasional, dalam hal kemampuan ekonomi daerah, fasilitas wilayah atau infrastruktur, iklim berinvestasi dan sumber daya manusia. PPSK Bank Indonesia dan LP3E Universitas Padjadjaran Bandung (2008) telah melakukan kajian pengukuran indeks daya saing daerah terhadap 434 kabupaten/ kota di Indonesia dengan menggunakan kerangka piramida, yang terdiri dari interaksi antara faktor input-output-outcome. Hasil pemetaan tersebut telah menghasilkan posisi dan peringkat daya saing masing-masing kabupaten/ kota. Sementara itu, neraca daya saing daerah menggambarkan faktor-faktor yang menjadi keunggulan dan keterbatasan daya saing masing-masing daerah dalam meningkatkan daya saing daerahnya. Hasil pemetaan daya saing daerah secara keseluruhan menunjukkan bahwa daerah yang memiliki daya saing tinggi secara umum didominasi oleh kabupaten/ kota yang memiliki basis ekonomi bersumber pada kekayaan sumber daya alam dan/atau daerah-daerah yang memiliki aktivitas ekonomi berbasis sektor industri dan sektor jasa. Sedangkan daerah kabupaten/ kota yang memiliki daya

13 saing daerah terendah, umumnya daerah dengan basis ekonomi sektor primer, khususnya pertanian.

Faktor-faktor utama pembentuk daya saing daerah terdiri dari 5 indikator utama, yaitu (1) lingkungan usaha yang produktif; (2) kondisi perekonomian daerah; (3) ketenagakerjaan dan sumberdaya manusia; (4) infrastruktur, sumberdaya alam dan lingkungan, dan; (5) perbankan dan lembaga keuangan (PPSK-Bank Indonesia dan LP3E Unpad, 2008).

3. Teori Basis Ekonomi

Teori basis ini didasari oleh pemikiran Jhon Stuart Mill yaitu bahwa dalam memecahkan masalah pertumbuhan dan pemerataan regional diisyaratkan adanya perdagangan antar daerah, dengan mewujudkan spesialisasi daerah (dalam Sutikno dan Maryunani, 2007). Dasar pemikiran teori basis ekonomi menurut Kadariah (1985:70), bahwa industri basis mampu memproduksi barang dan jasa untuk pasar di dalam dan di luar daerah, hasil penjualan keluar daerah tersebut dapat mendatangkan arus pendapatan bagi daerah produsen.

Dengan meningkatnya konsumsi dan investasi di daerah tersebut, maka dapat meningkatkan pendapatan dan lapangan kerja baru. Peningkatan pendapatan itu tidak hanya menarik permintaan pada hasil industri basis, namun juga akan menarik permintaan akan hasil industri lokal non-basis, yang pada akhirnya akan meningkatkan investasi pada industri non-basis. Hal ini berarti, investasi di sektor-sektor lokal merupakan akibat peningkatan pendapatan industri basis.

Oleh karena itu, sektor basis memiliki peran penting dalam menciptakan efek multiplier pada perekonomian agregat. Maka dari itu, sektor-sektor unggulan/

basis sudah sepatutnya lebih diperhatikan dan dikembangkan di setiap daerah (Sutikno dan Maryunani, 2007).

Arsyad (1999:116, dalam Astiartie, 2010) menyatakan bahwa strategi pembangunan yang harus dilakukan adalah dengan memberikan bantuan (aid) untuk dunia usaha yang memiliki daya saing secara domestik maupun internasional. Selain itu, pemerintah harus juga mengurangi hambatan dan memberikan insentif kepada perusahaan yang berorientasi ekspor.

Teknik yang biasanya digunakan dalam menentukan suatu sektor basis dan non-basis adalah Location Quotient (LQ). LQ mampu menghitung tingkat

14 spesialisasi dari sektor basis atau unggulan (leading sectors). Variabel yang digunakan umumnya berupa indikator pertumbuhan wilayah, seperti tenaga kerja dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB).

4. Ekonomi Kreatif

a. Konsep Ekonomi Kreatif

Konsep ‘Ekonomi Kreatif’ dipelopori oleh John Howkins melalui bukunya yang berjudul “Creative Economy: How People Make Money from Ideas” yang ditulis di Inggris pada tahun 2001, dan kemudian istilah tersebut menyebar dan akhirnya dikenal secara global (Bekraf, 2017:4). Ide John Howkins terinspirasi dari pemikiran Robert Lucas yang menyatakan bahwa tingkat produktivitas dan keberadaan orang-orang kreatif dengan skill khusus dan penguasaan ilmu pengetahuan untuk menciptakan inovasi, dapat menjadi penentu tumbuhnya perekonomian di suatu wilayah.

John Howkins dalam bukunya memberikan definisi ekonomi kreatif sebagai ‘the creation of value as a result of idea’ yaitu penciptaan nilai sebagai hasil dari suatu ide. Lebih lanjut, Howkins menjabarkan ekonomi kreatif sebagai aktivitas ekonomi yang menitikberatkan pada ide dan gagasan-gagasan kreatif dalam memanfaatkan sumberdaya yang tersedia lingkungan di sekitarnya menjadi suatu produk unik dan memiliki nilai tambah secara ekonomi. Kemudian, Richard Florida, melanjutkan konsep ekonomi kreatif tersebut dalam kedua buah karya tulisnya yang berjudul

“The Rise of Creative Class” dan “Cities and the Creative Class”

(Saksono, 2012:95).

Departemen Perdagangan R.I. (2007) menafsirkan industri kreatif sebagai ‘industri yang berasal dari pemanfaatan kreativitas, keterampilan serta bakat individu untuk menciptakan kesejahteraan serta lapangan pekerjaan melalui penciptaan dan pemanfaatan daya kreasi dan daya cipta industri’. Howard Gardner menyatakan bahwa tidak hanya bakat yang menjadi faktor utama, namun juga terdapat lima pola pikir yang harus ditanamkan pada masa mendatang (five minds of the future), yaitu (Kemendag, 2008; dalam Sidauruk, 2013):

1) Pola Pikir Disipliner (The Disciplinary Mind)

15 Yaitu pentingnya mengajarkan bidang seni di setiap sekolah/ lembaga pendidikan.

2) Pola Pikir Mensintesakan (The Synthesizing Mind)

Pola pikir sintesa melatih kesadaran untuk berpikir luas dan fleksibel, mau menerima sudut pandang dari multidisiplin.

3) Pola Pikir Kreasi (The Creating Mind)

Dalam konteks desain, proses kreasi diawali dengan mengumpulkan permasalahan yang ada dan mencari solusinya, sehingga di akhir proses, dapat menghasilkan desain-desain baru. Dalam konteks bisnis, perusahaan-perusahaan dituntut untuk lebih proaktif, tidak hanya mengikuti trend, tetapi justru menciptakan trend.

4) Pola Pikir Penghargaan (The Respectful Mind)

Yaitu kesadaran untuk mengapresiasi perbedaan, sehingga dapat menciptakan keharmonisan di dalam lingkungan.

5) Pola Pikir Etis (The Ethical Mind)

Dalam konteks perubahan iklim dunia, nilai-nilai etika terhadap lingkungan dapat mendorong terciptanya produk yang ramah lingkungan, dan menurunkan sikap peniruan/ plagiasi.

Dari sisi sejarah, Antariksa (2012) mengatakan bahwa istilah industri kreatif muncul pada tahun 1990-an di Australia, dengan adanya reformasi radikal di sektor seni dan budaya. Istilah industri kreatif lebih dikenal secara global ketika dikembangkangkan oleh pemerintah Inggris. Pada tahun 1980-an, Inggris mengalami sejumlah persoalan, yaitu tingkat pengangguran yang tinggi, penurunan aktivitas industri dan pengurangan anggaran pemerintah dalam bidang seni. Kemudian diperkenalkanlah konsep ‘culture as an industry’, dimana seni dan budaya tidak lagi di lihat sebagai sektor-sektor yang selalu membutuhkan subsidi melainkan justru didesain untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan kebijakan yang berkaitan dengan pengembangan inovasi (Antariksa, 2012; dalam Leksono, 2013).

Terdapat 3 faktor dalam menggerakkan industri kreatif, Richard Florida menawarkan konsep 3T (Moelyono, 2010; dalam Leksono, 2013):

16 1) Talenta (Talent)

Kemampuan ini bisa menggerakkan perusahaan-perusahaan untuk proaktif, tidak mengikuti trend tetapi menciptakan trend.

2) Toleransi (Tolerance)

Yaitu sikap yang saling menghargai perbedaan dan karya cipta orang lain akan mendorong tumbuh kembangnya kreativitas.

3) Teknologi (Technology)

Teknologi dapat menunjang produktivitas dan bisa mencapai efisiensi.

b. Ruang Lingkup Ekonomi Kreatif

Cakupan atau ruang lingkup ekonomi kreatif berbeda-beda di setiap negara. Berikut perbandingan pembagian subsektor ekonomi kreatif menurut UNESCO, Inggris, dan Indonesia (KBLI) pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1

Perbandingan Cakupan Subsektor Ekonomi Kreatif

UNESCO 4. Seni Pertunjukan 4. Seni Pertunjukan 4. Seni Pertunjukan 4. Seni Pertunjukan 5. Sinema & Fotografi 5. Film & Video 5. Film, Video, &

Sumber: DCMS, FCS, KBLI 2006 (Saksono, 2012) dan KBLI 2015 (BPS & Bekraf).

17 Ruang lingkup ekonomi kreatif yang digunakan Indonesia pada saat ini menggunakan KBLI (Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia) tahun 2015, dimana terdapat 16 subsektor yang termasuk dalam ekonomi kreatif, dengan penjelasan sebagai berikut (KBLI, Bekraf, 2017).

1) Arsitektur

Dalam konteks pembangunan ekonomi kreatif, arsitektur didefinisikan sebagai: “Wujud hasil penerapan pengetahuan, ilmu, teknologi, dan seni secara utuh dalam menggubah lingkungan binaan dan ruang, sebagai bahan dari kebudayaan dan peradaban manusia sehingga dapat menyatu dengan keseluruhan lingkungan ruang”. Dalam perkembangannya, keilmuan arsitektur terkait dengan keilmuan lainnya seperti: Teknik Sipil, Desain Interior, Teknik Layangan Bangunan (Mechanical, Electrical, and Plumbing/ MEP), Arsitektur Lanskap, Teknik Iluminasi, Teknik Akustik, Teknik Fasad, Spesialis Bangunan, dan Experiental Graphic Design.

2) Desain Interior

Desain interior diartikan sebagai “kegiatan yang memecahkan masalah fungsi dan kualitas interior, menyediakan layanan terkait ruang interior untuk meningkatkan kualitas hidup dan memenuhi aspek kesehatan, keamanan, dan kenyamanan publik” (International Federation of Interior Architects/ Designers General Assemby Document). Desain interior memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan subsektor ekraf yang pertama, yaitu arsitektur, namun desain interior menjadi fokus dalam ruang lingkup subsektor desain.

Klasifikasi pelaku dalam aktivitas desain interior meliputi: Interior Designer, Interior Architect, Interior Decorator, Furniture Designer, Home Décor Designer, Interior Lighting Designer, Interior Art Program Designer, Exhibition Display Designer, Interior Acoustic Designer, Interior Space Programmer, dan Exhibition Designer.

3) Desain Komunikasi Visual

Desain komunikasi visual adalah seni menyampaikan pesan (arts of commmunication) dengan menggunakan bahasa rupa (visual language)

18 yang disampaikan melalui media berupa desain yang bertujuan menginformasikan, memengaruhi hingga merubah perilaku target audience sesuai dengan tujuan yang ingin diwujudkan. Sedangkan bahasa rupa yang dipakai berbentuk grafis, tanda, simbol, ilustrasi gambar/ foto, dan tipografi.

Adapun contoh pelaku dari kegiatan desain komunikasi visual, misalnya: Desainer Grafis, Ilustrator, Kartunis, Desainer Karakter, Desainer Pra Produksi, Desainer Pasca Produksi, Animator, Desainer Ekshibisi, Digital Artist, Desainer Iklan, Branding Designer, Branding Consultant, Environmental Graphic Designer, Desainer Grafis untuk Hotel dan Restoran, Desainer Grafis untuk Mall dan Pusat Keramaian, Desainer Huruf, Public Signage System Designer, Digital Signage Designer, dan Computer Graphic Interactive Designer.

4) Desain Produk

Desain produk merupakan salah satu unsur memajukan industri agar hasil industri produk tersebut dapat diterima oleh masyarakat, karena produk yang mereka dapatkan mempunyai kualitas baik, harga terjangkau, desain yang menarik, mendapatkan jaminan dan sebagainya.

Industrial Design Society of America (IDSA) mendefinisikan desain produk sebagai layanan profesional yang menciptakan dan mengembangkan konsep dan spesifikasi yang mengoptimalkan fungsi, nilai, dan penampilan suatu produk dan sistem untuk keuntungan pengguna maupun pabrik.

Aktivitas dalam subsektor desain produk antara lain: Desainer Furnitur, Desainer Perkakas, Desiner Mainan, Designer Produk Elektronik, Desainer Transportasi, Desainer Peralatan Militer, Desainer Lingkungan, Desainer Peralatan Medis, Desainer Furnitur Rumah Sakit, Desainer Jam, Desainer Perlengkapan dan Instrumen, Desainer Kemasan, Desainer Sepeda, Desainer Peralatan Dapur, Desainer Tableware, Desainer Perlengkapan Bayi, dll.

5) Film, Animasi, dan Video a) Film

19 Film diartikan sebagai “Karya seni gambar bergerak yang memuat berbagai ide atau gagasan dalam bentuk audio visual, serta dalam proses pembuatannya menggunakan kaidah-kaidah sinematografi”. Ruang lingkup film dapat ditinjau berdasarkan enam aspek utama sebagai berikut:

 Teknologi media perekaman film yang mencakup evolusi film dari media rekam berbasis pita seluloid sampai ditemukannya teknologi video analog sebelum memasuki era video digital seperti yang digunakan saat ini.

 Media pertunjukan film atau ekshibisi mencakup pemutaran film komersial di bioskop, lembaga kebudayaan, festival film, dan layar tancap, televisi, home video, serta jaringan internet yang dewasa ini berkembang dalam pasar ekshibisi film.

 Narasi yang termuat dalam film yang mencakup aspek cerita yang bersifat rekaan (fiksi) maupun yang bersifat non-fiksi.

 Format atau metode pembuatan film yang mencakup dua metode, yakni membuat film dengan cara merekam (live action recording) dan membuat rangkaian gambar yang berurutan (animation). Saat ini telah umum penggabungan metode antara keduanya.

 Klasifikasi utama genre film, yaitu aksi, petualangan, biopik, komedi, kriminal, drama, keluarga, fantasi, horor, musikal, misteri, roman, fiksi sains, thriller, perang, superhero, dan bersifat kebarat-baratan.

 Durasi film yang terbagi dua, yaitu: film pendek dan film panjang.

b) Animasi

Animasi diartikan sebagai “Tampilan frame ke frame dalam urutan waktu untuk menciptakan ilusi gerakan yang berkelanjutan sehingga tampilan terlihat seolah-olah hidup atau mempunyai nyawa”. Ruang lingkup animasi dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang. Secara teknis pembuatannya, animasi digolongkan dalam:

20 Animasi Tradisional; Animasi Stop-Motion; dan Animasi Komputer. Berdasarkan hasil akhir, animasi dapat dikelompokkan menjadi tiga: Animasi Dua Dimensi; Animasi Tiga Dimensi;

Animasi Stop-Motion. Sementara itu, berdasarkan media penayangannya, animasi bisa juga dibedakan sebagai: Animasi Film Layar Lebar; Animasi Serial Televisi; Animasi Iklan; Animasi Web;

dan Animasi Game.

c) Video

Video diartikan sebagai “Sebuah aktivitas kreatif, berupa eksplorasi dan inovasi dalam cara merekam (capture) atau membuat gambar bergerak, yang ditampilkan melalui media presentasi, yang mampu memberikan karya gambar bergerak alternatif yang berdaya saing, dan memberikan nilai tambah budaya, sosial, dan ekonomi”.

Ruang lingkup video berdasarkan tujuan umumnya dapat dijelaskan sebagai berikut:

 Video Komersial. Contohnya adalah klip musik, iklan, sinetron/

FTV, program televisi, industri film layar lebar, footage (stock shoot), company profile, penelitian, dan pendidikan.

 Video Seni dan Media Baru. Misalnya web series (YouTube, Vimeo, atau Vines), video mapping, video animasi, video fashion show, seni video, video interaktif, dan video intermedia.

 Video Dokumentasi, misalnya biografi, jurnalisme warga, acara pernikahan, seremonial dan sejenisnya.

6) Fotografi

Fotografi merupakan sebuah industri yang mendorong penggunaan kreativitas individu dalam memproduksi citra dari suatu objek foto dengan menggunakan perangkat fotografi, termasuk di dalamnya media perekam cahaya, media penyimpan berkas, serta media yang menampilkan informasi untuk menciptakan kesejahteraan dan juga kesempatan kerja (Ekonomi Kreatif: Kekuatan Baru Indonesia Menuju 2025). Ruang lingkup subsektor fotografi dapat ditinjau dari dua sudut pandang, yaitu:

21 a) Tujuan dari pelaku fotografi yang dikelompokkan menjadi (1) fotografi pendidikan, (2) fotografi amatir, dan (3) fotografi profesional.

b) Genre atau aliran dalam fotografi juga mengelompokkan fotografi ke dalam lima bagian besar, yaitu (1) teknologi kamera atau media perekamnya, (2) berdasarkan objek fotonya, (3) teknik memotret, (4) lokasi atau tempat memotret, dan (5) acara atau peristiwa.

7) Kriya

Kriya (kerajinan) merupakan bagian dari seni rupa terapan yang merupakan titik temu antara seni dan desain yang bersumber dari warisan tradisi atau ide kontemporer yang hasilnya dapat berupa karya seni, produk fungsional, benda hias dan dekoratif, serta dapat dikelompokkan berdasarkan material dan eksplorasi alat teknik yang digunakan, dan juga dari tematik produknya (Ekonomi Kreatif:

Kekuatan Baru Indonesia Menuju 2025). Pengelompokkan subsektor kriya atau kerajinan dapat dijabarkan sebagai berikut:

a) Berdasarkan jenis produknya, maka kerajinan (kriya) dapat dibedakan menjadi art-craft dan craft-design.

 Art-craft (kriya-seni), merupakan bentuk kerajinan yang banyak dipengaruhi oleh prinsip-prinsip seni. Tujuan penciptaannya salah satunya adalah sebagai wujud ekspresi pribadi.

 Craft-design (kriya-desain), merupakan bentuk kerajinan (kriya) yang mengaplikasikan prinsip-prinsip desain dan fungsi dalam proses perancangan dan produksinya, dengan tujuan utamanya adalah pencapaian nilai komersial atau nilai ekonominya.

b) Berdasarkan bentuknya, dapat dibedakan menjadi bentuk dua dan tiga dimensi. Bentuk dua (2) dimensi, misalnya: karya ukir, relief, lukisan; sedangkan bentuk tiga (3) dimensi, misalnya: karya patung dan benda-benda fungsional (seperti keris, mebel, busana adat, perhiasan, mainan, kitchenware, glassware, tableware);

c) Berdasarkan pelaku dan skala produksinya, dapat dibedakan menjadi mass craft, limited edition craft, dan individual craft.

22

 Handycraft/ mass craft adalah kerajinan (kriya) yang diproduksi secara massal. Pelaku dalam kategori ini misalnya perajin (kriyawan) di industri kecil dan menengah (IKM) atau sentra kerajinan;

 Limited Edition Craft adalah kerajinan (kriya) yang diproduksi secara terbatas. Pelaku dalam kategori ini misalnya perajin (kriyawan) yang bekerja di studio/bengkel kerajinan (kriya);

 Individual Craft adalah kerajinan (kriya) yang diproduksi secara satuan (one of a kind). Pelaku dalam kategori ini misalnya:

seniman perajin (artist craftman) di studio.

d) Berdasarkan bahan yang digunakan, meliputi: keramik, kertas, gelas, logam, serat, tekstil kayu dan sebagainya, dan;

e) Berdasarkan teknik yang digunakan meliputi: teknik pahat (ukir), rakit, cetak, pilin, slabing (keramik), tenun, batik (tekstil).

8) Kuliner

Kuliner adalah kegiatan persiapan, pengolahan, penyajian produk makanan dan minuman yang menjadikan unsur kreativitas, estetika, tradisi, dan/ atau kearifan lokal; sebagai elemen terpenting dalam meningkatkan cita rasa dan nilai produk tersebut, untuk menarik daya beli dan memberikan pengalaman bagi konsumen (Ekonomi Kreatif:

Kekuatan Baru Indonesia Menuju 2025). Ruang lingkup subsektor kuliner di Indonesia dibagi ke dalam dua kategori utama, ditinjau dari hasil akhir yang ditawarkan, yaitu jasa kuliner dan barang kuliner. Jasa kuliner (foodservice) yang dimaksud adalah jasa penyediaan makanan dan minuman di luar rumah, yaitu restoran dan jasa boga. Sedangkan barang kuliner yang dimaksud adalah produk pengolahan makanan dan minuman yang pada umumnya berupa produk dalam kemasan–specialty foods. Produk ini berbeda dengan barang olahan makanan dan minuman reguler. Specialty foods memiliki keunikan dibandingkan dengan barang regular. Nilai budaya dan konten lokal suatu daerah dapat menjadi salah satu sumber keunikan barang kuliner jenis ini, seperti oleh-oleh makanan khas suatu daerah.

23 9) Musik

Musik adalah segala jenis usaha dan kegiatan kreatif yang berkaitan dengan pendidikan, kreasi/ komposisi, rekaman, promosi, distribusi, penjualan, dan pertunjukan karya seni musik (Ekonomi Kreatif:

Kekuatan Baru Indonesia Menuju 2025). Ruang lingkup pengembangan industri musik meliputi industri yang dikenal di dunia sebagai industri rekaman, yang terdiri dari dua aktivitas besar, yaitu fragmen artistik dan fragmen industrial.

Kekuatan Baru Indonesia Menuju 2025). Ruang lingkup pengembangan industri musik meliputi industri yang dikenal di dunia sebagai industri rekaman, yang terdiri dari dua aktivitas besar, yaitu fragmen artistik dan fragmen industrial.