• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian ini diharapkan membawa manfaat sebagai berikut:

1. Manfaat Teoretis

a. Hasil penelitian ini diharapkan memberi informasi, pengetahuan, dan pemahaman kepada masyarakat mengenai bentuk wacana kritis dengan menggunakan model Teun A. Van Dijk pada sebuah pertunjukan lakon.

b. Penelitian ini juga diharapkan dapat mendukung penguatan implementasi teori pada sebuah wacana kritis model Teun A. Van Dijk.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi pembaca, yaitu untuk meningkatkan pengetahuan mengenai bentuk wacana kritis dalam lakon komedi televisi “Lapor Pak!” di Trans7 dengan menggunakan model Teun A. Van Dijk.

b. Bagi peneliti, penelitian ini dapat digunakan sebagai bibit pertimbangan dan referensi untuk menambah ide dan gagasan baru yang lebih kreatif dalam kapasitasnya. Selain itu, penelitian ini juga dapat digunakan sebagai bahan pembanding dengan penelitian-penelitian yang telah ada sebelumnya khususnya pada wacana kritis dalam lakon komedi televisi

“Lapor Pak!” di Trans7 dengan menggunakan model Teun A. Van Dijk.

7 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Penelitian Relevan

Sebuah penelitian agar mempunyai orisinilitas perlu adanya tinjauan pustaka. Tinjauan pustaka berfungsi untuk memberikan pemaparan tentang penelitian dan analisis sebelumnya yang telah dilakukan. Tinjauan terhadap hasil penelitian dan analisis sebelumnya ini akan dipaparkan yang berkaitan dengan analisis wacana kritis model Teun A. Van Dijk. Bagian ini akan dipaparkan beberapa hasil penelitian yang telah dipublikasikan beserta mencari celah pembeda untuk penelitian yang akan penulis lakukan.

Vicky Walgunadi dan Rahmawati (2021) dengan judul Analisis Wacana Kritik Sosial dalam Stand Up Comedy Mamat Alkatiri. Hasil penelitiannya menyajikan dua tema kritik sosial, yaitu penyalahgunaan kekuasaan dan rasisme. Stand Up Comedy Mamat Alkatiri juga menyampaikan makna bahwa:

1) Jangan menilai seseorang dari wajahnya saja; 2) Tidak semua masyarakat di Papua seperti yang orang pikirkan; 3) Mengajak anak-anak Papua wujudkan mimpinya dengan karya.

Achmad Zuhri (2020) dengan judul Instagram, Pandemi, dan Peran Influencer (Analisis Wacana Kritis pada Postingan Akun Instagram

@najwashihab dan @jrxsid). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kedua akun tersebut memiliki pandangan yang berbeda dalam memahami fenomena Covid-19. Menggunakan analisis teks, kognisi sosial dan konsep sosial yang dikemukakan oleh Teun Van Dijk, kedua akun ini juga memasukkan

kemampuan kognitif dalam postingannya. Argumen @najwashihab jauh lebih bisa diterima karena sesuai dengan narasi pemerintah, namun argumen @jrxsid lebih kontroversial karena sering berbeda dengan pemerintah. Komunikasi keduanya dilakukan dengan baik, tetapi akun @jrxsid jauh lebih aktif memberikan komentar daripada akun @najwashihab, karena menerima komentar provokatif dari followers-nya. Gaya bahasa yang digunakan oleh

@jrxsid menunjukkan sikap kritis terhadap kebijakan pro-WHO. Kesamaan lain antara kedua akun tersebut dapat ditemukan dalam tanggapannya terhadap kepedulian terhadap orang yang terkena dampak COVID-19. Kedua akun tersebut kreatif dan bertanggung jawab secara sosial untuk menyajikan konten dalam gaya visual yang menarik.

Silmi Alfaritsi, dkk. (2020) dengan judul Analisis Wacana Kritis Berita

‘Tentang Social Distance, Cara Pemerintah Cegah Penyebaran Virus Corona’

Di Detik.com. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pembuatan teks topik

“Tentang Social Distance, Cara Pemerintah Cegah Penyebaran Virus Corona”

di detik.com memiliki topik yang cenderung mengunggulkan istilah social distance. Alur dan gaya berita dilakukan untuk mendukung tema. Ideologi yang terkandung dalam produksi teks tersebut merupakan alat pemerintah untuk membangun komunitas dalam upaya penanganan pandemi virus corona dan sebagai layanan publik untuk memberikan edukasi tentang virus corona.

Kemudian ada dampak terkait konteks pelaporan sosial. Kemungkinan dampak seperti pro dan kontra dari social distance, resesi ekonomi, perubahan perilaku

sosial yang drastis, perubahan sistem belajar mengajar di bidang pendidikan, dan terganggunya kegiatan upacara keagamaan.

Nurhamidah, dkk. (2020) dengan judul Analisis Wacana Kritis pada Stand Up Comedy Indonesia. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa Abdur menggunakan retorika epideiktik sebagai satu kesatuan dalam struktur teks (joke map), terdiri dari 13 sub-goal, masing-masing terdiri dari 3 tahapan, yaitu:

premise, set-up dan punchline. Sementara itu, kognisi berupa 10 sindiran dan stereotype kerasnya orang Indonesia Timur ternyata sudah masuk ranah pengetahuan publik lewat tepuk tangan. Selain itu, konteks sosial-stereotype warga Indonesia Timur dikembangkan untuk menjelaskan latar belakang budaya dan upaya komika untuk mengurangi stereotype tersebut. Dengan demikian, penelitian ini telah memberikan kontribusi yang signifikan terhadap penambahan repositori kebahasaan Stand Up Comedy terkait dengan aktivitas bahasa.

Suci Arumaisa, dkk. (2020) dengan judul Analisis Wacana Kritis Model Teun A. Van Dijk Film 5 Penjuru Masjid. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertama, dalam analisis teks film ini, terdapat pesan dakwah bertemakan pentingnya memakmurkan masjid, menghormati amar ma’ruf nahi munkar, saling tolong-menolong. Kedua, kognisi sosial diperkuat oleh pengalaman pribadi penulis naskah. Ketiga, konteks sosial dalam film 5 penjuru masjid ini disesuaikan dengan fenomena yang ada dalam masyarakat muslim yang dikaji dan kemudian disebut sebagai anti klimaks dalam film produksi tersebut.

Metode AWK juga menemukan interpretasi dalam hal mendefinisikan wacana

tekstual sebagai proses komunikasi dan implikasi untuk film 5 Penjuru Masjid ditinjau dari aspek kognitif yang dapat diterapkan pada kehidupan manusia.

B. Landasan Teori 1. Wacana

Istilah wacana berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti “ucapan atau tuturan”. Wacana dikaitkan dengan istilah discourse dalam bahasa Inggris dan le discours dalam bahasa Prancis. Kata ini berasal dari bahasa Yunani discursus yang bermakna “berlari ke sana ke mari” (Sudaryat, 2009).

Wacana adalah unit yang lebih besar dari atau sama dengan kalimat, terdiri dari urutan yang membentuk pesan, dengan awal dan akhir. Hampir sama seperti yang diungkapkan oleh Carlson (2012) bahwa wacana adalah rangkaian kata yang berkesinambungan. Kridalaksana (2013) mendefinisikan wacana sebagai unit bahasa yang paling lengkap; dalam hierarki tata bahasa adalah unit gramatikal tertinggi atau terbesar. Wacana ini dibuat dalam bentuk karangan lengkap (novel, buku seri ensiklopedia, dll), paragraf, kalimat, atau kata-kata yang menyampaikan pesan lengkap.

Menurut Alwi, dkk. (2019) wacana adalah rentetan kalimat yang berkaitan yang menghubungkan proposisi yang satu dengan lainnya dalam kesatuan makna. Sejalan dengan Alwi, Deese (1960) mendefinisikan wacana sebagai seperangkat preposisi yang saling berhubungan untuk menghasilkan rasa kepaduan atau rasa kohesi bagi penyimak atau pembaca.

Menurut Maingueneau & Angermuller (2007) terdapat delapan ciri penting dalam sebuah wacana, yakni unit kalimat, arah, bentuk tindakan, interaktivitas, kontekstualitas, dukungan topik, pengaturan norma, dan partisipasi dalam interdiskursus. Menurut ciri pertama yang dikemukakan Mengeno, wacana dapat diketahui sebagai satuan bahasa tertinggi terletak pada tataran yang lebih tinggi dari kalimat. Setiap teks yang mengandung makna, teks tersebut dapat dikatakan sebagai wacana. Walaupun wacana adalah satuan bahasa terbesar, wacana tidak perlu diungkapkan dengan kata-kata yang sangat panjang. Wacana pun dapat muncul sebagai kalimat tunggal, seperti peribahasa atau kalimat larangan seperti “jangan merokok”.

Meskipun kalimat larangan itu tidak panjang, tetapi memiliki pesan atau makna yang jelas.

Bahasa yang dipakai untuk berkomunikasi disebut wacana (Eriyanto, 2011). Adapun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi bahasa, salah satunya adalah faktor politik yang dapat mengubahnya menjadi wacana politik. Ilmuwan politik memandang wacana sebagai strategi politik untuk menggunakan bahasa karena bahasa merupakan aspek utama dalam menjelaskan suatu subjek. Bahasa adalah alat untuk menyampaikan gagasan, dan bahasa memungkinkan seseorang menyerap gagasan dari suatu objek (Eriyanto, 2011). Adapun, Coupland, dkk. (1991) berpendapat bahwa bahasa dapat menentukan konteks dan bukan sebaliknya. Jadi, dengan bantuan bahasa yang digunakan (bagaimana kata-kata dipilih dan

diungkapkan), seseorang dapat mempengaruhi orang lain (menunjukkan kekuatannya).

Berdasarkan berbagai opini tentang pengertian wacana yang dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa wacana merupakan salah satu bentuk tindakan komunikatif interaktif yang dapat dikerjakan baik secara lisan maupun tulisan. Sebuah wacana melibatkan dua pihak, pengirim dan penerima pesan. Wacana adalah unit bahasa paling tinggi yang lebih besar atau di atas kalimat. Sebuah wacana dapat diwujudkan dalam bentuk kalimat yang panjang, tetapi dapat juga sangat pendek dalam bentuk kalimat kalimat sederhana yang masuk akal dan sesuai konteks. Wacana sangat erat kaitannya dengan konteks di sekitarnya.

2. Analisis Wacana

Istilah analisis wacana pertama kali diperkenalkan dalam linguistik oleh Bargiela & Harris (1997) yang mengawali pencarian terhadap kaidah-kaidah bahasa yang akan menjelaskan bagaimana kalimat-kalimat dalam suatu teks dihubungkan oleh semacam tata bahasa yang diperluas.

Kaitannya dengan linguistik, analisis wacana merupakan cabang ilmu bahasa yang dikembangkan untuk menganalisis suatu unit bahasa yang lebih besar daripada kalimat atau klausa.

Analisis wacana dapat terbatas pada penggambaran bentuk-bentuk bahasa yang relevan dengan tujuan atau fungsi yang dimaksudkan penggunaannya dalam urusan manusia (Brown & Yule, 1996). Menurut Badudu (2003), wacana adalah rangkaian kalimat yang saling berhubungan,

menghubungkan satu kalimat dengan kalimat lainnya sehingga membentuk satu kesatuan yang utuh, terbentuk makna yang serasi di antara kalimat-kalimat tersebut. Berdasarkan pengertian para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa analisis wacana dalam penelitian ini merupakan kajian terhadap berbagai simbol bahasa yang ditulis oleh penulis teks dan ditafsirkan dalam banyak cara.

Hikam & Kusumah (1999) menyatakan ada tiga perspektif tentang bahasa dalam analisis wacana. Perspektif pertama dinyatakan sebagai positivism-empirisme. Menurutnya, analisis wacana ini menggambarkan tuturan, bahasa, dan pemahaman bahasa. Perspektif kedua adalah konstruktivisme, yang memandang analisis wacana sebagai analisis untuk mengungkap maksud dan makna tertentu. Perspektif ketiga, yang dikenal sebagai paradigma kritis, menekankan pada kekuatan yang terjadi dalam produksi dan reproduksi makna, dan bahasa dipahami sebagai ekspresi yang berperan dalam pembentukan tema, topik pembicaraan tertentu, serta strategi-strategi di dalamnya. Berdasarkan pandangan ini, wacana menganggap bahasa selalu berpartisipasi dalam hubungan kekuasaan, terutama dalam pembentukan subjek, dan dalam berbagai tindakan perwakilan masyarakat. Analisis dari perspektif ini disebut analisis wacana kritis (Critical Discourse Analysis atau CDA).

3. Analisis Wacana Kritis

Analisis wacana kritis (AWK) atau Critical Discourse Analysis (CDA) merupakan salah satu metodologi dalam kajian ilmu-ilmu sosial dan

budaya. Analisis wacana kritis dipakai untuk membongkar kuasa yang ada dalam setiap proses bahasa, batasan-batasan yang diperkenankan menjadi wacana, perspektif yang harus dipakai serta topik yang akan dibicarakan (Eriyanto, 2011). Analisis ini tidak sekadar mengkaji bahasa, walaupun dalam analisisnya tetap menggunakan bahasa dalam teks tetapi juga dihubungkan dengan konteks.

Menurut Darma (2009) analisis wacana kritis adalah upaya atau proses analisis untuk memastikan kejelasan suatu teks (realitas sosial) yang diinginkan atau dipelajari untuk tujuan tertentu guna memperoleh apa yang diinginkan oleh individu atau kelompok dominan. . Analisis wacana kritis mengkaji upaya kekuatan sosial, dominasi, dan kepentingan yang relevan dengan konteks sosial dan politik serta direproduksi dan dipertahankan melalui diskusi yang ditargetkan. AWK digunakan untuk melakukan penelitian tentang hubungan antara wacana dan perkembangan sosial di bidang sosial (Jorgensen & Phillips, 2010). Analisis wacana kritis bersifat

“kritis”, yaitu mengungkap peran praktik kewacanaan dalam aspirasi untuk menjaga perdamaian sosial.

Menurut Haryatmoko (2017), AWK bertujuan untuk sebagai berikut.

a. Menganalisis praktik wacana yang memperlihatkan atau mengonstruksi masalah sosial.

b. Selidiki bagaimana ideologi tidak digunakan dalam bahasa dan temukan cara untuk membebaskan ideologi yang mengikat bahasa atau ucapan.

c. Menambah kesadaran akan ketidakadilan, diskriminasi, prasangka, dan bentuk penyalahgunaan kekuasaan lainnya.

d. Membantu menemukan solusi untuk masalah pada perubahan sosial..

AWK dibagi menjadi enam prinsip menurut Fairclough, Van Dijk, dan Wodak (Haryatmoko, 2017). Pertama, teks dan konteks; kedua, kebururutan dan intertekstualitas; ketiga, konstruksi dan strategi; keempat, peran kognisi sosial; kelima, aturan penggunaan kategori-kategori penganalisis; dan keenam, interdiskursivitas.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa analisis wacana kritis didefinisikan sebagai upaya yang dilakukan untuk mengungkapkan maksud tersembunyi dari subjek (penulis) yang memberikan pernyataan. Pengungkapan dilakukan dengan mengikuti struktur makna sehingga bentuk distribusi dan produksi ideologi yang disamarkan dalam wacana dapat diketahui. AWK tidak hanya dianggap sebagai kajian bahasa, sekalipun bahasa dalam teks merupakan subjek analisis, hasil analisisnya juga kontekstual serta bertujuan untuk memperoleh gambaran aspek kebahasaan, pergerakan, sejarah, kekuasaan dan ideologi. Sebelum melakukan kajian empiris tentang hubungan wacana dan perkembangan budaya di berbagai bidang, dalam penelitian ini beberapa model analisis wacana kritis dapat dijadikan sebagai pisau bedah.

4. Teori Pemikiran Teun A. Van Dijk

Berbagai model analisis wacana telah dikemukakan oleh para ahli.

Model analisis Teun A. Van Dijk adalah salah satu model yang umum

digunakan. Model yang digunakan Teun A. Van Dijk sering disebut

"kognisi sosial". Istilah ini diambil dari pendekatan psikososial, yang terpenting adalah deskripsinya tentang struktur dan proses pembentukan teks. Menurut Van Dijk (2011), studi wacana yang hanya didasarkan pada analisis teks saja tidak cukup. Teks hanyalah hasil praktik produksi dan harus dicermati (Eriyanto, 2011). Harus diperhatikan juga bagaimana teks dihasilkan. Proses produksi mencakup peristiwa yang dikenal sebagai kognisi sosial. Struktur teks, kognisi sosial, dan konteks sosial merupakan elemen integral dari konsep Van Dijk.

Melalui berbagai karyanya, Van Dijk (2011) membuat kerangka analisis wacana yang bisa digunakan, melihat suatu wacana terdiri atas berbagai struktur atau tingkatan yang masing-masing bagian saling mendukung, Van Dijk membaginya ke dalam tiga tingkatan:

a. Struktur makroadalah keseluruhan atau makna lokal dari sebuah teks yang dapat dimengerti dengan memandang pokok permasalahan dari sebuah teks tersebut. Subjek wacana ini tidak hanya isi, melainkan juga beberapa aspek dari suatu kejadian.

b. Superstruktur adalah kerangka teks, cara ketika struktur dan unsur-unsur wacana disusun dalam teks secara keseluruhan.

c. Stuktur mikro adalah makna wacana dengan cara dapat menganalisis kata, kalimat, proposisi, anak kalimat, parafrase yang digunakan, dll.

Struktur atau unsur-unsur wacana yang dikemukakan oleh Van Dijk diuraikan sebagai berikut:

Tabel 2.1. Struktur Teks Menurut Dimensi Kerangka Teks Analisis oleh Teun A. Van Dijk

Struktur Makro

Makna umum dari teks dapat diamati dalam subjek/topik yang diangkat oleh suatu teks

Superstruktur

Kerangka suatu teks, seperti bagian pendahuluan, konflik, dan penyelesaian (akhir)

Struktur Mikro

Makna lokal teks dapat dilihat dari pemilihan kata, kalimat, dan gaya bahasa yang digunakan dalam teks tersebut

Tabel 2.2. Elemen Wacana Teun A. Van Dijk Struktur

Wacana Hal yang Diamati Elemen

Struktur Makro

Tematik

(Apa yang diungkapkan?) Topik Superstruktur Skematik

(Bagaimana opini terstruktur?) Skema

Struktur

Retoris

(Apa fokusnya dan bagaimana) Ekspresi.

Sumber: Dikutip dari Eriyanto (2011) Menurut perspektif Van Dijk (2011), keseluruhan bentuk teks dapat dianalisis dengan memakai unsur-unsur tersebut. Walaupun tersusun dari unsur-unsur yang berbeda, namun semua unsur yang membentuk suatu kesatuan tersebut saling berhubungan dan saling mendukung. Agar mendapatkan gambaran awal tentang unsur-unsur struktur wacana, dapat dilihat dari penjelasan berikut.

a. Tematik

Van Dijk mendefinisikan struktur makro berisi topik dalam sebuah wacana. Berdasarkan topik ini, seseorang dapat melihat kejadian dan tindakan yang dilakukan komunikator untuk menyelesaikannya. Hal yang dapat diamati dalam struktur makro sebuah wacana menurut Van Dijk, yaitu tindakan, keputusan, atau opini. Struktur makro menampilkan gambaran tentang langkah yang akan dilakukan untuk memecahkan masalah.

b. Skematik

Jika topik mengungkapkan makna umum wacana, maka struktur skematik menampilkan bentuk umum teks. Bentuk umum tersebut terdiri dari berbagai kategori atau bagian umum, seperti pendahuluan, konflik, dan penyelesaian (akhir).

c. Semantik

Semantik tergolong makna lokal, yaitu makna yang berasal dari hubungan antarkalimat, hubungan antara posisi-posisi yang merupakan suatu makna khusus dalam konstruksi sebuah teks. Makna eksplisit dan makna implisit merupakan salah satu bentuk analisis wacana yang berfokus pada dimensi teks. Bentuk lain dari strategi semantik adalah detail wacana, elemen detail wacana yang melibatkan pengendalian informasi yang ditampilkan oleh komunikator.

d. Sintaksis

Sintaksis adalah bagian dari linguistik yang berhubungan dengan kompleksitas ujaran seperti frasa, klausa, dan kalimat. Sintaksis memiliki bagian yang menjelaskan kata ganti yang merupakan bagian dari trik bahasa untuk membuat koleksi ilusi (Eriyanto, 2011). Elemen lain kata ganti adalah elemen untuk memanipulasi bahasa dengan menciptakan suatu komunitas imajinatif.

e. Stilistik

Stilistik adalah cara yang digunakan seseorang penulis untuk menyatakan maksudnya dengan menggunakan bahasa sebagai sarana.

Memahami kosakata atau pilihan kata untuk menunjukkan kata mana yang digunakan sebagai ungkapan ide atau gagasan.

f. Retoris

Strategi dalam level retoris adalah gaya yang diungkapkan ketika seseorang berbicara atau menulis. Strategi retoris juga muncul dalam

bentuk interaksi, yaitu bagaimana pembicaraan menempatkan atau memposisikan dirinya diantara khalayak. Elemen ini merupakan bagian untuk memeriksa apa yang ditekankan atau ditonjolkan oleh seseorang yang dapat diamati dari teks.

Menurut perspektif Van Dijk, analisis wacana tidak terbatas pada struktur teks, yang mewakili atau menunjukkan berbagai makna, pendapat, dan ideologi. Makna tersembunyi dari sebuah teks dapat dipelajari dengan membutuhkan analisis kognisi dan konteks sosial. Hal ini karena semua teks pada dasarnya dihasilkan oleh persepsi, pengetahuan, atau peristiwa (Eriyanto, 2011).

Kognisi sosial adalah asumsi yang dibangun dan dipakai untuk memvisualisasikan suatu kejadian. Analisis kognisi memberikan visual yang lengkap dari teks serta ekspresi dan strategi yang dipakai untuk menghasilkan teks. Skema membantu seseorang untuk memahami dan mengerti sebuah peristiwa. Van Dijk menyatakan skema ini sebagai model.

Skema dikonseptualisasikan sebagai struktur mental yang mencakup cara seseorang memandang manusia, peran sosial, dan peristiwa (Eriyanto, 2011).

Berdasarkan beberapa elemen, salah satu elemen terpenting selain model dalam proses kognisi sosial adalah memori. Memori memungkinkan seseorang untuk berpikir tentang objek dan mendapatkan pengetahuan yang diinginkan. Misalnya, seseorang dapat memahami pesan dan mengkategorikannya. Setiap memori yang berisi pemasukan dan

menyimpan pesan masa kini serta masa lalu yang terus-menerus digunakan seseorang saat melihat realita (Eriyanto, 2011).

Analisis dari Van Dijk mengenai analisis sosial. Wacana merupakan bagian dari wacana yang berkembang di masyarakat. Jika meneliti suatu teks perlu dilakukan adanya suatu analisis intertekstual dengan meneliti bagaimana wacana tentang suatu hal diproduksi dan dikonstruksi dalam masyarakat. Menurut Van Dijk (2011) dalam analisis mengenai masyarakat ini, ada dua poin penting adalah kekuasaan (power) dan akses (access).

5. Lakon

Kata lakon yang sama halnya dengan istilah ‘ngalalakon-boga’

(dalam, bahasa Sunda), atau ‘lelakon’ [dalam, bahasa jawa artinya memalakukan, melakoni peran atau memerankan tokoh cerita dengan bekata-kata (verbal) atau tanpa berkata-kata (non verbal) di atas pentas.

Satoto (1985) menemukan bahwa kata lakon sebenarnya bersumber dari bahasa Jawa, sehingga menghasilkan akhiran -an sebagai akibat dari pembentukan kata laku. Sarumpaet (dalam Satoto, 1985) mendefinisikan lakon sebagai cerita yang ditulis dan disiapkan untuk pertunjukan oleh beberapa pemain di atas panggung.

Lakon adalah cerita yang ditulis dan dipentaskan oleh beberapa aktor untuk digelarkan (Sarwanto, 2008). Berdasarkan pertunjukan teater, pengertian teater adalah hasil kerja sama masyarakat, seniman dan/atau sastrawan, yang disajikan dalam bentuk naskah lakon, baik tertulis maupun tidak tertulis (Kemdikbud, 2018).

Menurut Satoto (1985), unsur-unsur struktur lakon dibagi menjadi 4 jenis, yaitu: (1) Tema (theme) adalah gagasan, ide, atau pemikiran pokok dari suatu karya sastra, baik yang bersifat umum maupun tidak (Satoto, 1985). Dikatakan pula bahwa tema merupakan jiwa dari sebuah karya sastra yang meresapi semua unsurnya (Endraswara, 2003). Sebelum membahas unsur lain, diperlukan untuk mendefinisikan tema terlebih dahulu. Hal ini karena suatu tema selalu berhubungan langsung dengan unsur lain. (2) Alur (plot) adalah rangkaian peristiwa untuk mencapai efek tertentu dalam sebuah karya sastra (Satoto, 1985). Jadi, alur merupakan susunan kejadian lakon yang terjadi di atas panggung. (3) Satoto (1985) menunjukkan bahwa penokohan adalah proses akting seorang tokoh yang memerankan seorang tokoh dalam sebuah lakon. Penokohan melibatkan penempatan dan penggambaran karakter dalam sebuah cerita untuk memberikan gambaran yang jelas tentang tokoh dan karakter kepada pembaca. (4) Latar merupakan tempat, waktu, dan situasi sosial ketika seseorang melakukan dan mengalami suatu peristiwa (Nurgiyantoro, 2018). Latar atau setting dalam sebuah lakon tidak sama dengan sebuah adegan, yang merupakan penggambaran sebuah latar (setting).

a. Jenis-Jenis Lakon

Lakon didasarkan pada peristiwa di atas panggung. Adegan adalah bagian dari suatu babak dalam seni yang telah diatur dan ditandai dengan keluar masuknya tokoh, perupaan, atau musik. Oleh karena itu, satu babak dapat memiliki lebih dari satu adegan. Babak itu sendiri

adalah kumpulan beberapa adegan yang diwakili oleh perubahan latar suatu peristiwa (tempat, waktu, dan kejadian). Tergantung pada jumlah babaknya, lakon dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu (Kemdikbud, 2018):

1) Lakon pendek, yaitu lakon satu babak yang berlangsung sekitar 45-60 menit, dan lakon yang terdiri dari beberapa peristiwa di panggung.

2) Lakon panjang, adalah pertunjukan skala besar yang terdiri dari 3-5 babak dengan beberapa adegan yang berdurasi 90-120 menit.

b. Bentuk-Bentuk Lakon

Bentuk-bentuk lakon di dalam seni teater dan seni drama pada dasarnya memiliki satu kesatuan, yaitu lakon tragedi, komedi, tragedi komedi, dan melodrama. Berikut deskripsi dari berbagai bentuk lakon (Kemdikbud, 2018).

1) Lakon tragedi, yang biasanya mengandung unsur cerita perjuangan, memiliki pola penceritaan kemenangan dan kegagalan serta ciri-ciri

1) Lakon tragedi, yang biasanya mengandung unsur cerita perjuangan, memiliki pola penceritaan kemenangan dan kegagalan serta ciri-ciri

Dokumen terkait