• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

D. Manfaat Penelitian

Dengan dilakukannya penelitian ini, diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :

1. Manfaat Teoritis

Dilihat secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan, sumbangan pemikiran yang dapat menambah pengetahuan dan juga dapat memberikan penjelasan mengenai analisa laporan keuangan khususnya pengaruh financial Distress dan struktur modal terhadap harga saham.

2. Manfaat Praktis

Selain dilihat dari manfaat teoritis, penelitian ini diharapkan juga dapat berguna bagi :

a. Bagi Akademisi

Secara teoritis, penelitian ini akan memberikan bahan teori mengenai pengaruh financial distress dan struktur modal terhadap harga saham.

b. Bagi Peneliti Lainnya

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat dipergunakan untuk menjadi referensi dalam melakukan penelitian sejenis mengenai pengaruh financial distress dan struktur modal terhadap harga saham.

8 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Grand Theory

Grand theory merupakan dasar lahirnya teori-teori lain yang mana teori ini bersifat makro atau masih bersifat luas dan kemudian di rumuskan pada level selanjutnya. Grand theory adalah sebuah teori yang digunakan untuk mendiskripsikan kehidupan manusia secara sosial, sejarah ataupun pengalaman kehidupan manusia. Grand theory dikemukakan pertama kali oleh Charles Wright Mills dalam proses mengkomunikasikan hubungan internasional dan pengambilan keputusan. Pentingnya Grand Theory dalam sebuah penelitian adalah untuk melihat keterkaitan hubungan sebab akibat variabel yang dipergunakan dan setiap penelitian harus memperoleh dukungan teori dari berbagai pakar.

1. Teori Sinyal

Teori Sinyal (Signalling Theory) pertama kali dikemukakan oleh Spence (1973) yang menjelaskan bahwa pihak pengirim (pemilik informasi) memberikan suatu isyarat atau sinyal berupa informasi yang mencerminkan kondisi suatu perusahaan yang bermanfaat bagi pihak penerima. Menurut (Rafikaningsih et al., 2020) Signaling Theory mengemukakan tentang bagaimana seharusnya sebuah perusahaan memberikan sinyal kepada pengguna laporan keuangan. Sinyal tersebut berupa informasi yang menjelaskan tentang upaya mewujudkan keiginan pemilik. Informasi tersebut

dianggap sebagai indikator penting bagi investor dalam mengambil sebuah keputusan.

Seorang investor ketika telah mendapatkan informasi oleh perusahaan maka investor akan menganalisis terlebih dahulu apakah informasi tersebut dianggap sinyal positif (berita baik) atau sinyal negatif (berita buruk) (Hartono, 2015 : 392). Jika sinyal tersebut bernilai positif berarti investor akan merespon secara positif dan mampu membedakan antara perusahaan yang berkualitas dengan yang tidak, sehingga harga saham juga akan meningkat.

Begitu pula sebaliknya, ketika investor menerima nilai negatif berarti investor juga akan merespon negatif dan menandakan bahwa keinginan investor untuk berinvestasi semakin menurun dan juga akan membuat harga saham menurun.

2. Financial Distress

Menurut Erawati (2016) Financial distress adalah kondisi dimana keuangan perusahaan sedang mengalami berbagai permasalahan yaitu perusahaan tidak mampu untuk melunasi kewajiban jangka pendeknya.

Pengelolaan kesulitan keungan yang tidak tepat akan menimbulkan permasalahan yang lebih besar yaitu menjadi tidak solvable (jumlah utang lebih besar daripada jumlah aktiva) dan akhirnya mengalami kebangkrutan (Munawir, 2002 : 291). Hal ini sejalan dengan pendapat Sopian & Rahayu (2017) financial distress dimulai dari ketidakmampuan dalam memenuhi kewajiban – kewajibannya, terutama kewajiban yang bersifat jangka pendek termasuk likuiditas, dan juga termasuk kewajiban dalam kategori solvabilitas.

Informasi mengenai financial distress ini sangat penting untuk perusahaan, karena dengan informasi tersebut perusahaan dapat mendeteksi sedini mungkin potensi kesulitan keuangan yang dapat menyebabkan kebangkrutan apabila dibiarkan berlarut-larut sehingga perusahaan dapat menghindarinya.

Dapat disimpulkan bahwa financial distress adalah kondisi yang terjadi sebelum kebangkrutan yang ditandai dengan kesulitan keuangan jangka pendek dimana perusahaan tidak mampu untuk memenuhi kewajibannya.

1) Faktor-faktor yang menyebabkan financial distress

Financial Distress dapat terjadi disemua perusahaan. Menurut (Hidayat, 2010) banyak faktor yang menyebabkan terjadinya financial distress sehingga dikelompokkan menjadi 3 yaitu :

a. Sistem Perekonomian

Sistem perekonomian masyarakat atau negara yang dapat menyebabkan suatu perusahaan mengalami financial distress dan bahkan kebangkrutan, yaitu ketidakmampuan perusahaan untuk menyesuaikan dengan perkembangan teknologi, perubahan permintaan dan selera konsumen dan mengadaptasikan perubahan – perubahan metode produksi dan distribusi modern.

b. Faktor Eksternal perusahaan

Kesulitan dan kegagalan yang kemungkinan dapat menyebabkan terjadinya financial distress pada perusahaan, kadang – kadang berada di luar jangkauan (manajemen) perusahaan.

Kecelakaan dan bencana alam yang sewaktu-waktu dapat menimpa

perusahaan misalnya, merupakan contoh yang pernah atau bahkan sering memaksa perusahaan untuk menutup atau menghentikan usahanya secara permanen. Meskipun terjadinya bencana alam dan kecelakaan itu sendiri sulit untuk diprediksi.

c. Faktor Internal perusahaan

Faktor – faktor internal yang menyebabkan terjadinya financial distress pada perusahaan yaitu:

a) Terlalu besarnya kredit yang diberikan kepada debitur/langganan.

Kebijaksanaan kredit tanpa memperhatikan kemampuan individual para debitur, berarti mempertaruhkan stabilitas finansial perusahaan.

b) Ketidakmampuan manajemen pada umumnya tercermin pada ketidakmampuan untuk menghindari timbulnya berbagai permasalahan pada operasinal perusahaan.

c) Kekurangan modal juga merupakan salah satu penyebab financial distress yang sifatnya internal. Dalam situasi dimana perusahaan menderita kerugian dari operasinya sedang perusahaan juga mengalami kekurangan modal maka kemungkinan besar perusahaan akan tidak mampu lagi membiayai operasi dan membayar hutang-hutangnya tepat pada tanggal jatuh tempo.

2) Bentuk-bentuk Financial Distress

Menurut Ellen (2013), terdapat lima bentuk kesulitan keuangan atau financial distress, yaitu:

a. Economic Failure

Economic Failure merupakan keadaaan ekonomi yang menyebabkan penerimaan perusahaan tidak dapat menutup total biaya termasuk biaya modal. Bisnis yang terkena economic failure dapat meneruskan operasinya apabila investor berkeinginan menambah modalnya dan menerima tingkat pengembalian dibawah tingkat pasar. Akhirnya apabila tidak ada modal yang disediakan terlebih dahulu assets yang ada digunakan terus dan tidak diganti, maka mengakibatkan perusahaan terancam tutup.

b. Business Failure

Business failure merupakan istilah yang digunakan oleh Dun dan Bradstresst, yang merupakan kumpulan dari kesalahan statistik.

Untuk menegaskan suatu bisnis dapat mengakhiri operasinya yang diakibatkan oleh kehilangan krediturnya.

c. Tecnical Insolvency

Tehnical insolvensy yaitu perusahaan yang secara teknik mengalami keadaan bangkrut apabila tidak dapat mengatasi kewajibannya yang jatuh tempo.

d. Insovency in Bankruputy

Insolvency in bankrupty adalah apabila buku dari total kewajiban melampaui nilai pasar wajar dari asset perusahaan.

Kondisi ini lebih serius dari technical insolvency, karena secara umum adalah tanda dari economic failure dan sering mengarah ke likuidasi bisnis dengan catatan bahwa perusahaan dengan insolvency in bankrupty tidak perlu dalam proses legal bankrupty.

e. Legal Bankrupty

Legal bankrupty adalah kriteria kebangkrutan sesuai dengan apa yang diatur menurut undang-undang federal.

3) Pihak – pihak yang Membutuhkan Informasi Financial Distress

Beberapa pihak yang membutuhkan informasi financial distress menurut (Hanafi & Halim, 2016 : 259) yaitu :

a. Pemberi Pinjaman

Informasi financial distress bisa bermanfaat untuk mengambil keputusan siapa yang akan diberi pinjaman dan kemudian bermanfaat untuk kebijakan memonitor pinjaman yang ada.

b. Investor

Investor menganut strategi aktif akan mengembangkan model kebangkrutan untuk melihat tanda – tanda kebangkrutan seawal mungkin dan kemudian mengantisipasi kemungkinan tersebut.

c. Pihak Pemerintah

Lembaga pemerintah mempunyai kepentingan untuk melihat tanda-tanda financial distress dalam antitrust regulation.

d. Akuntan

Akuntan mempunyai kepentingan terhadap informasi kelangsungan suatu usaha karena akuntan akan menilai kemampuan going concern suatu perusahaan.

e. Manajemen

Kondisi financial distress atau kemungkinan kebangkrutan berarti munculnya biaya-biaya yang cukup besar. Suatu penelitian menunjukkan biaya tersebut bisa mencapai 11 – 17 % dari nilai perusahaan. Salah satu contoh biaya langsung yang berkaitan dengan financial distress adalah biaya akuntan dan biaya penasihat hukum. Sedangkan contoh biaya tidak langsungnya adalah hilangnya kesempatan penjualan dan keuntungan karena beberapa hal seperti pembatasan yang mungkin diberlakukan pengadilan. Apabila manajemen bisa mendeteksi kondisi tersebut lebih awal, maka tindakan – tindakan penghematan bisa dilakukan, misal dengan melakukan merger atau restrukturisasi keuangan sehingga biaya kebangkrutan dapat dihindari.

4) Indikator dalam memprediksi financial distress

Prediksi terhadap financial distress suatu perusahaan menjadi hal yang sangat dibutuhkan oleh para stakeholders karena merupakan early

warning system atau sistem peringatan dini untuk mengenali gejala awal kondisi financial distress perusahaan. Sebelum akhirnya suatu perusahaan dinyatakan bangkrut, biasanya ditandai dengan berbagai situasi atau keadaan khusus yang berhubungan dengan efektifitas dan efiensi operasionalnya. Kebangkrutan yang terjadi sebenarnya dapat diprediksi dengan melihat beberapa indikator-indikator sebagai berikut (Hanafi & Halim, 2016 : 264) yaitu:

a. Analisis aliran kas untuk saat ini dan masa yang akan datang b. Analisis strategi perusahaan yaitu analisis yang memfokuskan

pada persaingan yang dihadapi oleh perusahaan c. Struktur biaya yang relatif terhadap pesaingnya d. Kualitas manajemen

e. Kemampuan manajemen dalam mengendalikan biaya 5) Alat Prediksi Financial Distress

Kemampuan dalam memprediksi kebangkrutan akan memberikan keuntungan banyak pihak, terutama kreditur dan investor. (Hilman Abrori, 2015) menyatakan bahwa model kesulitan keuangan perlu untuk dikembangkan karena dengan mengetahui keadaan kesulitan keuangan, perusahaan sejak dini diharapkan dapat melakukan tindakan-tindakan untuk mengantisipasi kondisi yang mengarah pada kebangkrutan. Dengan model ini dapat membantu calon investor dan juga kreditur untuk menanamkan modalnya agar tidak terjebak dalam kondisi kesulitan keuangan tersebut.

Menurut (Yuliana, 2018) ada beberapa model yang dikemukakan dalam memprediksi kebangkrutan, yaitu :

1. Model Altman

Model kebangkrutan ini dikembangkan oleh Edward Altman seorang professor of finance dari New York University School of Business pada akhir 1960-an ini di kenal dengan Altman Z-score.

Pada tahun 1968, Edward. I Altman memberikan formula yang berfungsi untuk memprediksi potensi kebangkrutan suatu perusahaan. Altman mempergunakan angka-angka di dalam laporan keuangan dan merepresentasikannya dalam sebuah angka, yaitu Z-Score yang dapat menjadi acuan untuk menentukan apakah suatu perusahaan berpotensi untuk bangrut atau tidak. Skor Z-Score (Altman) ini ditentukan dari hitungan standar kali nisbah-nisbah keuangan yang akan menunjukkan tingkat kemungkinan kebangkrutan perusahaan. Metode Z-Score (Altman) adalah suatu alat yang memperhitungkan dan menggabungkan beberapa rasio-rasio keuangan tertentu dalam perusahaan dalam suatu persamaan diskriminan yang akan menghasilkan skor tertentu yang akan menunjukkan tingkat kemungkinan kebangkrutan perusahaan (Shinta Rahma Diana, SE., 2014 : 92).

Metode Z-Score ini menggunakan berbagai rasio untuk menciptakan alat prediksi kesulitan keuangan. Karakteristik rasio tersebut digunakan untuk mengidentifikasi kemungkinana kesulitan

keuangan masa depan. Kesulitan keuangan tersebut akan tergambar dari rasio-rasio yang telah diperhitungkan. Z-Score merupakan alat yang bermanfaat untuk menyaring, memantau dan mengarahkan pada area tertentu (K.R. Subramanyam, 2017 : 288).

Penggunaan model Altman sebagai salah satu pengukuran kinerja kebangkrutan tidak bersifat tetap atau stagnan melainkan berkembang dari waktu ke waktu, di mana pengujian dan penemuan model terus diperluas oleh Atman hingga penerapannya tidak hanya pada perusahaan manufaktur go public, tetapi telah mencakup perusahaan manufaktur non-publik, perusahaan non-manufaktur dan perusahaan obligasi korporasi. Berikut perkembangan model Altman (Shinta Rahma Diana, SE., 2014 : 94)

a. Model Altman pertama

Rasio-rasio keuangan yang digunakan dalam metode Z-Score (Altman), yang dikemukakan oleh (Darsono dan Ashari, 2015) yaitu:

 WCTA (working capitl to toal asset atau modal kerja dibagi

total aset)

 RETA (Retained Earning To Total Asset atau laba ditahan

dibagi total aset)

 EBITTA (Earning Before Interest And Taxes To Total Assets atau laba sebelum pajak dan bunga dibagi total aset)

 MVEBVL (Market Value Of Equity To Book Value Of Liability

atau nilai pasar sekuritas dibagi dengan nilai buku liabilitas)

 STA (Sales To Toal Assets atau penjualan dibagi total aset)

Altman menemukan lima jenis rasio keuangan yang dapat dikombinasikan untuk melihat perbedaan antara perusahaan yang bangkrut dan tidak bangkrut. Z-Score (Altman) ditentukan dengan menggunakan rumus yang dikemukakan (Darsono dan Ashari, 2015). Formula ini merupakan versi yang pertama kali dikembangkan oleh Altman khusus untuk perusahaan manufaktur yang go public. Formula untuk mendapatkan Altman Z-Score untuk perusahaan manufaktur yang go public yaitu :

Z-Score = 1,2 (WCTA) + 1,4 (RETA) + 3,3 (EBITTA) + 0,6 (MVEBVL) + 1 (STA)

Atau dapat ditulis dengan formula berikut ini : Z-Score = 1,2x1 + 1,4X2 + 3,3X3 + 0,6X4 + 0,999X5 Keterangan :

Z = Bankrupty Index

X1 = Working Capital / Total Assets X2 = Retained Earning / Total Assets

X3 = Earnings Before Interest And Taxes / Total Assets

X4 = Market Value Of Equity / Total Liablities X5 = Sales / Total Assets

Nilai Z adalah indeks keseluruhan fungsi multiple discriminan analysist. Menurut Altman, terdapat angka-angka cut off nilai Z yang dapat menjelaskan apakah perusahaan akan mengalami kegagalan atau tidak pada masa mendatang.

Altman membaginya ke dalam tiga (3) kategori, yakni :

1. Jika perusahaan yang mempunyai skor Z < 1,8 diklasifikasikan sebagai perusahaan potensial bangkrut.

2. Jika perusahaan yang mempunyai skor 1,81 sampai 2,99 disklasifikasikan sebagai perusahaan pada grey area atau daerah kelabu (tidak dapat ditentukan apakah perusahaan sehat ataupun mengalami kebangkrutan).

3. Jika perusahaan yang mempunyai skor Z 2,99 diklasifikasikan sebagai perusahaan sehat

b. Model Altman Revisi

Model Altman pertama mengalami revisi, dimana hal ini merupakan penyesuaian yang dilakukan agar model prediksi kebangkrutan ini tidak hanya untuk perusahaan manufaktur yang go public melainkan juga dapat diaplikasikan untuk perusahaan-perusahaan yang belum go public. Model yang lama mengalami perubahan pada salah satu variabel yang digunakan. Perubahan terjadi pada rasio MVEBVL (market value of equity to book value of liabilty atau nilai pasar sekuritas dibagi dengan nilai buku liabilitas) menjadi BVEBVL

(book value of equity to book value of liability atau nilai buku modal dibagi dengan nilai buku liabilitas) yang digunakan untuk perusahaan manufaktur yang tidak go public. Hal ini dikarenakan perusahaan bentuk badan usaha ini tidak memiliki nilai pasar untuk ekuitasnya, sehingga kita tidak bisa menghitung market value of equity. Oleh karena itu dilakukan perbaikan formula sebagai berikut:

Z-Score = 0,717 (WCTA) + 0,847 (RETA) + 3,108 (EBITTA) + 0,42 (BVEBVL) + 0.998 (STA)

Atau dapat ditulis dengan formula berikut ini:

Z-Score = 0,717X1 + 0,847X2+ 3,108X4 + 0,42X5 + 0.998X6

Keterangan :

Z = Bankrupty Index

X1 = Working Capital / Total Assets X2 = Retained Earning / Total Assets

X3 = Earnings Before Interest And Taxes / Total Assets

X4 = Book Value Of Equity / Total Liablities X5 = Sales / Total Assets

Klasifikasi perusahaan yang sehat dan bankrut didasarkan pada skor Z Model Altman yang diperoleh, yaitu :

1. Jika perusahaan yang mempunyai skor Z < 1,20 diklasifikasikan sebagai perusahaan yang kebangkrutannya tinggi

2. Jika perusahaan yang mempunyai skor diantara 1,20 sampai 2,90 diklasifikasikan sebagai perusahan pada grey area atau daerah kelabu (tidak dapat ditentukan apakah perusahaan sehat ataupun mengalami kebangkrutan) 3. Jika perusahaan yang mempunyai skor Z 2,90

diklasifikasikan sebagai perusahaan sehat/kebangrutan rendah

c. Model Altman Modifikasi

Seiring dengan berjalannya waktu dan penyesuaian terhadap berbagai jenis perusahaan, Altman kemudian memodifikasi modelnya supaya dapat diterapkan pada semua perusahaan, seperti perusahaan manufaktur, non manufaktur dan perusahaan penerbit obligasi di negara berkembang.

Dalam model modifikasi ini, Altman mengeliminasi sales to total asset karena rasio ini sangat bervariatif pada industri dengan ukuran aset yang berbeda-beda. Berikut formula X-Score yang telah dimodifikasi :

Z-Score = 6,56X1 + 3,26X2 + 6,72X3 + 1,05X4 Keterangan :

Z = Bankrupty Index

X1 = Working Capital / Total Asset X2 = Retained Earning / Total Asset

X3 = Earnings Before Interst And Taxes / Total Asset X4 = Book Value Of Equity / Book Value Of Liability

Klasifikasi perusahaan yang sehat dan bangkrut didasarkan pada skor Z-Score model Altman modifikasi, yaitu : 1. Jika perusahaan yang mempunyai skor Z < 1,1 diklasifikasikan sebagai perusahaan yang berpotensi akan mengalami kebangkrutan.

2. Jika perusahaan yang mempunyai skor diantara 1,1 sampai 2,60 diklasifikasikan sebagai perusahan pada grey area atau daerah kelabu (tidak dapat ditentukan apakah perusahaan sehat ataupun mengalami kebangkrutan) 3. Jika perusahaan yang mempunyai skor Z 2,60

diklasifikasikan sebagai perusahaan sehat.

2. Model Springate

Model ini dikembangkan tahun 1978 oleh Gorgon L.V.

Springate. Dengan mengikuti prosedur yang dikembangkan Altman, springate menggunakan step-wise multipe discriminate analysis untuk memilih empat dari 19 rasio keuangan yang pupuler sehingga dapat membedakan perusahaan yang berada dalam zona bangkrut atau zona aman.

Model Springate (1978) mendiskripsikan dengan rumus sebagai berikut :

S = 1,03A + 3,07B+0,66C + 0,4D Keterangan :

S = Bankrupty Index

A = Working Capital / Total Asset

B = Net Profit Before Interets And Taxes / Total Asset C = Net Profit Before Taxes / Current Liabilities D = Sales / Total Asset

Springate (1978) mengemukakakn nilai cutt off yang berlaku untuk model ini adalah 0,862. Model ini mempunyai standart di mana perusahaan yang mempunyai skor Z > 0,862 disklasifikasikan sebagai perusahaan sehat, sedangkan perusahaan yang mempunyai skor Z < 0,862 disklasifikasikan sebagai perusahaan berpotensi bangkrut.

3. Model Ohlson

Ohlson (1980) juga melakukan studi mengenai studi financial distress. Ohlson melakukan beberapa modifikasi dari beberapa penelitian terdahulu dalam studinya. Ohlson (1980) tidak menggunakan teknik matched-pair sampling. Layanan yang ia gunakan adalah Compustat. Ohlson menggunakan metode statistik bernama conditional logit. Ohlson berpendapat bahwa metode ini dapat menutupi kekurangan-kekurangan yang terdapat

di metode MDA yang digunakan Altman dan Springate. Model ini dibuat Ohlson memiliki 9 variabel yang terdiri dari beberapa rasio keuangan. Model tersebut ialah sebagai berikut :

O = -1,32 – 0,407LOGTAGNP + 6,03TLTA + 1,43WCTA – 0,0757CLCA – 2,37EQNEG – 1,83NITA + 0,285CFTOL – 1,72NNEG – 0,521DELTANI

Keterangan :

LOGTAGNP = Log (Total Asset / GNP Price Index) TLTA = Total Liabilities / Total Asset

WCTA = Working Capital / Total Asset CLCA = Current Liabilities / Current Asset

EQNEG = 1 jika total liabilities > total asset : 0 jika sebaliknya

NTA = Net Income / Total Asset

CFOLTL = Cash Flow From Operations / Total Liabilities NNEG = 1 jika net income negatif : 0 jika sebaliknya DELTANI = (Nit – Nit – 1 ) / (Nit + Nit + 1)

Ohlson (1980) menyatakan bahwa model ini memiliki cutt off optimal pada nilai 0,38. Hal ini menunjukkan perusahaan dengan nilai O diatas 0,38 berkemungkinan mengalami distress.

Sebaliknya, jika nilai O perusahaan dibawah 0,38 maka perusahaan diprediksi tidak mengalami distress.

4. Model Zmijewski

Zmijewski (1984) menggunakan teknik random sampling dalam penelitiannya. Metode statistik yang digunakan Zmijewski (1984) sama dengan yang digunakan Ohlson (1980) yaitu regresi logit. Dengan menggunakan metode tersebut, maka Zmijewski (1984) mengahsilkan model sebagai berikut:

X = 04,803 – 3,599 ROA + 5,406 Leverage – 1 Liquidity Keterangan

ROA = net income / total asset Leverage = Total Debt / Total Asset

Liquidity = Current Assets / Current Liablities

Zmijewski (1984) menyatakan bahwa perusahaan dianggap distress jika profitabilitasnya lebih besar dari 0,5. Dan nilai cutt off yang berlaku dalam model ini adalah 0. Hal ini berarti perusahaan dengan nilai X lebih besar atau sama dengan 0 diprediksi akan mengalami financial distress. Sebaliknya, perusahaan yang mimiliki nilai X lebih kecil dari 0 diprediksi tidak akan mengalami distress.

3. Struktur Modal

Dalam keuangan modern dikenal istilah keputusan struktur modal atau keputusan pendanaan. Struktur modal merupakan suatu bauran (proporsi) pembiayaan jangka panjang permanen perusahaan yang dapat diwakili oleh utang, saham preferen dan ekuitas saham biasa (Van Horne

dan Wachowicz, 2013 : 176). Stuktur modal berkaitan dengan pembelanjaan jangka panjang suatu perusahaan yang di ukur dengan perbandingan utang jangka panjang dengan modal sendiri (Sudana, 2015 : 164). Langkah awal yang sebaiknya dilakukan suatu perusahaan adalah menganalisis beberapa faktor, kemudian menetapkan struktur modal yang ditargetkan. Target ini dapat berubah sewaktu-waktu sesuai kondisi tetapi manajemen setiap saat harus memiliki gambaran target struktur modal yang spesifik. Keputusan dalam menetukan stuktur modal sangat penting untuk dipahami karena berkaitan dengan pengambilan keputusan dalam memilih jenis sumber dana, baik yang diperoleh dari dalam perusahaan (berupa laba di tahan) maupun dari luar perusahaan yang bersifat uncontrollable, menentukan jumlah dana setiap sumber dana tersebut atau mengantisipasi konsekuensinya pada tingkat biaya modal yang ditanggung perusahaan dan memperhatikan pengaruhnya terhadap nilai perusahaan yang maksimal (Najmudin, 2013 : 294).

1) Teori Struktur Modal

Teori stuktur modal menurut (Harmono, 2016:137), mengatakan bahwa teori struktur modal berhubungan dengan bagaimana modal dialokasikan dalam aktivitas investasi aktiva riil perusahaan, dengan cara menentukan struktur modal antara modal utang dan modal sendiiri.

a. Pendekatan Modigliani dan Miller tahun 1958

Teori stuktur modal mulai dikenal ketika Franco Modigliani dan Marton Miller (MM) menerbitkan apa yang disebut sebagai salah satu artikel keuangan paling berpengaruh yang pernah ditulis. MM membuktikan dengan sekumpulan asumsi yang sangat membatasi bahwa nilai sebuah perusahaan tidak berpengaruh oleh struktur modal.

Dengan kata lain hasil yang diperoleh MM menunjukkan bahwa bagaimana cara sebuah perusahaan akan mendanai operasionalnya tidak berarti apa-apa, sehingga struktur modal adalah sesuatu hal yang tidak relevan.

b. Teori Trade-Off

Teori ini membahas hubungan antara struktur modal dengan nilai perusahaan. Dalam kenyataannya, ada hal-hal yang membuat perusahaan tidak bisa menggunakan utang sebanyak-banyaknya. Model trade-off mengasumsi bahwa struktur modal perusahaan merupakan hasil trade-off dari keuntungan pajak dengan menggunakan utang dengan biaya yang akan timbul sebagai akaibat penggunaan utang tersebut. Pada intinya teori trade-off menunjukkan bahwa nilai perusahaan dengan utang akan meningkat dengan meningkatnya pula tingkat utang.

c. Pecking Order Theory

Pecking order theory tidak mengindikasikan target struktur modal melainkan berusaha menjelaskan urutan-urutan pendanaan. Manajer keuangan tidak memperhitungkan tingkat utang yang optimal, melainkan kebutuhan investasi. Pecking order theory dapat menjelaskan kenapa perusahaan mempunyai tingkat keuntungan yang tinggi dengan tingkat utang yang lebih kecil. Tingkat keuntungan yang tinggi menjadi dana internal cukup untuk memenuhi kebutuhan investasi.

2) Faktor – faktor yang mempengaruhi Stuktur Modal

Kebijakan struktur modal melibatkan perimbangan antara risiko dan tingkat pengembalian. Semakin tinggi risiko maka harga saham akan cenderung mengalami penurunan, tetapi meningkatnya tingkat pengembalian yang diharapkan akan menaikkan harga saham tersebut. Karena itu, struktur modal yang optimal harus berada pada keseimbangan antara risiko dan pengembalian yang memaksimumkan harga saham.

Menurut (Najmudin, 2013) ada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap keputusan struktur modal, yaaitu :

a. Risiko bisnis yang dimiliki perusahaan adalah tingkat risiko yang melekat pada operasi perusahaan apabila mengunakan hutang. Semakin tinggi risiko bisnis suatu perusahaan,

semakin rendah rasio hutangnya. Perusahaan dengan risiko bisnis atau volatilitas aset yang tinggi mempunyai rasio hutang yang rendah.

b. Flekbilitas keuangan, adalah kemampuan perusahaan untuk

b. Flekbilitas keuangan, adalah kemampuan perusahaan untuk

Dokumen terkait