• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

E.   Manfaat Penelitian

2. Untuk menganalisis dan memberikan bukti empiris mengenai pengaruh pelayanan terhadap minat pembiayaan pemilikan rumah di BCA Syariah di wilayah jabodetabek

3. Untuk menganalisis dan memberikan bukti empiris mengenai pengaruh margin terhadap minat pembiayaan pemilikan rumah di BCA Syariah di wilayah jabodetabek

E. Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah:

1. Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya pengetahuan, dapat juga memperkuat teori-teori mengenai pembiayaan pemilikan rumah di perbankan syariah, bahan referensi bagi para akademisi yang sedang memperdalam ilmu ekonomi dan keuangan Islam, khususnya yang fokus terhadap keuangan Islam dan sebagai rujukan bagi para penelitian selanjutnya untuk kemudian dikembangkan secara lebih detail

2. Praktisi

Penelitian ini menjadi bahan untuk memperluas wawasan dan pengetahuan penulis, dapat menjadi bahan evaluasi dan juga pertimbangan untuk standarisasi di perbankan syariah agar lebih informatif dan sistematis, dan dapat menambah tingkat pengetahuan masyarakat mengenai beberapa faktor yang mempengaruh minat pembiayaan pemilikan rumah.

 

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori

1. Pembiayaan Syariah

Pembiayaan dipakai untuk mendefinisikan pendanaan yang dilakukan oleh lembaga pembiayaan seperti bank syariah kepada nasabah. Pembiayaan secara luas berarti financing atau pembelanjaan yaitu pendanaan yang dikeluarkan untuk mendukung investasi yang telah direncanakan, baik dilakukan sendiri maupun dikerjakan oleh orang lain(Antonio, 2001). Menurut Antonio (2001) bahwa pembiayaan merupakan salah satu tugas pokok bank yaitu pemberian fasilitas dana untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak yang merupakan deficit unit.

Pembiayaan merupakan bagian dari trust. Istilah pembiayaan berarti kepercayaan dan mengacu pada lembaga pembiayaan sebagai Shahib al mal yang mempercayai seseorang (mudharib) untuk melakukan amanah yang diberikan.

Dana tersebut harus digunakan dengan benar dan adil serta harus ada hubungan dan kondisi yang jelas yang menguntungkan kedua belah pihak(Ilyas, 2015).

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 disebutkan bahwa pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa:

a. transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah;

b. transaksi sewa-menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik;

c. transaksi jual beli dalam bentuk piutang Murabahah, salam, dan istishna’;

d. transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh; dan e. transaksi sewa-menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi

multijasa.

Berdasarkan pemaparan dari beberapa pendapat, maka pengertian pembiayaan adalah kesepakatan antara dua belah pihak antara pemilik dana yang memberi amanah atau kepercayaan kepada orang yang membutuhkan dana untuk akhirnya membagi hasil keuntungan yang didapatkan.

Secara umum produk jasa layanan perbankan terdiri atas kegiatan penghimpunan dana dan penyaluran dana. Hal yang sama juga dilakukan oleh bank

 

syariah dimana terdapat produk giro, tabungan dan deposito untuk layanan simpanan dan produk pembiayaan untuk layanan penyaluran dana. Perbedaan mendasar produk-produk layanan perbankan syariah bila dibandingkan dengan bank konvensional adalah terletak pada prinsip ketentuan yang ditetapkan.

Dalam sistem syariah penyaluran dana menganut prinsip Jual Beli dan prinsip Bagi Hasil. Uraian analisa dari prinsip-prinsip produk pembiayaan perbankan syariah adalah sebagai berikut (Fitri, 2015):

1. Prinsip Jual Beli di sini menekankan bahwa dalam perbankan syariah mengandung beberapa kebaikan, antara lain tujuan pembiayaan selalu diberikan kepada sektor riil karena yang menjadi dasar nilai adalah barang yang diperjual-belikan. Begitu juga dengan harga yang disepakati tidak berubah/tetap sampai akhir akad. Jenis prinsip jual beli terdiri atas Murābahah, Salam dan Istishnā’.

2. Prinsip Bagi Hasil dalah akad bersama kegiatan usaha yang di dalamnya diperjanjikan adanya pembagian hasil atas keuntungan yang akan didapat antara kedua belah pihak atau lebih. Jenis bagi hasil terdiri atas Mudhārabah dan Musyarakah.

Pembiayaan yang dikeluarkan oleh pihak bank syariah pasti memiliki tujuan dan manfaat untuk para nasabah yang akan menjual atau membeli dan untuk melakukan kegiatan usaha namun tidak memiliki modal usaha. Dalam tujuan yang telah dikemukakan oleh Kasmir (2008) (Cahyono, 2015), dapat diketahui bahwa tujuan pembiayaan yang pertama yaitu untuk mencari keuntungan. Keuntungan ini dapat dirasakan oleh lembaga keuangan yang mengeluarkan pembiayaan. Karena balas jasa dari pembiayaan yaitu bagi hasil merupakan keuntungan untuk lembaga keuangan yang bersangkutan. Keuntungan ini sangat penting untuk keberlangsungan hidup lembaga keuangan tersebut, jika lembaga keuangan tersebut terus mengalami kerugian maka tidak menutupi kemungkinan bahwa lembaga keuangan tersebut akan dibubarkan.

Selain untuk mencari keuntungan, pembiayaan pun memiliki tujuan untuk membantu usaha nasabah. Melalui pembiayaan ini nasabah dapat melakukan pembiayaan untuk modal, konsumsi maupun kebutuhan lainnya yang diperlukan oleh nasabah itu sendiri. Sehingga dengan adanya pembiayaan usaha nasabah bisa terbantu. Tujuan pembiayaan yang terakhir yaitu untuk membantu pemerintah.

 

Dalam hal ini pemerintah akan merasa terbantu karena dengan banyaknya pembiayaan yang dilakukan oleh nasabah untuk modal usaha akan mengurangi jumlah angka kemiskinan. Semakin banyak nasabah yang membuka usaha maka semakin banyak pula lapangan pekerjaan yang tersedia. Hal ini juga akan berdampak pada berkurangnya angka pengangguran.

Menurut Muhammad pembiayaan secara umum memiliki fungsi untuk meningkatkan daya guna uang dan meningkatkan peredaran uang (Muhammad, 2015). Fungsi pembiayaan memiliki pengertian bahwa adanya pembiayaan untuk menghindari terjadinya penimbunan harta. Sehingga melalui pembiayaan daya guna uang dan peredaran uang tersebut lebih meningkat dan memberikan manfaat.

Dalam Alquran Allah berfirman:

“Orang-orang yang menimbun emas dan perak serta tidak menafkahkannya dijalan Allah, kepada mereka beritahukanlah bahwa mereka akan mendapat siksaan yang sangat pedih” (QS.At-Taubah:34).

Ayat di atas menjelaskan bahwa hukuman bagi yang menimbun harta adalah siksaan yang pedih, dalam hal ini selain lembaga keuangan mengalami kerugian di dunia lembaga keuangan tersebut mengalami kerugian di akhirat pula. Dalam teori moneter modern, penimbunan uang berarti memperlambat perputaran uang. Hal ini memperkecil terjadinya transaksi, sehingga perekonomian menjadi lesu.

Berdasarkan pemaparan diatas dapat disimpulakn bahwa pembiayaan digunakan untuk mencari keuntungan dan fungsi yang utama untuk meningkatkan daya guna uang.

2. Konsep Pembiayaan Pemilikan Rumah Syariah

Salah satu produk yang ditawarkan bank syariah adalah pembiayaan pemilikan rumah. Pada perbankan syariah menerapkan bagi hasil dan kerugian (profit and loss sharing) sebagai pengganti sistem bunga (riba) perbankan konvensional.

Perbedaan tersebut di antaranya adalah pertama, pihak bank konvensional hanya meminjamkan uang dan tidak memiliki rumah secara lahir, walau nantinya berhak menyitanya jika pihak yang berhutang tidak mampu membayarnya.

Sedangkan pada perbankan syariah, status bank syariah adalah sebagai pedagang, karena bank membeli dari developer atau melalui perorangan. Kedua, ketika

 

membayar cicilan pada bank konvensional, akan terkena bunga (riba) karena pada bank konvensional, pembayaran tiap bulan disesuaikan dengan suku bunga yang naik turun. Sisa hutang yang masih ada akan dihitung dengan suku bunga yang baru lebih tinggi, akibatnya cicilannya jadi lebih besar sedangkan pada bank syariah transaksi yang dilakukan tidak melibatkan bunga, tapi jual beli (Kurniawan &

Inayah, 2014).

Dengan adanya pembiayaan pemilikan rumah tentunya ini akan mempermudah dan meringankan masyarakat dalam memiliki hunian siap pakai, yang pembayarannya dengan cara diangsur kepada bank syariah tanpa harus membeli kontan dengan harga yang relatif mahal (Hidayatullah, A., & Thantawi, 2017).

Ada tiga akad pembiayaan yang digunakan oleh bank syariah yang dapat menjadi pilihan bagi nasabah dalam memiliki rumah secara syariah yaitu akad Murabahah, akad ijarah muntahiyyah bittamlik, dan akad musyarakah mutanaqisah (Kurniawan & Inayah, 2014).

1. Akad Murabahah

Antonio Syafi’i mendefinisikan bai’ Murabahah adalah menjual barang dengan harga asli dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Dalam bai Murabahah, penjual harus memberitahukan harga produk yang dibelinya dan menentukan tingkat keuntungan sebagai tambahannya. Wiroso menjelaskan rukun Murabahah terdiri dari penjual (bai'), pembeli (musytari), perdagangan barang (mabi') ,harga(tsaman) dan shighat(ijab qabul). Pembiayaan Pemilikan Rumah Murabahah dikatakan sesuai dengan prinsip syariah jika transaksinya adalah rukun dan syaratnya terpenuhi (Antonio, 2001).

Murabahah adalah akad jual beli barang menggunakan alat tukar dan disertai dengan tambahan yang telah ditentukan, dan ada kejelasan tentang harga awal dan harga jual yang telah di sampaikan oleh pihak penjual kepada pihak pembeli (Janwari, 2015).

Akad Murabahah dalam perbankan syariah adalah pembiayaan yang berbentuk jual beli antara bank dan nasabah dengan cara pembayaran angsuran.

Dalam perjanjian Murabahah bank membiayai barang atau asset yang dibutuhkan

 

oleh nasabahnya dengan menambahkan suatu mark-up atau margin keuntungan.

Dengan kata lain penjual barang dari bank ke nasabah dilakukan atas dasar cost-plus profit (Lubis, 2016).

Akad Murabahah Terdapat dalam 2 jenis yaitu sebagai berikut : 1) Akad Murabahah Tanpa Pesan

Murabahah tanpa pesan adalah jenis akad yang bersifat tidak mengikat.

Yang mana pihak bank melakukakn akad Murabahah dengan nasabah. Lalu pihak bank menyerahkan barang kepada nasabah sebagai pembeli, dan nasabah melakukakn pembayaran kepada pihak bank (Irwanto, 2018).

Gambar 2. 1 Skema PPR Menggunakan Akad Murabahah Tanpa Pesanan

Sumber: Al Arif, 2012 : 46

2) Akad Murabahah dengan pesanan

Pada Murabahah dengan pesanan, bank melakukan pembelian barang setelah ada pemesanan dari nasabah. Murabahah dengan pesanan dapat bersifat mengikat dengan ketentuan bahwa pembeli harus membeli barang yang telah dipesannya dan tidak dapat dibatalkan(Irwanto, 2018).

 

Gambar 2. 2 Skema PPR Menggunakan Akad Murabahah dengan Pesanan

Sumber : Prihantono, 2018 : 224

3) Landasan Hukum Murabahah

Ayat Al-Quran mengenai akad Murabahah tertulis dalam surat Al-Baqarah ayat 275 : “… Allah telah menghalalkan jual belidan mengharamkan riba…” (Q.S Al-Baqarah : 275).

2. Akad Ijarah Muntahiyyah Bittamlik (IMBT)

Akad ijarah muntahiyyah bittamlik (financial leasing with purchase option) adalah perjanjian sewa-menyewa antara bank sebagai pemberi sewa dan nasabah sebagai penyewa atas suatu barang yang menjadi objek sewa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa oleh nasabah kepada bank, yang mengikat bank untuk mengalihkan kepemilikan objek sewa kepada penyewa setelah selesai masa sewa (Hidayatullah, 2016).

 

Gambar 2. 3 Skema PPR dengan Akad IMBT

Sumber: (Hidayatullah, 2016) Keterangan:

A : nasabah mengidentifikasi dan memilih rumah kepada developer.

B : nasabah mengajukan IMBT kepada bank syariah.

C : developer menjual rumah secara tunai kepada bank syariah.

D : bank syariah menyewakan rumah kepada nasabah.

E : nasabah membayar sewa rumah setiap bulan kepada bank syariah.

3. Akad Musyarakah Mutanaqisah (MMQ)

Akad musyarakah mutanaqisah dalam perbankan syariah adalah kerjasama antara bank syariah dengan nasabah untuk pengadaan atau pembelian suatu barang yang mana asset barang tersebut jadi milik bersama. Adapun besaran kepemilikan dapat ditentukan sesuai dengan sejumlah modal atau dana yang disertakan dalam kontrak kerjasama tersebut. Selanjutnya pihak nasabah akan membayar (mengangsur) sejumlah modal atau dana yang dimiliki oleh bank syariah (Andriani, 2019).

Developer sebagai Supplier

Nasabah PPR Bank

Syariah D

B

E

C A

 

Gambar 2. 4 Skema PPR dengan Akad Mutanaqisah

Sumber: (A. Rahayu, 2013) Keterangan:

(A) : nasabah mengidentifikasi dan memilih rumah kepada developer.

(B) : nasabah mengajukan MMQ kepada bank syariah.

(C) : nasabah (20%) dan bank syariah (80%) membeli rumah.

(D) : nasabah dan bank syariah membeli rumah kepada developer secara tunai.

(E) : nasabah membayar rumah setiap bulan kepada bank syariah.

Pada umumnya akad yang sering digunakan di setiap bank syariah adalah akad Murabahah. Menurut Murabahah adalah akad jual beli barang dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan (margin) yang telah disepakati oleh penjual dan pembeli (Karim, 2010).

Ascarya (2013) mendefinisikan Murabahah adalah istilah fiqih Islam yang mengartikan bentuk jual beli tertentu ketika penjual menyatakan biaya perolehan barang, meliputi harga barang dan biaya-biaya lain yang dikeluarkan untuk memperoleh barang tersebut, dan tingkat keuntungan (margin) yang diiinginkan.

Sedangkan Ibnu Qudamah mendefinisikan Murabahah sebagai jual beli dengan menghitung modal ditambah keuntungan tertentu yang diketahui (Imama, 2015).

Jadi dapat disimpulkan bahwa Murabahah adalah jual beli dengan margin yang telah disepakati di awal perjanjian (akad) dalam jangka waktu tertentu.

Developer sebagai Supplier

Nasabah PPR Bank

Syariah

Membeli rumah E

B

C C

D

A

 

Murabahah berdasarkan Fatwa DSN No. 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang ketentuan umum Murabahah dalam bank syariah adalah bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri, dan pembelian ini harus sah dan bebas riba. Bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah (pemesan) dengan harga jual senilai harga beli plus keuntungannya. Dalam kaitan ini bank harus memberitahu secara jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan (Latif, 2016). Berdasarkan pengertian di atas, maka Murabahah dapat disimpulkan sebagai perjanjian jual beli yang dilakukan oleh bank dan nasabah, di mana bank dan nasabah menyepakati harga barang yang dijual dengan menyertakan harga perolehan beserta keuntungan yang disepakati. Adapun landasan hukum tentang akad Murabahah adalah sebagai berikut (Afrida, 2016):

1. Al-Qur’an

“Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS. Al-Baqarah:275).

2. Al-Hadist

Dari Abu Hurairah radliyallaahu ’anhu ia berkata: ”Rasulullah shallallaahu

‘alaihi wasallam melarang dua jual beli dalam satu jual beli” (HR. Tirmidzi).

Setelah landasan hukum tentang akad Murabahah, menurut Ascarya (Ascarya, 2013) menyatakan rukun dalam akad Murabahah yang harus dipenuhi dalam transaksi ada beberapa hal yaitu:

1. Pelaku akad, yaitu ba’i (penjual) adalah pihak yang memiliki barang untuk dijual, dan musytari (pembeli) adalah pihak yang memerlukan dan akad membeli barang

2. Objek akad, yaitu mabi’ (barang dagangan) dan tsaman (harga) 3. Shighah, yaitu ijab dan qobul

Ada juga beberapa syarat pokok dari Murabahah menurut Usmani, antara lain sebagai berikut (Ascarya, 2013):

1. Murabahah merupakan salah satu bentuk jual beli ketika penjual secara ekspilsit menyatakan biaya perolehan barang yang akan dijualnya dan menjual kepada orang lain dengan menambah tingkat keuntungan yang diinginkan.

 

2. Tingkat keuntungan dalam Murabahah dapat ditentukan berdasarkan kesepakatan bersama dalam bentuk lumpsum atau presentase tertentu dari biaya.

3. Semua biaya yang dikeluarkan penjual dalam rangka memperoleh barang, seperti biaya pengiriman, pajak, dan sebagainya dimasukan kedalam biaya perolehan untuk menentukan harga agregat dan margin keuntungan didasarkan kepada harga agregat ini. Akan tetapi, pengeluaran yang timbul karena usaha, seperti gaji karyawan, sewa tempat usaha dan sebagainya tidak dapat dimasukan dalam harga untuk suatu transaksi. Margin keuntungan yang diminta itulah yang meng-cover pengeluaran-pengeluaran tersebut.

4. Murabahah dikatakan sah hanya ketika biaya-biaya perolehan barang dapat ditentukan secara pasti. Jika biaya – biaya tidak dapat dipastikan, barang atau komoditas tersebut tidak dapat dijual dengan prinsip Murabahah.

3. Minat

Tarmudji menjelaskan bahwa minat merupakan perasaan tertarik atau berkaitan pada suatu hal atau aktifitas tanpa ada yang meminta maupun menyuruh, lalu menyebutkan bahwa minat seseorang dapat diekspresikan melalui pernyataan yang menunjukkan seorang lebih tertarik pada suatu obyek lain dan melalui partisipasi dalam suatu aktivitas (Ginting & Yuliawan, 2015). Berdasarkan pengertian dari beberapa ahli dapat disimpulkan bahwa minat merupakan kecenderungan yang tinggi terhadap suatu hal atau objek yang diinginkan seseorang. Dengan kata lain, minat adalah suatu rasa lebih suka dan rasa ketertarikan pada suatu hal atau aktivitas, tanpa ada yang memaksa.

Dalam tahapan minat konsumen terdapat suatu konsep yang dinamakan konsep AIDA diantaranya (Rofiq et al., 2013):

1. Attention atau perhatian, tahap awal dalam menilai suatu produk yang dibutuhkan calon konsumen. Dalam tahap ini calon konsumen nilai mempelajari produk yang ditawarkan.

2. Interest atau ketertarikan, minat calon konsumen timbul setelah mendapatkan informasi yang lebih terperinci mengamati produk.

3. Desire atau keinginan, calon konsumen memikirkan serta berdiskusi yang menyebabkan keinginan dan hasrat untuk membeli produk yang ditawarkan.

Dalam tahapan ini calon konsumen harus maju serta tingkat dari sekedar tertarik

 

akan produk. Tahap ini ditandai dengan hasrat yang kuat dari calon konsumen untuk membeli dan mencoba produk.

4. Action atau tindakan, melakukan pengambilan keputusan yang pasif atas penawaran. Pada tahap ini calon pelanggan yang telah mengunjungi perusahaan akan mempunyai tingkat kemantapan akan membeli atau menggunakan suatu produk yang ditawarkan.

Faktor intern terdiri dari dorongan dari dalam individu, motif sosial, dan faktor emosional. Dorongan dari dalam individu diartikan sebagai suatu yang mengarah pada kebutuhan-kebutuhan yang muncul dari dalam individu. Dorongan ini semacam dorongan fisik, motif, mempertahankan diri dari rasa lapar, juga dorongan rasa ingin tahu. Selanjutnya, motif sosial diartikan sebagai suatu yang mengarah pada penyesuaian diri dengan lingkungan atau aktifitas untuk memenuhi kebutuhan sosial, seperti bekerja, mendapatkan status, mendapatkan penghargaan.

Faktor intern yang ketiga adalah emosional. Faktor emosional memiliki arti minat yang erat hubungannya dengan perasaan atau emosi, keberhasilan dalam beraktivitas yang didorong oleh minat akan membawa rasa senang dan memperkuat minat yang ada. Sebaliknya, kegagalan akan mengurangi minat individu tersebut.

Sementara, faktor ekstern terditi dari empat komponen yaitu status ekonomi, pendidikan, situasional (orang dan lingkungan) dan keadaan psikis (Russetyowati, 2018).

Faktor internal dari dorongan individu terdiri dari persepsi, keyakinan atau kepercayaan, harapan pribadi, kebutuhan, rasa senang atau tidak senang dan kepuasan (Sudrajat, 2010).Dalam penelitian ini status ekonomi diukur dari margin.

Kemudian dari situasional (orang dan lingkungan), orang cenderung memperluas minat mereka disebabkan oleh situasi orang dan lingkungan disekitarnya membaik atau menimbulkan ketertarikan. Dalam penelitian ini situasional (orang dan lingkungan) diukur dari pelayanan.

Faktor internal yang utama adalah kepercayaan, sedangkan Faktor eksternal yang utama adalah produk yang ditawarkan produsen melalui pelayan dan margin (Suleman, 2017).

 

4. Promosi

Konsep pemasaran Islam berkembang seiring dengan perkembangan ekonomi Islam. Beberapa perusahaan dan bank, terutama yang berbasis syariah telah menerapkan konsep ini dan mencapai hasil yang positif. Pemasaran syariah diharapkan terus berkembang dan dipercaya oleh masyarakat karena nilainya memenuhi kebutuhan masyarakat yaitu kejujuran.

Secara umum, pemasaran Islami adalah disiplin bisnis strategis dan proses menciptakan nilai bagi pemangku kepentingannya kepada pemangku kepentingan lain, mengikuti kontrak Islami sepanjang prosesnya. Artinya dalam pemasaran Islam, seluruh proses (termasuk proses penciptaan, proses penyediaan dan proses perubahan nilai) tidak boleh melanggar hukum Islam. Dalam perspektif hukum islam, pemasaran syariah adalah segala aktivitas yang berupa aktivitas penciptaan nilai dalam bisnis yang memungkinkan setiap orang yang terlibat dalam aktivitas tersebut bersikap jujur, adil, terbuka, dan ikhlas sesuai dengan proses yang berbasis hukum Islam (Tamamudin, 2014).

Sembilan etika (akhlak) pemasar yang menjadi prinsip-prinsip bagi syariah pemasar dalam menjalankan fungsi-fungsi pemasaran (Tamamudin, 2014), yaitu sebagai berikut :

1. Memilki kepribadian spiritual (takwa) 2. Berperilaku baik dan simpatik (shidiq) 3. Berlaku adil dalam bisnis (al-adl)

4. Bersikap melayani dan rendah hati (khidmah) 5. Menepati janji dan tidak curang

6. Jujur dan terpercaya (amanah)

7. Tidak suka berburuk sangka (suíuzh-zhan) 8. Tidak suka menjelek-jelekan (ghibah) 9. Tidak melakukan sogok (riswah)

Jadi dapat disimpulkan bahwa Promotion mix atau bauran promosi merupakan unsur-unsur pemasaran yang saling terkait, dibaurkan, diorganisir dan digunakan dengan tepat, sehingga perusahaan dapat mencapai tujuan pemasaran dengan efektif, sekaligus memuaskan kebutuhan dan keinginan konsumen.

 

5. Pelayanan

Pada dasarnya definisi pelayanan berfokus kepada upaya pemenuhan kebutuhan dan keinginan konsumen, serta ketepatan penyampaianya untuk mengimbangi harapan konsumen. Pelayanan juga memiliki arti yang sangat luas dalam hal pekerjaan dan cara bekerja dari para juru layan yang semuanya ditujukan untuk memberikan kepuasan kepada konsumen. Pegawai ataupun pelayan yang terdidik dengan baik dan mengerti akan pekerjaannya tentunya tidak akan berhenti setelah usahanya untuk memberikan kepuasan kepada konsumen berhasil, akan tetapi dia berusaha terus agar dia dapat melayani dan mendahului sebelum konsumennya menyampaikan keinginannya. Disamping itu sikap ramah tamah dari pelayan atau karyawan juga tidak kalah pentingnya dalam memberikan pelayanan kepada konsumen (Fahrudin & Yulianti, 2015).

Untuk mencapai tingkat pelayanan yang unggul setiap karyawan harus memiliki ketrampilan tertentu, diantara penampilan yang baik dan menarik, sikap ramah, memperlihatkan gairah kerja dan sikap selalu siap untuk melayani, tenang dalam melayani, tidak merasa tinggi hati karena dibutuhkan, menguasai pekerjaannya baik tugas yang berkaitan pada bagian atau departemennya maupun bagian lainnya, mampu berkomunikasi dengan baik, bisa memahami bahasa isyarat konsumen dan memiliki kemampuan menangani keluhan konsumen secara profesional. Pelayanan termasuk dalam kegiatan ekonomi, secara langsung maupun tidak langsung dalam memenuhi kebutuhan manusia dengan mempromosikan produk ataupun jasa. Dapat diartikan juga sebagai kegiatan yang berusaha untuk mencapai kepuasan dan keinginan yang berbeda-beda. Seperti yang diperintahkan oleh Allah SWT dalam memberikan pelayanan yang baik dalam QS.Al-Qashash:77, yaitu (Rohman, 2017) :

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”

(QS.Al-Qashash:77).

 

Dalam ayat ini dijelaskan bahwa kita diperintahkan untuk mencari apa yang telah dianugerahkan Allah kepada kita (akhirat) dan dengan tidak melupakan kebahagian di dunia dan selalu berbuat baik kepada sesama manusia serta tidak merusak apa yang ada di muka bumi ini. Barang produksi adalah salah satu dari produk yang ditawarkan oleh suatu perbankan yang berupa barang konsumsi ataupun jasa untuk memenuhi ketertarikan atau keinganan para nasabah. Menurut Parasuraman, dkk untuk mengevaluasi kualitas jasa pelayanan umumnya

Dalam ayat ini dijelaskan bahwa kita diperintahkan untuk mencari apa yang telah dianugerahkan Allah kepada kita (akhirat) dan dengan tidak melupakan kebahagian di dunia dan selalu berbuat baik kepada sesama manusia serta tidak merusak apa yang ada di muka bumi ini. Barang produksi adalah salah satu dari produk yang ditawarkan oleh suatu perbankan yang berupa barang konsumsi ataupun jasa untuk memenuhi ketertarikan atau keinganan para nasabah. Menurut Parasuraman, dkk untuk mengevaluasi kualitas jasa pelayanan umumnya

Dokumen terkait