BAB I PENDAHULUAN
D. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Manfaat Teoritis
Manfaat penelitian ini ditujukan sebagai pengembangan ilmu pengetahuan dimana jika ditinjau dari segi teoretisnya antara lain untuk mendukung keberadaan Syariah Enterprise Theory oleh (Triyuwono 2006a: 356). Berupa nilai keseimbangan yang tidak hanya peduli pada kepentingan individu tetapi juga memiliki kepedulian yang besar pada stakeholders yang luas, dimana stakeholders meliputi Allah, manusia, dan alam. Sehingga dengan terciptanya insan yang unggul dalam menempatkan Allah sebagai stakeholder tertinggi akan mampu meningkatkan kaidah keamanahan pada lembaga pengelola zakat.
2. Manfaat Praktis
Peneliti berharap penelitian ini dapat memberikan kontribusi positif bagi pihak-pihak yang membutuhkan hasil penelitian ini.
a. Bagi Peneliti
1) Untuk menambah pengetahuan serta pemahaman mengenai akuntansi zakat menggunakan pendekatan metafora amanah sebagai bentuk pertanggungjawaban baik kepada manusia maupun kepada Allah sang pencipta.
2) Sebagai salah satu acuan untuk lebih mengembangkan ilmu pengetahuan yang dimiliki peneliti selama kuliah.
b. Bagi Lembaga
Di harapkan dapat memberi konstribusi bagi Badan Amil Zakat/Lembaga Amil Zakat dalam meningkatkan akuntabilitasnya
8
dalam mengelola dana zakat, infaq, dan sadaqah (ZIS) berbasis konsep metafora amanah. Dengan demikian dapat dijadikan bahan perbaikan pada lembaga tersebut sehingga mampu memberi kesejahteraan para mustahiq, dan para muzakki tetap percaya pada lembaga yang diberikan amanah. Menjadi acuan dalam melaksanakan tugas mulia yang di emban sebagai perpanjangan tangan dari Allah SWT kepada hamba-Nya.
9 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Teori
1. Pengertian Akuntansi Zakat
Zakat merupakan kewajiban yang dikenakan atas harta yang telah memenuhi persyaratan tertentu untuk diserahkan kepada penerima-penerima tertentu melalui petugas tertentu. Zakat merupakan Rukun Islam yang ketiga wajib bagi setiap muslim seperti tercantum dalam surat
Artinya: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka, dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Subhanahuwa Ta’ala Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. At- Taubah: 103)
Zakat dan shalat dijadikan sebagai perlambang keseluruhan ajaran islam. Pelaksanaan shalat melambang hubungan seseorang dengan Tuhan, sedangkan pelaksanaan zakat melambangkan hubungan antar sesama manusia.
Dalam pernyataan PSAK No.109 zakat adalah harta yang wajib dikeluarkan oleh muzzaki sesuai dengan ketentuan syariah untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya (mustahiq). Menurut Undang-undang Nomor 23 tahun 2011, bahwa zakat merupakan pranata keagamaan yang bertujuan untuk meningkatkan keadilan kesejahteraan masyarakat.
Untuk Infaq dan shadaqah mempunyai pemahaman arti yang sedikit berbeda dengan zakat. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Didin
10
Hafidhuddin (2000). Infaq berasal dari kata anfaqa yang berarti mengeluarkan harta untuk kepentingan sesuatu, sedangkan shadaqah berasal dari kata shadaqa yang berarti benar. Dalam terminologi syariah pengertian infaq dan shadaqah berarti mengeluarkan sebagian harta/penghasilan untuk sesuatu kepentingan yang diperintahkan ajaran Islam. Hukum yang berlaku bagi infaq dan shadaqah adalah sunnah, sebagaimana Sabda Rasulullah SAW: Artinya: “Dalam harta seseorang terdapat hak Allah dan Rasul-Nya disamping zakat.”.
Infaq ada yang wajib maupun sunnah, infaq wajib diantaranya adalah zakat dan infaq sunnah adalah shadaqah. Shadaqah adalah pemberian harta pada orang-orang fakir miskin, orang yang membutuhkan atau pihak-pihak lain yang berhak untuk menerima shadaqah tanpa disertai imbalan, tanpa paksaan, tanpa batasan jumlah, kapan saja dan berapapun jumlahnya. Dalam PSAK No. 109, infaq/shadaqah adalah harta yang diberikan secara sukarela oleh pemiliknya baik peruntukkannya dibatasi (ditentukan) maupun tidak dibatasi.
Menurut Mursyidi (2002) Akuntansi zakat merupakan suatu proses pengakuan (recognition) kepemilikan dan pengukuran (meansurement) nilai suatu kekayaan yang dimiliki oleh suatu muzakki untuk tujuan penetapan nisab zakat kekayaan yang bersangkutan dalam rangka perhitungan zakatnya. Akuntansi zakat terkait dengan tiga hal pokok, yaitu penyediaan informasi, pengendalian manajemen, dan akuntabilitas. Informasi akuntansi bermanfaat untuk pengambilan keputusan, terutama untuk membantu manajer dalam alokasi zakat.
11
PSAK 109 Tentang Akuntansi Zakat dan Infak/sedekah merupakan suatu hal yang dinantikan Pemberlakuan PSAK ini juga diharapkan dapat terwujudnya keseragaman pelaporan, dan kesederhanaan pencatatan. Sehingga publik dapat membaca laporan akuntansi pengelola zakat serta mengawasi pengelolaannya. Selain itu penerapan PSAK 109 ini juga bertujuan memastikan bahwa organisasi Pengelola zakat telah memakai prinsip- prinsip syariah, dan seberapa jauh OPZ memiliki tingkat kepatuhan menerapkannya.
Berdasarkan pengertian tersebut maka yang menjadi tujuan akuntansi zakat menurut AAS-IFI (Accounting & Auditing Standart for Islamic Financial Institution) adalah menyajikan informasi mengenai ketaatan organisasi terhadap ketentuan syariah Islam, termasuk informasi mengenai penerimaan dan pengeluaran yang tidak diperbolehkan oleh syariah serta bagaimana penyalurannya.
2. Konsep Metafora Amanah
Amanah dalam konteks ekonomi menyatakan bahwa segala sumber daya milik Allah dan manusia adalah seseorang yang diberi amanah untuk menyebar misi sakral yang ditugaskan kepadanya. Tujuan organisasi menurut Islam adalah menyebarkan rahmat bagi semua makhluk (Kalbarini, 2014). Tujuan itu pada hakekatnya tidak terbatas pada kehidupan dunia individu, tetapi juga kehidupan setelah dunia ini.
Morgan (1986) dalam Triyuwono (2000:10) menyatakan bahwa metafora adalah suatu cara berpikir dan melihat yang mempengaruhi cara seseorang melakukan interpretasi dan memahami realitas sosialnya.
Kalbarini dan Suprayogi (2014) menyatakan bahwa metafora amanah
12
dalam bentuk operasional bisa diturunkan menjadi metafora zakat atau realitas organisasi yang di metaforakan dengan zakat (zakat metaphorized organisational reality).
Pemahaman konsep organisasi dalam konteks amanah akan membawa manusia pada pemahaman bahwa setiap aktivitas adalah untuk mencari ridha Allah. Ini merupakan bentuk pencapaian paling tinggi, lebih tinggi dari ukuran materialisme. Dalam tataran tersebut, tujuan lembaga tidak bisa dibatasi hanya untuk memperoleh laba yang maksimal guna meningkatkan kekayaan pemilik, tetapi perlu juga diarahkan pada pemenuhan tuntutan sosial masyarakat yang selama ini selalu terabaikan (stakeholder oriented) disamping menjaga kelestarian alam lingkungan (environment oriented) (Triyuwono, 2006:352).
Akuntansi syari’ah melihat bahwa akuntansi bisa benar-benar berfungsi sebagai alat penghubung antara stakeholders, entity dan publik dengan tetap berpegangan pada nilai-nilai akuntansi dan ibadah syari'ah. Kondisi ini menunjukkan bahwa akuntansi syari’ah memberikan informasi akuntansi sesuai dengan kondisi riil, tanpa ada rekayasa dari semua pihak, sebagai bentuk ibadah kepada Allah, sehingga akan tercipta hubungan yang baik antara stakeholders, para akuntan, dan hubungan sosial antar manusia yang lebih baik. Hal ini karena akuntansi syari’ah memandang bahwa organisasi ini sebagai Syariah Enterprise Theory, dimana keberlangsungan hidup sebuah organisasi ditentukan oleh banyak pihak.
Dalam konteks metafora amanah, tujuan lembaga yang memaksimalkan laba tidak lagi relevan. Metafora amanah ini dapat
13
dijelaskan pada hal yang lebih operasional lagi yaitu zakat. Organisasi dengan metafora amanah ini tidak saja mempunyai kepedulian terhadap kesejahteraan manusia tetapi juga kesejahteraan (kelestarian) alam yang dikelola dengan cara-cara yang adil dengan menggunakan potensi internal yaitu dengan akal dan hati (Kholmi, 2012). Dalam tradisi islam atau organisasi yang menggunakan metafora amanah, Badan Amil Zakat harus dioperasikan atas dasar nilai-nilai etika yaitu etika yang diformulasikan dalam bentuk syariah. Dalam pengertian luas, syariah merupakan pedoman yang digunakan oleh umat islam untuk berperilaku dalam segala aspek kehidupan. Bila metafora ini secara sadar diterima dan di praktikkan dalam kegiatan pada suatu lembaga secara lebih menyeluruh, maka akan tercipta apa yang dinamakan dengan realitas organisasi dengan jaringan-jaringan kuasa Ilahi.
a. Syariah Enterprise Theory
Syariah Enterprise Theory tidak mendudukkan manusia sebagai pusat dari segala sesuatu sebagaimana dipahami oleh antroposentrisme. Tapi sebaliknya, Syariah Enterprise Theory menempatkan Tuhan sebagai pusat dari segala sesuatu. Tuhan menjadi pusat tempat kembalinya manusia dan alam semesta. Oleh karena itu, manusia di sini hanya sebagai wakilNya (khalituLlah fil ardh), sebagai perpanjangan tangan yang memiliki konsekuensi patuh terhadap semua hukum-hukum Tuhan. Artinya sebagai khalifatullah fil ardh manusia memiliki misi mulia yaitu menciptakan dan mendistribusikan kesejahteraan (materi dan nonmateri) bagi seluruh manusia dan alam semesta, untuk mempermudah tugas ini manusia
14
dapat menciptakan organisasi (organisasi profit atau organisasi nonprofit) yang digunakan sebagai instrumen dalam mengemban tugas tersebut sehingga organisasi diharuskan mempertanggung jawabkan seluruh aktivitas kepada Allah secara vertikal, dan kemudian dijabarkan lagi dalam bentuk pertanggungjawaban secara horizontal kepada umat manusia lain serta pada lingkungan alam (Kalbarini dan Suprayogi, 2014).
Shariah Enterprise Theory (SET) merupakan enterprise theory yang telah diinternalisasi dengan nilai-nilai Islam guna menghasilkan teori yang transendental dan lebih humanis. Enterprise theory, seperti yang dimaksudkan oleh beberapa peneliti lain, merupakan teori yang mengakui adanya pertanggungjawaban bukan hanya kepada pemilik entitas saja melainkan kepada kelompok stakeholders yang lebih luas cakupannya. Salah satu penyebab demikian karena kekuasaan penuh bukan lagi oleh kendali penuh shareholders melainkan kepada banyak pihak yang juga memilki kepentingan atas sustainable perusahaan.
selain itu, Enterprise theory menjelaskan bahwa akuntansi harus melayani bukan saja pemilik perusahaan, tetapi juga masyarakat.
Menurut Triyuwono pada tahun 2007 mengemukakan bahwa SET yang dibangun berdasarkan metafora amanah dan metafora zakat, lebih menghendaki kesimbangan antara sifat egoistik dan altruistik dibanding dengan ET (Entity Theory). Sementara ET lebih mengedepankan sifat egoistiknya daripada sifat altruistic. Hal ini menunjukkan bahwa SET memiliki kandungan kepedulian pada sesama sangatlah besar. SET memiliki cakupan akuntabilitas yang
15
lebih luas dibandingkan dengan ET. Akuntabilitas yang dimaksud adalah akuntabilitas kepada Tuhan, manusia, dan alam. Bentuk pertanggung jawaban yang dimaksud disini adalah bagaimana suatu entitas atau pribadi mendahulukan yang telah mengadakan apa yang telah di kelola dan kepada siapa dibagikan serta dari manakah sumbernya (Husain dan Abdullah, 2015:45).
Lebih jauh lagi, Triyuwono pada tahun 2006 juga mengemukakan bahwa SET menyeimbangkan nilai egoistik (maskulin) dengan nilai altruistik (feminin), nilai materi (maskulin) dengan nilai spiritual (feminin), dan seterusnya. Peran SET yang mengedepankan kesadaran akan ketuhanan akan memunculkan situasi dimana manusia sebagai pengolah alam akan selalu tersadarkan. Tidak hanya itu pengembangan teori ini menempatkannya sebagai sisi baru dalam dunia akuntansi yang berada dalam bentuk keseimbangan material dan spiritual. Di tempatkannya tuhan sebagai stakeholder yang tertinggi merupakan cara paling tepat karna Dialah maha pencipta akan segala sesuatu. Selanjutnya adalah manusia yang disebut sebagai pengemban amanah dan menjadi pelaksana yang andal, manusia sebagai stakeholder bagi perusahaan dibagi menjadi dua yaitu stakeholder langsung yaitu manusia yang secara langsung bermetamorfosa dengan produk yang dihasilkan atau dengan kata lain penggagas, stakeholders tidak langsung adalah masyarakat luas yang memiliki andil yang besar terhadap going concern-nya suatu bisnis.
Terakhir sebagai stakeholder yang tak kalah pentingnya adalah alam
16
yang terkadang oleh manusia-manusia yang terkadang dilupakannya dan memberi kontribusi yang banyak (Husain dan Abdullah, 2015:46).
b. Shariah Compliance (Kepatuhan Syariah)
Syariah berasal dari bahasa arab, mengacu pada hukum dan cara hidup yang ditentukan oleh Allah SWT bagi hamba-Nya. Dalam kaitan ini, kepatuhan syariah adalah penerapan prinsip - prinsip syariah yang mengacu pada hokum Allah SWT dalam pengelolaan dana zakat.
Kepatuhan syariah dalam pengelolaan zakat merupakan sebuah keharusan pada setiap pengelola zakat. Hal itu tidak saja berkaitan dengan kepercayaan muzakki terhadap amil zakat, tetapi lebih penting dan mendasar adalah menyangkut nilai moral dan pertanggungjawaban amil kepada Allah SWT sebagai pemilik syariat (Widialoka dkk, 2015).
Kepatuhan syariah memiliki standar internasional yang disusun dan ditetapkan oleh Islamic Financial Service Board (IFSB), dimana kepatuhan syariah merupakan bagian dari tata kelola lembaga. Prinsip – prinsip dari kepatuhan syariah adalah transparansi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, profesional, dan kewajaran (Widialoka dkk, 2015). Semakin tinggi nilai pengungkapan identitas etis Islam, maka semakin tinggi pula tingkat kepatuhan terhadap prinsip Islam. Pada akhirnya akan menghasilkan komitmen dan loyalitas stakeholder pada organisasi, dan berdampak pada peningkatan kinerja keuangan.
Shariah compliance merupakan salah satu pilar penting dalam pengelolaan zakat. Untuk menjamin teraplikasinya prinsip – prinsip syariah, laporan keuangan lembaga pengelola zakat secara berkala
17
harus di audit meliputi audit keuangan dan audit syariah. Audit syariah dilakukan oleh Kementerian Agama dan audit keuangan dilakukan oleh akuntan publik. Laporan pelaksanaan pengelolaan zakat, infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya yang telah di audit syariah dan keuangan disampaikan kepada BAZNAS (PP No. 14 Tahun 2014).
Standar yang digunakan dalam proses audit syariah adalah dengan menggunakan standar Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions (AAOIFI) yang menyelidiki tingkatan kepatuhan audit syariah dalam suatu lembaga keuangan Islam. AAOIFI bertugas untuk merumuskan standar dan isu-isu terkait akuntansi, audit, pemerintahan, etika dan standar syariah untuk lembaga keuangan Islam (IFIs), AAOIFI adalah organisasi internasional yang bersifat independen, didukung oleh 200 anggota dari 40 negara termasuk bank sentral, lembaga keuangan Islam, dan anggota lainnya dari industri perbankan internasional di seluruh dunia.
c. Transparansi
Transparansi berarti terbuka, mudah, dan dapat diakses oleh pihak yang membutuhkan secara memadai dan mudah dimengerti.
Transparansi merupakan salah satu prinsip dalam perwujudan good governance. Transparansi dibangun atas dasar kebebasan memperoleh informasi yang dibutuhkan oleh masyarakat. Artinya, informasi yang berkaitan dengan kepentingan publik secara langsung dapat diperoleh oleh mereka yang membutuhkan. Transparansi dibangun atas dasar kebebasan memperoleh informasi. Informasi yang
18
berkaitan dengan kepentingan publik secara langsung dapat diperoleh stakeholder. Pemerintah berkewajiban memberikan informasi keuangan dan informasi lainnya untuk pengambilan keputusan bagi stakeholders. Shende dan Bennet dalam Nurhayati (2014) mengatakan bahwa transparansi, akuntabilitas, dan keadilan merupakan atribut yang terpisah. Namun pelaksanaan akuntabilitas memerlukan adanya suatu transparansi.
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa transparansi merupakan suatu bentuk keterbukaan informasi kepada stakeholders sehingga semua pihak yang telibat mengetahui apa yang dilakukan oleh organisasi dalam kegiatan operasi suatu lembaga.
Menurut Tapanjeh pada penelitiannya tahun 2009 mengemukakan bahwa konsep transparansi dalam Islam adalah:
1. Organisasi bersifat terbuka kepada muzaki.
2. Informasi harus diungkapkan secara jujur, relevan, tepat waktu dapat dibandingkan dan meliputi segala hal yang terkait dengan informasi yang akan diberikan, dan
3. Pemberian informasi juga perlu dilakukan secara adil kepada semua pihak yang membutuhkan informasi.
Selain itu, organisasi juga harus mengkomunikasikan segala kebijakan yang mereka lakukan kepada pemberi amanah. Dari konsep transparansi di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam Islam, transparansi erat kaitannya dengan kejujuran. Dalam menyampaikan informasi, pemberi informasi harus bersikap jujur sehingga tidak ada
19
satu pun hal yang luput dari pengetahuan penerima informasi (Rizky, 2013: 320).
d. Akuntabilitas
Akuntabilitas adalah bentuk pertanggungjawaban atas aktivitas organisasi dalam bentuk laporan oleh penerima amanah kepada pemberi amanah. Dalam segi akuntansi, akuntabilitas adalah aktivitas untuk menghasilkan pengungkapan yang benar. Pertanggungjawaban yang pertama adalah pertanggungjawaban kepada Allah. Jadi, suatu entitas dikatakan akuntabel jika mampu menyajikan informasi secara terbuka mengenai keputusan – keputusan yang telah diambil selama kegiatan operasi entitas dan stakeholder dapat dengan mudah mengakses informasi tersebut.
Sedangkan menurut UU Nomor 23 Tahun 2011 tentang pengelolaan zakat, pertanggungjawaban sebagai perwujudan asas akuntabilitas diwujudkan dalam bentuk menyusun dan mempublikasikan laporan keuangan auditan. Menurut Ar Rahman (2003: 46) bahwa dalam Islam, akuntabilitas berarti bertangungjawab manusia kepada Allah SWT atas apa yang telah dilakukan. Selain itu, akuntabilitas juga berarti setiap orang harus menerima semua kewajiban dan hak sesuai dengan amanah yang diterimanya.
Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. An Nisaa (4: 58)
َّنِإ
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan (menyuruh kamu)
20
apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah maha memberi pengajaran yang sebaiknya kepadamu. Sesunguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat” (QS. An Nisaa, 4:58).
Ayat tersebut menjelaskan bahwa amanah harus diberikan kepada yang berhak dan dalam melaksanakan amanah harus, penerima amanah harus bersikap adil dan menyampaikan kebenaran.
BAZNAS Kabupaten/Kota bertanggungjawab kepada BAZNAS Provinsi dan PEMDA. BAZNAS provinsi bertanggungjawab pada BAZNAS dan PEMDA. LAZ bertanggungjawab kepada BAZNAS dan PEMDA. Dan BAZNAS bertanggungjawab pada Menteri (UU No. 23 Tahun 2011).
3. Kompetensi Sumber Daya Manusia (Amil)
Kompetensi SDM adalah kemampuan seseorang (individu), organisasi (kelembagaan) atau suatu sistem untuk melaksanakan fungsi-fungsi atau kewenangannya untuk mencapai tujuannya secara efektif dan efisien (Karmila dan Darlis, 2013). Adapun menurut Hevesi mengatakan bahwa kompetensi merupakan suatu karakteristik dari seseorang yang memiliki keterampilan (skill), pengetahuan (knowledge) dan kemampuan (ability) untuk melaksanakan suatu pekerjaan. Tingkat kompetensi dapat dilihat dari latar belakang pendidikan, pelatihan-pelatihan dan keterampilan yang dinyatakan dalam pelaksanaan tugas. Tjiptoherijanto mengatakan untuk menilai kinerja dan kualitas kapasitas SDM dalam melaksanakan suatu fungsi, dapat dilihat dari kompetensi sumber daya tersebut.
Tanggung jawab dapat dilihat dari penjelasan pembagian tugas pokok dan fungsi (TUPOKSI) jabatan yang jelas, Tanpa adanya penjelasan tupoksi
21
jabatan yang jelas, sumber daya tersebut tidak dapat melaksanakan tugasnya dengan baik (Widyaningrum dan Rahmatia, 2010).
Penentuan tingkat kompetensi dibutuhkan agar dapat mengetahui tingkat kinerja yang diharapkan untuk kategori baik atau rata-rata.
Penentuan ambang kompetensi yang dibutuhkan tentunya akan dapat dijadikan dasar bagi proses seleksi, seksesi perencanaan, evaluasi kinerja dan pengembangan SDM.
4. Zakat, Infaq dan Sedekah
Zakat, infaq, dan sedekah merupakan bagian dari kedermawanan (filantropi) dalam konteks masyarakat Muslim. Zakat merupakan kewajiban bagian dari setiap muslim yang mampu serta menjadi unsur dari Rukun Islam, Menurut PSAK NO. 109, zakat adalah harta yang wajib dikeluarkan oleh muzzaki sesuai dengan ketentuan syariah untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya (mustahiq). Sedangkan Infaq dan Sedekah merupakan wujud kecintaan hamba terhadap nikmat dari Allah SWT yang telah diberikan kepadanya sehingga seorang hamba rela menyisihkan sebagian hartanya untuk kepentingan agama baik dalam rangka membantu sesama maupun perjuangan dakwah Islamiyah (Fardan Ngoyo dan Lince, 2015).
a. Dasar hukum zakat
Zakat adalah isim masdar dari kata zaka – yazku – zakah. Kata dasar zakat adalah zaka yang berarti berkah, tumbuh, bersih, baik, dan bertambah. Dengan makna tersebut, orang yang telah mengeluarkan zakat diharapkan hati dan jiwanya akan menjadi bersih, sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. At-Taubah: 103,
22
Artinya: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (QS. At – Taubah:103).
Dari ayat diatas tergambar bahwa zakat yang dikeluarkan para muzakki (orang yang mengeluarkan zakat) dapat membersihkan dan mensucikan hati manusia, tidak lagi mempunyai sifat yang tercela terhadap harta, seperti sifat rakus dan kikir. Sedangkan menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2011, zakat adalah harta yang wajib dikeluarkan oleh seorang muslim atau badan usaha untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya sesuai dengan syariat Islam.
Zakat mulai disyariatkan pada bulan syawal tahun kedua Hijjriyah sesudah pada bulan ramadhannya diwajibkan zakat fitrah. Jadi mula – mula diwajibkan zakat fitrah, baru kemudian diwajibkan zakat mal atau kekayaan. Zakat hukumnya fardhu ain bagi mereka yang telah memenuhi syarat – syaratnya.
Zakat merupakan kewajiban bagi orang beriman (muzakki) yang mempunyai harta yang telah mencapai ukuran tertentu (nisab) dan waktu tertentu (haul) untuk diberikan pada orang yang berhak (mustahiq). Sedangkan kewajiban zakat dalam Islam memiliki makna yang sangat fundam ental, saling berkaitan erat dengan aspek- aspek ke Tuhanan, juga ekonomi sosial. Sebagai rukun ketiga dari rukun Islam, zakat juga menjadi salah satu diantara panji-panji Islam yang tidak boleh diabaikan oleh siapa pun juga. Oleh karena itu, orang yang
23
enggan membayar zakat boleh diperangi dan orang yang menolak kewajiban zakat dianggap kafir.
b. Golongan yang berhak menerima zakat/mustahik zakat Sebagaimana firman Allah dalam QS. At - Taubah: 60:
اَمَّنِإ
Artinya: “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (QS. At- Taubah: 60).
Menurut Ar Rahman (2003: 20), dari ayat diatas dapat disimpulkan golongan yang berhak menerima zakat adalah:
1) Fakir
Fakir ialah orang yang penghasilannya tidak dapat memenuhi kebutuhan pokok (primer) sesuai dengan kebiasaan masyarakat dan wilayah tertentu. Menurut pandangan mayoritas ulama fikih, fakir adalah orang yang tidak memiliki harta dan penghasilan yang halal, atau yang mempunyai harta yang kurang dari nishab zakat dan kondisinya lebih buruk daripada orang miskin. Di antara pihak yang dapat menerima zakat dari kuota fakir, yaitu orang- orang yang memenuhi syarat “membutuhkan”.
Maksudnya tidak mempunyai pemasukan atau harta, atau tidak mempunyai keluarga yang menanggung kebutuhannya.
24
2) Miskin
Miskin adalah seorang muslim dengan penghasilannya mampu memenuhi kebutuhan dharury (primernya) namun tidak mampu memenuhi kebutuhan hajiy (semi primernya).
3) Amil Zakat
Amil zakat ialah semua pihak yang bertindak mengerjakan yang berkaitan dengan pengumpulan, penyimpanan, penjagaan, pencatatan, dan penyaluran atau distribusi harta zakat. Yaitu siapa saja antara kaum muslimin yang ditunjuk oleh pihak berwenang
Amil zakat ialah semua pihak yang bertindak mengerjakan yang berkaitan dengan pengumpulan, penyimpanan, penjagaan, pencatatan, dan penyaluran atau distribusi harta zakat. Yaitu siapa saja antara kaum muslimin yang ditunjuk oleh pihak berwenang