IMPLEMENTASI AKUNTANSI ZAKAT DALAM KONSEP METAFORA AMANAH (STUDI KASUS PADA BADAN
AMIL ZAKAT NASIONAL KOTA MAKASSAR) SKRIPSI
OLEH IRMAN SYAH 10573 05461 15
PROGRAM STUDI AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR MAKASSAR
2020
ii
IMPLEMENTASI AKUNTANSI ZAKAT DALAM KONSEP METAFORA AMANAH (STUDI KASUS PADA BADAN
AMIL ZAKAT NASIONAL KOTA MAKASSAR)
IRMAN SYAH 10573 05461 15
Diajukan guna Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi (S1) Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Muhammadiyah Makassar
PROGRAM STUDI AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR MAKASSAR
2020
iii
MOTTO HIDUP
َلَ َ َّاللَّ َّنِإ ْمِهِسُفنَأِب اَم او ُرِ يَغُي ٰىَّتَح ٍم ْوَقِب اَم ُرِ يَغُي
(QS. Ar Ra’d : 11)
Ketika Ada Dua Pilihan, Maka Pilih Yang Terbaik.
Dan Jika Tidak Ada Pilihan, Maka Kerjakan Yang Terbaik.
…
“Bahagia Itu Ketika Mampu Membahagiakan”
vii
KATA PENGANTAR
مي ِح َّرلا ِن َٰمْح َّرلا ِ َّاللَّ ِمْسِب
Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah SWT atas karunia, petunjuk, rahmat, dan hidayah yang tiada henti diberikan kepada hamba-Nya, Shalawar dan salam tak lupa penulis kirimkan kepada Rasulullah Muhammad SAW beserta para keluarga, sahabat dan pera pengikutnya. Merupakan nikmat yang tiada ternilai manakal penulis dapat menyelesaikan Skripsi yang berjudul:
”Implementasi Akuntansi Zakat dalam Konsep Metafora Amanah (Studi Kasus pada Badan Amil Zakat Nasional Kota Makassar)”.
Adapun tujuan penulisan Skripsi ini adalah untuk memenuhi syarat dalam Menyelesaikan Program Sarjana (S1) Akuntansi pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Makassar.
Teriring ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada kedua orang tua penulis, Ayahanda (Tinggi) dan Ibunda (Juhadi) yang atas jerih payah, semangat, kasih sayang dan doanya demi mencapai keberhasilan penulis dalam menempuh cita-cita. Dan seluruh keluarga besar atas segala pengorbanan, dukungan dan doa restu yang telah diberikan demi keberhasilan penulis dalam menuntut ilmu.
Semoga apa yang telah mereka berikan kepada penulis bernilai ibadah disisi Allah SWT.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini, berbagai cobaan maupun kesulitan, rintangan dan hambatan yang penulis temui sejak dari awal pembuatan skripsi hingga menjelang penyelesaiannya tetapi dapat teratasi berkat prinsip yang disadari penulis. Selanjutnya ucapan terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan dengan hormat kepada:
viii
1. Bapak Prof. Dr. H. Abd Rahman rahim, SE., MM. selaku Rektor Universitas Muhammadiyah Makassar.
2. Bapak Ismail Rasulong, SE., MM. selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Makassar.
3. Bapak Dr. Ismail Badollahi, SE., M.Si., Ak.CA. CSP. selaku Ketua Program Studi Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Makassar.
4. Ibu Dr. Muryani Arsal, SE., MM. Ak.CA. selaku Dosen Pembimbing I yang telah bersedia meluangkan waktu, memberikan pengarahan, bimbingan dan masukan yang bermanfaat dalam penyelesaian Skripsi ini.
5. Bapak Basri Basir MR, SE., M.Ak. selaku Dosen Pembimbing II yang telah bersedia meluangkan waktu, memberikan pengarahan, bimbingan dan masukan yang bermanfaat dalam penyelesaian Skripsi ini.
6. Kelurga besar dan Terutama Kedua Orangtua dan seluruh keluargaku yang tak henti-hentinya memberikan semangat dan do’a untuk kemudahan dan keberhasilan kepada penulis selama ini.
7. Seluruh Dosen Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Makassar yang telah memberikan Ilmu pengetahuan kepada penulis selama mengikuti kuliah.
8. Seluruh Staf Administrasi dan Karyawan Universitas Muhammadiyah Makassar dan khususnya kepada Staf Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Makassar yang telah banyak membantu.
9. Kepada seluruh teman seperjuangan kelas Akuntansi 8 2015, yang senantiasa memberikan motivasi dan dukungannya selama ini.
ix
10. Keluarga Besar Pimpinan Komisariat (PIKOM) Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) dan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) serta Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Makassar yang telah memberikan motivasi dan dukungannya selama ini.
11. Seluruh Keluarga Alumni (KAMI) IMM FEB yang telah memberikan motivasi dan dukungannya selama ini.
12. Kepada saudara seperjuanganku Akmal Ridwan, Irfan, Hardilal, Sukrianto, A. Tria Reski Amalia, Indah Cahyani, Widya Dewi Hastuti, Herni Saharuddin, Tuti Mulianti, Nining Anggriani Hermawati, Irmawati, Lismaya Arifin, Nur Alfika dan adinda-adinda kader PIKOM IMM FEB yang selama ini selalu memberikan semangat untuk bersama-sama berjihad dalam Ikatan.
Penyusun menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan skripsi ini berbagai hambatan dan rintangan yang dihadapi, Namun berkat bimbingan, petunjuk dan dukungan dari berbagai pihak sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu dengan hati terbuka penyusun senantiasa mengharapkan kritik dan saran yang bersifat konstruktif dari semua pihak demi kesempurnaan skripsi ini. Penyusun juga berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak yang membutuhkannya. Aamiin.
Billahi FiiSabililhaq, Fastabiqul Khaerat, Wassalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Makassar, 22 Januari 2020 M Penulis
Irman Syah
x
ABSTRAK
IRMAN SYAH, 2020. Implementasi Akuntansi Zakat dalam Konsep Metafora Amanah (Studi Kasus pada Badan Amil Zakat Nasional Kota Makassar), Skripsi Program Studi Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Makassar. Dibimbing oleh Ibu Muryani Arsal dan Bapak Basri Basir MR.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengelolaan akuntansi zakat menggunakan pendekatan konsep metafora amanah. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian adalah penelitian studi kasus dengan pendekatan deckriptif kualitatif.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa pengelolaan akuntansi zakat pada Badan Amil Zakat Kota Makassar meliputi proses penghimpunan, pendistribusian dan pendayagunaan zakat dilakukan dengan sifat STAF yakni Shiddiq, Tabligh, Amanah dan Fathonah. Berdasarkan pendekatan amanah, Badan Amil Zakat Kota Makassar dalam mengakui, mengukur, mengungkap dan menyajikannya telah sesuai dengan prinsip metafora amanah yakni segala sesuatu yang di titipkan oleh muzakki merupakan amanah pula dari Allah SWT sesuai dengan Syariah Enterprise Theory. Penelitian ini berimplikasi terhadat penerapan pencatatan keuangan akuntansi zakat berdasar pada PSAK No. 109, namun belum secara maksimal dilakukan.
Kata Kunci: Akuntansi Zakat, Metafora Amanah, SET, PSAK 109.
xi
ABSTRACT
IRMAN SYAH, 2020. Implementation of Zakat Accounting in the Concept of Trustful Metaphor (Case Study at the Makassar City Amil Zakat Agency), Thesis Accounting Study Program Faculty of Economics and Business, University of Muhammadiyah Makassar. Supervised by Mrs. Muryani Arsal and Mr. Basri Basir MR.
This study aims to examine the management of zakat accounting using the Trustful Metaphor approach. This type of research used in research is a case study research with a qualitative descriptive approach.
The results of this study indicate that the management of zakat accounting at the Makassar City Amil Zakat Board includes the process of collecting, distributing and utilizing zakat through the characteristics of the STAF, namely Shiddiq, Tabligh, Amanah and Fathonah. Based on the mandate approach, the Makassar City Amil Zakat Agency in recognizing, measuring, revealing and presenting it is in accordance with the mandate metaphor principle that everything entrusted by muzakki is also a mandate from Allah SWT. in accordance with the Shariah Enterprise Theory. This research has implications for the application of zakat accounting financial records based on PSAK No. 109, but not optimally done.
Keywords: Zakat Accounting, Trustful Metaphor, SET, PSAK 109.
xii
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL ... i
HALAMAN JUDUL ... ii
HALAMAN MOTTO ... iii
HALAMAN PERSETUJUAN ... iv
HALAMAN PENGESAHAN ... v
SURAT PERNYATAAN ... vi
KATA PENGANTAR ... vii
ABSTRAK ... x
ABSTRACT ... xi
DAFTAR ISI ... xii
DAFTAR TABEL ... xiv
DAFTAR GAMBAR ... xv
DAFTAR LAMPIRAN ... xvi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang... 1
B. Rumusan Masalah ... 6
C. Tujuan Penelitian ... 6
D. Manfaat Penelitian ... 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 9
A. Tinjauan Teori ... 9
1. Akuntansi Zakat ... 9
2. Konsep Metafora Amanah ... 11
3. Kompetensi Sumber Daya Manusia (Amil) ... 20
4. Zakat, Infaq, dan Sedekah ... 21
5. Konsep Dasar Akuntansi Zakat ... 27
6. Amanah Sebagai Spiritual Pengelolaan ZIS pada Badan Amil Zakat ... 29
B. Tinjauan Empiris ... 32
C. Kerangka Fikir... 35
xiii
BAB III METODE PENELITIAN ... 37
A. Jenis Penelitian... 37
B. Fokus Penelitian ... 37
C. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 37
D. Sumber Data ... 38
E. Teknik Pengumpulan Data ... 38
F. Instrumen Penelitian ... 41
G. Metode Analisis Data... 41
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 43
A. Gambaran Umum Objek Penelitian ... 43
B. Penghimpunan, Pendistribusian, dan Pendayagunaan Dana Zakat, Infaq, Sedekah BAZNAS Kota Makassar ... 52
C. Zakat, Infaq, dan Sedekah menurut UU No 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat ... 63
D. Akuntansi Dana Zakat, Infaq, dan Sedekah pada BAZNAS Kota Makassar ... 67
E. Pengelolaan Akuntansi Zakat dengan Pendekatan Konsep Metafora Amanah pada Badan Amil Zakat Kota Makassar ... 72
F. Laporan Keuangan Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) Kota Makassar ... 73
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 78
A. Kesimpulan ... 78
B. Saran ... 79
DAFTAR PUSTAKA ... 81 LAMPIRAN
xiv
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Hal.
Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu 36
Tabel 3.1 Nama Responden 38
Tabel 4.1 Rincian Penerimaan ZIS 51
Tabel 4.2 Rincian Pendistribusian ZIS dan DSLK 54
Tabel 4.3 Laporan Posisi Keuangan 70
Tabel 4.4 Laporan Aktivitas 71
Tabel 4.5 Laporan Perubahan Aktiva Bersih 73
Tabel 4.6 Laporan Arus Kas 74
xv
DAFTAR GAMBAR/BAGAN
Nomor Judul Hal.
Gambar 2.1 Kerangka Fikir 36
Gambar 4.1 Struktur Organisasi 48
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Hal.
Lampiran 1 Informasi Informan 82
Lampiran 2 Format Wawancara 83
Lampiran 3 Dokumentasi Wawancara 88
Lampiran 4 Peta Lokasi BAZNAS Kota Makassar 89
Lampiran 5 Laporan Keuangan BAZNAS Kota Makassar 90
Lampiran 6 Surat Telah Melakukan Penelitian 100
Lampiran 7 Riwayat Hidup 105
1 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk 265 juta jiwa pada tahun 2018 yang mayoritas beragama Islam. Dengan kondisi tersebut, Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi zakat yang cukup besar. Sehingga perlu didirikan berbagai lembaga yang berupaya m en a ng an i p e n g e lo la a n zakat, salah satunya adalah adanya Organisasi Pengelola Zakat yakni Badan Amil Zakat dan Lembaga Amil Zakat. Zakat yang merupakan pilar ketiga rukun Islam dan merupakan ibadah Maaliyah ijtima'iyah yang sangat penting dalam pengembangan kesejahteraan masyarakat. Pada umumnya zakat dianggap sebagai alternatif penting untuk memecahkan salah satu masalah sosial dan ekonomi yaitu kemiskinan. Dalam Islam hal tersebut berkaitan dengan aspek ekonomi yang bersifat solutif, dengan cara menjadikan zakat, infaq, wakaf, dan sedekah sebagai bagian dari sumber pendapatan Negara. Islam memiliki konsep pemberdayaan umat, yaitu dengan memaksimalkan peran lembaga pemberdayaan ekonomi umat seperti zakat, infaq, dan sedekah.
Menurut Outlook zakat 2017 yang dikeluarkan oleh PUZKAS BAZNAS menyebutkan bahwa potensi zakat nasional mencapai Rp. 217 triliun yang terdiri dari Rp. 139,07 triliun potensi zakat penghasilan, Rp. 58,76 triliun potensi zakat uang, Rp. 19,79 triliun potensi zakat pertanian, Rp. 9,51 triliun potensi zakat peternakan dan Rp. 6,71 triliun potensi zakat perusahaan. Dari total potensi zakat tersebut hanya terkumpul sebesar 5 triliun pada tahun 2017 Jumlah zakat yang terhimpun di Indonesia naik tiap tahun, namun tidak pernah
2
mencapai potensi yang sesungguhnya, kolektivitas pengumpulan zakat masih jauh dari harapan. Rendahnya kesadaran umat Islam dalam memberikan dan menyalurkan zakat mereka melalui Lembaga Amil Zakat/Badan Amil Zakat resmi karena kurangnya sosialisasi dan informasi, serta pengelolaan zakat pada Lembaga Amil Zakat/Badan Amil Zakat yang belum sepenuhnya efesien dan efektif, merupakan penyebab rendahnya penerimaan zakat. Padahal penyaluran zakat melalui Organisasi Pengelola Zakat akan lebih tepat sasaran kepada mereka yang membutuhkan (Fakhruddin dalam Rahmadhita, 2012).
Fardan Ngoyo dan Lince (2015) dalam penelitiannya menemukan bahwa potensi zakat di Kota Makassar sangat besar mencapai kurang lebih Rp 7 milyar per tahun. Namun BAZ Kota Makassar belum mampu mencapai jumlah tersebut, padahal dari 1,3 juta penduduk Makassar 80% diantaranya adalah beragama Islam. Selain itu Kepala Baznas Kota Makassar, Anis Zakaria Kama mengatakan, dengan melihat potensi dan jumlah penduduk muslim di Makassar, sejatinya jumlah zakat yang harusnya terkumpul bisa mencapai Rp 10 miliar. Namun berdasarkan pencatatan tahun 2017, jumlah zakat fitrah yang terkumpul dari Unit Pengumpulan Zakat (UPZ) di bawah naungan Baznas Kota Makassar masih di angka Rp 2 miliar. Dengan data tersebut membuktikan bahwa besarnya potensi zakat tidak seimbang dengan dana zakat yang terkumpul melalui lembaga. Artinya, masih ada kekurangan disisi petugas BAZNAS pada tenaga Sumber Daya Manusia (SDM).
Selain hal tersebut, Septiarini (2011) menambahkan bahwa kurangnya jumlah zakat yang terkumpul pada Badan Amil Zakat dan Lembaga Amil Zakat karena adanya faktor ketidakpercayaan muzakki pada pengelolaan dana
3
zakat, baik itu Badan Amil Zakat di karenakan kurangnya transparansi pada laporan keuangan, akuntabilitas dari pihak Badan Amil Zakat serta masih belum terlihatnya manfaat yang lebih besar apabila dana zakat tersebut disalurkan melalui Badan Amil Zakat dan Lembaga Amil Zakat dibandingkan dengan penyaluran secara langsung. Hal tersebut senada dengan ungkapan Teten Kustiawan, Direktur Pelaksana BAZNAS, masyarakat masih terbiasa menyalurkan zakat secara langsung atau melalui masjid. Selain itu, publik belum terlalu mengenal lembaga BAZNAS sehingga membuat muzakki tetap memilih menyalurkan zakat secara langsung (Fatmawati, 2017).
Untuk menangani hal tersebut, pemerintah menerbitkan UU No. 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan zakat dan Keputusan Menteri Agama RI No.
581 tentang pelaksanaan UU No. 38 Tahun 1999. Regulasi mengalami perbaikan hingga dikeluarkan UU No 23 Tahun 2011 tentang pengelolaan zakat dan KMA No. 333/2015. Novatiani dan Feriansyah (2012) mengemukakan bahwa regulasi tersebut diharapkan mampu mendorong terbentukknya LAZ/BAZ yang profesional dan amanah. Namun pada kenyataannya masih ada muzakki yang menyalurkan zakat secara langsung kepada mustahiq tanpa melalui organisasi pengelola zakat. Kompetensi dan profesionalitas menjadi kendala di lembaga zakat sehingga tingkat kepercayaan masyarakat masih rendah.
Dalam mengelola dana ZIS, Idat (2003) mengatakan bahwa suatu organisasi harus memiliki good corporate governance, yang meliputi akuntabilitas (accountability), keterbukaan (transparency), independensi (independency), tanggungjawab (responsibility), dan keadilan (fairness).
Selain itu suatu lembaga harus patuh terhadap syariah (shariah compliance)
4
artinya kegiatan operasi organisasi pengelola zakat harus sesuai ketentuan syariah. Kepatuhan syariah merupakan penerapan prinsip - prinsip syariah yang mengacu pada hukum Allah SWT dalam pengelolaan dana zakat.
Kepatuhan syariah menjadi salah satu aspek penting dalam pengelolaan dana zakat karena aspek ini menyangkut reputasi dan kepercayaan masyarakat pada lembaga. Dimana kepatuhan syariah tercantum dalam UU No. 23 tahun 2011 sebagai aspek terpenting dalam pengelolaan zakat.
Transparansi adalah prinsip yang menjamin kebebasan bagi setiap orang untuk memperoleh informasi tentang penyelenggaraan organisasi.
Transparansi merupakan salah satu aspek dalam sistem tata kelola organisasi yang baik, sehingga merupakan aspek penting dalam pengelolaan zakat.
Transparansi dapat dianalogikan sebagai tabligh, sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. Al Maidah ayat 67
اَهُّيَأََٰٰٓي ُلوُس َّرلٱ ُهَتَلاَس ِر َتۡغَّلَب اَمَف ۡلَعۡفَت ۡمَّل نِإ َو ََۖكِ ب َّر نِم َكۡيَلِإ َل ِزنُأ َٰٓاَم ۡغِ لَب
ۥ
َو َُّللّٱ َنِم َكُم ِصۡعَي ِساَّنلٱ
َّنِإ ََّللّٱ يِد ۡهَي َلَ
َم ۡوَقۡلٱ َني ِرِف َٰك ۡلٱ
۞
Artinya:“Hai Rasul sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya”.
Menurut Nurhayati, dkk. (2014), akuntabilitas adalah bentuk pertanggungjawaban atas aktivitas organisasi yang dituangkan dalam pelaporan keuangan oleh pihak yang diberi tanggungjawab kepada pemberi amanah. Akuntabilitas adalah aspek penting dalam pengelolaan zakat yang tercantum dalam UU No. 23 tahun 2011 sebagai salah satu asas pengelolaan zakat, dan dapat dianalogikan sebagai amanah, sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. An Nisa’ ayat 58
5
َّنِإ ََّللّٱ ْاوُّدَؤُت نَأ ۡمُك ُرُمۡأَي ِتَٰن َٰمَ ۡلۡٱ
مُت ۡمَكَح اَذِإ َو اَهِل ۡهَأ َٰٰٓىَلِإ َن ۡيَب
ِساَّنلٱ نَأ
ِب ْاوُمُك ۡحَت ِلۡدَعۡلٱ
َّنِإ ََّللّٱ ِهِب مُكُظِعَي اَّمِعِن َٰٓۦ
َّنِإ ََّللّٱ ا ٗري ِصَب ا ََۢعيِمَس َناَك
Artinya:“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya”.
Selain itu, pengelolaan zakat akan menjadi lebih efektif apabila organisasi meningkatkan kualitas amil secara berkelanjutan. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Karmila (2013), banyak amil yang kurang kompeten dalam mengelola zakat, karena tidak memahami peraturan perundang – undangan, standar akuntansi, dan aspek lain. Kompetensi SDM adalah kemampuan individu, organisasi atau suatu sistem untuk melaksanakan fungsi-fungsi atau kewenangannya untuk mencapai tujuan secara efektif dan efisien. Oleh karena itu, dalam penerapan manajemen mutu Organisasi Pengelola Zakat (OPZ) harus meningkatkan kualitas SDM.
Dengan penerapan prinsip kepatuhan syariah, transparansi, dan akuntanbilitas, serta kualitas SDM dengan baik akan menghasilkan laporan keuangan zakat yang diberikan oleh suatu Lembaga Amil Zakat/Badan Amil Zakat akan menambahkan rasa kepercayaan kepada masyarakat untuk menyalurkan dana zakat, infaq/sedekah kepada lembaga tersebut. Secara otomatis laporan keuangan yang diterbitkan secara transparan juga sebagai bentuk rasa pertanggungjawaban amil terhadap para muzakki dan kepada Allah SWT. Bentuk pertanggungjawaban ini bukan hanya diikuti dengan pemberian data yang lengkap namun juga benar adanya. Karena meskipun masyarakat dalam hal ini muzakki tidak mengetahui apakah data berupa angka-angka akuntansi tersebut merupakan data yang benar, ada yang lebih mengetahui secara detil yaitu Allah SWT (Salle, 2015).
6
Kejujuran (Amanah) merupakan tahap awal untuk menghasilkan akuntabilitas laporan keuangan yang menjadi alat pertanggungjawaban secara horizontal masyarakat, lingkungan alam, dan pemerintah, sedangkan pertanggungjawaban vertikal adalah tertuju pada Allah selaku pemberi amanah. Hal tersebut senada dengan pernyataan Triyuwono (2006) bahwa akuntansi bukan saja sebagai bentuk akuntabilitas manajemen kepada pemilik, melainkan juga pada stakeholders dan Allah.
Dari pemaparan sebelumnya penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengelolaan zakat dengan meninjau penerapan akuntansi zakat dalam konsep metafora amanah pada sehingga meningkatkan tingkat kepercayaan terhadap lembaga pengelola zakat.
Dari fenomena diatas, peneliti tertarik meneliti “Implementasi Akuntansi Zakat dalam Konsep Metafora Amanah (Studi Kasus pada Badan Amil Zakat Nasional Kota Makassar)”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi masalah pokok dalam penelitian ini adalah: Bagaimana Penerapan Akuntansi Zakat pada Badan Amil Zakat Nasional Kota Makassar sesuai dengan Konsep Metafora Amanah?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pada perumusan masalah tersebut, adapun tujuan dari penelitian ini adalah: Mengetahui Penerapan Akuntansi Zakat pada Badan Amil Zakat Nasional Kota Makassar dalam Meningkatkan Transparansi dan Akuntabilitas dilihat dari Konsep Metafora Amanah.
7
D. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Manfaat Teoritis
Manfaat penelitian ini ditujukan sebagai pengembangan ilmu pengetahuan dimana jika ditinjau dari segi teoretisnya antara lain untuk mendukung keberadaan Syariah Enterprise Theory oleh (Triyuwono 2006a: 356). Berupa nilai keseimbangan yang tidak hanya peduli pada kepentingan individu tetapi juga memiliki kepedulian yang besar pada stakeholders yang luas, dimana stakeholders meliputi Allah, manusia, dan alam. Sehingga dengan terciptanya insan yang unggul dalam menempatkan Allah sebagai stakeholder tertinggi akan mampu meningkatkan kaidah keamanahan pada lembaga pengelola zakat.
2. Manfaat Praktis
Peneliti berharap penelitian ini dapat memberikan kontribusi positif bagi pihak-pihak yang membutuhkan hasil penelitian ini.
a. Bagi Peneliti
1) Untuk menambah pengetahuan serta pemahaman mengenai akuntansi zakat menggunakan pendekatan metafora amanah sebagai bentuk pertanggungjawaban baik kepada manusia maupun kepada Allah sang pencipta.
2) Sebagai salah satu acuan untuk lebih mengembangkan ilmu pengetahuan yang dimiliki peneliti selama kuliah.
b. Bagi Lembaga
Di harapkan dapat memberi konstribusi bagi Badan Amil Zakat/Lembaga Amil Zakat dalam meningkatkan akuntabilitasnya
8
dalam mengelola dana zakat, infaq, dan sadaqah (ZIS) berbasis konsep metafora amanah. Dengan demikian dapat dijadikan bahan perbaikan pada lembaga tersebut sehingga mampu memberi kesejahteraan para mustahiq, dan para muzakki tetap percaya pada lembaga yang diberikan amanah. Menjadi acuan dalam melaksanakan tugas mulia yang di emban sebagai perpanjangan tangan dari Allah SWT kepada hamba-Nya.
9 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Teori
1. Pengertian Akuntansi Zakat
Zakat merupakan kewajiban yang dikenakan atas harta yang telah memenuhi persyaratan tertentu untuk diserahkan kepada penerima- penerima tertentu melalui petugas tertentu. Zakat merupakan Rukun Islam yang ketiga wajib bagi setiap muslim seperti tercantum dalam surat At- Taubah: 103.
ۡذُخ َكَت ٰوَلَص َّنِإ َۖۡمِهۡيَلَع ِ لَص َو اَهِب مِهيِ ك َزُت َو ۡمُه ُرِ هَطُت ٗةَقَدَص ۡمِهِل َٰو ۡمَأ ۡنِم
َو ۡمُهَّل ٞنَكَس َُّللّٱ
ٌميِلَع ٌعيِمَس ١٠٣
Artinya: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka, dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Subhanahuwa Ta’ala Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. At- Taubah: 103)
Zakat dan shalat dijadikan sebagai perlambang keseluruhan ajaran islam. Pelaksanaan shalat melambang hubungan seseorang dengan Tuhan, sedangkan pelaksanaan zakat melambangkan hubungan antar sesama manusia.
Dalam pernyataan PSAK No.109 zakat adalah harta yang wajib dikeluarkan oleh muzzaki sesuai dengan ketentuan syariah untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya (mustahiq). Menurut Undang-undang Nomor 23 tahun 2011, bahwa zakat merupakan pranata keagamaan yang bertujuan untuk meningkatkan keadilan kesejahteraan masyarakat.
Untuk Infaq dan shadaqah mempunyai pemahaman arti yang sedikit berbeda dengan zakat. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Didin
10
Hafidhuddin (2000). Infaq berasal dari kata anfaqa yang berarti mengeluarkan harta untuk kepentingan sesuatu, sedangkan shadaqah berasal dari kata shadaqa yang berarti benar. Dalam terminologi syariah pengertian infaq dan shadaqah berarti mengeluarkan sebagian harta/penghasilan untuk sesuatu kepentingan yang diperintahkan ajaran Islam. Hukum yang berlaku bagi infaq dan shadaqah adalah sunnah, sebagaimana Sabda Rasulullah SAW: Artinya: “Dalam harta seseorang terdapat hak Allah dan Rasul-Nya disamping zakat.”.
Infaq ada yang wajib maupun sunnah, infaq wajib diantaranya adalah zakat dan infaq sunnah adalah shadaqah. Shadaqah adalah pemberian harta pada orang-orang fakir miskin, orang yang membutuhkan atau pihak-pihak lain yang berhak untuk menerima shadaqah tanpa disertai imbalan, tanpa paksaan, tanpa batasan jumlah, kapan saja dan berapapun jumlahnya. Dalam PSAK No. 109, infaq/shadaqah adalah harta yang diberikan secara sukarela oleh pemiliknya baik peruntukkannya dibatasi (ditentukan) maupun tidak dibatasi.
Menurut Mursyidi (2002) Akuntansi zakat merupakan suatu proses pengakuan (recognition) kepemilikan dan pengukuran (meansurement) nilai suatu kekayaan yang dimiliki oleh suatu muzakki untuk tujuan penetapan nisab zakat kekayaan yang bersangkutan dalam rangka perhitungan zakatnya. Akuntansi zakat terkait dengan tiga hal pokok, yaitu penyediaan informasi, pengendalian manajemen, dan akuntabilitas. Informasi akuntansi bermanfaat untuk pengambilan keputusan, terutama untuk membantu manajer dalam alokasi zakat.
11
PSAK 109 Tentang Akuntansi Zakat dan Infak/sedekah merupakan suatu hal yang dinantikan Pemberlakuan PSAK ini juga diharapkan dapat terwujudnya keseragaman pelaporan, dan kesederhanaan pencatatan. Sehingga publik dapat membaca laporan akuntansi pengelola zakat serta mengawasi pengelolaannya. Selain itu penerapan PSAK 109 ini juga bertujuan memastikan bahwa organisasi Pengelola zakat telah memakai prinsip- prinsip syariah, dan seberapa jauh OPZ memiliki tingkat kepatuhan menerapkannya.
Berdasarkan pengertian tersebut maka yang menjadi tujuan akuntansi zakat menurut AAS-IFI (Accounting & Auditing Standart for Islamic Financial Institution) adalah menyajikan informasi mengenai ketaatan organisasi terhadap ketentuan syariah Islam, termasuk informasi mengenai penerimaan dan pengeluaran yang tidak diperbolehkan oleh syariah serta bagaimana penyalurannya.
2. Konsep Metafora Amanah
Amanah dalam konteks ekonomi menyatakan bahwa segala sumber daya milik Allah dan manusia adalah seseorang yang diberi amanah untuk menyebar misi sakral yang ditugaskan kepadanya. Tujuan organisasi menurut Islam adalah menyebarkan rahmat bagi semua makhluk (Kalbarini, 2014). Tujuan itu pada hakekatnya tidak terbatas pada kehidupan dunia individu, tetapi juga kehidupan setelah dunia ini.
Morgan (1986) dalam Triyuwono (2000:10) menyatakan bahwa metafora adalah suatu cara berpikir dan melihat yang mempengaruhi cara seseorang melakukan interpretasi dan memahami realitas sosialnya.
Kalbarini dan Suprayogi (2014) menyatakan bahwa metafora amanah
12
dalam bentuk operasional bisa diturunkan menjadi metafora zakat atau realitas organisasi yang di metaforakan dengan zakat (zakat metaphorized organisational reality).
Pemahaman konsep organisasi dalam konteks amanah akan membawa manusia pada pemahaman bahwa setiap aktivitas adalah untuk mencari ridha Allah. Ini merupakan bentuk pencapaian paling tinggi, lebih tinggi dari ukuran materialisme. Dalam tataran tersebut, tujuan lembaga tidak bisa dibatasi hanya untuk memperoleh laba yang maksimal guna meningkatkan kekayaan pemilik, tetapi perlu juga diarahkan pada pemenuhan tuntutan sosial masyarakat yang selama ini selalu terabaikan (stakeholder oriented) disamping menjaga kelestarian alam lingkungan (environment oriented) (Triyuwono, 2006:352).
Akuntansi syari’ah melihat bahwa akuntansi bisa benar-benar berfungsi sebagai alat penghubung antara stakeholders, entity dan publik dengan tetap berpegangan pada nilai-nilai akuntansi dan ibadah syari'ah. Kondisi ini menunjukkan bahwa akuntansi syari’ah memberikan informasi akuntansi sesuai dengan kondisi riil, tanpa ada rekayasa dari semua pihak, sebagai bentuk ibadah kepada Allah, sehingga akan tercipta hubungan yang baik antara stakeholders, para akuntan, dan hubungan sosial antar manusia yang lebih baik. Hal ini karena akuntansi syari’ah memandang bahwa organisasi ini sebagai Syariah Enterprise Theory, dimana keberlangsungan hidup sebuah organisasi ditentukan oleh banyak pihak.
Dalam konteks metafora amanah, tujuan lembaga yang memaksimalkan laba tidak lagi relevan. Metafora amanah ini dapat
13
dijelaskan pada hal yang lebih operasional lagi yaitu zakat. Organisasi dengan metafora amanah ini tidak saja mempunyai kepedulian terhadap kesejahteraan manusia tetapi juga kesejahteraan (kelestarian) alam yang dikelola dengan cara-cara yang adil dengan menggunakan potensi internal yaitu dengan akal dan hati (Kholmi, 2012). Dalam tradisi islam atau organisasi yang menggunakan metafora amanah, Badan Amil Zakat harus dioperasikan atas dasar nilai-nilai etika yaitu etika yang diformulasikan dalam bentuk syariah. Dalam pengertian luas, syariah merupakan pedoman yang digunakan oleh umat islam untuk berperilaku dalam segala aspek kehidupan. Bila metafora ini secara sadar diterima dan di praktikkan dalam kegiatan pada suatu lembaga secara lebih menyeluruh, maka akan tercipta apa yang dinamakan dengan realitas organisasi dengan jaringan-jaringan kuasa Ilahi.
a. Syariah Enterprise Theory
Syariah Enterprise Theory tidak mendudukkan manusia sebagai pusat dari segala sesuatu sebagaimana dipahami oleh antroposentrisme. Tapi sebaliknya, Syariah Enterprise Theory menempatkan Tuhan sebagai pusat dari segala sesuatu. Tuhan menjadi pusat tempat kembalinya manusia dan alam semesta. Oleh karena itu, manusia di sini hanya sebagai wakilNya (khalituLlah fil ardh), sebagai perpanjangan tangan yang memiliki konsekuensi patuh terhadap semua hukum-hukum Tuhan. Artinya sebagai khalifatullah fil ardh manusia memiliki misi mulia yaitu menciptakan dan mendistribusikan kesejahteraan (materi dan nonmateri) bagi seluruh manusia dan alam semesta, untuk mempermudah tugas ini manusia
14
dapat menciptakan organisasi (organisasi profit atau organisasi nonprofit) yang digunakan sebagai instrumen dalam mengemban tugas tersebut sehingga organisasi diharuskan mempertanggung jawabkan seluruh aktivitas kepada Allah secara vertikal, dan kemudian dijabarkan lagi dalam bentuk pertanggungjawaban secara horizontal kepada umat manusia lain serta pada lingkungan alam (Kalbarini dan Suprayogi, 2014).
Shariah Enterprise Theory (SET) merupakan enterprise theory yang telah diinternalisasi dengan nilai-nilai Islam guna menghasilkan teori yang transendental dan lebih humanis. Enterprise theory, seperti yang dimaksudkan oleh beberapa peneliti lain, merupakan teori yang mengakui adanya pertanggungjawaban bukan hanya kepada pemilik entitas saja melainkan kepada kelompok stakeholders yang lebih luas cakupannya. Salah satu penyebab demikian karena kekuasaan penuh bukan lagi oleh kendali penuh shareholders melainkan kepada banyak pihak yang juga memilki kepentingan atas sustainable perusahaan.
selain itu, Enterprise theory menjelaskan bahwa akuntansi harus melayani bukan saja pemilik perusahaan, tetapi juga masyarakat.
Menurut Triyuwono pada tahun 2007 mengemukakan bahwa SET yang dibangun berdasarkan metafora amanah dan metafora zakat, lebih menghendaki kesimbangan antara sifat egoistik dan altruistik dibanding dengan ET (Entity Theory). Sementara ET lebih mengedepankan sifat egoistiknya daripada sifat altruistic. Hal ini menunjukkan bahwa SET memiliki kandungan kepedulian pada sesama sangatlah besar. SET memiliki cakupan akuntabilitas yang
15
lebih luas dibandingkan dengan ET. Akuntabilitas yang dimaksud adalah akuntabilitas kepada Tuhan, manusia, dan alam. Bentuk pertanggung jawaban yang dimaksud disini adalah bagaimana suatu entitas atau pribadi mendahulukan yang telah mengadakan apa yang telah di kelola dan kepada siapa dibagikan serta dari manakah sumbernya (Husain dan Abdullah, 2015:45).
Lebih jauh lagi, Triyuwono pada tahun 2006 juga mengemukakan bahwa SET menyeimbangkan nilai egoistik (maskulin) dengan nilai altruistik (feminin), nilai materi (maskulin) dengan nilai spiritual (feminin), dan seterusnya. Peran SET yang mengedepankan kesadaran akan ketuhanan akan memunculkan situasi dimana manusia sebagai pengolah alam akan selalu tersadarkan. Tidak hanya itu pengembangan teori ini menempatkannya sebagai sisi baru dalam dunia akuntansi yang berada dalam bentuk keseimbangan material dan spiritual. Di tempatkannya tuhan sebagai stakeholder yang tertinggi merupakan cara paling tepat karna Dialah maha pencipta akan segala sesuatu. Selanjutnya adalah manusia yang disebut sebagai pengemban amanah dan menjadi pelaksana yang andal, manusia sebagai stakeholder bagi perusahaan dibagi menjadi dua yaitu stakeholder langsung yaitu manusia yang secara langsung bermetamorfosa dengan produk yang dihasilkan atau dengan kata lain penggagas, stakeholders tidak langsung adalah masyarakat luas yang memiliki andil yang besar terhadap going concern-nya suatu bisnis.
Terakhir sebagai stakeholder yang tak kalah pentingnya adalah alam
16
yang terkadang oleh manusia-manusia yang terkadang dilupakannya dan memberi kontribusi yang banyak (Husain dan Abdullah, 2015:46).
b. Shariah Compliance (Kepatuhan Syariah)
Syariah berasal dari bahasa arab, mengacu pada hukum dan cara hidup yang ditentukan oleh Allah SWT bagi hamba-Nya. Dalam kaitan ini, kepatuhan syariah adalah penerapan prinsip - prinsip syariah yang mengacu pada hokum Allah SWT dalam pengelolaan dana zakat.
Kepatuhan syariah dalam pengelolaan zakat merupakan sebuah keharusan pada setiap pengelola zakat. Hal itu tidak saja berkaitan dengan kepercayaan muzakki terhadap amil zakat, tetapi lebih penting dan mendasar adalah menyangkut nilai moral dan pertanggungjawaban amil kepada Allah SWT sebagai pemilik syariat (Widialoka dkk, 2015).
Kepatuhan syariah memiliki standar internasional yang disusun dan ditetapkan oleh Islamic Financial Service Board (IFSB), dimana kepatuhan syariah merupakan bagian dari tata kelola lembaga. Prinsip – prinsip dari kepatuhan syariah adalah transparansi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, profesional, dan kewajaran (Widialoka dkk, 2015). Semakin tinggi nilai pengungkapan identitas etis Islam, maka semakin tinggi pula tingkat kepatuhan terhadap prinsip Islam. Pada akhirnya akan menghasilkan komitmen dan loyalitas stakeholder pada organisasi, dan berdampak pada peningkatan kinerja keuangan.
Shariah compliance merupakan salah satu pilar penting dalam pengelolaan zakat. Untuk menjamin teraplikasinya prinsip – prinsip syariah, laporan keuangan lembaga pengelola zakat secara berkala
17
harus di audit meliputi audit keuangan dan audit syariah. Audit syariah dilakukan oleh Kementerian Agama dan audit keuangan dilakukan oleh akuntan publik. Laporan pelaksanaan pengelolaan zakat, infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya yang telah di audit syariah dan keuangan disampaikan kepada BAZNAS (PP No. 14 Tahun 2014).
Standar yang digunakan dalam proses audit syariah adalah dengan menggunakan standar Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions (AAOIFI) yang menyelidiki tingkatan kepatuhan audit syariah dalam suatu lembaga keuangan Islam. AAOIFI bertugas untuk merumuskan standar dan isu-isu terkait akuntansi, audit, pemerintahan, etika dan standar syariah untuk lembaga keuangan Islam (IFIs), AAOIFI adalah organisasi internasional yang bersifat independen, didukung oleh 200 anggota dari 40 negara termasuk bank sentral, lembaga keuangan Islam, dan anggota lainnya dari industri perbankan internasional di seluruh dunia.
c. Transparansi
Transparansi berarti terbuka, mudah, dan dapat diakses oleh pihak yang membutuhkan secara memadai dan mudah dimengerti.
Transparansi merupakan salah satu prinsip dalam perwujudan good governance. Transparansi dibangun atas dasar kebebasan memperoleh informasi yang dibutuhkan oleh masyarakat. Artinya, informasi yang berkaitan dengan kepentingan publik secara langsung dapat diperoleh oleh mereka yang membutuhkan. Transparansi dibangun atas dasar kebebasan memperoleh informasi. Informasi yang
18
berkaitan dengan kepentingan publik secara langsung dapat diperoleh stakeholder. Pemerintah berkewajiban memberikan informasi keuangan dan informasi lainnya untuk pengambilan keputusan bagi stakeholders. Shende dan Bennet dalam Nurhayati (2014) mengatakan bahwa transparansi, akuntabilitas, dan keadilan merupakan atribut yang terpisah. Namun pelaksanaan akuntabilitas memerlukan adanya suatu transparansi.
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa transparansi merupakan suatu bentuk keterbukaan informasi kepada stakeholders sehingga semua pihak yang telibat mengetahui apa yang dilakukan oleh organisasi dalam kegiatan operasi suatu lembaga.
Menurut Tapanjeh pada penelitiannya tahun 2009 mengemukakan bahwa konsep transparansi dalam Islam adalah:
1. Organisasi bersifat terbuka kepada muzaki.
2. Informasi harus diungkapkan secara jujur, relevan, tepat waktu dapat dibandingkan dan meliputi segala hal yang terkait dengan informasi yang akan diberikan, dan
3. Pemberian informasi juga perlu dilakukan secara adil kepada semua pihak yang membutuhkan informasi.
Selain itu, organisasi juga harus mengkomunikasikan segala kebijakan yang mereka lakukan kepada pemberi amanah. Dari konsep transparansi di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam Islam, transparansi erat kaitannya dengan kejujuran. Dalam menyampaikan informasi, pemberi informasi harus bersikap jujur sehingga tidak ada
19
satu pun hal yang luput dari pengetahuan penerima informasi (Rizky, 2013: 320).
d. Akuntabilitas
Akuntabilitas adalah bentuk pertanggungjawaban atas aktivitas organisasi dalam bentuk laporan oleh penerima amanah kepada pemberi amanah. Dalam segi akuntansi, akuntabilitas adalah aktivitas untuk menghasilkan pengungkapan yang benar. Pertanggungjawaban yang pertama adalah pertanggungjawaban kepada Allah. Jadi, suatu entitas dikatakan akuntabel jika mampu menyajikan informasi secara terbuka mengenai keputusan – keputusan yang telah diambil selama kegiatan operasi entitas dan stakeholder dapat dengan mudah mengakses informasi tersebut.
Sedangkan menurut UU Nomor 23 Tahun 2011 tentang pengelolaan zakat, pertanggungjawaban sebagai perwujudan asas akuntabilitas diwujudkan dalam bentuk menyusun dan mempublikasikan laporan keuangan auditan. Menurut Ar Rahman (2003: 46) bahwa dalam Islam, akuntabilitas berarti bertangungjawab manusia kepada Allah SWT atas apa yang telah dilakukan. Selain itu, akuntabilitas juga berarti setiap orang harus menerima semua kewajiban dan hak sesuai dengan amanah yang diterimanya.
Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. An Nisaa (4: 58)
َّنِإ ََّللّٱ ْاوُّدَؤُت نَأ ۡمُك ُرُمۡأَي ِتَٰن َٰمَ ۡلۡٱ
َن ۡيَب مُت ۡمَكَح اَذِإ َو اَهِل ۡهَأ َٰٰٓىَلِإ ِساَّنلٱ
ِب ْاوُمُك ۡحَت نَأ ِلۡدَعۡلٱ
َّنِإ ََّللّٱ ِهِب مُكُظِعَي اَّمِعِن َٰٓۦ
َّنِإ ََّللّٱ ا ََۢعيِمَس َناَك
ا ٗري ِصَب
۞
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan (menyuruh kamu)
20
apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah maha memberi pengajaran yang sebaiknya kepadamu. Sesunguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat” (QS. An Nisaa, 4:58).
Ayat tersebut menjelaskan bahwa amanah harus diberikan kepada yang berhak dan dalam melaksanakan amanah harus, penerima amanah harus bersikap adil dan menyampaikan kebenaran.
BAZNAS Kabupaten/Kota bertanggungjawab kepada BAZNAS Provinsi dan PEMDA. BAZNAS provinsi bertanggungjawab pada BAZNAS dan PEMDA. LAZ bertanggungjawab kepada BAZNAS dan PEMDA. Dan BAZNAS bertanggungjawab pada Menteri (UU No. 23 Tahun 2011).
3. Kompetensi Sumber Daya Manusia (Amil)
Kompetensi SDM adalah kemampuan seseorang (individu), organisasi (kelembagaan) atau suatu sistem untuk melaksanakan fungsi- fungsi atau kewenangannya untuk mencapai tujuannya secara efektif dan efisien (Karmila dan Darlis, 2013). Adapun menurut Hevesi mengatakan bahwa kompetensi merupakan suatu karakteristik dari seseorang yang memiliki keterampilan (skill), pengetahuan (knowledge) dan kemampuan (ability) untuk melaksanakan suatu pekerjaan. Tingkat kompetensi dapat dilihat dari latar belakang pendidikan, pelatihan-pelatihan dan keterampilan yang dinyatakan dalam pelaksanaan tugas. Tjiptoherijanto mengatakan untuk menilai kinerja dan kualitas kapasitas SDM dalam melaksanakan suatu fungsi, dapat dilihat dari kompetensi sumber daya tersebut.
Tanggung jawab dapat dilihat dari penjelasan pembagian tugas pokok dan fungsi (TUPOKSI) jabatan yang jelas, Tanpa adanya penjelasan tupoksi
21
jabatan yang jelas, sumber daya tersebut tidak dapat melaksanakan tugasnya dengan baik (Widyaningrum dan Rahmatia, 2010).
Penentuan tingkat kompetensi dibutuhkan agar dapat mengetahui tingkat kinerja yang diharapkan untuk kategori baik atau rata-rata.
Penentuan ambang kompetensi yang dibutuhkan tentunya akan dapat dijadikan dasar bagi proses seleksi, seksesi perencanaan, evaluasi kinerja dan pengembangan SDM.
4. Zakat, Infaq dan Sedekah
Zakat, infaq, dan sedekah merupakan bagian dari kedermawanan (filantropi) dalam konteks masyarakat Muslim. Zakat merupakan kewajiban bagian dari setiap muslim yang mampu serta menjadi unsur dari Rukun Islam, Menurut PSAK NO. 109, zakat adalah harta yang wajib dikeluarkan oleh muzzaki sesuai dengan ketentuan syariah untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya (mustahiq). Sedangkan Infaq dan Sedekah merupakan wujud kecintaan hamba terhadap nikmat dari Allah SWT yang telah diberikan kepadanya sehingga seorang hamba rela menyisihkan sebagian hartanya untuk kepentingan agama baik dalam rangka membantu sesama maupun perjuangan dakwah Islamiyah (Fardan Ngoyo dan Lince, 2015).
a. Dasar hukum zakat
Zakat adalah isim masdar dari kata zaka – yazku – zakah. Kata dasar zakat adalah zaka yang berarti berkah, tumbuh, bersih, baik, dan bertambah. Dengan makna tersebut, orang yang telah mengeluarkan zakat diharapkan hati dan jiwanya akan menjadi bersih, sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. At-Taubah: 103,
22
ۡذُخ َّنِإ َۖۡمِهۡيَلَع ِ لَص َو اَهِب مِهيِ ك َزُت َو ۡمُه ُرِ هَطُت ٗةَقَدَص ۡمِهِل َٰو ۡمَأ ۡنِم
َو ۡمُهَّل ٞنَكَس َكَت ٰوَلَص َُّللّٱ
ٌميِلَع ٌعيِمَس ١٠٣
Artinya: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (QS. At – Taubah:103).
Dari ayat diatas tergambar bahwa zakat yang dikeluarkan para muzakki (orang yang mengeluarkan zakat) dapat membersihkan dan mensucikan hati manusia, tidak lagi mempunyai sifat yang tercela terhadap harta, seperti sifat rakus dan kikir. Sedangkan menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2011, zakat adalah harta yang wajib dikeluarkan oleh seorang muslim atau badan usaha untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya sesuai dengan syariat Islam.
Zakat mulai disyariatkan pada bulan syawal tahun kedua Hijjriyah sesudah pada bulan ramadhannya diwajibkan zakat fitrah. Jadi mula – mula diwajibkan zakat fitrah, baru kemudian diwajibkan zakat mal atau kekayaan. Zakat hukumnya fardhu ain bagi mereka yang telah memenuhi syarat – syaratnya.
Zakat merupakan kewajiban bagi orang beriman (muzakki) yang mempunyai harta yang telah mencapai ukuran tertentu (nisab) dan waktu tertentu (haul) untuk diberikan pada orang yang berhak (mustahiq). Sedangkan kewajiban zakat dalam Islam memiliki makna yang sangat fundam ental, saling berkaitan erat dengan aspek- aspek ke Tuhanan, juga ekonomi sosial. Sebagai rukun ketiga dari rukun Islam, zakat juga menjadi salah satu diantara panji-panji Islam yang tidak boleh diabaikan oleh siapa pun juga. Oleh karena itu, orang yang
23
enggan membayar zakat boleh diperangi dan orang yang menolak kewajiban zakat dianggap kafir.
b. Golongan yang berhak menerima zakat/mustahik zakat Sebagaimana firman Allah dalam QS. At - Taubah: 60:
اَمَّنِإ ُتَٰقَدَّصلٱ َو ِءَٰٓا َرَقُفۡلِل
ِنيِكَٰسَمۡلٱ َو
َنيِل ِمَٰعۡلٱ َو اَهۡيَلَع
ِةَفَّلَؤُمۡلٱ ۡمُهُبوُلُق
يِف َو ِباَق ِ رلٱ َو
َنيِم ِرَٰغۡلٱ ِليِبَس يِف َو
َِّللّٱ َو ِنۡبٱ َِۖليِبَّسلٱ َنِ م ٗةَضي ِرَف
َِّللّٱ َو َُّللّٱ ٞميِكَح ٌميِلَع
٦٠۞
۞
Artinya: “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (QS. At- Taubah: 60).
Menurut Ar Rahman (2003: 20), dari ayat diatas dapat disimpulkan golongan yang berhak menerima zakat adalah:
1) Fakir
Fakir ialah orang yang penghasilannya tidak dapat memenuhi kebutuhan pokok (primer) sesuai dengan kebiasaan masyarakat dan wilayah tertentu. Menurut pandangan mayoritas ulama fikih, fakir adalah orang yang tidak memiliki harta dan penghasilan yang halal, atau yang mempunyai harta yang kurang dari nishab zakat dan kondisinya lebih buruk daripada orang miskin. Di antara pihak yang dapat menerima zakat dari kuota fakir, yaitu orang- orang yang memenuhi syarat “membutuhkan”.
Maksudnya tidak mempunyai pemasukan atau harta, atau tidak mempunyai keluarga yang menanggung kebutuhannya.
24
2) Miskin
Miskin adalah seorang muslim dengan penghasilannya mampu memenuhi kebutuhan dharury (primernya) namun tidak mampu memenuhi kebutuhan hajiy (semi primernya).
3) Amil Zakat
Amil zakat ialah semua pihak yang bertindak mengerjakan yang berkaitan dengan pengumpulan, penyimpanan, penjagaan, pencatatan, dan penyaluran atau distribusi harta zakat. Yaitu siapa saja antara kaum muslimin yang ditunjuk oleh pihak berwenang untuk mengurus zakat dan tidak ditetapkan gaji khusus sebagai imbalan pekerjaannya.
4) Muallaf
Yaitu seorang muslim yang dipandang perlu diberikan kekuatan financial untuk menumbuhkan keteguhan hati dan loyalitasnya terhadap islam.
5) Riqab
Yaitu seorang muslim yang berada dalam status perbudakan. artinya bagian zakat yang digunakan untuk membebaskan budak belia dan menghilangkan semua bentuk sistem perbudakan.
6) Gharim
Yaitu seorang muslim yang harus segera membayar hutangnya namun tidak memiliki kemampuan untuk membayarnya. Ia berhak menerima zakat apabila hutang itu bukan untuk maksiat atau tekah terbukti taubatnya.
25
7) Fi Sabilillah
Fi sabilillah adalah orang yang berjuang di jalan Allah dalam pengertian luas sesuai dengan yang ditetapkan oleh para ulama fikih. Meliputi setiap amalan yang mensyiarkan islam, melindungi dan memelihara agama serta meninggikan kalimat tauhid, seperti berperang, berdakwah, berusaha menerapkan hukum Islam, menolak fitnah-fitnah yang ditimbulkan oleh musuh- musuh Islam, membendung arus pemikiran-pemikiran yang bertentangan dengan Islam.
8) Ibn Sabil
Orang yang dalam perjalanan (ibn sabil) adalah orang asing yang tidak memiliki biaya untuk kembali ke tanah airnya.
c. Hikmah danTujuan zakat
Zakat merupakan ibadah yang memiliki banyak arti dalam kehidupan umat manusia terutama ummat Islam. Zakat memiliki banyak hikmah, baik yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan TuhanNya, maupun hubungan sosial kemasyarakatan di antara manusia adalah:
1) Menyucikan diri dari kotoran dosa, memurnikan jiwa, menumbuhkan akhlak mulia menjadi murah hati, memiliki rasa kemanusiaan, dan mengikis sifat bakhil (kikir), serta serakah sehingga dapat merasakan ketenangan batin, karena terbebas dari tuntutan Allah dan tuntutan kewajiban masyarakat.
2) Memberantas penyakit iri hati, rasa benci, dan dengki dari diri manusia yang biasa timbul ketika melihat kecukupan atau
26
kelebihan orang disekitarnya dengan kemewahan, sedangkan ia sendiri tak punya apa-apa dan tidak ada uluran tangan dari mereka (orang kaya) kepadanya.
3) Dapat menolong membina, dan membangun kaum yang lemah untuk memenuhi kebutuhan pokok hidupnya, sehingga mereka dapat melaksanakan kewajiban- kewajibannya terhadap Allah SWT.
4) Dapat menunjang terwujudnya sistem kemasyarakatan islam yang berdiri di atas prinsip-prinsip ummatan wahidan (ummat yang satu), musawah (persamaan derajat, hak dan kewajiban), ukhuwah islamiyah, dan takaful ijtima’I (tanggung jawab sosial bersama).
5) Menjadi unsur penting dalam keseimbangan dalam distribusi harta sosial (social distruction) keseimbangan dalam kepemilikan harta (social ownership), dan keseimbngan tanggung jawab individu dalam masyarakat.
6) Zakat adalah ibadah maliyyah yang mempunyai dimensi dan fungsi ekonomi atau pemerataan karunia Allah dan merupakan perwujudan solidaritas sosial, pembuktian persaudaraan islam, pengikat persaudaraan ummatdan bangsa sebagai penghubung antara golongan kuat dan lemah.
7) Dapat mewujudkan tatanan masyarakat yang sejahtera, dimana hubungan seseoran dengan yang lainnya rukun, damia, dan harmonis yang dapat menciptakan situasi yang tentram dan aman lahir dan batin.
27
Menurut Mu’is (2011: 32), tujuan disyariatkannya zakat adalah sebagai berikut:
1) Mengangkat derajat fakir miskin
2) Membantu memecahkan masalah para gharimin, ibnu sabil 3) Membina tali persaudaraan sesama ummat Islam
4) Menghilangkan sifat kikir dari pemilik harta
5) Membersihkan sifat dengki dan iri hati dari orang-orang miskin 5. Konsep Dasar Akuntansi Zakat, infaq, dan Shadaqah
Pengertian Akuntansi menurut American Institute of Certified Public Accountints (AICOA) adalah seni mencatat, mengklasifikasikan, dan meringkas dalam bentuk yang berarti dan dalam unit uang tentang transaksi-transaksi dan kejadian-kejadian yang paling tidak memiliki sifat keuangan dan menginterpretaskan hasil-hasilnya (Triyuwono, 2006: 33).
Secara umum dapat disimpulkan bahwa akuntansi zakat adalah proses pengakuan, pengukuran, penyajian, dan pengungkapan transaksi zakat, infaq/sedekah sesuai dengan kaidah syariat Islam untuk memberikan informasi pengelolaan zakat, infaq/sedekah oleh Amil kepada pihak-pihak yang berkepentingan untuk mencapai good govermance yang meliputi transparancy, responsibility, accountability, fairness, dan independency.
Zakat tentunya memiliki beberapa karakteristik, dan karakteristik tersebut tercantum di dalam PSAK No. 109 yang menjelaskan beberapa macam karakteristik zakat.
1. Zakat merupakan kewajiban syariah yang harus diserahkan oleh muzakki kepada mustahiq baik melalui amil maupun secara langsung.
Ketentuan zakat mengatur mengenai persyaratan nisab, haul (baik
28
yang periodik maupun yang tidak periodik), tarif zakat (qadar), dan peruntukannya.
2. Infak/sedekah merupakan donasi sukarela, baik ditentukan maupun tidak ditentukan peruntukannya oleh pemberi infak/sedekah.
3. Zakat dan infak/sedekah yang diterima oleh amil harus dikelola sesuai dengan prinsip- prinsip syariah dan tata kelola yang baik.
Akuntabilitas Organisasi Pengelola Zakat ditunjukkan dengan laporan keuangan serta audit terhadap laporan keuangan tersebut. Untuk bisa disahkan sebagai organisasi resmi, lembaga zakat harus menggunakan sistem pembukuan yang benar dan siap diaudit akuntan publik. Ini artinya standar akuntansi zakat mutlak diperlukan. Akuntansi dapat didefinisikan sebagai proses pencatatan, penggolongan, peringkasan, pelaporan dan penganalisaan data keuangan suatu organisasi. Akuntansi juga diartikan, sebagai bahasa bisnis yang memberikan informasi tentang kondisi ekonomi suatu perusahaan atau organisasi dan hasil usaha pada waktu atau periode tertentu, sebagai pertanggungjawaban manajemen serta untuk pengambilan keputusan.
Dari pengertian definisi akuntansi tersebut, kuntansi zakat mal dianggap sebagai salah satu cabang ilmu akuntansi yang dikhususkan untuk menentukan dan menilai aset wajib zakat, menimbang kadarnya (volume), dan mendistribusikan hasilnya kepada para mustahiq dengan berdasarkan kepada kaidah-kaidah syariat Islam. Badan Amil Zakat sebagai salah satu entitas nirlaba yang bertujuan untuk mengelola zakat dan menyalurkannya kepada pihak yang membutuhkan juga menerapkan akuntansi dalam pencatatan transaksinya sehari-hari yang pada akhirnya
29
akan menghasilkan suatu informasi.
Tujuan dari akuntansi zakat ada 2, yaitu yang pertama Pengendalian Manajemen (Management Control) dan akuntabilitas (Accountability). Tujuan pengendalian manajemen ini ditujukan untuk kepentingan internal organisasi berupa memberikan informasi yang diperlukan untuk mengelola secara efektif dan efisien yang berkaitan dengan zakat, infaq dan sedekah. Sedangkan akuntabilitas memberikan informasi untuk organisasi pengelolaan zakat untuk melaporkan tanggung jawabnya terkait dengan pendayagunaan zakat yang dikelola secara efektif dan efesien untuk masyarakat.
6. Amanah sebagai spiritual pengelolaan ZIS pada Badan Amil Zakat Dalam Islam, konsep amanah sangat penting dan memiliki konsekuensi yang besar untuk orang-orang yang mengabaikan amanah.
Amanah berkaitan dengan akhlak seperti kejujuran, kesabaran dan keberanian, dan ketegasan. Untuk menjalankan amanah, seseorang perlu keberanian yang tegas dengan menerima konsekuensi dari apa yang diperbuat. Seseorang yang diberikan amanah disebut dengan wali amanat (steward) yang dapat menjaga dan mengatur sendiri amanah yang diberikan kepadanya, islam memandang kepemilikan sebagai sebuah amanah. Kepemilikan tersebut adalah mutlak milik Allah dan manusia hanya sebagai perpanjangan tangan dari Nya.
Konsep amanah merupakan bagian universal yang kemudian diturunkan menjadi akuntabilitas, sebuah konsep Barat yang diturunkan dari teori agensi (Kholmi, 2012). Pertanggungjawaban dalam perspektif amanah tidak hanya bertitik pada pertanggungjawaban di dunia, namun
30
juga akan berlanjut pertanggungjawaban di akhirat. Perspektif amanah yang selanjutnya oleh Triyuwono dijadikan sebagai metafora dalam menjelaskan tujuan dibangunnya suatu lembaga dalam menyebarkan rahmat bagi seluruh alam, tentunya dapat dilihat atau dipantau dari iklim atau suasana yang ada di dalam organisasi tersebut, harapan keberadaan organisasi tersebut dapat memberikan iklim humanis dan transendental dalam kehidupan organisasi. Menurutnya, metafora amanah diturunkan kepada metafora zakat, sehingga lembaga bisnis syariah berorientasi terhadap zakat. Pada perusahaan, zakat dapat dipandang sebagai biaya sehingga zakat akan mengurangi keuntungan yang tercermin dalam laba bersih yang dijadikan subjek zakat. Perusahaan akan menyukai untuk mengganti pembayaran zakat dengan memasukkannya sebagai elemen biaya. Jadi, bagian pengeluaran zakat akan kembali ke perusahaan dari zakat yang dikeluarkan.
Akuntabilitas yang kerap dituntut masyarakat dari sebuah lembaga publik, dapat diterapkan dengan mendorong seluruh organ perusahaan menyadari tanggung jawab, wewenang hak dan kewajibannya. Akuntabilitas merupakan suatu cara pertanggung jawaban manajemen atau penerima amanah kepada pemberi amanah atas pengelolaan sumber-sumber daya yang dipercayakan kepadanya baik secara vertikal maupun secara horizontal, juga tersirat dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah 282 yang mewajibkan pencatatan dari setiap aktivitas transaksi. Hal inilah yang menjadikan perbedaan besar dengan tujuan dasar akuntansi konvensional. Akuntansi syari’ah melihat bahwa akuntansi bisa benar-benar berfungsi sebagai alat "penghubung" antara
31
stakeholders, entity dan publik dengan tetap berpegangan pada nilai-nilai akuntansi dan ibadah syari'ah.
Lembaga pengelola zakat dituntut mampu untuk menjamin transparansi dan akuntabilitas nya, bukan saja mengandung nilai ibadah, moral, spiritual, dan ukhrawi, melainkan juga nilai ekonomi yang berkaitan dengan kemampuan Badan Amil Zakat dalam meningkatkan kepercayaan para muzakki (Fadillah, dkk., 2012). Esensinya bertujuan untuk memperkaya jiwa manusia dengan nilai-nilai spiritual yang dapat meninggikan harkat dan martabat manusia melebihi martabat benda, dan menghilangkan sifat materialisme dalam diri manusia. Dengan prinsip ini Badan Amil Zakat berupaya memberikan informasi laporan kegiatan maupun laporan pengumpulan dan pendistribusian dana ZIS secara jelas, jujur dan dapat dipercaya. Sebagai organisasi yang dijalankan oleh manusia, Badan Amil Zakat tak luput dengan kesalahan.
Oleh karenanya dalam setiap pemberian laporan keuangan, Badan Amil Zakat juga meminta konfirmasi dan verifikasi dari muzakki atau Organisasi Pengelola Zakat jika terjadi kesalahan dalam pelaporannya.
Lembaga pengelola ZIS tidak dapat dianggap remeh mengenai pertanggungjawaban publik atas dana yang diserahkan donatur.
Akuntabilitas yang merupakan suatu hal yang kerap dituntut oleh masyarakat dari sebuah lembaga publik, masyarakat perlu mengetahui aliran dana dan kinerja lembaga tersebut. Sebagai lembaga umat yang dijadikan sebagai naungan, Badan Amil Zakat sebagai Organisasi Pengelola Zakat harus memiliki akuntabilitas yang tinggi meskipun mereka secara ikhlas menyerahkan dananya untuk keperluan ZIS.
32
Akuntabilitas timbul sebagai konsekuensi logis atas adanya hubungan antara manajemen (agent) dan pemilik (principal) sehingga muncul hubungan yang dinamis berupa agent principal relationship dalam konteks pengelolaan keuangan zakat adalah pemberi amanah (muzakki) dan Tuhan. Nilai profesional mewujudkan akuntabilitas layanan dan akuntabilitas program. Akuntabilitas layanan merupakan fenomena yang memberi gambaran hubungan Badan Amil Zakat dengan para donaturnya (muzakki/munfiq). Bagi Badan Amil Zakat muzakki/munfiq mempunyai arti penting bagi keberlangsungan organisasi. Sedangkan akuntabilitas program merupakan fenomena pertanggungjawaban Badan Amil Zakat kepada mustahiq dalam bentuk program dakwah, sosial, pendidikan, dan ekonomi. Bentuk akuntabilitas layanan adalah dengan pengumpulan dana ZIS melalui layanan jemput zakat muzakki, silaturahim karyawan Badan Amil Zakat kepada muzakki setiap 2 (dua) bulan sekali untuk memberikan majalah dan memberikan informasi mengenai program-program Badan Amil Zakat yang belum diketahui muzakki. Akuntabilitas layanan juga terwujud dalam pemberian layanan sesuai undang-undang yang berlaku. Akuntabilitas program terwujud dalam pembuatan program distribusi dana ZIS yang efektif dan efisien untuk meningkatkan taraf hidup mustahiq.
B. Tinjauan Empiris
Penelitian ini tidak terlepas dari penelitian-penelitian terdahulu yang relevan, yang digunakan sebagai acuan penulisan skripsi di antaranya pada tabel 2.1:
33
Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu
No Peneliti/
Tahun Judul Penelitian Metode
Penelitian Hasil 1 Rahmah
Yulisa Kalbarini dan Noven Suprayogi.
/2014
“Implementasi Akuntabilitas Dalam Konsep Metafora Amanah Di Lembaga Bisnis Syariah (Studi Kasus: Swalayan Pamella Yogyakarta)”
Pendekatan yang di gunakan dalam penelitian ini yaitu
pendekatan kualitatif dengan menggunakan studi kasus.
Perwujudan konsep metafora amanah
dilakukan dengan pemisahan pertanggungjawa ban dana bisnis dan non bisnis yang di wujudkan dengan berbagai kegiatan sosial kemanusiaan.
Namun laporan pertanggungjawa ban melalui poster dan spanduk sudah tidak relevan dengan kondisi saat ini.
2 Siti
Nurhasanah . /2018
“Akuntabilitas Laporan Keuangan Lembaga Amil Zakat Dalam Memaksimalkan Potensi Zakat”
Penelitian kualitatif dengan menggunakan telaah
literatur.
Masih banyak umat Islam yang belum memahami pentingnya ber zakat karena masih kurangnya sosialisasi dari LAZ. Kurangnya kepercayaan
34
muzakki terhadap LAZ karena belum adanya dukungan laporan pengelolaan keuangan yang baik.
3 Fitri
Rahmadani, Herman Karamoy dan Dhullo Alfandi.
/2018
“Analisis Penerapan Akuntansi Zakat, Infaq/Sedekah Pada Badan Amil Zakat Nasional Kota Kotamobagu”
Jenis
penelitian ini adalah deskriptif kualitatif.
Penerapan akuntansi zakat belum
sepenuhnya sesuai PSAK No.
109 karena belum adanya
pemisahan penyaluran dana zakat dan dan Infaq/sedekah.
4 Saddan Hussain dan Wahyuddin Abdullah.
/2015
Metafora Amanah Pengelolaan Dana Pihak Ketiga (Dpk) Sebagai Penopang Asset Perbankan Syariah Ditinjau Dari Aspek Trilogi
Akuntabilitas (Studi Kasus Pada Pt. Bank Bni Syariah Cabang Makassar)
Peneltian Kualitatif
Penerapan prinsip amanah dalam
pengelolaan DPK menujukkan hasil yang signifikan dengan
menggunakan aspek trilogi akuntabilitas (Tuhan, Manusia, dan Alam) dapat menopang pertumbuhan asset yang
35
dialokasikan pada asset kategori pembiayaan.
5 Nunung Nurhayati, Sri Fadillah, Affandi Iss, dan Magnas Lestira Oktaroza/
2014.
“Pengaruh Kualitas Informasi Akuntansi, Akuntabilitas dan Transparansi
Pelaporan Keuangan Terhadap Tingkat Penerimaan Dana Zakat pada Badan Amil Zakat (BAZ) di Jawa Barat”
Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analisis dan metode eksplanatory Reseach
Kualitas informasi akuntansi,
akuntabilitas dan transparansi pelaporan keuangan mempunyai hubungan yang cukup erat dan signifikan dengan arah positif terhadap tingkat penerimaan dana zakat.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya yaitu, mengacu pada penelitian dengan judul “Implementasi Akuntabilitas Dalam Konsep Metafora Amanah Di Lembaga Bisnis Syariah (Studi Kasus: Swalayan Pamella Yogyakarta)” oleh Rahmah Yulisa Kalbarini dan Noven Suprayogi (2014) adalah tempat, waktu, dan lokasi penelitian. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengelolaan zakat dengan konsep metafora amanah dalam meningkatkan transparansi dan akuntabilitas.
C. Kerangka Fikir
Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI) pada tahun 2017 menguraikan bahwa akuntansi zakat infaq/sedekah berdasarkan PSAK No. 109. Amil yaitu organisasi pengelola zakat di Indonesia yang pembentukan dan pengukuhannya diatur dalam UU yang tujuannya untuk ketentuan