• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi akademik pada khususnya dan masyarakat pada umumnya. Beberapa manfaat penelitian ini adalah :

1. Bagi Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Utara pada umumnya dan pemerintah Kabupaten Serdang Bedagai pada khususnya dapat mengambil keputusan untuk pengembangan pariwisata budaya dan konservasi bangunan cagar budaya

2. Bagi peneliti berguna sebagai sarana pengembangan ilmu dan pengetahuan yang secara teori telah dipelajari di Program Studi Perencanaan Wilayah Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara (USU).

3. Bagi peneliti lain sebagai bahan pengembangan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan metode lain yang lebih mendalam dan alat ukur penelitian yang berbeda.

6

2.1. Teori Perencanaan Wilayah

Perencanaan pada hakekatnya adalah usaha secara sadar, terorganisasi dan terus-menerus dilakukan guna memilih alternatif-alternatif yang terbaik dari sejumlah alternatif untuk mencapai tujuan tertentu (Conyers dalam Safi’i, 2007).

Safi’i (2007) mendefinisikan perencanaan sebagai suatu proses untuk mempersiapkan secara sistematis dengan kesadaran penggunaan sumber daya yang terbatas akan tetapi diorientasikan untuk mencapai tujuan secara efektif dan efisien, di mana untuk mencapai tujuan diperlukan perumusan kebijakan yang akurat. Riyadi dan Bratakusumah (2003) mendefinisikan perencanaan wilayah sebagai suatu proses perencanaan pembangunan yang dimaksudkan untuk melakukan perubahan menuju arah perkembangan yang lebih baik bagi suatu komunitas masyarakat, pemerintah, dan lingkungannya dalam wilayah tertentu, dengan memanfaatkan atau mendayagunakan berbagai sumber daya yang ada, dan harus memiliki orientasi yang bersifat menyeluruh, lengkap, tetap berpegang pada azas prioritas.

Etzioni dalam Safi’i (2007) dalam teori perencanaan terdapat beberapa tipologi, antara lain rational planning model; incremental planning model; dan strategic planning model.

1. Pendekatan komprehensif (rational planning model) merupakan suatu kerangka pendekatan logis dan teratur, mulai dari diagnotis sampai kepada tindakan berdasarkan kepada analisis fakta yang relevan, diagnosis masalah yang dikaji melalui kerangka teori dan nilai-nilai,

perumusan tujuan dan sasaran untuk memecahkan masalah, merancang alternatif cara-cara untuk mencapai tujuan, dan pengkajian efektivitas cara-cara tersebut. Pendekatan ini memerlukan survey yang komprehensif pada semua alternatif yang ada untuk mendapatkan informasi yang lengkap dalam pengambilan keputusan yang rasional.

2. Pendekatan inkremental (incremental planning model). Memilih diantara rentang alternatif yang terbatas yang berbeda sedikit dari kebijaksanaan yang ada. Pengambilan keputusan dalam pendekatan ini dibatasi pada kapasitas yang dimiliki oleh pengambil keputusan serta mengurangi lingkup dan biaya dalam pengumpulan informasi.

Pengambil keputusan hanya berfokus terhadap kebijaksanaan yang memiliki perbedaan yang inkremental dari kebijaksanaan yang telah ada.

3. Pendekatan mixed-scanning (strategic planning model). Kombinasi dari elemen rasionalistik yang menekankan pada tugas analitik penelitian dan pengumpulan data dengan elemen inkremental yang menitikberatkan pada tugas interaksional untuk mencapai konsensus.

Perencanaan wilayah di berbagai negara tidak sama, tergantung kepada kehidupan ekonomi dan masalah yang dihadapi. Secara historis setidaknya terdapat tiga pendekatan perencanaan wilayah (Jayadinata, 1999), yaitu :

1. Perencanaan wilayah yang memusatkan perhatiannya kepada masalah kota yang bersifat sosial. Pelaksanaannya meliputi perbaikan bagian kota yang keadaan yang telah rusak dan tidak memenuhi standar,

pemugaran kota, pembuatan kota satelit untuk membantu meringankan kota industri yang terlalu padat penduduknya. Titik berat perencanaan wilayah semacam ini ditujukan pada kota yang besar dan wilayah sekelilingnya (hinterland) yang dapat menunjang kota dalam perencanaan kota dan wilayah.

2. Perencanaan wilayah yang memusatkan perhatiannya kepada wilayah yang penduduknya banyak menganggur dan dalam keadaan stagnasi industri (wilayah khusus). Dalam wilayah seperti ini, pemerintah perlu mengatur intensif pembiayaan, pengaturan rangsangan untuk prasarana industri, pengaturan konsesi pajak dan sebagainya, sehingga industri tertentu dapat berlokasi di wilayah itu.

3. Perencanaan wilayah yang memperhatikan wilayah pedesaan, dengan pengembangan tanah bagi sektor pertanian dan rekreasi (perencanaan pedesaan dan wilayah). Hal ini dilakukan untuk memperkecil perbedaan kemakmuran antara pedesaan dan perkotaan.

Untuk meratakan pembangunan, harus digunakan pendekatan perwilayahan atau regionalisasi, yaitu pembagian wilayah nasional dalam satuan wilayah geografi, sehingga setiap bagian mempunyai sifat tertentu yang khas (dapat juga menurut satuan daerah tata praja atau daerah administrasi). Di samping itu, diperlukan desentralisasi yaitu kebijaksanaan yang diputuskan oleh pemerintah regional dan lokal. Dalam desentralisasi itu harus terdapat koordinasi yang baik. Sirojuzilam (2005) mengemukkan bahwa di sisi lain yang menjadi pokok perhatian dalam kerangka perencanaan wilayah adalah culture base yang mengacu kepada nilai-nilai

yang berkembang dan berakar dalam konteks kehidupan kemasyarakatan.

Dalam rangka mencapai tujuan pembangunan, maka perlu dipikirkan komponen-komponen pembangunan yang terdiri atas sumber daya alam, sumber daya manusia, modal dan teknologi.

Setiap perencanaan dibutuhkan suatu teori yang seharusnya diketahui dalam setiap proses perencanaan agar produk rencana tersebut dapat sesuai dengan keinginan seluruh masyarakat. Teori perencanaan menyebutkan bahwa tujuan dari perencanaan salah satunya adalah membuat keputusan yang mengarahkan kegiatan di masa depan agar menjadi lebih sejahtera dan baik.

Selain itu, perencanaan merupakan salah satu upaya yang dilakukan oleh seluruh stakeholders untuk membuat rencana yang lebih baik secara berkesinambungan. Perencanaan pun mengharuskan stakeholders yang terkait senantiasa melakukan monitoring dan evaluasi terhadap keberjalanan rencana.

Konsep dalam perencanaan mementingkan masa depan, khususnya dalam suatu rencana adalah : 1) kesejahteraan (wellbeing)’ 2) keadilan sosial (social justice);

3) kesetaraan (equity) (Rasyid, 2015).

2.2. Proses Perencanaan Wilayah

yang selanjutnya dapat didorong pada tinjauan terhadap tingkatan sebelumnya (evaluasi) atau pengulangan kembali seluruh proses. Proses disini merupakan pengawasan dan evaluasi terhadap dampak perencanaan atau program yang dapat menimbulkan masalah baru yang menjadi stimulus (feedback) bagi proses perencanaan yang baru sehingga bersifat kontinu.

Proses perencanaan merupakan model pembuatan keputusan yang berulang

Komponen utama dalam proses perencanaan secara komprehensif adalah sebagai berikut :

1. Diagnosis masalah (pengumpulan data-identifikasi masalah)

Perencanaan dimulai dengan mengidentifikasi terhadap masalah-masalah yang muncul. Diagnosis permasalahan yang kompleks dapat melalui tahap pengumpulan data masa lalu, analisis dan identifikasi persoalan. Paradigma ideologis perencana dan peranan perencana mempengaruhi bagaiman definisi dari masalah tersebut. Berikut adalah diagram tahapan diagnosis masalah dan kedudukannya dalam perencanaan

2. Artikulasi tujuan (penyusunan tujuan – sasaran)

Perencanaan berorientasi pada pengembangan kondisi masa kini menuju kondisi akhir yang diinginkan dengan pencapaian tujuan tertentu. Tujuan dari perencanaan itu sendiri sangat sulit dterjemahkan dan sering tidak menyatu dengan tujuan operasional. Hal ini mengakibatkan adanya disfungsi yang sering diidentfikasi sebagai pengembangan sarana teknis untuk artikulasi tujuan.

Tujuan yang jelas perlu melaksanakan tahapan berikut ini: 1) Desain, 2) Evaluasi alternatif, dan 3) Komunikasi.

Ketiga faktor tersebut menentukan apakah perencanaan, kebijakan, atau progam dapat diimplementasikan dengan sukses. Sebaliknya, terdapat banyak situasi dimana tujuan-tujuan harus diartikulasikan melalui interaksi dengan kelompok dan individu yang dipengaruhi atau dengan analisis dokumen yang relevan. Artikulasi tujuan hanya dapat dicapai melalui negoisasi yang insentif dan tawar menawar, dan bahkan konflik.

3. Prediksi dan Proyeksi

Pengembangan solusi alternatif memerlukan proyeksi masa depan untuk memperkirakan/prediksi kondisi, kebutuhan dan hambatan. Keberhasilan prediksi bergantung pada jumlah informasi yang tersedia dan kontinuitas fenomena yang dianalisa. Metode yang digunakan dalam proyeksi dasarnya adalah pengamatan kuantitatif terhadap kecenderungan masa lalu dan kemudan memperhitungkannya.

Metode yang dapat digunakan berupa analisis shift share dan penyesuaian kurva.

Sedangkan metode yang didasarkan pada pengamatan kualitatif melibatkan proses historis seperti analisis faktor laten dan teknik konsultasi Delphi.

Dalam perencanaan, prediksi dan proyeksi memiliki dua aspek utama yaitu:

1) Prediksi masa depan untuk memperkirakan permintaan fasilitas dan pelayanan serta menilai kapasitas untuk memenuhi kebutuhan yang diperhitungkan, dan 2) Peramalan hasil dan dampak dari alternatif yang dapat dilakukan dengan metode ekstrapolasi dan model interaksi.

4. “Desain” Alternatif (pengembangan alternatif)

Desain diperlukan untuk abstraksi pemberian bentuk respon terhadap kebutuhan atau permasalahan sebagai sarana memahami ide dan mempersiapkan diskripsi sistem yang diusulkan atau artifak. Abstraksi ini merupakan tahapan proses pembuatan keputusan yang bertujuan melakukan perubahan situasi yang ada ke dalam situasi yang diinginkan. Desain alternatif penting dalam perencanaan karena merupakan bagian integral dari pembuatab keputusan.

5. Uji Perencanaan (seleksi alternatif)

Uji perencanaan dilakukan untuk menganalisi apakah alternatif tersebut dapat diimplementasikan berdasarkan hambatan dan potensi yang telah

diperhitungkan. Hambatan tersebut dapat berupa hambatan ekonomi dan fisik, kekuasaan hukum dan politik, serta kepentingan pribadi tertentu. Semua faktor tersebut harus dinilai dalam pengujian alternatif apakah realistis atau tidak.

6. Evaluasi (monitoring-pengendalian)

Evaluasi merupakan tahap memilih pilihan alternatif yang akan diambil melalui estimasi dampak dari alternatif tersebut. Kriteria evaluasi menentukan alternatif yang akan diambil. Kriteria tersebut berupa efisiensi alternatif jika diterapkan. Metode yang dilakukan berupa analisis untung rugi, analisis efektifitas, dan analisis dampak.

Analisis untung dikaitkan antara output dengan nilai uang. Sedangkan analisis efektifitas mengaitkan biaya dalam evaluasi progam alternatif antara output progam dengan output progam yang serupa. Serta analisis dampak menggunakan matrik dan beberapa sistem penilaian untuk mengindikasi nilai relatif, manfaat, atau kerugian dari setiap output dan dampak tertentu dalam konteks evaluasi khusus.

Metode yang mengkombinasikan penilaian dari motede diatas adalah neraca perencanaan. Dimana dalam metode ini mempertimbangkan distribusi dan non moneter. Selain itu terdapat metode matrik tujuan prestasi yang menggambarkan dampak perencanaan terhadap tujuan dan kelompok kepentingan yang berbeda dengan prioritas tujuan yang berbeda pula. Yang terpenting adalah pendekatan evaluasi tersebut berhubungan dengan tujuan yang inklusif atau tujuan yang sebanding dengan kepentingan klien agar perencanaan dapat diterima.

7. Implementasi

Implementasi merupakan pelaksanaan kebijakan dasar/perencanaan.

Dapat disimpulkan mengenai proses perencanaan, bahwa proses perencanaan terdiri dari beberapa komponen yaitu diagnosis masalah, artikulasi tujuan,

“desain” alternatif, prediksi dan proyeksi, uji perencanaan, evaluasi dan implementasi tersebut adalah saling berhubungan membentuk suatu siklus yang tidak pernah berhenti.

2.3. Pengembangan Pariwisata

Kepariwisataan dapat dipandang sebagai sesuatu yang abstrak (Wahab, 2003). Kepariwisataan dapat dipandang sebagai sesuatu gejala yang melukiskan bepergian orang-orang didalam negaranya sendiri (pariwisata domestik) atau ke negara lain (pariwisata mancanegara). Yoeti (1996) mendefinisikan sebagai berikut: pariwisata adalah suatu perjalanan yang dilakukan untuk sementara waktu, yang diselenggarakan dari suatu tempat ke tempat lain dengan maksud bukan untuk berusaha (bussiness) atau mencari nafkah di tempat yang dikunjungi, tetapi semata-mata untuk menikmati perjalanan tersebut guna pertamasyaan dan rekreasi untuk memenuhi kebutuhan yang beraneka ragam.

Menurut Wahab (2003) pariwisata dalam kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi adalah salah satu industri gaya baru yang mampu menyediakan pertumbuhan ekonomi yang cepat dalam hal kesempatan kerja, pendapatan, taraf hidup dan dalam mengaktifkan sektor produksi lain di dalam negara penerima wisatawan. Sedangkan Damanik dan Weber (2006) menyatakan bahwa dari sisi ekonomi, pariwisata muncul dari empat unsur pokok yang saling terkait erat atau menjalin hubungan dalam suatu sistem, yaitu:

1. Permintaan atau kebutuhan

2. Penawaran atau pemenuhan kebutuhan berwisata itu sendiri

3. Pasar dan kelembagaan yang berperan untuk memfasilitasi keduanya 4. Pelaku atau aktor yang menggerakkan ketiga elemen tersebut.

Secara normatif, UU Nomor 9 tahun 1990 tentang kepariwisatan (Pasal 1), memberi pengertian tentang pariwisata adalah segala sesuatu berhubungan dengan wisata (kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan tersebut yang dilakukan secara sukarela serta bersifat sementara untuk menikmati objek dan daya tarik wisata) termasuk pengusahaan objek dan daya tarik wisai serta usaha-usaha yang terkait di bidang tersebut.

Pengembangan sektor pariwisata ditujukan untuk meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan serta dapat memberikan manfaat terhadap pemenuhan kebutuhan masyarakat. Dengan mengembangkan sektor pariwisata ini juga diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap penyelenggaraan pemerintah terutama dari segi pembiayaan pelaksanaan tugas dan fungsi pemerintah.

Pengembangan pariwisata diartikan sebagai kegiatan untuk memajukan suatu tempat atau daerah yang dianggap perlu ditata sedemikian rupa baik dengan cara memelihara yang sudah berkembang atau menciptakan sesuatu yang baru.

Sehingga pengembangan pariwisata merupakan suatu rangkaian upaya untuk mewujudkan keterpaduan dalam penggunaan berbagai sumber daya pariwisata, mengintegrasikan segala bentuk aspek di luar pariwisata yang berkaitan secara langsung terhadap kelangsungan pengembangan pariwisata (Pitana dan Gayatri, 2005). Menurut Pitana dan Gayatri, 4 (empat) aspek utama yang harus dimiliki adalah :

1. Attraction atau atraksi adalah produk utama sebuah destinasi.

2. Accessibility atau aksesibilitas adalah sarana dan infrastruktur untuk menuju destinasi.

3. Amenity atau amenitas adalah segala fasilitas pendukung yang bisa memenuhi kebutuhan dan keinginan wisatawan selama berada di destinasi.

4. Ancilliary, berkaitan dengan ketersediaan sebuah organisasi atau orang-orang yang mengurus destinasi tersebut.

Adisasmita, (2010) mengemukakan bahwa objek wisata adalah suatu tempat yang menjadi kunjungan wisatawan karena mempunyai sumberdaya tarik, baik alamiah, maupun buatan manusia, seperti keindahan alam/pegunungan, pantai flora dan fauna, kebun binatang, bangunan kuno bersejarah, monument-monumen, candi-candi, tari-tarian, atraksi dan kebudayaan khas lainnya.

Fandeli (2000) menjelaskan bahwa objek wisata adalah perwujudan daripada ciptaan manusia, tata hidup, seni budaya serta sejarah bangsa dan tempat atau keadaan alam yang mempunyai daya tarik untuk dikunjungi wisatawan.

Sedangkan objek wisata alam adalah objek wisata yang daya tariknya bersumber pada keindahan sumber daya alam dan tata lingkungannya. Suatu objek wisata menurut Yoeti ( 1996) harus memenuhi tiga persyaratan, yaitu :

1. Daerah itu harus mempunyai apa yang disebut sebagai “something to see”

(sesuatu untuk dilihat). Artinya, di tempat tersebut harus ada objek wisata dan atraksi wisata yang berbeda dengan apa yang dimiliki oleh daerah lain (pemandangan alam, upacara adat, kesenian) yang dapat dilihat oleh wisatawan.

2. Di daerah tersebut harus tersedia apa yang disebut dengan istilah “something to do” (sesuatu untuk dikerjakan). Artinya, di tempat tersebut tersedia fasilitas

rekreasi yang membuat mereka betah untuk tinggal lebih lama di tempat itu (penginapan/hotel yang memadai, kolam renang, sepeda air) sehingga mereka dapat melakukan sesuatu yang tidak bisa dilakukan di rumah ataupun di tempat wisata lainnya.

3. Di daerah tersebut harus tersedia apa yang disebut dengan istilah “something to buy” (sesuatu untuk dibeli). Artinya, di tempat tersebut harus tersedia

fasilitas untuk berbelanja (shopping), terutama souvenir dan kerajinan rakyat sebagai oleh-oleh untuk dibawa pulang ke tempat asal masing-masing.

Menurut Mill dan Morison (1985), tidak ada angka standar klasifikasi industri untuk pariwisata karena pariwisata bukanlah sebuah industri tetapi sebuah aktifitas yang berlangsung ketika orang menyeberang ke perbatasan suatu negara (dalam pengertian internasional) untuk kesenangan atau untuk bisnis dan tinggal di negara tersebut sedikitnya dua puluh empat jam tetapi tidak lebih dari setahun.

Selanjutnya Mill dan Morrison menyatakan bahwa pariwisata adalah sebuah sistem yang terdiri atas empat bagian yaitu: pasar (market), perjalanan (travel,.

tujuan (destination) dan pemasaran (marketing).

Pariwisata sebagai sebuah sistem juga dapat dipahami sebagai suatu sistem pemasaran dimana ada supply dan demand. Keberhasilan pariwisata sebuah wilayah sangat tergantung bagaimana wilayah tersebut memadukan supply dan demand. Hal ini diungkapkan oleh Gunn (1994) bahwa pariwisata tidak bisa direncanakan tanpa pemahaman hubungan timbal batik di antara beberapa bagian-bagian dari sisi persediaan (supply side), terutama ketika berhubungan dengan

permintaan pasar (market demand). Perencanaan pariwisata seharusnya mengupayakan keseimbangan antara supply (development) dan demand (pasar).

Hal ini memerlukan suatu pemahaman dari karakteristik dan kecenderungan pasar seperti halnya proses dari perencanaan pembangunan untuk menemukan kebutuhan pasar.

Unsur-unsur penting dalam permintaan wisata (demand) adalah wisatawan dan penduduk lokal yang menggunakan sumber daya (produk dan jasa) wisata (Damanik dan Weber, 2006). Basis utamanya adalah ketersediaan waktu dan yang pada kelompok tersebut (Kelly, 1998; Gunn, 2000 ; Damanik dan Weber, 2006).

Dengan waktu dan sumber daya yang dimilikinya, merekalah konsumen utama yang mengkonsumsi produk dan layanan wisata yang disediakan di negara tujuan atau daerah tujuan wisata. Disamping itu faktor lain yang turut berperan adalah aksesibilitas yang semakin mudah pada produk dan objek wisata.

Menurut Wardiyanto dan Baiquni (2011) ada beberapa faktor lain yang mempengaruhi meningkatnya permintaan pariwisata, yaitu :

1. Aksesibilitas yang semakin mudah.

Dengan semakin baiknya akses untuk menuju ke objek wisata, wisatawan dapat melakukan perjalanan wisata dengan waktu yang lebih singkat dan lebih nyaman sehingga jangkauannya pun bisa lebih banyak.

2. Meningkatnya pendapatan masyarakat.

Dengan meningkatnya pendapatan, masyarakat juga mempunyai kesempatan lebih banyak untuk berwisata karena memiliki kemampuan untuk membeli produk wisata yang bukan merupakan kebutuhan pokoknya dalam hidupnya.

3. Meningkatnya pendidikan masyarakat.

Meningkatnya tingkat intelektualitas akan membuat masyarakat semakin tahu akan pentingnya pariwisata dalam hidupnya sehingga tidak lagi memandang pariwisata secara negatif.

4. Suasana tertekan akibat rutinitas kerja.

Situasi tertekan oleh pekerjaan dapat mendorong kesadaran masyarakat untuk merasa perlu berlibur guna menghilangkan situasi tertekan itu. Dengan berlibur itu masyarakat tidak lagi disibukkan dengan bekerja dan tidak tertekan oleh tuntutan pekerjaan sehingga mereka dapat menikamti kehidupannya.

5. Adanya waktu senggang.

Waktu libur menjadi waktu yang sangat berarti bagi masyarakat, mereka biasanya mengisi dengan berwisata. Semakin banyak waktu libur yang dimiliki oleh seseorang, maka akan semakin besar pula peluang untuk berwisata.

6. Kebijakan pemerintah.

Berlakunya kebijakan mengenai hari-hari libur kerja, adanya kebijakan pemberian bebas visa bagi warga negara tertentu, dan kemudahan lain yang diberikan kepada warga negara asing untuk masuk ke suatu negara.

Penawaran pariwisata mencakup hal-hal yang ditawarkan oleh destinasi pariwisata kepada wisatawan yang real maupun yang potensial. Dalam segi penawaran, secara tidak langsung termasuk di dalamnya rancangan dan pengelolaan keseluruhan program-program dan tata guna lahan sebagai tatanan non fisik dan fisik dari suatu daerah tujuan wisata.

Wahab (1996) menyatakan bahwa terdapat 3 ciri khas utama penawaran pariwisata, yaitu : 1) Merupakan penawaran jasa-jasa, 2) Yang ditawarkan bersifat kakulrigid, dimana usaha pengadaannya sulit mengubah sasaran penggunaannya

di luar pariwisata, dan 3) Penawaran wisata bersaing ketat dengan penawaran barang dan jasa lainnya. Menurut Gunn (1994), sisi penawaran sebagai suatu sistem pariwisata terdiri dari 5 (lima) komponen yaitu : atraksi, transportasi, pelayanan, informasi dan promosi dengan keterkaitan antar komponen. Kelima komponen ini merupakan satu kesatuan yang sangat erat kaitannya dan perubahan yang terjadi pada salah satu komponen tersebut akan dapat mempengaruhi komponen lainnya. Dengan demikian, suatu perencanaan yang baik dalam pengembangan dan pembangunan sektor pariwisata seharusnya dapat memperhatikan keselarasan dan keseimbangan kelima komponen tersebut.

2.4. Pariwisata Budaya dan Konservasi Bangunan Cagar Budaya 2.4.1. Pariwisata Budaya

Wisata adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh sebagian atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara. Sedangkan religi diartikan sebagi sistem yang terdiri dari konsep-konsep yang dipercayai dan menjadi keyakinan secara mutlak suatu umat dan pemukapemuka yang melaksanakanya (Sucipto dan Limbeng, 2017). Menurut Shihab (2007) wisata merupakan sebuah perjalanan atau kunjungan yang dilakukan baik individu maupun kelompok ke tempat dan institusi yang merupakan penting dalam penyebaran dakwah dan pendidikan Islam.

Damardjati dalam Pambudi (2010), menyatakan bahwa wisata Budaya adalah gerak atau kegiatan wisata yang dirangsang oleh adanya objek-objek wisata berwujud hasil-hasil seni budaya setempat, seperti adat istiadat, upacar-upacara, agama, tata hidup masyarakat setempat, peninggalan-peninggalan sejarah, hasil-hasil seni, kerajinan rakyat dan lain sebagainya. Pendit dalam Sari (2010), wisata budaya adalah perjalanan yang bertujuan mempelajari objek-objek yang berwujud kebiasaaan rakyat, adat istiadat, tata cara hidup, budaya dan seni atau kegiatan yang bermotif sejarah.

2.4.2. Konservasi Bangunan Cagar Budaya

Konservasi adalah suatu proses pengelolaan suatu tempat atau ruang atau obyek agar makna kultural yang terkandung didalamnya terpelihara dengan baik.

Yang termasuk cara pemeliharaan dan bila memungkingkan menurut keadaan proses preservasi, restorasi, rekonstruksi, dan adaptasi, maupun kombinasinya termasuk kedalam proses konservasi. (Charter :1999).

Konservasi juga merupakan salah satu pengelolaan sumber budaya.

Konservasi merupakan suatu proses memahami, menjaga, yang juga mementingkan pemeliharaan, perbaikan, pengembalian, dan adaptasi terhadap aset sejarah untuk memelihara kepentingan kebudayaan. Konservasi merupakan salah satu proses pengelolaan yang berkelanjutan terhadap perubahan, yang dalam prosesnya memperhatikan beberapa pendekatan nilai yaitu nilai umur dan kelangkaan, nilai arsitektur, nilai artistik, nilai kebudayaan, nilai asosiatif, nilai ekonomi, nilai pendidikan, nilai emosi, nilai sejarah, nilai landscape, kekhasan daerah, nilai politik, nilai masyarakat, nilai agama, nilai sosial, nilai simbolik,

nilai teknik, nilai sains, penelitian dan pengetahuan, dan tampilan suatu kota (Architectural Conservation:Aylin Orbasli).

Menurut Undang-Undang Cagar Budaya No 11 tahun 2010 yang disebutkan dalam pasal 1 ayat 1-6:

1) Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa benda cagar budaya, bangunan cagar budaya, struktur cagar budaya, situs cagar budaya, dan kawasan cagar budaya di darat dan / atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan.

2) Benda cagar budaya adalah benda alam atau benda buatan manusia, baik bergerak maupun tidak bergerak, berupa kesatuan , atau bagian-bagiannya, atau sisasisanya yang memiliki hubungan erat dengan kebudayaan dan sejarah perkembangan manusia.

3) Bangunan Cagar Budaya adalah susunan binaan yang terbuat dari benda alam atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang berdinding atau 4) Struktur Cagar Budaya adalah susunan binaan yang terbuat dari benda alam

3) Bangunan Cagar Budaya adalah susunan binaan yang terbuat dari benda alam atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang berdinding atau 4) Struktur Cagar Budaya adalah susunan binaan yang terbuat dari benda alam