• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Proses Perencanaan

yang selanjutnya dapat didorong pada tinjauan terhadap tingkatan sebelumnya (evaluasi) atau pengulangan kembali seluruh proses. Proses disini merupakan pengawasan dan evaluasi terhadap dampak perencanaan atau program yang dapat menimbulkan masalah baru yang menjadi stimulus (feedback) bagi proses perencanaan yang baru sehingga bersifat kontinu.

Proses perencanaan merupakan model pembuatan keputusan yang berulang

Komponen utama dalam proses perencanaan secara komprehensif adalah sebagai berikut :

1. Diagnosis masalah (pengumpulan data-identifikasi masalah)

Perencanaan dimulai dengan mengidentifikasi terhadap masalah-masalah yang muncul. Diagnosis permasalahan yang kompleks dapat melalui tahap pengumpulan data masa lalu, analisis dan identifikasi persoalan. Paradigma ideologis perencana dan peranan perencana mempengaruhi bagaiman definisi dari masalah tersebut. Berikut adalah diagram tahapan diagnosis masalah dan kedudukannya dalam perencanaan

2. Artikulasi tujuan (penyusunan tujuan – sasaran)

Perencanaan berorientasi pada pengembangan kondisi masa kini menuju kondisi akhir yang diinginkan dengan pencapaian tujuan tertentu. Tujuan dari perencanaan itu sendiri sangat sulit dterjemahkan dan sering tidak menyatu dengan tujuan operasional. Hal ini mengakibatkan adanya disfungsi yang sering diidentfikasi sebagai pengembangan sarana teknis untuk artikulasi tujuan.

Tujuan yang jelas perlu melaksanakan tahapan berikut ini: 1) Desain, 2) Evaluasi alternatif, dan 3) Komunikasi.

Ketiga faktor tersebut menentukan apakah perencanaan, kebijakan, atau progam dapat diimplementasikan dengan sukses. Sebaliknya, terdapat banyak situasi dimana tujuan-tujuan harus diartikulasikan melalui interaksi dengan kelompok dan individu yang dipengaruhi atau dengan analisis dokumen yang relevan. Artikulasi tujuan hanya dapat dicapai melalui negoisasi yang insentif dan tawar menawar, dan bahkan konflik.

3. Prediksi dan Proyeksi

Pengembangan solusi alternatif memerlukan proyeksi masa depan untuk memperkirakan/prediksi kondisi, kebutuhan dan hambatan. Keberhasilan prediksi bergantung pada jumlah informasi yang tersedia dan kontinuitas fenomena yang dianalisa. Metode yang digunakan dalam proyeksi dasarnya adalah pengamatan kuantitatif terhadap kecenderungan masa lalu dan kemudan memperhitungkannya.

Metode yang dapat digunakan berupa analisis shift share dan penyesuaian kurva.

Sedangkan metode yang didasarkan pada pengamatan kualitatif melibatkan proses historis seperti analisis faktor laten dan teknik konsultasi Delphi.

Dalam perencanaan, prediksi dan proyeksi memiliki dua aspek utama yaitu:

1) Prediksi masa depan untuk memperkirakan permintaan fasilitas dan pelayanan serta menilai kapasitas untuk memenuhi kebutuhan yang diperhitungkan, dan 2) Peramalan hasil dan dampak dari alternatif yang dapat dilakukan dengan metode ekstrapolasi dan model interaksi.

4. “Desain” Alternatif (pengembangan alternatif)

Desain diperlukan untuk abstraksi pemberian bentuk respon terhadap kebutuhan atau permasalahan sebagai sarana memahami ide dan mempersiapkan diskripsi sistem yang diusulkan atau artifak. Abstraksi ini merupakan tahapan proses pembuatan keputusan yang bertujuan melakukan perubahan situasi yang ada ke dalam situasi yang diinginkan. Desain alternatif penting dalam perencanaan karena merupakan bagian integral dari pembuatab keputusan.

5. Uji Perencanaan (seleksi alternatif)

Uji perencanaan dilakukan untuk menganalisi apakah alternatif tersebut dapat diimplementasikan berdasarkan hambatan dan potensi yang telah

diperhitungkan. Hambatan tersebut dapat berupa hambatan ekonomi dan fisik, kekuasaan hukum dan politik, serta kepentingan pribadi tertentu. Semua faktor tersebut harus dinilai dalam pengujian alternatif apakah realistis atau tidak.

6. Evaluasi (monitoring-pengendalian)

Evaluasi merupakan tahap memilih pilihan alternatif yang akan diambil melalui estimasi dampak dari alternatif tersebut. Kriteria evaluasi menentukan alternatif yang akan diambil. Kriteria tersebut berupa efisiensi alternatif jika diterapkan. Metode yang dilakukan berupa analisis untung rugi, analisis efektifitas, dan analisis dampak.

Analisis untung dikaitkan antara output dengan nilai uang. Sedangkan analisis efektifitas mengaitkan biaya dalam evaluasi progam alternatif antara output progam dengan output progam yang serupa. Serta analisis dampak menggunakan matrik dan beberapa sistem penilaian untuk mengindikasi nilai relatif, manfaat, atau kerugian dari setiap output dan dampak tertentu dalam konteks evaluasi khusus.

Metode yang mengkombinasikan penilaian dari motede diatas adalah neraca perencanaan. Dimana dalam metode ini mempertimbangkan distribusi dan non moneter. Selain itu terdapat metode matrik tujuan prestasi yang menggambarkan dampak perencanaan terhadap tujuan dan kelompok kepentingan yang berbeda dengan prioritas tujuan yang berbeda pula. Yang terpenting adalah pendekatan evaluasi tersebut berhubungan dengan tujuan yang inklusif atau tujuan yang sebanding dengan kepentingan klien agar perencanaan dapat diterima.

7. Implementasi

Implementasi merupakan pelaksanaan kebijakan dasar/perencanaan.

Dapat disimpulkan mengenai proses perencanaan, bahwa proses perencanaan terdiri dari beberapa komponen yaitu diagnosis masalah, artikulasi tujuan,

“desain” alternatif, prediksi dan proyeksi, uji perencanaan, evaluasi dan implementasi tersebut adalah saling berhubungan membentuk suatu siklus yang tidak pernah berhenti.

2.3. Pengembangan Pariwisata

Kepariwisataan dapat dipandang sebagai sesuatu yang abstrak (Wahab, 2003). Kepariwisataan dapat dipandang sebagai sesuatu gejala yang melukiskan bepergian orang-orang didalam negaranya sendiri (pariwisata domestik) atau ke negara lain (pariwisata mancanegara). Yoeti (1996) mendefinisikan sebagai berikut: pariwisata adalah suatu perjalanan yang dilakukan untuk sementara waktu, yang diselenggarakan dari suatu tempat ke tempat lain dengan maksud bukan untuk berusaha (bussiness) atau mencari nafkah di tempat yang dikunjungi, tetapi semata-mata untuk menikmati perjalanan tersebut guna pertamasyaan dan rekreasi untuk memenuhi kebutuhan yang beraneka ragam.

Menurut Wahab (2003) pariwisata dalam kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi adalah salah satu industri gaya baru yang mampu menyediakan pertumbuhan ekonomi yang cepat dalam hal kesempatan kerja, pendapatan, taraf hidup dan dalam mengaktifkan sektor produksi lain di dalam negara penerima wisatawan. Sedangkan Damanik dan Weber (2006) menyatakan bahwa dari sisi ekonomi, pariwisata muncul dari empat unsur pokok yang saling terkait erat atau menjalin hubungan dalam suatu sistem, yaitu:

1. Permintaan atau kebutuhan

2. Penawaran atau pemenuhan kebutuhan berwisata itu sendiri

3. Pasar dan kelembagaan yang berperan untuk memfasilitasi keduanya 4. Pelaku atau aktor yang menggerakkan ketiga elemen tersebut.

Secara normatif, UU Nomor 9 tahun 1990 tentang kepariwisatan (Pasal 1), memberi pengertian tentang pariwisata adalah segala sesuatu berhubungan dengan wisata (kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan tersebut yang dilakukan secara sukarela serta bersifat sementara untuk menikmati objek dan daya tarik wisata) termasuk pengusahaan objek dan daya tarik wisai serta usaha-usaha yang terkait di bidang tersebut.

Pengembangan sektor pariwisata ditujukan untuk meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan serta dapat memberikan manfaat terhadap pemenuhan kebutuhan masyarakat. Dengan mengembangkan sektor pariwisata ini juga diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap penyelenggaraan pemerintah terutama dari segi pembiayaan pelaksanaan tugas dan fungsi pemerintah.

Pengembangan pariwisata diartikan sebagai kegiatan untuk memajukan suatu tempat atau daerah yang dianggap perlu ditata sedemikian rupa baik dengan cara memelihara yang sudah berkembang atau menciptakan sesuatu yang baru.

Sehingga pengembangan pariwisata merupakan suatu rangkaian upaya untuk mewujudkan keterpaduan dalam penggunaan berbagai sumber daya pariwisata, mengintegrasikan segala bentuk aspek di luar pariwisata yang berkaitan secara langsung terhadap kelangsungan pengembangan pariwisata (Pitana dan Gayatri, 2005). Menurut Pitana dan Gayatri, 4 (empat) aspek utama yang harus dimiliki adalah :

1. Attraction atau atraksi adalah produk utama sebuah destinasi.

2. Accessibility atau aksesibilitas adalah sarana dan infrastruktur untuk menuju destinasi.

3. Amenity atau amenitas adalah segala fasilitas pendukung yang bisa memenuhi kebutuhan dan keinginan wisatawan selama berada di destinasi.

4. Ancilliary, berkaitan dengan ketersediaan sebuah organisasi atau orang-orang yang mengurus destinasi tersebut.

Adisasmita, (2010) mengemukakan bahwa objek wisata adalah suatu tempat yang menjadi kunjungan wisatawan karena mempunyai sumberdaya tarik, baik alamiah, maupun buatan manusia, seperti keindahan alam/pegunungan, pantai flora dan fauna, kebun binatang, bangunan kuno bersejarah, monument-monumen, candi-candi, tari-tarian, atraksi dan kebudayaan khas lainnya.

Fandeli (2000) menjelaskan bahwa objek wisata adalah perwujudan daripada ciptaan manusia, tata hidup, seni budaya serta sejarah bangsa dan tempat atau keadaan alam yang mempunyai daya tarik untuk dikunjungi wisatawan.

Sedangkan objek wisata alam adalah objek wisata yang daya tariknya bersumber pada keindahan sumber daya alam dan tata lingkungannya. Suatu objek wisata menurut Yoeti ( 1996) harus memenuhi tiga persyaratan, yaitu :

1. Daerah itu harus mempunyai apa yang disebut sebagai “something to see”

(sesuatu untuk dilihat). Artinya, di tempat tersebut harus ada objek wisata dan atraksi wisata yang berbeda dengan apa yang dimiliki oleh daerah lain (pemandangan alam, upacara adat, kesenian) yang dapat dilihat oleh wisatawan.

2. Di daerah tersebut harus tersedia apa yang disebut dengan istilah “something to do” (sesuatu untuk dikerjakan). Artinya, di tempat tersebut tersedia fasilitas

rekreasi yang membuat mereka betah untuk tinggal lebih lama di tempat itu (penginapan/hotel yang memadai, kolam renang, sepeda air) sehingga mereka dapat melakukan sesuatu yang tidak bisa dilakukan di rumah ataupun di tempat wisata lainnya.

3. Di daerah tersebut harus tersedia apa yang disebut dengan istilah “something to buy” (sesuatu untuk dibeli). Artinya, di tempat tersebut harus tersedia

fasilitas untuk berbelanja (shopping), terutama souvenir dan kerajinan rakyat sebagai oleh-oleh untuk dibawa pulang ke tempat asal masing-masing.

Menurut Mill dan Morison (1985), tidak ada angka standar klasifikasi industri untuk pariwisata karena pariwisata bukanlah sebuah industri tetapi sebuah aktifitas yang berlangsung ketika orang menyeberang ke perbatasan suatu negara (dalam pengertian internasional) untuk kesenangan atau untuk bisnis dan tinggal di negara tersebut sedikitnya dua puluh empat jam tetapi tidak lebih dari setahun.

Selanjutnya Mill dan Morrison menyatakan bahwa pariwisata adalah sebuah sistem yang terdiri atas empat bagian yaitu: pasar (market), perjalanan (travel,.

tujuan (destination) dan pemasaran (marketing).

Pariwisata sebagai sebuah sistem juga dapat dipahami sebagai suatu sistem pemasaran dimana ada supply dan demand. Keberhasilan pariwisata sebuah wilayah sangat tergantung bagaimana wilayah tersebut memadukan supply dan demand. Hal ini diungkapkan oleh Gunn (1994) bahwa pariwisata tidak bisa direncanakan tanpa pemahaman hubungan timbal batik di antara beberapa bagian-bagian dari sisi persediaan (supply side), terutama ketika berhubungan dengan

permintaan pasar (market demand). Perencanaan pariwisata seharusnya mengupayakan keseimbangan antara supply (development) dan demand (pasar).

Hal ini memerlukan suatu pemahaman dari karakteristik dan kecenderungan pasar seperti halnya proses dari perencanaan pembangunan untuk menemukan kebutuhan pasar.

Unsur-unsur penting dalam permintaan wisata (demand) adalah wisatawan dan penduduk lokal yang menggunakan sumber daya (produk dan jasa) wisata (Damanik dan Weber, 2006). Basis utamanya adalah ketersediaan waktu dan yang pada kelompok tersebut (Kelly, 1998; Gunn, 2000 ; Damanik dan Weber, 2006).

Dengan waktu dan sumber daya yang dimilikinya, merekalah konsumen utama yang mengkonsumsi produk dan layanan wisata yang disediakan di negara tujuan atau daerah tujuan wisata. Disamping itu faktor lain yang turut berperan adalah aksesibilitas yang semakin mudah pada produk dan objek wisata.

Menurut Wardiyanto dan Baiquni (2011) ada beberapa faktor lain yang mempengaruhi meningkatnya permintaan pariwisata, yaitu :

1. Aksesibilitas yang semakin mudah.

Dengan semakin baiknya akses untuk menuju ke objek wisata, wisatawan dapat melakukan perjalanan wisata dengan waktu yang lebih singkat dan lebih nyaman sehingga jangkauannya pun bisa lebih banyak.

2. Meningkatnya pendapatan masyarakat.

Dengan meningkatnya pendapatan, masyarakat juga mempunyai kesempatan lebih banyak untuk berwisata karena memiliki kemampuan untuk membeli produk wisata yang bukan merupakan kebutuhan pokoknya dalam hidupnya.

3. Meningkatnya pendidikan masyarakat.

Meningkatnya tingkat intelektualitas akan membuat masyarakat semakin tahu akan pentingnya pariwisata dalam hidupnya sehingga tidak lagi memandang pariwisata secara negatif.

4. Suasana tertekan akibat rutinitas kerja.

Situasi tertekan oleh pekerjaan dapat mendorong kesadaran masyarakat untuk merasa perlu berlibur guna menghilangkan situasi tertekan itu. Dengan berlibur itu masyarakat tidak lagi disibukkan dengan bekerja dan tidak tertekan oleh tuntutan pekerjaan sehingga mereka dapat menikamti kehidupannya.

5. Adanya waktu senggang.

Waktu libur menjadi waktu yang sangat berarti bagi masyarakat, mereka biasanya mengisi dengan berwisata. Semakin banyak waktu libur yang dimiliki oleh seseorang, maka akan semakin besar pula peluang untuk berwisata.

6. Kebijakan pemerintah.

Berlakunya kebijakan mengenai hari-hari libur kerja, adanya kebijakan pemberian bebas visa bagi warga negara tertentu, dan kemudahan lain yang diberikan kepada warga negara asing untuk masuk ke suatu negara.

Penawaran pariwisata mencakup hal-hal yang ditawarkan oleh destinasi pariwisata kepada wisatawan yang real maupun yang potensial. Dalam segi penawaran, secara tidak langsung termasuk di dalamnya rancangan dan pengelolaan keseluruhan program-program dan tata guna lahan sebagai tatanan non fisik dan fisik dari suatu daerah tujuan wisata.

Wahab (1996) menyatakan bahwa terdapat 3 ciri khas utama penawaran pariwisata, yaitu : 1) Merupakan penawaran jasa-jasa, 2) Yang ditawarkan bersifat kakulrigid, dimana usaha pengadaannya sulit mengubah sasaran penggunaannya

di luar pariwisata, dan 3) Penawaran wisata bersaing ketat dengan penawaran barang dan jasa lainnya. Menurut Gunn (1994), sisi penawaran sebagai suatu sistem pariwisata terdiri dari 5 (lima) komponen yaitu : atraksi, transportasi, pelayanan, informasi dan promosi dengan keterkaitan antar komponen. Kelima komponen ini merupakan satu kesatuan yang sangat erat kaitannya dan perubahan yang terjadi pada salah satu komponen tersebut akan dapat mempengaruhi komponen lainnya. Dengan demikian, suatu perencanaan yang baik dalam pengembangan dan pembangunan sektor pariwisata seharusnya dapat memperhatikan keselarasan dan keseimbangan kelima komponen tersebut.

2.4. Pariwisata Budaya dan Konservasi Bangunan Cagar Budaya 2.4.1. Pariwisata Budaya

Wisata adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh sebagian atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara. Sedangkan religi diartikan sebagi sistem yang terdiri dari konsep-konsep yang dipercayai dan menjadi keyakinan secara mutlak suatu umat dan pemukapemuka yang melaksanakanya (Sucipto dan Limbeng, 2017). Menurut Shihab (2007) wisata merupakan sebuah perjalanan atau kunjungan yang dilakukan baik individu maupun kelompok ke tempat dan institusi yang merupakan penting dalam penyebaran dakwah dan pendidikan Islam.

Damardjati dalam Pambudi (2010), menyatakan bahwa wisata Budaya adalah gerak atau kegiatan wisata yang dirangsang oleh adanya objek-objek wisata berwujud hasil-hasil seni budaya setempat, seperti adat istiadat, upacar-upacara, agama, tata hidup masyarakat setempat, peninggalan-peninggalan sejarah, hasil-hasil seni, kerajinan rakyat dan lain sebagainya. Pendit dalam Sari (2010), wisata budaya adalah perjalanan yang bertujuan mempelajari objek-objek yang berwujud kebiasaaan rakyat, adat istiadat, tata cara hidup, budaya dan seni atau kegiatan yang bermotif sejarah.

2.4.2. Konservasi Bangunan Cagar Budaya

Konservasi adalah suatu proses pengelolaan suatu tempat atau ruang atau obyek agar makna kultural yang terkandung didalamnya terpelihara dengan baik.

Yang termasuk cara pemeliharaan dan bila memungkingkan menurut keadaan proses preservasi, restorasi, rekonstruksi, dan adaptasi, maupun kombinasinya termasuk kedalam proses konservasi. (Charter :1999).

Konservasi juga merupakan salah satu pengelolaan sumber budaya.

Konservasi merupakan suatu proses memahami, menjaga, yang juga mementingkan pemeliharaan, perbaikan, pengembalian, dan adaptasi terhadap aset sejarah untuk memelihara kepentingan kebudayaan. Konservasi merupakan salah satu proses pengelolaan yang berkelanjutan terhadap perubahan, yang dalam prosesnya memperhatikan beberapa pendekatan nilai yaitu nilai umur dan kelangkaan, nilai arsitektur, nilai artistik, nilai kebudayaan, nilai asosiatif, nilai ekonomi, nilai pendidikan, nilai emosi, nilai sejarah, nilai landscape, kekhasan daerah, nilai politik, nilai masyarakat, nilai agama, nilai sosial, nilai simbolik,

nilai teknik, nilai sains, penelitian dan pengetahuan, dan tampilan suatu kota (Architectural Conservation:Aylin Orbasli).

Menurut Undang-Undang Cagar Budaya No 11 tahun 2010 yang disebutkan dalam pasal 1 ayat 1-6:

1) Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa benda cagar budaya, bangunan cagar budaya, struktur cagar budaya, situs cagar budaya, dan kawasan cagar budaya di darat dan / atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan.

2) Benda cagar budaya adalah benda alam atau benda buatan manusia, baik bergerak maupun tidak bergerak, berupa kesatuan , atau bagian-bagiannya, atau sisasisanya yang memiliki hubungan erat dengan kebudayaan dan sejarah perkembangan manusia.

3) Bangunan Cagar Budaya adalah susunan binaan yang terbuat dari benda alam atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang berdinding atau 4) Struktur Cagar Budaya adalah susunan binaan yang terbuat dari benda alam

dan benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang kegiatan yang menyatu dengan alam, sarana dan prasarana untuk menampung kebutuhan manusia.

5) Situs Cagar Budaya adalah lokasi yang berada di darat atau di air yang mengandung benda cagar budaya atau struktur cagar budaya sebagai hasil kegiatan manusia atau bukti kejadian pada masa lalu.

6) Kawasan Cagar Budaya adalah satuan ruang geografis yang memiliki dua situs Cagar Budaya atau lebih yang letaknya berdekatan dan memperlihatkan ciri tata ruang yang khastidak berdinding dan beratap.

2.5. Pengembangan Wilayah

Pengembangan wilayah pada dasarnya mempunyai arti peningkatan nilai manfaat wilayah bagi masyarakat suatu wilayah tertentu mampu menampung lebih banyak penghuni, dengan tingkat kesejahteraan masyarakat yang rata-rata banyak sarana/prasarana, barang atau jasa yang tersedia dan kegiatan usaha-usaha masyarakat yang meningkat, baik dalam arti jenis, intensitas, pelayanan maupun kualitasnya (Sirojuzilam, 2005). Mulyanto (2008) pengembangan wilayah yaitu setiap tindakan pemerintah yang akan dilakukan bersama-sama dengan para pelakunya dengan maksud untuk mencapai suatu tujuan yang menguntungkan bagi wilayah itu sendiri maupun bagi kesatuan administratif di mana wilayah itu menjadi bagiannya, dalam hal ini Negara Kesatuan Republik Indonesia

Nachrowi dan Suhandojo (2001), mengemukakan bahwa dalam pengembangan wilayah ada tiga faktor penting yang harus diperhatikan yaitu sumber daya alam, sumber daya manusia dan teknologi yang dikenal sebagai tiga pilar pengembangan wilayah. Budiharsono (2005), menyatakan bahwa pengembangan wilayah setidak-tidaknya perlu ditopang oleh 6 pilar/aspek, yaitu (1) aspek biogeofisik; (2) aspek ekonomi; (3) aspek sosial budaya; (4) aspek kelembagaan; (5) aspek lokasi dan (6) aspek lingkungan. Aspek biogeofisik meliputi kandungan sumber daya hayati, sumber daya nirhayati, jasa-jasa maupun sarana dan prasarana yang ada di wilayah tersebut. Aspek ekonomi meliputi kegiatan ekonomi yang terjadi disekitar wilayah. Aspek sosial meliputi budaya,

politik dan hankam yang merupakan pembinaan kualitas sumber daya manusia, posisi tawar (bidang politik), budaya masyarakat serta pertahanan dan keamanan.

Aspek kelembagaan meliputi kelembagaan masyarakat yang ada dalam pengelolaan suatu wilayah apakah kondusif atau tidak. Kelembagaan juga meliputi peraturan dan perundang-undangan yang berlaku baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah maupun lembaga-lembaga sosial ekonomi yang ada di wilayah tersebut. Aspek lokasi menunjukkan keterkaitan antara wilayah yang satu dengan wilayah lainnya yang berhubungan dengan sarana produksi, pengelolaan maupun pemasaran. Aspek lingkungan meliputi kajian mengenai bagaimana proses produksi mengambil input apakah merusak atau tidak.

2.6. Penelitian Terdahulu

Penelitian-penelitian terdahulu yang berkaitan dengan pariwisata budaya dan konservasi bangunan cagar budaya, yaitu Penelitian yang dilakukan Krisnawati dan Suprihadjo (2014) dengan judul ”Arahan Pengembangan Kawasan Cagar Budaya Singosari Malang sebagai Heritage Tourism”. Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan arahan pengembangan Kawasan Cagar Budaya Singosari sebagai heritage tourism. Hasil dari penelitian ini menjelaskan arahan untuk pengembangan Kawasan Cagar Budaya Singosari dibagi menjadi 3 zona pengembangan secara spasial di Kawasan Cagar Budaya Singosari yaitu zona inti, zona pendukung langsung dan zona pendukung tidak langsung. Zona inti merupakan tempat adanya bangunan cagar budaya sebagai daya tarik wisata, zona pendukung langsung berkaitan dengan arahan penataan bangunan cagar budaya yang kondisinya sebagai ikon kawasan dan kesejarahan yang terkandung

didalamnya, fasilitas akomodasi serta fasilitas pendukung pengembangan.

Kemudian zona pendukung tidak langsung yaitu partisipasi masyarakat, atraksi wisata, pemasaran, aksesibilitas, implementasi kebijakan, pengembangan antar obyek wisata, kerjasama sector swasta serta pendanaan di kawasan wisata cagar budaya.

Peneltian yang dilakukan Djoeffan, dkk (2010) dengan judul “Strategi Pengelolaan Kawasan Wisata Cagar Budaya Karangkamulyan di Kabupaten Ciamis”. Hasil dari penelitian ini menjelaskan bahwa bebrapa situs cagar budaya yang menjadi daya tarik wisata telah berkontribusi dalam peningkatan ekonomi masyarakat serta peningkatan pendapatan asli daerah (PAD). Hasil penelitian ini juga merumuskan strategi dalam pengelolaan kawasan wisata cagar budaya melalui strategi jangka panjang dan strategi jangka pendek. Strategi jangka panjang dilakukan melalui kerjasama dengan pihak investor dalam peningkatan pengawasan pembangunan yang merusak ekosistem, membentuk kelembagaan pariwisata, mensosialisasikan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan oleh pemerintah daerah serta meningkatkan manajemen dan pengelolaan objek wisata. Strategi jangka pendek meliputi perencanaan pembangunan yang tidak merusak lingkungan serta pengembangan daya tarik wisata baik kegiatan wisata maupun promosi wisata.

Penelitian Pratiwi (2013) dengan judul “ Pelestarian Angklung Sebagai Warisan Budaya Tak Benda dalam Pariwisata Berkelanjutan di Saung Angklung Udjo, Bandung”. Secara umum penelitian ini membahas tentang pelestarian angklung sebagai warisan budaya serta implementasi dari pariwisata berkelanjutan terhadap daya tarik wisata budaya Saung Angklung Udjo. Hasil dari

penelitian ini menunjukkan bahwa daya tarik wisata Saung Angklung Udjo menerapkan langkahlangkah konstruktif dalam pengembangan daya tarik wisata melalui pengoptimalisasian pembangunan infrastruktur yang dilakukan oleh aktor profesional lokal. Identitas budaya sebagai pusaka budaya yang dapat dikembangkan menjadi modal ekonomi dan sebagai aset agar dapat memberikan kontribusi yang signifikan dalam pembangunan untuk mensejahterakan masyarakat dengan tetap menjaga nilainilai budaya dan kearifan lokal sebagai ciri khasnya.

Penelitian yang dilakukan Nurchalis (2011) dengan judul “Pelestarian Keraton Alwatzikhoebillah Sebagai Daya Tarik Wisata Sejarah di Sambas

Penelitian yang dilakukan Nurchalis (2011) dengan judul “Pelestarian Keraton Alwatzikhoebillah Sebagai Daya Tarik Wisata Sejarah di Sambas